Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang kemudian terkenal dengan nama Imam asy-Syafi’i adalah pendiri dan pemimpin Mazhab Syafi’i dan Imam ketiga dalam mazhab Ahlusunnah. Nasab beliau sampai kepada Hasyim bin Abdul Muthalib kemenakan dari Hasyim bin ‘Abdu Manaf yang dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin Saib yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw.
Kebanyakan
 ahli sejarah mencatat bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza, 
Palestina, namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir di 
Asqalan. Ada juga yang mengatakan Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H di
 Yaman dimana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Ahlusunnah yang bernama Imam Abu Hanifah.
Sejak kecil Syafi’i telah
 kehilangan ayahnya. Kala itu beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya 
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan serba kekurangan. Imam 
Syafi’i mempelajari fikih dan hadis ketika di Mekkah dan untuk beberapa 
waktu beliau juga belajar syair, sastra bahasa (lughat)
 dan nahwu di Yaman. Sampai pada suatu waktu atas saran Mus’ab bin 
Abdullah bin Zubair, beliau pergi ke Madinah untuk menekuni ilmu hadis 
dan fikih. Diusianya yang relatif muda (sekitar 20 tahunan), beliau 
telah belajar kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.
Imam
 Syafi’i menuturkan masa lalunya seperti ini: Sewaktu saya belajar, guru
 saya mengajarkan kepada saya tentang Al-Qur’an dan saya pun 
menghafalnya. Saya ingat waktu itu guru saya pernah berkata: ‘Tidak 
halal bagi saya sekiranya mengambil imbalan dari kamu.” Dengan alasan 
tersebut, akhirnya saya meninggalkan guru tersebut. Sejak itu saya 
mengumpulkan potongan tembikar, kulit dan pelepah kurma yang agak besar 
sebagai sarana yang saya pakai untuk menuliskan hadis. Akhirnya, saya 
pergi ke Mekkah. Aku tinggal bersama kabilah Hudail yang terkenal dengan
 kefasihannya selama 17 tahun. Setiap kali mereka berpindah dari satu 
tempat ke tempat lain, aku pun mengikuti jejak mereka. Saat aku pulang 
ke Mekkah, aku telah menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Waktu itu 
aku bertemu dengan salah seorang pengikut Zubair lalu salah seorang dari
 mereka berkata kepadaku: “Sangat berat bagiku melihat Anda yang begitu 
jenius dan fasih namun Anda tidak mempelajari fikih.” Tak lama setelah 
itu, mereka membawaku ke tempat Imam Malik. 
Saya
 telah memiliki buku “Al-Muwatho’” Imam Malik dan cuma dalam waktu 
sembilan hari aku telah mempelajarinya. Kemudian saya pergi ke Madinah 
untuk belajar dan menghadiri majlis taklim Imam Malik.”
Imam
 Syafi’i tetap tinggal di kota Madinah sampai saat wafatnya Malik bin 
Anas. Kemudian beliau pergi ke Yaman dan beliau menghabiskan 
aktivitasnya di sana. Penguasa Yaman pada waktu itu seorang yang zalim 
dan bekerja sama dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid, Khalifah 
Abassiyah. Dalam kondisi seperti itu, penguasa menangkap Imam Syafi’i 
dengan alasan dikhawatirkan beliau akan memberontak bersama Alawiyyin 
(keturunan Ali bin Abi Thalib) lalu beliau dibawa kepada Harun 
ar-Rasyid, tetapi Harun ar-Rasyid membebaskannya.
Muhammad
 bin Idris untuk beberapa waktu pergi ke Mesir dan kemudian pada tahun 
195 H beliau mendatangi Bagdad dan mengajar disana. Setelah dua tahun 
tinggal di Bagdad, beliau kembali ke Mekkah. Tak lama setelah itu, 
beliau pergi lagi ke kota Bagdad dan dalam waktu yang cukup singkat 
tinggal di Bagdad. Pada tahun 200 H di penghujung bulan Rajab di usia 54
 tahun beliau meninggal dunia di Mesir. Tempat pemakamannya di Bani 
Abdul Hakam berdekatan dengan makamnya para syuhada dan menjadi tempat 
ziarah kaum Muslimin, khususnya kalangan Ahlusunnah. 
Salah satu murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.
Karya-karya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki banyak sekali karya berharga, di antaranya adalah:
Imam Syafi’i memiliki banyak sekali karya berharga, di antaranya adalah:
1. Al-Umm
2. Musnad as-Syafi’i
3. As-Sunnan
4. Kitab Thaharah
5. Kitab Istiqbal Qiblah
6. Kitab Ijab al-jum’ah
7. Sholatul ‘Idain
8. Sholatul Khusuf
9. Manasik al Kabir
10. Kitab Risalah Jadid
11. Kitab Ikhtilaf Hadist
12. Kitab Syahadat
13. Kitab Dhahaya
14. Kitab Kasril Ard 
Berhubung pusat pengajaran beliau berada di kota Bagdad dan Kairo, maka melalui dua kota tersebut secara perlahan Mazhab Syafi’i disebarkan oleh murid-muridnya ke negeri-negeri Islam lainnya, seperti Syam, Khurasan dan Mawara’u Nahr. Tetapi pada abad ke-5 dan ke-6 terjadi konflik keras antara para pengikut Syafi’i dan pengikut Hanafi di Bagdad dan juga pengikut Syafi’i dan Hanafi di Isfahan. Begitu juga para pengikut Syafi’i sempat bentrok dengan dengan para pengikut Syiah dan Hanafi pada zaman Yaqut dimana setelah itu mereka menguasai kota Rei.
Mazhab
 Syafi’i lebih dikenal dengan perpanduan antara ahli qiyas dan ahli 
hadis. Mazhab Syafi’i sekarang tersebar di Mesir, Afrika Timur, Afrika 
Selatan, Arab Saudi bagian Barat dan Selatan, Indonesia, sebagian dari 
Palestina dan sebagian dari Asia Tengah, khususnya kawasan Kurdistan. 
Di
 antara ulama-ulama pengikut Mazhab Syafi’i yang terkenal adalah: 
Nasai’, Abu Hasan Asy’ari, Abu Ishaq Shirazi, Imamul Haramain, Abu Hamid
 Ghazali, dan Imam Rafi’i.
Kata-Kata terakhir Imam Syafi'i Rahimahumullah Sebelum Wafat
Imam Al-Muzani sahabat Imam Asy Syafi’i berkata : ” saya menjenguk 
Imam Asy Syafi’i saat beliau sakit yang menjelang wafatnya,kemudian saya
 bertanya kepadanya  :
”Wahai Abu Abdillah,bagaimana keadaanmu? “,beliau mengangkat kepalanya,lantas berkata:
” Aku akan pergi dari dunia ,berpisah dengan sahabat sahabatku dan bertemu dengan kejelekan amalku,kemudian aku akan menghadap Allah,aku tidak tahu apakah ruh ku akan menuju surga lalu kuucapkan kata selamat padanya,ataukah keneraka lalu aku menolaknya “,
Setelah berkata demikian, Beliau menangis sambil melantunkan bait-bait syair berikut:
”Wahai Abu Abdillah,bagaimana keadaanmu? “,beliau mengangkat kepalanya,lantas berkata:
” Aku akan pergi dari dunia ,berpisah dengan sahabat sahabatku dan bertemu dengan kejelekan amalku,kemudian aku akan menghadap Allah,aku tidak tahu apakah ruh ku akan menuju surga lalu kuucapkan kata selamat padanya,ataukah keneraka lalu aku menolaknya “,
Setelah berkata demikian, Beliau menangis sambil melantunkan bait-bait syair berikut:
Sumber
“Kala hatiku mengeras dan jalanku mulai menyempitAku hanya bisa mengharap titihan ampunan-MuDosa-dosaku amat besar, namun jika aku bandingkanDengan ampunan-Mu, ya Robb, ampunan-Mu jauh lebih besarEngkau Senantiasa melimpahkan ampunan atas segala dosaDan Engkau tiada pernah bosan memberi ampunan.”
(Sifat Ash-Shofwah, 3/146)

No comments:
Post a Comment