Dalam Konsep Fana, Baqa’ dan Ittihad-nya
Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu terma penting dan menarik dalam Islam. Istilah “tasawuf” (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, sarat dengan beraneka ragam arti. Banyak pendapat tentang arti dan maknanya. Ada yang berpendapat, kata Tasawuf berasal dari shafa yang berarti kesucian. Ada yang pendapat lain yang mengatakan, kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci.[1]
Berbicara tentang tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang biasanya dipanggil dengan sufi. Tokoh-tokoh tasawuf masing-masing memiliki gagasan dan ide-ide yang bermacam-macam. Ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma’rifah (Ghazali), ada pula yang mengajarkan wihdah al-Wujud (Ibnu ‘Arabi) dan lain-lain.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al-Bustami dengan ajarannyafana dan baqa’ serta ittihad. Sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad, fana dan baqa’ dalam tasawuf, Abu Yazid al-Bustami adalah salah satu tokoh yang memberikan warna baru tasawuf dengan statemen-statemenya yang berani tapi menuai kontaversi dari berbagai pihak.[2]
Ittihad sebagai ajaran tasawuf beliau mempunyai arti bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Fana artinya hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Baqa’ artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat pengiring proses fana dalam proses untuk mencapai ma’rifah.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.[3] Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan.[4] Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya. [5]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhis setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku. Dalam menjalani kehidupanzuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali. [6]
Abu Yazid Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sultan Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di silsilah dalam thariqah Sadziliyah, Thariqah Suhrawardiyah dan beberapa thariqah lain.
Syatahat Abu Yazid Al-Bustami
Pengertian Syatahat
Secara kebahasan perkatan syathahat[7] berasal dari kata kerja syathaha yang berarti taharraka, yakni gerak atau tergerak.
Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya.
Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
Menurut Prof DR Abdurrahman Badawi, ada beberapa kondisi emosi dan spiritual para sufi yang mendorongsyathahat:
1. emosi dan spiritual yang sangat begejolak.
2. pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.
3. Sufi yang mengalami syathahat dalam keadaan sakr (mabuk).
4. di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.
5. Semuanya berjalan dalam keadaan Sufi tidak menyadari perasaannya[8]
Adapun pengalaman syathahat seperti yang dialami oleh Abu Yazid al-Busthami yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang nyeleneh (syathhiyyat atau syathahat) yaitu subhani (tak berarti lain kecualisubhanallah) karena ia telah mengalami keluruhan diri kemanusiaannya (fana) dan baqa. Dan contoh darisyathahat adalah seperti yang dialami olehnya.
Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berhasil mengumpulkan celotehan mistis (syathahat al-shafiyyah) versi Abu Yazid al-Basthami, di antaranya ‘Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim Muhammad Abbas.Celotehan mistisnya hampir senada dengan al-Hallaj. Karena itu, keduanya dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung ide pantheistik dan menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami berceloteh, Mahasuci diriku, maha agung diriku! Qasim Muhammad Abbas dalam buku, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, mengatakan bahwa, Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan.[9] Ia mengatakan bahwa, Apa pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat dijelaskan dengan penuh keberanian. Seeprti ia mengatakan ”maha suci diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa besar keagunganku” . Dan paling menonjol lagi ”aku adalah Tuhan yang paling tinggi”. Sekarangsubhani, Yang Agung jadilah aku, terkesan menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim.[10]
Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir, menyadari betul bahwa ujaran aforisma sufistik (syath) tidak bisa didekati secara gegabah dan literalis. Bahasa aforisma tidak muncul dari bahasa yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia adalah anti-tesa dari berpikir identitas. Namun ia adalah bahasa yang hadir meski sejenak untuk mewakili bahasa pengalaman spiritual, yang pada tataran yang lebih dalam, tidak bisa diwakili sepenuhnya. Menjangkau fenomena atau cakrawala yang selalu menjauh, tapi ia hadir di dalam dan bersama diri kita. Karena itu, Abdul al-Wahab al-Syarani menyikapi bahasa aforisma al-Bastami dan para sufi yang lain dengan sebuah takwil. Al-Syarani relatif berhasil dengan takwilnya membuktikan bahwa ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari koredor dan nilai-nilai Syariah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Salah satu takwilnya adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany ”maha suci diriku”[11]
Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah berkata: subhanallah (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: apakah diriku ada aib (cacat) dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya? Abu Yazid berkata: tidak, wahai Tuhan. Al-Haq berkata: maka sucikanlah dirimu sendiri. Abu Yazid berkata: diriku telah menerima latihan spiritual (riadlah) sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: (maha suci diriku).
Abu Yazid al-Bastami mengucapkan (maha suci diriku) dalam konteks pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan caat sebagaimana lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.
Berikut penulis kutipkan sebagian pendapat al-Basthami, yang telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliya’; Makhluk adalah subyek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak memiliki keadaan, karena sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan esensi dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya pun musnah dalam jejak orang lain.
Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan cerminku. Dan kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri. Aku adalah aku, dan tidak lebih, sehingga kehadiran ‘Aku dan Tuhan’ hanya akan merusakkan kesatuan (keesaan) Tuhan. Karena itu cukup dengan aku saja, maka al-Haq yang tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi cerminku, karena dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana.[12]
Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami
1. Fana dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniyayang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya : “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[13] Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : “Permulan adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah.(Tetap dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.Akhirnya beliau berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”.
Kata-kata yang demikian dinamai oleh syatahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.[14] Pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya; Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Tuhan menjawab: “Tinggalkanlah dirimu dan datanglah”. Peninggalan Abu Yazid adalah menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitarnya untuk dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses ini disebut juga dengan at-Tajrid atau al-fana’ bittauhid.
Ucapan-ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana’ antara lain : “Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayait(u).
Kehancuran (fana’) dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma’rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.[15]
Di samping itu, Abu Yazid pernah berkata “Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.” Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[16]
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya “Hai Aku.” Ia berkata kepadaku, “Engkaulah Yang Satu.” Aku menjawab, “Akulah Yang Satu.” Ia berkata lagi, “Engkau adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah Aku.”
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai Aku Yang Satu” bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selainAku, maka sembahlah Aku.”[17]
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, “Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah.” Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pahamfana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[18]
2. Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[19]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.[20] Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.[21]
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihaddengan Tuhan.[22] Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.[23]
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami. Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.[24]
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur sedangkan baqa’ berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.[25]
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.[26]
Jadi fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi,ketika ia tentang diri dan lingkunganya lenyap. Sedangkan baqo`adalah keadaan spiritual seorang sufi ketika hijab antara diriny dengan Allah tersingkap.dandisini terjadi apa yang di namakan dengan mukasyafah (menyaksikan keagungan Allah), musyahadah (mengenalnya secara langsung), ma`rifah (terpesona oleh keindahan wajah Allah hingga merasa kekal bersamanya). Fana` dan baqa` merupakan ahwal bukan maqam jadi datang dan pergi semata karena pemberian Allah.
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut :
“Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.”[27]
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.[28]
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[29] Padahal Abu Yazid tidaklah seorang musrik atau kafir, akan tetapi ia adalah seorang wali Allah.
Penutup
Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu, Abu Yazid Al Bustami seorang tokoh sufi yang sangat zuhud dan dekat kepada Allah, yang mampu mengklai kedekatannya dengan Allah dengan statemen yang menyetarakan dirinya dengan Allah. Pokok-pokok ajaran tasawufnya adalah fana dan baqa’. Fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Selai itu adalah Ittihad. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.
Dalam memahami konsep tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبØاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.
Demikianlah seorang Abu Yazid al-Bustami menggagas konsep tasawufnya. Walaupun bagi sebagian kalangan dikatakan berlebihan, namun apa yang telah ia capai seperti kesucian dan pengabdian yang tinggi kepada Allah, hendaknya dijadikan cerminan bagi umat Islam untuk tetap menjaga kesucian, dan memperjuangkan kedekatan kepada Allah.
[1]Tentang makna dan arti kata tasawuf, bisa kita dapatkan dalam literature tasawuf Mu’tabar diantaranya adalah Karangan Syekh Abdurrahman As-Sulami yang berjudul al-Muqaddimah fi at-Tawawwuf. Lihat Syekh Abdurrahman As-Sulami, al-Muqaddimah fi at-Tawawwuf, (Beirut: Dar al-Jail) 1999.
[2]Qasim Muhammad Abbas, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 4
[3] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128.
[4] Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya” , ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Lihat, Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128
[5] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 129
[6] M.M. syarif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966, vol.1, hlm. 342.
[7] Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Lihat Badawi, Abdurrahman,Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 24
[8] Badawi, Abdurrahman, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 25
[9] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 43
[10] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 41
[11] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 44
[12] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 45
[13] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960, hlm. 147
[14] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993, hlm. 94 – 95.
[15] Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, jakarta: PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 58
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 59
[18] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 132.
[19] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 79.
[20] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 82
[21] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[22] van Hoeve, Enseklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 263
[23] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 87
[24] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 51
[25] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 50
[26] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal.52
[27] Enseklopedi Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama, 1993, hlm. 263.
[28] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 57
[29] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit, hlm. 135.
sumber : http://mhannase.wordpress.com/2013/08/23/ajaran-tasawwuf-abu-yazid-al-bustami/