TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Peringatan

Mbah Jauhari - Mbah Abdullah Salam
Mbah Jauhari – Mbah Abdullah Salam
Nikmat Tuhan yang luar biasa royal dan nyaris tak masuk akal adalah ketika orang mengasihimu dengan cinta yang teramat besar dan tulus padahal selama ini engkau kurang memperhatikan atau bahkan tidak memperdulikan keberadaannya.
Siapa yang kenal Mbah Jauhari Pamotan? Di Rembang dan sekitarnya, beliau tidak termasuk kyai yang masyhur. Menghabiskan umur untuk menunggui beberapa gelintir santri di pesantren kecilnya dan menyabari madrasah diniyyah yang gara-gara kejahatan sisdiknas murid-muridnya jadi cenderung malas masuk. Tak terlalu sering beliau diundang ke pengajian-pengajian umum. Itu pun biasanya hanya diminta memimpin tahlil dan doa, bukannya ceramah.
Walaupun akrab dengan ayahku, beliau tidak masuk dalam orbit kehidupan rutinku yang cenderung kosmopolit. Hanya kadang-kadang saja kami bertemu di tempat pengajian atau hajatan. Begitu renggangnya jarak pergaulan — dan kebangetan malasku akan silaturrahmi — sampai-sampai nama beliau saja timbul-tenggelam di ingatanku.
Pagi tadi tiba-tiba beliau muncul di ruang tamuku. Bahwa aku menyambutnya dengansemanak, itu soal latihan. Tapi hatiku kurang terlibat karena hubungan yang kurang akrab.
“Paling-paling mau ngundang pengajian”, pikirku.
Tapi dugaanku salah. Setelah berulang kali — nyaris seperti budak mohon ampun kepada tuannya — minta maaf karena telah mengganggu waktu istirahatku, beliau malah menceritakan kisah hidupnya sendiri.
“Dulu saya pernah mengerahkan modal habis-habisan untuk beternak ayam”, katanya, “lalu saya sowan Mbah Dullah Salam — Kyai Abdullah Salam Kajen — untuk mohon pangestu…”, beliau membuat jeda sesaat, “…tapi salah saya, waktu itu saya maturdengan hati yang mengandung kemaki (puas diri, besar kepala)… yah… namanya kemaki itu memang tidak baik ya…”
“Mohon pangestu, Mbah”, beliau mengisahkan ungkapannya saat bertemu Mbah Dullah, “saya ini sedang mulai beternak ayam. Itu kan pekerjaan yang enak, Mbah. Tak perlu berdandan rapi. Cukup sarungan gedodar-gedodor sambil mengajar santri-santri, sudah bisa dilakoni”.
Di hadapan Mbah Dullah ada sebotol kecil minyak angin yang kemudian diraih oleh empunya dan diendus-enduskan ke hidung sambil dihisap dalam-dalam beberapa kali.
“Yah… baguslah itu…”, kata Mbah Dullah, “Tapi gimana ya, ‘Ri… anak-anak kecil begitu nggak ada bapak-ibunya kok rasanya kasihan juga ya…”
Mbah Jauhari kurang mengerti maksud kata-kata Mbah Dullah dan kurang memperhatikannya.
Baru belakangan beliau menyadari ketika ayam-ayamnya tumpas oleh penyakit. Beliau bangkrut hingga harus menjual sawah untuk menutup hutang.
“Rupanya yang dimaksud Mbah Dullah dengan ‘anak-anak kecil’ itu kuthuk-kuthukyang saya tetaskan tanpa babon dan jago…”, Mbah Jauhari menerawang.
Sesudah itu Mbah Jauhari kerja serabutan, dagang ini-itu sehingga harus kerap-kali pergi ke kota-kota besar yang jauh. Tapi pada kesempatan sowan berikutnya, Mbah Dullah memarahinya,
“Tidak usah kelayapan begitu! Di rumah saja nungguin santri. Nanti kan Gusti Allah Sendiri yang mencukupi!”
Mbah Jauhari pun menurut. Menghentikan wira-wiri dan menyabar-nyabarkan diri menunggui santri.
“Yah… alhamdulillah cukup… yah… secukup-cukupnya orang desa…”, katanya, sedikit pun tanpa nada penyesalan.
Kemudian beliau mengijazahkan amalan dari Mbah Hambali Kajen agar santri-santri kerasan dan dari Mbah Manshur Lasem agar anak-anak dikaruniai futuh ilmu. Hatiku serasa diaduk-aduk rasa haru. Semua yang beliau tuturkan itu menyinari remang jalan yang selama bertahun-tahun ini kurayapi dengan gamang.
Tapi aku cukup berpengalaman dengan kekasih-kekasih Tuhan. Mereka biasanya kurang suka kalau kita terlalu memperlihatkan husnudhdhon kita kepada mereka. Maka aku membiarkan Mbah Jauhari pamit dan melepas kepergiannya dengan biasa-biasa saja.

Yahya Cholil Staquf
Pernah menjadi Juru Bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat ini sebagai Katib Syuriah PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.

Amplop Mbah Syakur

Di dalam mobil menuju pulang, Mbah Syakur menimang-nimang amplop bagiannya.
“Kayaknya kok terlalu banyak ini, Dik…”, Mbah Syakur bergumam serius — beliau memanggil Mbah Jauhari dengan “Dik”, sebutan untuk yang lebih muda — masih menimang-nimang amplopnya, “… Apa baiknya kukembalikan saja ya…?”
Mbah Jauhari memicing-micingkan mata dalam keremangan, berusaha mengamati raut muka Mbah Syakur. Tak ia temukan sama-sekali tanda-tanda bercanda. Mbah Syakur memang nyaris senantiasa serius secara istiqomah. Begitu pun saat itu.
“Menurutmu gimana, Dik?” Mbah Syakur mengulangi pertanyaannya karena tidak segera dijawab.
Mbah Jauhari menghela napas dan menghembuskannya seperti orang sial yang tak berdaya.
“Kalau njenengan kembalikan, itu namanya nyiksa kyai-kyai sekelas saya ini, Yi!” katanya.
“Kok bisa?” Mbah Syakur tak mengerti.
“Lha iya… Kalau njenengan kembalikan, lantas orang-orang menjadikannya pedoman gimana?”
“Pedoman apa?”
“Bisa-bisa mereka menganggap bahwa ngasih amplop kepada kyai itu tidak baik, wong njenengan nggak mau”.
“Memangnya kalau gitu kenapa?”
“Buat njenengan sih nggak apa-apa… wong njenengan sudah kelas kyai tajrid,” (tajriditu artinya melepaskan diri dari ketergantungan duniawi, -pen.) “lha kayak saya ini masih kelas kyai njerit je!”
Mbah Syakur cuma mesem, tapi setuju membawa pulang amplopnya.
Sampai di rumah, saat turun dari mobil, Mbah Syakur tampak kerepotan membawa rokok yang dua slop itu.
“Lha rokok ini buat apa?” katanya, “wong aku nggak doyan rokok…”
Beliau mikir-mikir sejurus,
“Ya sudah! Buat kamu saja, Dik!” beliau mengangsurkan rokok kepada Mbah Jauhari. Yang menerima tersenyum lebar sekali,
“Lha mbok gitu! Kan ya tetap manfaat to, Yi!”

al-Junaid al-Baghdadi

Beliau adalah al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Memiliki kunyah Abu al-Qasim. Ayah beliau adalah seorang penjual kaca, karenanya gelar beliau “al-Qawariri” adalah disandarkan kepada profesi ayahnya tersebut. Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak.
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sirri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyyah.
Al-Junaid salah seorang sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islam.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan–, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku” .
Muhammad Ibn Abdullah ar-Razi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita mengambilnya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allah yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasulullah: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…” .
Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasulullah dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allah selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.
Juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasulullah maka orang tersebut jangat diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah” .
Sikap wara’, zuhud, takwa, tawadlu’ dan kuat dalam ibadah sudah barang tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak empat ratus raka’at. Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak tiga ratus raka’at dan tiga puluh ribu kali bacaan tasbîh.
Banyak sekali karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya, suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir berkata: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits:
اتّقُوْا فَرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإنّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah”. (Artinya panglihatan seorang mukmin yang saleh memiliki kekuatan).
Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, masuk Islamlah engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islam”. Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islam.
Abu ‘Amr ibn ‘Ulwan berkata: “Suatu hari aku pergi ke pasar Rahbah untuk suatu keperluan. Setelah sampai di pasar tiba-tiba tanpa sengaja mataku tertuju kepada seorang perempuan cantik. Aku memalingkan muka sambil mengucap istighfâr. Namun lagi-lagi mataku tertuju kepadanya. Setibanya aku di rumah, seorang nenek berkata kepadaku: “Wahai tuan, apa yang menyebabkan wajahmu menjadi hitam?”. Aku mengambil cermin, dan benar ternyata wajahku berubah menjadi hitam. Lalu aku berdiam diri di rumahku selama empat puluh hari meminta ampun kepada Allah. Setelah empat puluh hari tiba-tiba hatiku berkata: “Kunjungilah gurumu; al-Junaid”. Maka aku bergegas menuju kota Baghdad. Setelah sampai di rumah al-Junaid aku mengetuk pintu, tiba-tiba al-Junaid datang membukakan pintu sambil berkata: “Masuklah wahai Abu ‘Amr, engkau berbuat dosa di Rahbah dan kita minta ampun kepada Allah di Baghdad” .
Ali ibn Muhammad al-Hulwani berkata: Berkata kepadaku Khair an-Nassaj: “Suatu hari aku sedang duduk di rumahku. Tiba-tiba hatiku memiliki prasangka bahwa al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Tapi aku berfikir mungkin ini hanya prakiraan saja. Namun dalam hatiku prasangka tersebut timbul kembali bahwa memang al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Sekali lagi aku berfikir mungkin itu hanya prakiraan saja. Lagi-lagi prasangka dalam hatiku tersebut datang kembali, ini berulang hingga tiga kali. Lalu aku berdiri menuju pintu untuk membukanya, dan ternyata benar al-Junaid sedang berdiri di sana, seraya berkata kepadaku: “Wahai Khair, semestinya engkau membukakan pintu dengan prasangkamu yang pertama” .
Al-Junaid wafat hari Jum’at tahun 297 Hijiriah atau 910 Masehi. Abu Bakr al-‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abu Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah setelah sebelumnya telah mangkhatamkan bacaan al-Qur’an seluruhnya.
Amaddanâ Allâh Min Amdâdih.

Kosmologi Puitik Fariduddin Attar


“Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah, tanpa suara. Perdengarkan madah ratapmu yang timbul karena luka dan kepedihan cinta. Hingga kau pun melihat mataair nurani yang tercelup di lautan cahaya, sementara kau tinggal di sumur kegelapan dan penjara ketakpastian. Kau terikat pada tubuh dunia ini, dan dari semesta dunia, kini dan nanti. Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau takkan ada lagi.” (Fariduddin Attar, The Conference of the Birds).

Attar, si penebar wangi dari Nisyapur ini, memang lahir dan hidup sebagai sang pengoreksi, seorang penyair dan pencari yang mendapatkan dirinya dalam keterbatasan, sekaligus menemukan kekayaannya dalam kesunyian dan pengembaraan. Bersama Sa’adi, ia dikenal sebagai penggubah lagu-lagu harpa dan rebana yang indah, misalnya:

“Bagaimana mengukur bulan dari ikan? Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari, namun hanya ratap dan keluh saja yang kudengar. Tak adakah Dawud yang malang tempat aku menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan?”

Wajar, jika kemudian Jalaluddin Rumi, yang dijuluki sebagai mahkota-nya para penyair sufi itu, berkata tentang Attar berikut ini: “Jika aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa.” Dalam lagu-lagu rebananya Attar, manusia senantiasa berada dalam kerentanan, bahkan dapat dikatakan iman itu sendiri tak luput dari keraguan, sebagaimana telah dicontohkan lagu-lagunya itu.

Suatu kali, ia pun pernah melontarkan semacan sindiran kepada mereka yang kurang bersimpati dan merenung dengan hikmat demi memahami hidup, sebentuk satir kepada kaum dogmatis, sekaligus bentuk renungan Attar sendiri: “Orang-orang yang beriman dan tidak beriman sama-sama bermandi darah.”

Apa yang dilontarkan Attar tersebut tentulah tidak lahir dari kekosongan atau pun kedangkalan perspektif. Attar bermaksud mengoreksi setiap bentuk dogmatisme yang malah akan membuat hati dan mata kita buta pada manifestasi cinta Tuhan di dalam hidup, rahasia-Nya yang acapkali tak mungkin dipahami: “Apa yang akan kukatakan selanjutnya, karena tak ada lagi yang mesti kukatakan, dan tak ada pula setangkai mawar pun yang tinggal dalam semak.”

Bahkan, dengan kerendahan hati dan gaya meditatifnya yang khas musikal itu, ia pun meneruskan: “Betapa aku si dungu, akankah sampai pada hakikat, dan kalau pun dapat, bagaimana aku akan bisa masuk lewat pintu itu?” Ini hanya contoh kecil yang dapat kita jadikan rujukan bahwa ada kualitas seorang filsuf dalam diri seorang penyair sufi bernama Fariduddin Attar.

Dengan nada lagu rebananya itu, sebenarnya, sesekali ia juga ingin mengkritik kaum normative-dogmatis yang terlampau verbal dalam memahami agama dan wujud kebesaran Tuhan. Ia juga hendak menyindir kaum kalamiyyun, alias para teolog, yang terlampau dogmatis pada logika, lalu terjebak dalam lingkaran bahasa dan tafsir, dan kemudian menjadikan simpulan bahasa dan tafsir itu sebagai hakikat: “Tak seorang pun yang sungguh tahu hakikat, tanyakan pada siapa saja sesukamu,” demikian Attar melempar polemik khasnya.

Attar juga sebenarnya sedang menerangkan di mana posisi seorang penyair, utamanya seorang darwis pencari. Tentang apa yang tak dapat dinarasikan dengan prosa-argumentatif yang deskriptif, memang hanya dapat diutarakan lewat sajak. Hal itu bukan karena sebuah puisi atau sajak kelewat angkuh untuk menggunakan narasi dan tuturan yang lazim dan biasa. Namun karena puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu yang terlampau panjang tapi pada saat yang sama juga teramat singkat.

Dari gaya meditatif Attar, kita dapat belajar bahwa ketika sebuah puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu secara naratif dan sistematik sebagaimana prosa pada umumnya, maka sebuah sajak atau puisi hanya akan kehilangan fungsinya sebagai pembangun dan pembentuk “dunia wawasan”.

Secara kiasi, Attar juga memang hendak menyatakan bahwa puisi memang kontradiksi itu sendiri. Ia mengatakan tentang banyak hal, tapi pada saat yang sama juga ia mendapatkan dirinya pada keharusannya untuk tidak menarasikannya secara prosaik dalam arti yang lazim dan normatif alias biasa saja. Sebuah puisi atau sajak memang hendak mengatakan banyak hal dengan cara singkat dan padat. Yang dengan itu, sebuah puisi atau sajak akan menjelma sebagai dunia dan wawasan yang terus memancarkan air dan cahaya.

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate