TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Konsep Manusia dalam al-Qur’an



Muqaddimah

Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.

Konsep manusia dalam al-Qur’an

Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,[1]menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.[2]
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.[3]
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. [4]
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh.[5] Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an

Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.[6]
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain[7] menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.[8]

Penutup

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

Daftar Pustaka

Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002
Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989
——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[1] Penciptaan/keberadaan manusia menurut al-Qu’an ini dapat dkategorikan menjadi tiga fase. Pertama,kemunculan Adam manusia pertama. Penciptaan Adam sebagai manusia, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ia diciptakan dari semacam tanah liat. Dan atas kehendak Allah maka jadilah Adam dalam rupa manusia. Manusia pertama ini, hadir tanpa ibu dan bapak. Kemudian, kedua, diciptakannya manusia kedua yaitu Hawa, yang disebutkan bahwa ia berasal dari tulang rusuk kiri Adam. Manusia kedua ini hadir tanpa ibu. Ketiga, fase inilah yang menjadi gambaran umum manusia. Yaitu hadir dengan adanya bapak dan ibunya.
[2] Turunnya Adam menurut Alamah Kamal Faqih Imami sedikit banyak diilustrasikan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 11-25. Alamah Kamal Faqih Imami, Tafsir Nurul Qur’an, terj. R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, jilid I, 2003, hal 156-171. Di dalam kitab tafsirnya ini, beliau juga menafsirkan turunnya Adam dan Hawa adalah sekenario Allah semata. Hal ini karena pada dasarnya Bapak Adam dan Ibu Hawa (manusia) memang diciptakan untuk menghuni bumi—menjadi khalifah di bumi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan: “Ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” Ini menjelaskan bahwa Allah sejak awal telah menetapkan bahwa manusialah yang akan menghuni bumi.
[3] Mengenai sujudnya Malaikat pada Adam ini, Alamah kamal Faqih Imani menafsirkan sebagai sebuah sujud yang tidak dimaksudkan untuk beribadah layaknya sujudnya para Malaikat pada Allah. Tetapi sujud ini adalah sujud sebagai sebuah representasi penghormatan para Malaikat pada Adam. Ibid. Hal. 166.
[4] Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7 mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat. Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan dalam manusia.” K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000. hal.204.
[5] Ruh atau jiwa di sini jangan diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan lainnya
[6] Banyak kalangan dari umat Islampun masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Apakah Adam yang dimaksud di sini adalah benar-benar manusia pertama, ataukah ada Adam-Adam lain sebelumnya? Ini disandarkan pada alasan bahwa jika Adam ini adalah manusia pertama, rentang waktu kehidupan manusia pertama ini dengan manusia masa kini masihlah terlalu singkat yaitu sekitar lima belas ribu tahun. Satu masa yang dapat dikatakan sedikit dibandingkan umur bumi sendiri yang dikatakan sampai milyaran tahun. Dengan argumen inilah beberapa kalangan muslimin menyatakan bahwa ada Adam-Adam lain selain yang disebutan al-Qur’an. Dan mengenai keberadaan Adam di surga, itu juga tidak surga dalam artian sebenarnya menurut kalangan ini. Surga di sini menurut mereka adalah satu tempat di bumi ini yang karena keindahannya dan kemudahannya dalam meraih sesuatu digambarkan seperti surga. Tentu pendapat inipun mendapat sanggahan, dengan argumen bahwa Adam yang disebutkan al-Qur’an ini memang benar-benar manusia pertama yang menghuni bumi, dan ia benar-benar diturunkan Allah dari surga, lagi-lagi itu karena kemaha Kuasaan Allah SWT, dan apa yang tidak mungkin bagi Allah. Kalau menciptakan alam saja mampu, kenapa harus diragukan ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, tentu bagi Allah itu bukan hal yang sulit. Perdebatan yang menarik, dan memang sepertinya tak akan pernah selesai. Begitu menariknya makhluk yang bernama manusia ini! (Penjelasan matakuliah ulumul Qur’an, Pak Subandi)
[7] Harun Yahya misalnya yang berjuang mati-matian untuk mengcover teori evolusi Darwin.
[8] Ada satu hal lagi berkaitan dengan dua pendapat di atas, yang mencoba menjembatani perdebatan sengit itu. Meskipun tidak nampak begitu berhasil, dan malah menjadi satu golongan tersendiri yang nampak mendukung teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa dari beberapa aspek apa yang dikatakan oleh Darwin memang benar adanya. Bahwa manusia memang berevolusi. Namun, sayangnya Darwin terlalu materialis dalam melihat evolusi manusia, sehingga permata dalam diri manusia, jiwa, terabaikan dinegasikan Darwin begitu saja. Dan pedapat para tokoh sufi seperti Mulla Shadra, yang sering kali ditekankan Dr. Haidar Bagir dalam tiap kali perbicangannya menyatakan bahwa manusia memang berevolusi, bukan sekedar fisik saja, jiwanyapun berevolusi mencari kesejatian diri, menuju Tuhan. Dan dalil al-Qur’an tentang Adam dan Hawa yang sering ditafsirkan manusia pertama yang diturunkan dari Surga hanyalah simbolitas saja.




Mengenal Sastra Sufi



Pendahuluan

By Nur Izzatunnisa

Sastra adalah segala sesuatu yang oleh masyarakat dinilai, karena memiliki unsur-unsur dan makna yang banyak, berkenaan dengan keindahan. Sehingga makna sastra dapat hadir sebagai intepretasi setiap individu yang ingin memaknainya.
Dewasa ini, sastra sudah sangat berkembang. Kehidupan sastra memiliki maksud yang tersirat dari orang yang mencintai sastra. Adapun bagian-bagian sastra adalah rangkaian seni yaitu kumpulan-kumpulan puisi dan prosa. Prosa terdiri dari hikayat, dongeng, sejarah, dan kisah.
Sastra hampir menempati berbagai ruang bidang kehidupan manusia. Menjelma sebagai bagian-bagian sastra yang memiliki koridor-koridor dengan ragam hias yang berbeda. Antara lain, sastra kebudayaan, sastra Islam, dan sastra sufi. Makalah ini dibuat untuk mengulas satu fragmen yang mungkin penting dalam perkembangan sastra dunia, atau dapat pula disebut sebagai sebuah pembacaan dan penelaahan terhadap sastra Islam karena tulisan ini hendak membahas tentang sastra sufi. Satu pembahasan yang tidak dapat lepas dari Islam tentunya, makanya pembahasan ini lebih tepatnya dapat disebut sebagai pembahasan kesusastraan Islam dari pada kesusastraan dunia. Dengan penulisan dan adanya makalah ini, semoga kita mengenal lebih tentang kehidupan sufi serta sastranya yang berlandaskan cinta Ilahi.

Mengenal Sastra Sufi

1. Tasawwuf

Tasawuf adalah ajaran kerohanian dalam Islam. Yakni bentuk spiritualiatas untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tasawuf menggunakan metode intuitif disamping metode filosofis. Karena metode intuitif adalah metode dalam upaya pengenalan tentang diri. Sehingga dapat membawa seseorang tentang penglihatan hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.metode intuitif ini tidak memiliki perantara, tetapi langsung hati dalam mengenal diri dan Tuhannya.
Tasawuf merupakan jalaan penyucian diri. Yang berawal dari pengendalian diri dari nafsu-nafsu rendah. (nafsu amarah dan nafsu lawammah). Yang bertujuan pada penyucian hati dan pikiran dari segala sesuatu yang mengakibatkan kelupaan terhadap sang pencipta. Dengan zuhud dan tawakkal. Pikiran dan hati sepenuhnya hanya untuk Tuhan. Jika seseorang sudah mampu untuk menjalankannya, maka penglihatan hatinya akan murni dan suci terhadap segala sesuatu. Dan artinya seseorang itu telah mendapatkan pencerahan.
Dalam asal kata tasawuf, memiliki perbedaan. Ada yang mengatakaan bahwa tasawuf atau sufi berasal dari kata safi, tetapi ada juga yang mengatakan, kata tasawuf atau sufi berasaal dari kata suf, keduanya bisa saja dikaitkan. Kata safi diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti Suci dan bersih. Sedangkan suf, diambil dari bahasa Arab juga yang memiliki arti kain wol.
Makna pertama yaitu safi, mendiskripsikan bahwa seseorang yang telah sufi itu adalah suci dan bersih hatinya. Dan suf, arti ini diambil dari kebiasaan orang-orang sufi yang menggunakan jubah yang terbuat dari kain wol. Yang mana jubah tersebut sebagai lambang kebersahajaan kehidupn orang-orang sufi. Serta keikhlasan dan pengorbanan kebersahajaan.
Pada awalnya, tasawuf hanya kelompok social atau kelompok orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan secara sempurna. Yang meninggalkan kehidupan mewah duniawi yang disebut dengan zuhud, serta meninggalkan segala sesuatu yang dapat melupakan dan melalaikan kita terhadap Tuhan. Akan tetapi dalam perkembangan tasawuf, tidak jarang orang yang ingin memahaminya.
Dalam proses menyucikan diri, sufi harus memperbaiki akidahnya, ketaatannya melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Termasuk zikir, wirid, puasa, memperbanyak muamalah dan amal jariyah untuk menuju kesempurnaan akhlak.
Ajaran fundamental tasawwuf adalah tentang ketauhidan, untuk mendalami tentang ketauhidan tersebut, para sufi harus melewati perjalanan-perjalanan spiritualnya. Adanya beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampi kepada Tuhan.
Ada beberapa perbedaan tentang jumlah maqamat. Menurut Muhammad al-kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf fi mazhab ahli al-Tasawwuf. Jumlah maqamat itu sebanyak sepuluh maqamat. Yaitu al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqr, al-Tawaddhu’, al-Taqwa, al-Tawakkal, al-Ridha, al-Mahabbah, dan al-Ma’rifat.
Sedangakan menurut al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulum al-Din. Mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan. Yaitu al-Taubah, al-Shabr, al-Zuhud, al-Tawakkal, al-Mahabbah, al-Ma’rifah dan al-Ridha.
Dengan demikian, jika seseorang sudah pada level maqat tertinggi. Beliau tidak dapat di ragukan lagi mengenai keilmuan dan moralnya. Dan dia adaalah orang yang sudah mencapai kesempurnaan.
Seseorang yang sempurna, harus menemani orang baru dalam menjalani spiritual sufisme. Menurut para ahli irfan, hal ini disebutkan dalam rangkaian kata yang mereka sebut Tayr al-Quds (Burung Suci)

Temanilah kegiatanku dijalan ini
Wahai Tayr al-Quds
Jalan kearah tujuan itu cukup jauh
Dan baru kali ini perjalananku
Jangan tinggalkan pada tingkatan ini
Tanpa ditemani khidir
Ada kegelapan didepan sana
Aku takut akan tersesat jalan

Ajaran sufi bersumber pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, dalam kehidupan tasawwuf berpusat dalam kehidupan bathiniah. Di dalam al-Qur’an dijelaskn bahwa, manusia dan Tuhan bisa saling mencintai. Seperti yang ada disurat al-Maidah 5:54 “perintah agar manusia senantiaasa bertaubah, membersihkan diri dan memohon ampunan kepada Allah.
Disamping ajaran-ajaran tentang kezuhudan dan ketawakkalan terhadap Allah. Tasawwuf juga mengajarkan tentang bahasa cinta. Yakni cinta terhadap Ilahi. Dari sinilah, sejak awal sufi melibatkan diri dalam kegiatan sastra.

2. SASTRA SUFI

Sastra sufi identik dengan perenungan diri terhadap sang Ilahi, yang dibahasakan dengan bahas cinta. Dan serangkaian kata-kata yang memiliki makna intrinsik, bait-bait syair yang memiliki unsur-unsur bathiniyah yang mendalam terhadap kekasihnya. Yaitu sang Ilahi.
Cinta ini memiliki makna yang luas. Yang ditujukan hanya kepada kekasih Ilahi. Yakni cinta untuk Ilahi dengan memeluk dan mematuhi Tuhan. Membenci sikap yang melawan terhadap Tuhan. Berserah diri pada Tuhan dan menjauhi segala sesuatu kecendrungan yang dapat melalaikan kita terhadap kekasih Ilahi.
Sastra sufi kebanyakn berupa puisi. Yang biasanya mengibaratkan Burung sebagai symbol yang suci dan bebas. Para sufi juga mengambil kisah-kisah dalaam al-Qur’an tentang sebuah hikayat-hikayat yang mengambarkan rasa cinta terhadap Tuhan. Menggambarkan kedamaian dan ketentraman jiwa melalui keyakinan yang daalam terhadap Tuhan.
Sastra sufi adalah bagian dari seni murni yang berkenaan dengan trasendental dan masalah-msalah ketuhanan. Sehingga bersumber pada realitas kehidupan yang tidak dapat dijelaskan melalui pemahaman logic rasional. Karena itu adalah pengalaman mistik yang tak dapat diserap oleh panca indra. Dan hanya dapat diserap oleh akal intuitif serta dapat dijelaskan lewat imaginasi kreatif.
Dengan penyampaian yang intuitif dan imajimasi kreatif berarti hanya dapat menggunakan simbol-simbol tertentu dan figurative puisi. Seorang sufi berusaha menjelasakan apa yang terkandung dalam pengalaman-pengalaman mistiknya.
Sastra sufi telah muncul pada abad ke 15 M. perkembangannya sangat tinggi dalam sejarah bangsa Persia. Adapun tokoh-tokoh sastra sufi Persia adalah Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Fariruddin al-‘Attar, Imam Ghazali, Abu Said al-Khayr, khwaja Abdullah Anshari.
Kemudian tokoh sufi perempuan yang mengembangkan bahasa cinta adalah Rabiah al-Adawiyyah. Dia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah. Rasa cinta yang dimilikinya sangat besar. Setelah dia dibebaskan dari seorang hamba. Cinta Rabiah al-Adawiyah ini semuanya dicurahkan untuk Tuhan. Sehingga dalam kisahnya yang selalu menolak lamaran seorang lelaki. Ia membuat syair yang penuh dengan cinta terhadap Ilahi. Ia mengatakan:

akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan,
sedangkan pada diriku hal itu tidak ada,
karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri
aku maujud dalam Tuhan
dan aku sepenuhnya mikilik-Nya
aku hidup dalam naungan firmannya
akad nikah mesti diminta dari-Nya
bukan dariku”.
Ketulusan cinta sangat besar, dalam setiap syairnya, Rabiah al-Adawiyah selalu berbicara tentang Tuhan.
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Dalam syairnya yang lain ia mengungkapkan
Ku cintai Engkau lantaran ku cinta
Dan lantaran Engkau patut dicintai
Cintakulah yang membuatku rindu kepada-Mu
Demi cinta suci ini
Sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah Kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mu lah segala puji dan puji

Sastra sufi hanyalah sastra yang berhubungan dengan mistik, yang berorientasi pada cinta seorang manusia terhadap Tuhan. Begitu banyak tokoh-tokoh sufi yang meluapkan pengalaman-pengalaman mistiknya melalui puisi. Mereka utarakan denagn bahasa yang indah dan memiliki makna yang dalam.
Puisi-puisi sufi berasal dari penghayatan seorang sufi terhadap cintanya terhadap sang Illahi. Lewat perenungan-perenungan yang dalam tentang kehidupannya yang bersahaja. Puisi-puisinya memiliki pesan terhadap semua orang yang membacanya. Baik dari orang Muslim ataupun non Muslim. Seperti seorang sufi terkenal yang ajaran-ajaran diterima oleh semua orang termasuk juga non- Muslim.
Jalaluddin Rumi bukan hanya mengajarkan tentang cintanya kepada sang Illahi, beliau menciptakan tarian sufi yang mendeskripsikan tentang penghayatan cintanya terhadap sang Illahi, yang mengharapkan tentang anugrah cahaya yang Tuhan pancarkan terhadap manusia.
Ia mengajarkan cinta tentang hakikat, kesejatian, keindahan cinta. Dalam syairnya tentang kesejatian cinta, Jalaluddin Rumi menuturkan sebagai berikut

Kau sudah sangat jauh
Berdiri di atas tanah ini
Dan mengelilingi dunia
Maka kini
Lakukanlah perjalanan
Didalam roh dan saksikan
Sejatinya manusia
Yang telah menjelma roh!
Saksikan para pemuja
Perintah Tuhan
Tenggelam dalam perintah-Nya
Dengan segala karunia
Keindahan kesaksiaan mereka

Pandangan sufi terhadap lubuk hati manusia yang terdalam yitu sirr. Semua manusia dapat melakukaan percakapan dengan dirinya dan Tuhan melalui perenungan hati yang tentram. Hati yang selalu teringat tentang Tuhan dan memiliki rasa cinta dan rindu terhadap-Nya. Sajak sufi menggambarkan pertahanan tema cinta kepada Tuhan dan kerinduan terhadap-Nya. Misalnya Ibn ‘Atha menggambarkan kegunaan zikir kepada Tuhan. Ibn Atha’ menulisnya yang bermaksud[1]

Zikir bermacam-macam, diliputi cinta
Dan rindu dendam, ia menerbitkan ingatan kepada-Nya
Karena kekuatan zikir, nafsu menjadi lemah
Dan daapat dikendalikan olehnya
Jiwa mendapat pengaruh mendalam, duka pergi
Sehingga nafsu yang baik dapat disebar
Sadar atau tidak, zikir dapat menggulung
Hawa nafsu dan dapat mencerai berangkainya
Serta menghapusnya, kemudian
Memulihkan kekuatan penglihatan kalbu dan fikiran
Sehingga meninggi menjelma mahkota di atas kepala
Zikir ialah jalan mengenal Dia
Melalui pandangan mata hati
Zikir menanam keyakinan dalam kalbu
Sehingga kita dapat menyaksikan kehadiran-Nya
Dan menyikap hijab yang menyikap hijab yang memisahkan kita dengan-Nya
Sajak percakapan sufi dengan tuhan, misalnya sajak Junaid Al Baghdadi
Kini ku tahu, Tuhan—siapa
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahasia, jauh dari pada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja
Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh dari pada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa
Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh dari pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku
Dalam bencana mengerikan
Tak ku sesali siksa yang mencabik jiwa
Hanya kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu
Apabila seluruh dunia Kau berikan padaku
Atau surga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga disbanding melihat wajah-Mu
Kesimpulan
Dengan mengenal sastra sufi, kita dapat belajar tentang perenungan diri terhadap Tuhan yang akan memberi kita bagaimana seorang hamba Allah dalam mengagungkan Tuhannya dengan segenap jiwa dan raganya. Membaca syair-syair sufi juga dapat memberikan suatu motivasi dalam mengenal Tuhan lebih jauh yang mungkin tidak terjangkau oleh pikiran kita yang hanya sebagai hamba Allah yang awam.
Selain ulasan syair-syair sufi di atas masih banyak syair-syair sufi yang lain, yang mungkin jauh lebih menyentuh hati dan membangun iman, yang sekiranya dapat dapat kita ambil makna yang tersirat didalamnya.
Dan dengan mengenal ajaran-ajaran sufi, bahwa kehidupan diliputi oleh cinta. Cinta terhadap sang Pencipta cinta. Semoga kita dapat menghadirkan rasa cinta yang suci dan tulus terhadap Allah SWT. AMIN
Daftar pustaka
Nata, Abuddin, Prof. DR. H. Akhlak tasawwuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada : 1996
Rumi, Jalaluddin, The Book of Love, Yogyakarta: pradipta, Oktober 2003
Hadi, Abdul, WM, makalah kuliah sastra islam “ Puisi-puisi sufi Arab”(5), ICAS Paramadina
Hadi, Abdul, WM. Makalah kuliah sastra islam (6) “Mantiq al-Tayr” Alegori sufi farididdin al-Attar, ICAS Paramadina
WWW. Geogle “sastra sufi”.com.

[1] Makalah kuliah sastra Islam, Abdul Hadi Wm


Al-Hallaj; Kitab Kematian

  • Sebuah misbah menyala dari cahaya Sang Zat Yang Tak Terlihat. Ia menjulang, jauh melampaui misbah-misbah yang lainnya. Ibarat bulan, ia biaskan Kemilaunya atas bulan-bulan yang lain.Ialah Gemintang yang berumah dibiduk Empyrean. Allah memberinya nama yang "Tak tertulis," seperti tergambar dalam keinginanNya. Nama yang yang ditahbiskan oleh Keagungan Kasih Sayang_Nya. Nama itu bernisbat di Makkah, tempat Ia berdiam diri dalam Kehadiran_Nya.
  • Sekali Ia kukuhkan Keperkasaannya, terangkatlah segala beban "Yang telah membuatmu menderita." Maka, sebagaimana Allah menyingkapkan badr, segeralah purnama terbit dari balik awan berkabut Yamaamah, dari balik bukit Tuhaamah (Makkah). Kilau kemilau sang Misbah seolah serta merta tercurah dari Mata-Air Ketuhanan Yang Maha Pemurah.
  • Ia jelas tidak bicara tentang banyak hal kecuali dengan cakrawala pandangan yang luas. Dan tak akan berbuat apa-apa kecuali mengikuti kebenaran yang Ia lakukan. Dirinya senantiasa ada dalam Hadirat Allah, lalu membawa segalanya pada-Nya. Ia memandang; dan karenanya Ia ada. Ialah yang kemudian diutus sebagai penunjuk jalan. Menggariskan mana saja yang layak umat manusia lakukan.
  • Tak ada seorangpun yang dapat melihat Misbah itu, selain Orang Yang Tulus (Siddiq), yang berkali-kali semenjak dulu menegaskan kebenarannya. Menyertainya hingga tak ada Tabir yang memisahkan mereka.
  • Tak seorang Arif pun yang mengetahui jejaknya bersedia mengabaikan hakikat kualitas Misbah itu. Kualitas cahaya itu hanya terlihat jelas bagi siapa yang Allah kehendaki. "Mereka itulah orang-orang yang kami turunkan Kitab..., meski ada diantara sebagian mereka yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka menyadarinya." (Q.S 2; 46)
  • Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahaya sang misbah, yang bersumber dari cahaya Zat Yang Misterius. Diantara cahaya-cahaya itu,tak ada yang lebih cemerlang, lebih berseri-seri, atau lebih tak tercipta-daripada-ketakterciptaan dibanding cahaya Sang Pemilik Kedermawanan.
  • 'Pabila kau berlari menghindar dari langkah dan petunjuk-Nya, jalan manakah yang hendak kau tempuh, oh kau yang merana? Puncak dan tujuan akhir para filsuf, tak lain, adalah sehimpunan isyarat yang tiba melalui kebijaksanaan-Nya.

                                                          
    AL-Halajj

Potret Imam Syafi'i


Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang kemudian terkenal dengan nama Imam asy-Syafi’i adalah pendiri dan pemimpin Mazhab Syafi’i dan Imam ketiga dalam mazhab Ahlusunnah. Nasab beliau sampai kepada Hasyim bin Abdul Muthalib kemenakan dari Hasyim bin ‘Abdu Manaf yang dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin Saib yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw.

Kebanyakan ahli sejarah mencatat bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza, Palestina, namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir di Asqalan. Ada juga yang mengatakan Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H di Yaman dimana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Ahlusunnah yang bernama Imam Abu Hanifah.
Sejak kecil Syafi’i telah kehilangan ayahnya. Kala itu beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan serba kekurangan. Imam Syafi’i mempelajari fikih dan hadis ketika di Mekkah dan untuk beberapa waktu beliau juga belajar syair, sastra bahasa (lughat) dan nahwu di Yaman. Sampai pada suatu waktu atas saran Mus’ab bin Abdullah bin Zubair, beliau pergi ke Madinah untuk menekuni ilmu hadis dan fikih. Diusianya yang relatif muda (sekitar 20 tahunan), beliau telah belajar kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.
Imam Syafi’i menuturkan masa lalunya seperti ini: Sewaktu saya belajar, guru saya mengajarkan kepada saya tentang Al-Qur’an dan saya pun menghafalnya. Saya ingat waktu itu guru saya pernah berkata: ‘Tidak halal bagi saya sekiranya mengambil imbalan dari kamu.” Dengan alasan tersebut, akhirnya saya meninggalkan guru tersebut. Sejak itu saya mengumpulkan potongan tembikar, kulit dan pelepah kurma yang agak besar sebagai sarana yang saya pakai untuk menuliskan hadis. Akhirnya, saya pergi ke Mekkah. Aku tinggal bersama kabilah Hudail yang terkenal dengan kefasihannya selama 17 tahun. Setiap kali mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, aku pun mengikuti jejak mereka. Saat aku pulang ke Mekkah, aku telah menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Waktu itu aku bertemu dengan salah seorang pengikut Zubair lalu salah seorang dari mereka berkata kepadaku: “Sangat berat bagiku melihat Anda yang begitu jenius dan fasih namun Anda tidak mempelajari fikih.” Tak lama setelah itu, mereka membawaku ke tempat Imam Malik.
Saya telah memiliki buku “Al-Muwatho’” Imam Malik dan cuma dalam waktu sembilan hari aku telah mempelajarinya. Kemudian saya pergi ke Madinah untuk belajar dan menghadiri majlis taklim Imam Malik.”
Imam Syafi’i tetap tinggal di kota Madinah sampai saat wafatnya Malik bin Anas. Kemudian beliau pergi ke Yaman dan beliau menghabiskan aktivitasnya di sana. Penguasa Yaman pada waktu itu seorang yang zalim dan bekerja sama dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid, Khalifah Abassiyah. Dalam kondisi seperti itu, penguasa menangkap Imam Syafi’i dengan alasan dikhawatirkan beliau akan memberontak bersama Alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) lalu beliau dibawa kepada Harun ar-Rasyid, tetapi Harun ar-Rasyid membebaskannya.
Muhammad bin Idris untuk beberapa waktu pergi ke Mesir dan kemudian pada tahun 195 H beliau mendatangi Bagdad dan mengajar disana. Setelah dua tahun tinggal di Bagdad, beliau kembali ke Mekkah. Tak lama setelah itu, beliau pergi lagi ke kota Bagdad dan dalam waktu yang cukup singkat tinggal di Bagdad. Pada tahun 200 H di penghujung bulan Rajab di usia 54 tahun beliau meninggal dunia di Mesir. Tempat pemakamannya di Bani Abdul Hakam berdekatan dengan makamnya para syuhada dan menjadi tempat ziarah kaum Muslimin, khususnya kalangan Ahlusunnah.
Salah satu murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.
Karya-karya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki banyak sekali karya berharga, di antaranya adalah:

1. Al-Umm
2. Musnad as-Syafi’i
3. As-Sunnan
4. Kitab Thaharah
5. Kitab Istiqbal Qiblah
6. Kitab Ijab al-jum’ah
7. Sholatul ‘Idain
8. Sholatul Khusuf
9. Manasik al Kabir
10. Kitab Risalah Jadid
11. Kitab Ikhtilaf Hadist
12. Kitab Syahadat
13. Kitab Dhahaya
14. Kitab Kasril Ard

Berhubung pusat pengajaran beliau berada di kota Bagdad dan Kairo, maka melalui dua kota tersebut secara perlahan Mazhab Syafi’i disebarkan oleh murid-muridnya ke negeri-negeri Islam lainnya, seperti Syam, Khurasan dan Mawara’u Nahr. Tetapi pada abad ke-5 dan ke-6 terjadi konflik keras antara para pengikut Syafi’i dan pengikut Hanafi di Bagdad dan juga pengikut Syafi’i dan Hanafi di Isfahan. Begitu juga para pengikut Syafi’i sempat bentrok dengan dengan para pengikut Syiah dan Hanafi pada zaman Yaqut dimana setelah itu mereka menguasai kota Rei.
Mazhab Syafi’i lebih dikenal dengan perpanduan antara ahli qiyas dan ahli hadis. Mazhab Syafi’i sekarang tersebar di Mesir, Afrika Timur, Afrika Selatan, Arab Saudi bagian Barat dan Selatan, Indonesia, sebagian dari Palestina dan sebagian dari Asia Tengah, khususnya kawasan Kurdistan.
Di antara ulama-ulama pengikut Mazhab Syafi’i yang terkenal adalah: Nasai’, Abu Hasan Asy’ari, Abu Ishaq Shirazi, Imamul Haramain, Abu Hamid Ghazali, dan Imam Rafi’i.
Kata-Kata terakhir Imam Syafi'i Rahimahumullah Sebelum Wafat

Imam Al-Muzani sahabat Imam Asy Syafi’i berkata : ” saya menjenguk Imam Asy Syafi’i saat beliau sakit yang menjelang wafatnya,kemudian saya bertanya kepadanya  :
”Wahai Abu Abdillah,bagaimana keadaanmu? “,beliau mengangkat kepalanya,lantas berkata:

” Aku akan pergi dari dunia ,berpisah dengan sahabat sahabatku dan bertemu dengan kejelekan amalku,kemudian aku akan menghadap Allah,aku tidak tahu apakah ruh ku akan menuju surga lalu kuucapkan kata selamat padanya,ataukah keneraka lalu aku menolaknya  “,

Setelah berkata demikian, Beliau menangis sambil melantunkan bait-bait syair berikut:

Kala hatiku mengeras dan jalanku mulai menyempit
Aku hanya bisa mengharap titihan ampunan-Mu
Dosa-dosaku amat besar, namun jika aku bandingkan
Dengan ampunan-Mu, ya Robb, ampunan-Mu jauh lebih besar
Engkau Senantiasa melimpahkan ampunan atas segala dosa
Dan Engkau tiada pernah bosan memberi ampunan.”

(Sifat Ash-Shofwah, 3/146)

Sumber

MAQOM


"Setiap orang punya maqom. Dan dalam setiapmaqom, skala prioritas amalnya berbeda dari maqomlainnya", demikian ajaran Kiyai Bisri Mustofa.

Bagi orang yang maqomnya 'alim, yaitu telah (relatif) sempurna pengetahuannya tentang (syari'at) agama, mengajar adalah amal paling utama baginya. Yang maqomnya muta'allim (pelajar): ya belajar. Yang maqomnyamutaharrif, yaitu orang yang mempunyai tanggungan nafkah tapi tidak bisa memperoleh penghasilan kecuali dengan bekerja setiap harinya, bekerja (mencari nafkah) adalah amal paling utama baginya.

Pada mulanya, Kiyai Ma'shum rahimahullah, ayahanda Kiyai Ali Ma'shum, berdagang secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dengan jadwal yang tetap. Demikian dikisahkan dalam buku biografi beliau, karya M. Luthfi Thomafi. Diantara langganannya adalah pasar-pasar di Cirebon, Demak dan Jombang. Di setiap kota itu Kiyai Ma'shum membagi waktu. Usai berdagang di pasar, sejumlah santri telah menunggunya di masjid, untuk memperoleh pengajaran berbagai kitab darinya.

Bertahun-tahun beliau menekuni pola kegiatan itu, dengan maksud menjaga keseimbangan antara mencari nafkah dan mengajarkan ilmu. Sampai akhirnya Kanjeng Nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi Wasallam datang di salah satu mimpinya dan memerintahkannya berhenti berdagang untuk kemudian membangun pesantren dan mengkhususkan diri dengan mengajarkan ilmu saja. Kiyai Ma'shum patuh. Pesantren dibangunnya di Desa Soditan, Lasem, kemudian berhenti berdagang sama sekali dan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar.

Kiyai Abdul Wahab Husain rahimahullah sudah punya tanggungan santri yang cukup banyak di pesantrennya di desa Kauman, Sulang, Rembang. Tapi Kiyai Wahab tetap menekuni pekerjaannya sebagai polangan (pedagang) kambing. Menjelajahi desa-desa untuk membeli kambing-kambing petani adalah pekerjaan beliau sehari-hari. Pada hari pasaran, sendiri pula beliau menggiring kambing-kambing itu ke pasar hewan.

Hari itu, dengan topi laken khas polangan dan pecut di tangan, Kiyai Wahab menggiring kambing-kambingnya menyusuri jalan raya. Susah payah ia jaga agar kambing-kambing itu tidak melantur terlalu ke tengah, walaupun jalan raya agak sepi. Tiba-tiba sebuah mobil yang berjalan lambat-lambat dari arah belakang melintasinya. Kurang ajarnya, mobil itu malah sengaja menerjang barisan kambing-kambingnya sehingga kocar-kacir tak karuan. Sudah tentu Kiyai Wahab kaget, kelabakan, dan berang bukan alang kepalang! Apalagi mobil itu malah lantas berhenti tidak jauh darinya, seolah menantang!

Di kursi belakang terlihat ada seorang penumpang, tapi kurang jelas karena kacanya gelap. Kiyai Wahab yang jadhug lagi berangasan tak memperdulikan lagi kambing-kambingnya. Dengan penuh  amarah ia hampiri jendela disamping penumpang itu. Ia yakin, itu boss, yang punya mobil. Digebraknya atap mobil dengan garang, sekalian melampiaskan kekesalan.

Kaca jendela diturunkan, dan sebuah kepala melongok keluar. Bukan main kagetnya Kiyai Wahab. Ternyata orang itu adalah... Kiyai Bisri! Gurunya sendiri!

"Sudah jadi kiyai punya pondok kok santrinya ditinggal polangan wedhus", kata Kiyai Bisri, "pulang sana!"

Legenda Kiyai Alhamdulillah: Mengenang Mbah Kiyai Ahmad Syahid Kemadu

Kyai Ahmad Syahid Sholihun, Kemadu
Kyai Ahmad Syahid Sholihun, Kemadu
Demak tergolong daerah kering. Bahkan air untuk kebutuhan sehari-hari pun bukan perkara mudah. Tidak heran, warga kemudian memanfaatkan kanal irigasi sepanjang tepian jalan raya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka akan air. Kalau kau bepergian melewati kawasan itu, akan kau lihat di tepi sebelah Utara jalan orang-orang sibuk dengan bermacam kegiatan di kanal, mulai dari buang hajat sampai dengan mencuci beras sebelum ditanak.
Seusai mengikuti suatu kegiatan Nahdlatul Ulama di Semarang, rombongan kyai Rembang dalam satu mobil dalam perjalanan pulang. Diantara mereka adalah Mbah Kyai Ahmad Syahid bin Sholihun rahimahullah dari Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang.
Melewati wilayah Demak yang jalanannya senantiasa dalam kondisi buruk, mobil itu tak dapat melaju kencang. Tiba-tiba dari dalam air kanal di pinggir jalan itu menyembul sesosok (untungnya!) laki-laki tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya. Dengan penuh percaya diri, laki-laki itu mendaki keatas tebing sembari menggenggam erat pusat rasa malunya —seolah-olah jika yang itu tertutup berarti seluruh bagian tubuh sisanya pun tak kelihatan.
Terang saja pemandangan tak senonoh itu menghujam penglihatan para kyai. Lumrah bila beliau-beliau terperanjat bukan kepalang.
“Astaghfirullah!” Kyai Mabrur berseru.
“Maa syaa-allaah!” Kyai Wahab.
“Laa ilaaha illallaah!” Kyai Tamam.
“Subhaanallaah!” Kyai Sahlan.
Dan Mbah Syahid?
“Al… ham… dulillaaaah…”
* * * * *
Selain merupakan dzikir yang dibiasakan, “alhamdulillah” bagi Mbah Syahid adalahkredo. Segala yang terjadi adalah kehendak dan karya Allah: “maa syaa-allaahu kaana wa maa lam yasya lam yakun”. Dan dalam setiap kehendak dan karya-Nya, hanya pujianlah yang patut bagi Allah. Selama saya mengenal Mbah Syahid —ingatan terjauh saya adalah ketika masih kanak-kanak antara 5-6 tahun diajak kakek saya berkunjung ke kediaman beliau dan saya mengejar-ngejar seekor menthog yang oleh Mbah Syahid kemudian dihadiahkan kepada saya— belum pernah saya mendengar beliau nyebutselain “alhamdulillah”.
Ada orang mengabarkan lahir anaknya,
“Alhamdulillah”.
Orang menceritakan laku sapinya,
“Alhamdulillah”.
Orang wadul sakit isterinya,
“Alhamdulillah”.
Orang meninggal bapaknya,
“Alhamdulillah”.
Seolah tak ada dzikir yang patut selain “alhamdulillah”.
Sejauh bentang ingatan saya, entah sejak kapan, Mbah Syahid dijuluki orang “Kyai Alhamdulillah”. Pesantrennya yang tanpa papan nama —dan memang tak pernah diberi nama— disebut-sebut orang “Pesantren Alhamdulillah”.
Hari ini, lima tahun yang lalu, tepat sebelas hari setelah meninggalnya Kyai Kholil Bisri, Mbah Syahid kembali kepada Kekasihnya. Lahumal faatihah….

sumber : http://teronggosong.com/

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate