Biografi
Singkat
Nama
lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin Manshur al ‘Ijli. Ia lahir di
Balkh,
sebelah Timur Khurasan, karenanya ia dikenal pula dengan nama Abu Ishaq
al-Balkhi. Menurut catatan para ahli, seperti al-Bukhari (w. 870 M), ia
merupakan keturunan kedua dari Umar bin Khattab, karenanya ia dikenal
juga
sebagai al-Tamimy. Ia meninggal tahun 162 H (777/8 M) dan dimakamkan di
Jabala, Suriah. Ia adalah murid dari Fudhail bin Iyad, yang merupakan
murid dari Abdul Wahid bin Zaid (murid dari Hasan al-Bashri). Salah satu
murid Ibrahim bin Adham adalah Hudzaifah al-Mar'ashi.
Mungkin
tidak ada yang banyak mengenal bahwa beliau adalah seorang pangeran dari
Balakh. Seorang pangeran kaya raya dengan istananya yang megah gemilang.
Kemegahannya saat itu belum ada
yang menandinginya. Meskipun
hidup bergelimang harta dan kekuasaan tidak membuat hati beliau lalai. Bahkan
beliau terkenal sebagai orang yang taat beribadah dan sangat penyantun terhadap
sesama terlebih kepada orang-orang miskin di negerinya. Setiap Jum’at
dikumpulkan para fakir miskin di depan istananya dan ditaburkannya uang dirham
ke halaman istana. Ia juga gemar memberi hadiah bagi orang-orang yang dianggap
berjasa serta memberi zakat dan shadaqah jariyah pada hari-hari tertentu.
Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah
duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya kehairanan dan bertanya,
“Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?” “Aku pernah
melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara
dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan
tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”
Perihal Kematian Hati Manusia
Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang
zuhud dan wara', ditanya tentang firman Allah ta'ala yang artinya, "Berdoa'alah
kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan do'a kalian." (QS. Ghafir: 60).
Mereka mengatakan, "kami telah berdoa kepada-Nya namun belum juga
dikabulkan". Lalu beliau menjawab, "Karena hatimu telah mati dengan
sebab sepuluh perkara...
- Kamu telah mengenal Allah tetapi kamu tidak menunaikan
hak-hak-Nya.
- Kamu telah membaca kitab Allah tetapi kamu tidak
mengamalkannya.
- Kamu mengatakan bermusuhan dengan syaitan, tetapi
kenyataannya kamu setia dengannya.
- Kamu mengaku cinta Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam tetapi kamu meninggalkan sunnah-sunnah-Nya.
- Kamu mengaku cinta surga, namun kamu tidak melakukan
amalan-amalan ahli surga.
- Kamu mengaku takut neraka, tetapi kamu tidak mau
meninggalkan perbuatan dosa.
- Kamu mengatakan bahwa kematian itu adalah benar adanya,
tetapi kamu tidak bersiap-siap untuk kematian itu.
- Kamu sibuk mencari aib orang lain sedang aibmu sendiri
tidak kamu perhatikan.
- Kamu telah makan dari rizki-Nya namun kamu tidak pernah
bersyukur kepada-Nya.
- Kamu sering mengubur orang mati, tetapi kamu tidak
pernah mengambil pelajaran darinya.
Ada seorang yang datang kepada Ibrahim
bin Adham rahimahullah lalu berkata kepadanya, "Wahai Abu Ishak!
Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku, maka tunjukkanlah kepadaku
sesuatu yang dapat menahan dan menyelamatkanku". Lalu Ibrahim berkata,
"Jika Anda menerima lima hal dan mampu untuk melakukannya, maka tidak
apa-apa Anda berbuat maksiat." Ia berkata,"Tunjukkanlah, wahai Abu
Ishak!" Beliau menjawab,"Yang pertama, jika Anda ingin berbuat
maksiat kepada Allah, maka jangalah makan (dari) rizki-Nya." Ia
berkata,"Darimana aku makan? Sementara semua yang ada di bumi adalah
rizki-Nya?."
Ibrahim berkata, "Wahai fulan,
pantaskah Anda memakan rizki-Nya sedang Anda berbuat maksiat kepada-Nya?."
Ia menjawab, "Tidak (pantas), lalu tunjukkanlah yang kedua." Ibrahim
berkata, "Jika Anda ingin berbuat maksiat kepada-Nya, maka janganlah
tinggal di daerah mana saja dari bumi-Nya." Ia berkata, "ini lebih
besar lagi, lalu dimana aku akan tinggal?." Ibrahim berkata, "Wahai
fulan, pantaskah bagi Anda untuk makan dari rizki-Nya menempati bagian dari
bumi-Nya sedang Anda berbuat maksiat kepada-Nya?" Dia menjawab,
"Tidak! tunjukkan yang ketiga."
Ibrahim berkata, "Jika Anda ingin
berbuat maksiat kepada-Nya, makan dari rizki-Nya, dan bertempat di bumi-Nya,
maka carilah sebuah tempat yang tidak dilihat oleh Dia, lalu berbuatlah maksiat
disitu." Dia menjawab, "Wahai Ibrahim, bagaimana hal itu terjadi
sedang Dia mengetahui segala apa yang tersembunyi dalam hati?." Ibrahim
berkata, "Wahai fulan, pantaskah bagi Anda untuk makan dari rizki-Nya,
tinggal di bumi-Nya, dan berbuat maksiat kepada-Nya, sedang Dia melihatmu dan
mengetahui kemaksiatan yang kamu tampakkan?." Ia menjawab, "Tidak!
lalu tunjukkan yang keempat."
Ibrahim berkata, "Jika malaikat
maut datang untuk mencabut nyawamu maka katakanlah kepadanya, 'tundalah dahulu
sampai aku bertaubat dengan sebenarnya dan beramal shalih'." Ia menjawab,
"Dia tidak akan mau menerima hal itu dariku." Ibrahim berkata,
"Wahai fulan, jika Anda tidak mampu menolak kematian Anda agar dapat
bertaubat lebih dulu dan Andapun mengetahui bahwasanya jika kematian itu datang
Anda tidak bisa mengundurkannya, lalu bagaimana Anda menginginkan
kebebasan?" Ia berkata, "Tunjukkan yang kelima."
Ibrahim berkata, "Apabila pada
hari kiamat malaikat Zabaniyah datang kepada Anda untuk melemparkan Anda
kedalam neraka, janganlah pergi bersamanya." Ia menjawab, "mereka
tidak akan meninggalkanku, tidak akan mau menerima permintaanku." Ibrahim
berkata, "kalau demikian, bagaimana Anda mengharap selamat?". Ia
berkata, "wahai Ibrahim, cukup! cukup! Aku akan beristighfar kepada Allah
dan bertaubat kepada-Nya. Dia lalu benar-benar bertaubat kepada Allah dan
akhirnya dia beristiqomah dalam beribadah dan menjauhi segala kemaksiatan
sampai ia meninggal dunia.
Sumber: 44 Renungan Makna Hidup,
Karya Ahmad al-Utsman, Pustaka Elba
Syaqiiq al-Balkhi adalah teman Ibrahim
bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga
pernah sampai pada tataran enggan untuk bekerja. Penasaran dengan keadaan
temannya, Ibrahim bin Adham bertanya, “Apa sebenamya yang menyebabkan Anda bisa
seperti ini?”
Syaqiiq menjawab, “Ketika saya sedang
dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung yang patah
kedua sayapnya.
Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin
tahu, dari mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya
dari jarak yang dekat. Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan
di paruhnya. Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua
sayapnya untuk menyuapinya. Maka saya berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami
burung sehat untuk menyantuni burung yang patah kedua sayapnya di tempat yang
sepi ini pastilah berkuasa untuk memberiku rejeki di manapun aku berada.”
Maka sejak itu, aku putuskan untuk
berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah. Mendengar
penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata, “Wahai Syaqiiq, mengapa kamu
serupakan dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha
menjadi burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu? Bukankah itu
lebih utama? Bukankah Nabi bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan
di bawah?”
Sudah selayaknya bagi seorang mukmin
memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia bisa
mencapai derajat orang yang berbakti?
Syaqiiq tersentak dengan pernyataan
Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta
diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda
adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).” (Tarikh Dimasyqi, Ibnu Asakir)
Sumber : Al-Risalah No. 112 / Vol. X /
04 Syawal – Dzhulqa’dah 1431 H / Oktober 2010
Hanya Karena Sebutir Kurma
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim
bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli
1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram. Setelah kurma ditimbang
dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan.
Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah
itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al
Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah
ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia
mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah
yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah swt,” kata malaikat
yang satu. “Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu
ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat
mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi..
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia
terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin
amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah swt. gara-gara memakan sebutir
kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar. Ia
langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual
kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung
menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu
melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari
seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya Ibrahim. “Sudah meninggal
sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab
anak muda itu. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa
saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg
dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata
ibrahim setelah bercerita,
“Engkau sebagai ahli waris orangtua
itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku
makan tanpa izinnya?”. “Bagi saya tidak masalah. Insya Allah saya halalkan.
Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak
berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan
saya.” “Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan,
akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka
yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham
sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang
dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham yang doanya
tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.” “O, tidak.., sekarang
doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik
kurma itu.. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran
sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah
bebas.”
10 Nasihat Ibrahim bin Adham
Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang
alim yang terkenal zuhud dan wara’nya, melewati pasar yang ramai. Selang
beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji
dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa
setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak
dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu
berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak
dijawab oleh Allah.
Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak
menunaikan hak-hak-Nya.
Kedua,
kalian membaca al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah
musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan
perintahnya.
Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah,
tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.
Kelima, kalian sangat menginginkan surga,
tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam
neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti
datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.
Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain
dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.
Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki
Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke
kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang
serupa.”
Setelah mendengar nasehat itu,
orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan
murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya
kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak
sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat
perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal
apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar,
sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala
amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”
Duduk Bertumpang Kaki
Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis
Suatu hari, seorang tokoh sufi besar,
Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum.
Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan
mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika
engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan
tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan.
Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan
menawarinya wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan
karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos
untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku
menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku
membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan
memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih
apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk
boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak
mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak
mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang
mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Sumber: http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/11/mutu-manikam-nasihat-ibraham-bin-adham.html