TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE
Showing posts with label Kumpulan cerita-cerita hikmah. Show all posts
Showing posts with label Kumpulan cerita-cerita hikmah. Show all posts

Mencari Dunia

politisi-pencari-dunia
Kejujuran memanglah penting. Apalagi saat menghubungkan diri dengan Tuhan.
Karena prasangka baik masyarakat bahwa Mbah Syahid Kemadu memiliki derajat luhur di sisi Allah, maka tiap hari beliau didatangi tamu-tamu yang beristighotsah (minta didoakan) untuk macam-macam hajat. Ada urusan kesehatan, urusan dagang, perjodohan, dan segala hajat hidup lainnya. Yang agak jarang adalah dari jenis mereka yang sedang mencari jabatan. Mungkin mereka jerih sendiri, karena beranggapan Mbah Syahid tak suka diistighotsahi soal jabatan.
Pernah seorang calon kepala desa sowan minta didoakan agar terpilih.
“Niatmu apa?” Mbah Syahid bertanya.
“Saya ingin berjuang, Mbah”, jawab si calur (calon lurah), “saya ingin agar masyarakat desa saya nanti lebih saleh, lebih taat beribadah dan syi’ar agama lebih semarak. Masjid dan madrasah akan saya renovasi. Rutinan Yasin, Tahlil dan Barzanji digiatkan…”, bla bla bla calur berusaha meyakinkan Mbah Syahid bahwa tujuannya mulia dan layak didukung dengan doa yang semantab-mantabnya.
Siapa nyana, Mbah Syahid justru memerah wajahnya, bangkit dari kursi dan masuk ke ruang dalam tanpa berkata apa-apa. Ditunggu seharian, beliau tak keluar-keluar lagi, hingga si calur putus asa dan pulang dengan hati galau.
Agaknya cerita si calur itu lantas beredar dari mulut ke mulut dan pada gilirannya menciutkan nyali kaum pemburu jabatan.
Yang tak banyak didengar orang adalah pengalaman Pak Mastur (bukan nama sebenarnya), seorang calur lainnya. Ketika Mbah Syahid menanyakan niatnya, Pak Mastur menjawab lugu,
“Bengkok lurah di desa saya itu luas sekali, Mbah. Makanya jadi rebutan. Yah… siapa tahu saya berjodoh…”
Mbah Syahid tersenyum bijak,
“Nanti kalau jadi lurah beneran jangan pelit ya! Orang-orang yang lemah itu ditolong. Cari sangu akherat sebanyak-banyaknya”.
Belakangan Pak Mastur menjadi lurah favorit warga desanya.
Di lain kesempatan, seorang politisi partai Islam mampir ke kediaman Mbah Syahid sepulang kampanye. Sang politisi adalah tokoh besar yang dimuliakan orang, bahkan sudah dipanggil kyai pula. Mbah Syahid pun memberikan penghormatan sesuai dengan kedudukannya,
“Habis dari mana ini?”
“Ini lho, Mbah…”, politisi meluncurkan pesonanya yang khas, “…mencari akherat kok sulitnya bukan main…”
Tapi Mbah Syahid tidak kelihatan terkesan.
“Ah, masih lebih sulit mencari dunia kok”, kata beliau. Politisi tercekat. Merasa kalau sudah salah bicara.
“Coba bayangkan susahnya penjual daun”, Mbah Syahid melanjutkan, “pagi-pagi berangkat ke hutan. Memanjat pohon jati. Menyenggeti daun-daunnya. Daun-daun yang jatuh pun melayang sembarangan, sehingga harus berjalan kesana-kemari untuk mengumpulkannya. Ditumpuki, dibawa ke pasar. Sampai di pasar belum tentu laku pula…”
Hingga hampir satu jam sesudah itu, sampai tiba saatnya pamit, politisi tak berani berkata apa-apa lagi.

sumber : http://teronggosong.com/

Etos Salafi

kitab-kuning-etos-salafi
Konon, ilmu tidak dapat merubah watak, alih-alih justru memperkuat ekspresinya. Sebuah hikayat menceritakan perdebatan antara Luqman Al Hakim dengan rajanya tentangthabi’ah (watak) dantarbiyyah (pendidikan): mana yang lebih kuat? Luqman berpendapatthabi’ah lebih kuat, Raja sebaliknya.
Barangkali karena kalah ahli, Raja merasa mustahil memenangkan perdebatan itu hanya dengan kata-kata. Maka ia minta waktu beberapa bulan untuk menghadirkan bukti nyata kebenaran pendapatnya.
Tenggang waktu itu dipergunakan untuk melatih sekumpulan anak kucing secara rahasia. Pada akhir tenggatnya, Raja mengundang Luqman untuk menyaksikan pembuktian dalam sebuah perjamuan makan. Raja tidak menyadari bahwa Luqman telah memperoleh info tentang kucing-kucing itu dan datang ke perjamuan dengan berbekal persiapannya sendiri.
Para tamu undangan hadir dengan gairah ingin menyaksikan siasat Sang Raja menekuk Luqman Si Bijak. Maka Raja pun memberi tanda. Dan keluarlah seregu kucing berbusana layaknya para pelayan istana. Mereka berjalan diatas dua kaki dan berbaris rapi. Tangan-tanggan… maaf… kaki-kaki depan mereka masing-masing menyangga nampan berisi hidangan ikan berbagai rasa. Kucing-kucing itu begerak lucu tapi tenang, meletakkan nampan-nampan ke atas meja tanpa sedikit pun keliahatan tertarik menyentuh ikannya.
Dan Sang Raja tersenyum puas sekali,
“Lihat! Pendidikanku telah merubah watak kucing-kucing itu!”
Tapi Luqman sama sekali tidak tampak grogi.
“Benarkan?” ia berujar santai. Lalu merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasianya: seekor tikus!
Ia lepas tikus itu ke tengah ruangan dan kucing-kucing pun berserabutan mengejarnya. Lupa berjalan seperti manusia. Lupa busana dan disiplin pelayan istana. Tak perduli sama sekali pada tamu-tamu, bahkan pada Sang Raja tuan mereka!
Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri sama-sama muridnya Kyai Hasyim Asy’ari. Boleh dikata ilmu mereka sama dan mereka pun beriparan pula. Tapi pendapat mereka tentang segala hal, terutama syari’at, senantiasa berbeda. Kyai Wahab ajarannya ringan-ringan, Kyai Bisri menekankan kehati-hatian.
Lebih ajaib dari merka adalah Kyai Bisri Mustofa dan adiknya, Kyai Misbah Mustofa. Dua bersaudara sekandung, tunggal-guru tunggal-ilmu. Tapi dari cara masing-masing menanggapi berbagai keadaan, perbedaan watak kelihatan sekali.
Sebagai anak-anak yatim, harta warisan mereka dikelola oleh sang wali, yakni kakak mereka sebapa, Kyai Zuhdi Mustofa. Dari harta itulah pendidikan mereka dibiayai. Dan dengan mempertimbangkan masa depan mereka, Kyai Zuhdi membagi mereka bekal mondok secara ngirit sekali.
Kyai Misbah pun menjalani kehidupan santri yang penuh tirakat: makan sesedikit mungkin supaya bisa menyisakan sebanyak mungkin untuk membeli kitab.Kyai Bisri merekrut sejumlah temannya sesama santri melarat dan membuka “perusahaan tukang masak”. Santri-santri kaya dibujuk menjadi klien, menyerahkan uang makan mereka untuk dikelola sehingga tanpa perlu repot mereka tinggal makan setiap waktunya. Santri-santri melarat pekerja perusahaan itu pun beruntung bisa nebeng makan bareng santri-santri kaya.
Di kemudian hari, pandangan-pandangan Kyai Bisri dan Kyai Misbah dalam masalah-masalah agama tak pernah sama.
Paling ajaib dari semuanya adalah Kyai Ali Ma’shum dan adik ipar sekaligus murid kesayangannya, Kyai Zainal Abidin Munawwir.
Kyai Zainal tak punya guru selain Kyai Ali. Praktis segala yang ia ketahui tentang agama, mulai alif-ba’-ta’ sampai pengetahuan tertinggi, ia dapatkan dari Kyai Ali. Toh kenyataan itu tak menjadikannya foto kopi. Ia bahkan menjadi “gambar” yang berbeda sama sekali. Kyai Ali membongkar, Kyai Zainal membatasi. Mbah Ali meringkas, Mbah Zainal menambahi.
Tapi didalam perbedaan itu ada yang senantiasa sama, bukan hanya diantara mereka saja, tapi diantara segala ulama sepanjang masa. Yaitu kesetiaan kepada ilmu, dantazkiyyatun nafs, penjernihan diri. Para kyai itu bertindak berdasarkan ilmu dan tidak bertindak kecuali atas dasar ilmu. Dalam membersihkan jiwa pun mereka selalu sama ngototnya. Walaupun caranya berbeda.
Mbah Zainal menjernihkan diri dengan menghindari segala yang bagi lumrahnya manusia dapat mengotori. Mbah Ali membongkar berbagai bingkai nilai bikinan manusia dan meraih makna hakiki.
Mbah Zainal tidak mau berjalan melewati gereja, tidak mau memandang ke arah tiang listrik yang bentuknya menyerupai salib, tidak menyukai pohon cemara, demi melindungi benaknya sendiri agar hal-hal yang lumrahnya merupakan simbol-simbol nasrani itu tak mendapat jalan untuk membersit di pikirannya. Mbah Ali membongkar segala “lembaga persepsi” atas benda-benda dan mengembalikannya pada realitas sejatinya: sekedar benda.
Itu sebabnya saat Mbah Zainal ingin menebang pohon cemara di halaman pondok Krapyak, yakni pohon yang dalam persepsi umum merupakan simbol natal, Mbah Ali mencegahnya dengan mengatakan,
“Sejak kapan pohon punya agama?”
Kesetiaan kepada ilmu dan penjernihan diri, itulah etos para ulama yang diwariskan oleh Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Kesimpulan fiqih bisa saja berganti-ganti, tapi etos ini abadi. Etos para pengampu agama sejak zaman salaf. Etos salafi.

sumber : http://teronggosong.com/

MAQOM


"Setiap orang punya maqom. Dan dalam setiapmaqom, skala prioritas amalnya berbeda dari maqomlainnya", demikian ajaran Kiyai Bisri Mustofa.

Bagi orang yang maqomnya 'alim, yaitu telah (relatif) sempurna pengetahuannya tentang (syari'at) agama, mengajar adalah amal paling utama baginya. Yang maqomnya muta'allim (pelajar): ya belajar. Yang maqomnyamutaharrif, yaitu orang yang mempunyai tanggungan nafkah tapi tidak bisa memperoleh penghasilan kecuali dengan bekerja setiap harinya, bekerja (mencari nafkah) adalah amal paling utama baginya.

Pada mulanya, Kiyai Ma'shum rahimahullah, ayahanda Kiyai Ali Ma'shum, berdagang secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dengan jadwal yang tetap. Demikian dikisahkan dalam buku biografi beliau, karya M. Luthfi Thomafi. Diantara langganannya adalah pasar-pasar di Cirebon, Demak dan Jombang. Di setiap kota itu Kiyai Ma'shum membagi waktu. Usai berdagang di pasar, sejumlah santri telah menunggunya di masjid, untuk memperoleh pengajaran berbagai kitab darinya.

Bertahun-tahun beliau menekuni pola kegiatan itu, dengan maksud menjaga keseimbangan antara mencari nafkah dan mengajarkan ilmu. Sampai akhirnya Kanjeng Nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi Wasallam datang di salah satu mimpinya dan memerintahkannya berhenti berdagang untuk kemudian membangun pesantren dan mengkhususkan diri dengan mengajarkan ilmu saja. Kiyai Ma'shum patuh. Pesantren dibangunnya di Desa Soditan, Lasem, kemudian berhenti berdagang sama sekali dan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar.

Kiyai Abdul Wahab Husain rahimahullah sudah punya tanggungan santri yang cukup banyak di pesantrennya di desa Kauman, Sulang, Rembang. Tapi Kiyai Wahab tetap menekuni pekerjaannya sebagai polangan (pedagang) kambing. Menjelajahi desa-desa untuk membeli kambing-kambing petani adalah pekerjaan beliau sehari-hari. Pada hari pasaran, sendiri pula beliau menggiring kambing-kambing itu ke pasar hewan.

Hari itu, dengan topi laken khas polangan dan pecut di tangan, Kiyai Wahab menggiring kambing-kambingnya menyusuri jalan raya. Susah payah ia jaga agar kambing-kambing itu tidak melantur terlalu ke tengah, walaupun jalan raya agak sepi. Tiba-tiba sebuah mobil yang berjalan lambat-lambat dari arah belakang melintasinya. Kurang ajarnya, mobil itu malah sengaja menerjang barisan kambing-kambingnya sehingga kocar-kacir tak karuan. Sudah tentu Kiyai Wahab kaget, kelabakan, dan berang bukan alang kepalang! Apalagi mobil itu malah lantas berhenti tidak jauh darinya, seolah menantang!

Di kursi belakang terlihat ada seorang penumpang, tapi kurang jelas karena kacanya gelap. Kiyai Wahab yang jadhug lagi berangasan tak memperdulikan lagi kambing-kambingnya. Dengan penuh  amarah ia hampiri jendela disamping penumpang itu. Ia yakin, itu boss, yang punya mobil. Digebraknya atap mobil dengan garang, sekalian melampiaskan kekesalan.

Kaca jendela diturunkan, dan sebuah kepala melongok keluar. Bukan main kagetnya Kiyai Wahab. Ternyata orang itu adalah... Kiyai Bisri! Gurunya sendiri!

"Sudah jadi kiyai punya pondok kok santrinya ditinggal polangan wedhus", kata Kiyai Bisri, "pulang sana!"

Antara Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Ma’shum

Kyai Ali Ma'shum
Kyai Ali Ma’shum
Mbah Kyai Ali Ma’shumrahimahullahterlahir dengan kecerdasan istimewa. Pada usia remaja, beliau sudah menjadi amat ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Kefashihan beliau sulit dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathirahimahullah, Kyai Ali diberi hak untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previles yang tidak didapatkan bahkan oleh santri-santri yang jauh lebih senior. Bukan karena Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem). Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai Abdul Hamid (Pasuruan) yang pada waktu itu juga mondok bareng di Termas. Previles itu diberikan sebagai pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali. Di kemudian hari, Kyai Ali Ma’shum pun diakui sebagai kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.
Tidak heran jika, sesudah trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri) “habis” dengan wafatnya Kyai Bisri Syansuri, semua kyai yang hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) untuk mendaulat Kyai Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah Ali menolak. Tapi semua kyai mendesak beliau bertubi-tubi. Dari pagi hingga malam Gus Mus menunggui di kediaman beliau di Krapyak, dengan tekad tak akan beringsut sebelum beliau menyatakan kesediaan. Dengan berlinangan air mata, Mbah Ali akhirnya menyerah.
“Aku tak mau jabatan”, beliau berkata, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”
Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan satu-satunya— anak-anak muda yang getol dengan pembaharuan, ketika gagasan-gagasan kreatif mereka memanaskan telinga kebanyakan kyai karena dianggap terlampau berani.
Barangkali orang masih ingat, bagaimana Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu ketika merasa tak kuat lagi menenggang “keliaran” Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU sehingga hubungan diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith Muzadi ke Situbondo.
“Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith, “sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”.
Kyai Muhith angkat tangan.
“Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…”
“Wah, saya ’dak biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”
Pada kesempatan lain, Kyai As’ad mengundang kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum berhalangan, hanya mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal Pasuruan, membawa surat beliau untuk para kyai yang hadir di Surabaya.
“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.
Rapat itu rupanya membahas Gus Dur dengan segala kembelingannya, sehingga akhirnya kyai-kyai sepakat untuk membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad untuk menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yang kemudian benar-benar dibaca didepan majlis itu ternyata berisi pernyataan tegas bahwa Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari jabatannya. Kyai As’ad tak punya pilihan.
“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”
Keputusan rapat pun batal.
Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memang bukan perjalanan yang mudah. Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.
“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu, “tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.
Mbah Ali tersenyum bijak.
“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.
Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalibkarramallahu wajhah, bahwa pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidinsebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affanradliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.
Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?
“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”

sumber : http://teronggosong.com/

Kuat Kaya

“Dia itu KUAT MISKIN, tapi nggak KUAT KAYA…”
Semenjak masih miskin, Fu Lan memang tinggi gengsinya. Walaupun lapar, tak mau dikasihani. Sesudah kaya, dia royal sekali. Gemar menghamburkan uang untuk dibagi-bagikan kepada orang. Saya ingatkan agar hati-hati dan pakai perhitungan strategis dalam pengeluaran, dia tak perduli.
“Bagaimana nanti saja”, katanya.
Lu Fan sebaliknya. Seorang kiyai mengeluhkan tabiat Lu Fan kepada saya,
“Bakhil sekali!” kata Pak Kiyai, “Sudah berapa lama saya jadi pendukung setianya? Tak sepeser pun ia pernah menyedekahi saya!”
Saya ketawa.
“Dia itu KUAT KAYA, ‘Yi”, saya membela, “pandai menyimpan kekayaan dan mengeluarkannya hanya untuk keperluan strategis saja. Kalau dia tidak menyedekahi ‘njenengan, berarti ‘njenengan tidak strategis!”

sumber : http://teronggosong.com/

Calon Wali

Gus Mus dan Gus Cholil
Gus Mus dan Gus Cholil
Sebelum mondok di Krapyak, Yogya, Gus Mus dan Gus Kholil muda sempat mondok di Lirboyo, Kediri. Pada waktu itu Lirboyo terkenal gudangnya ilmu hikmah dan kanuragan. Maka dua santri kakak-beradik ini pun tak ketinggalan, getolmesu diri, tirakat, menekuni gemblengan untuk mempelajari berbagai ilmu kejadugan.
Sampailah akhirnya kesempatan pulang kampung di waktu liburan. Sebagai orang-orang “dhugdheng alu gembreng”, dua bersaudara ini pulang ke Rembang dengan bersengaja mengenakan pakaian dan perhiasan yang menegaskan kejadugan mereka:
  1. Rambut gondrong sampai ke punggung pertanda tak mempan dicukur
  2. Baju kutung dan celana komprang sebatas dengkul, semua serba hitam, khas pendekar
  3. Ikat kepala batik dan terompah kayu yang tebalnya hampir sehasta yang mungkin mereka kira mirip kepunyaan Sunan Kalijaga; dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bergaya super-pendekar yang membuat jerih siapa pun disekitarnya. Memandang langsung kepada mereka pun orang tak berani, takut dikira nantang.
Tak dinyana, begitu sampai di rumah, Mbah Bisri, ayahanda mereka marah besar!
Segala pakaian dan perhiasan kependekaran mereka dilucuti dan dibakar. Karena tak ada yang mampu mencukur rambut mereka —benar-benar jadug rupanya, Mbah Bisri sendiri yang turun tangan membabat habis rambut mereka. Pendek kata mereka divonis harus berhenti main jadug-jadugan!
Kenapa Mbah Bisri melakukan semua itu?
“AKU SAJA CUMA KIYAI KOK KALIAN MAU JADI WALI!”
Kakak-beradik itu akhirnya dipindahkan mondoknya ke Krapyak, Yogya.

sumber : http://teronggosong.com/

Wasiat

Kyai Abdullah Salam
Kyai Abdullah Salam
Menjelang wafat, Kyai Abdussalam menyuruh orang memanggil putera keduanya, Gus Abdullah, agar menghadap.
“Gus Mahfudh juga?” orang yang disuruh menanyakan putera pertama beliau, apakah perlu dipanggil juga.
Mbah Salam menggeleng,
“Nggak usah. Mahfudh sudah cukup”.
Ketika Gus Abdullah menghadap, Mbah Salam pun hanya bicara singkat saja,
“Kowe ojo golek kepenak”. Kamu jangan mencari kenyamanan.
Kemudian beliau wafat.
Orang bertanya-tanya, mengapa Gus Mahfudh tidak mendapat wasiat seperti adiknya. Apakah berarti Gus Mahfudh boleh mencari kenyamanan? Atau dianggap benar-benar sudah tahu bahwa kenyamanan tak boleh dicari?
Belakangan baru dipahami kewaskitaan Mbah Salam. Kyai Mahfudh, sang putera sulung, mengangkat senjata menghadapi NICA dan gugur dalam sebuah pertempuran di Salatiga. Hingga kini tak diketahui dimana kuburnya. Seorang putera beliau, Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdussalam, pun harus menghabiskan seluruh hidupnya dalam tungkus-lumus yang jauh dari nyaman dalam khidmah kepada Nahdlatul Ulama, hingga akhir hayatnya.
Adapun sang putera kedua, Kyai Abdullah Salam, mati-matian menggigit wasiat ayahnya itu sekuat geraham. Mbah Dullah tidak mau membangun pondok demi memblokir keinginginan mendapatkan santri. Jangan dikata mengambil santri untuk menjadi khadam rumah tangganya, itu pantangan!
“Jangan sekali-kali kamu membiayai santri seolah-olah kamu dermawan, tapi mengambil manfaat tenaganya kamu pekerjakan di rumahmu”, Mbah Dullah mewanti-wanti keponakannya, Kyai Mu’adz Thohir, “itu nista!”
Kyai Mu’adz cuma bisa melongo. Teringat betapa kaprahnya kyai dimana-mana mengambil khadam dari antara santri-santrinya.
“Daripada begitu, masih mendingan kau suruh nyaimu jualan nasi!” Mbah Dullah melanjutkan wanti-wantinya.
“Jualan nasi, maksudnya gimana, Pakdhe?” Kyai Mu’adz tak paham.
“Lha nyai terima kos-kosan makan santri-santri itu ‘kan jualan nasi namanya!”

sumber: http://teronggosong.com/

Do’a Politik

Kyai Bisri Mustofa Pidato
Kyai Bisri Mustofa Pidato
Pada jaman Orde Baru dulu, bicara tak bisa terlalu bebas. Apalagi bicara politik. Apalagi kepada kumpulan massa yang besar.
Maka pengajian umum hanya bisa digelar bila ada ijin dari Pemerintah. Sedangkan untuk memperoleh ijin itu prosedurnya panjang dan “menakutkan”. Tak kurang dari 20 tanda tangan harus bisa didapatkan oleh panitia dari pejabat-pejabat yang berwenang di semua tingkatan dan semua sektor pemerintahan, baik sipil maupun militer –yang termasuk didalamnya adalah polisi. Dari RT ke RW ke Lurah ke Polsek ke Koramil ke Camat ke Polres ke Kejaksaan Negeri… dan seterusnya.
Saat pengajian digelar pun selalu ada petugas intelejen dari kepolisian yang menunggui. Petugas itu berwenang penuh membiarkan acara terus berlangsung atau menghentikannya kapan pun ia suka, atas nama stabilitas.
Kyai Bisri Mustofa sudah hadir di arena sebuah pengajian sebagai pembicara yang diundang untuk memberikan mau’idhoh hasanah. Tapi panitia bingung dan susah hati tak keruan karena intel polisi tiba-tiba melarang mereka memberikan panggung kepada Kyai Bisri.
Tampak jelas air mata yang menitik di wajah panitia ketika mewadulkan hal itu kepada beliau. Kyai Bisri malah acuh tak acuh saja.
“Coba tanya polisinya, kalau berdoa saja boleh enggak?” kata beliau.
Panitia menurut dengan hati gundah. Dan tak juga merasa lega ketika polisi meluluskan permintaannya. Jauh-jauh didatangkan, kalau cuma berdoa tanpa ngaji jelas bikin kecewa.
Tapi apa boleh buat, pengajian dilangsungkan tanpa mata acara mau’idhoh hasanah. Dan Kyai Bisri diundang ke panggung untuk langsung memimpin doa.
“Al Faaatihah!” Kyai Bisri memulai seperti lazimnya doa, hadirin membaca dengan hati gundah-gulana. Kyai Bisri pun meneruskan dengan hamdalah, sholawat dan salam, diiringi amin-amin hadirin. Yang kurang lazim adalah bahwa kalimat-kalimat doa selanjutnya tidak lagi pakai bahasa Arab, tapi bahasa daerah.
“Dhuh Gusti Pengeran Kulo, Panjenengan Maha mengetahui. Kami semua berkumpul di tempat ini, mengharap barokah seorang hambaMu yang Kau kasihi. Guru kami. Pengasuh jiwa kami. Ulama pejuang. Pahlawan negeri ini. Yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk membela, menjaga dan membangun bangsanya…
Dhuh Gusti Tuhan kami, Panjenengan Maha Mengetahui. Tak terhitung banyaknya kyai dan santri telah berjuang. Mempersembahkan jiwa-raga demi bangsa dan negara. Berapa banyak diantara mereka telah gugur berkalang tanah? Menjadi korban keganasan penjajah? Meninggalkan kami semua yang sedih dan kehilangan.
Tapi Panjenengan Maha Tahu, Ya Allah, kami tidak menyesal. Kami tidak menyesal mereka tinggalkan. Kami tidak menyesal walaupun saudari-saudari kami menjadi janda. Keponakan-keponakan kami menjadi yatim. Sama sekali. Gugurnya mereka tidak kami sesali. Walaupun itu karena suwuk kebal yang tidak manjur…” (hadirin berusaha menahan tawa)…”Kami menangis bukan karena sedih yang berkepanjangan. Kami menangis penuh kebanggaan. Dan pengharapan akan berkah pahala perjuangan mereka untuk kami semua. Dan Bangsa ini. Bangsa dan Negara yang kami cintai…”
“… Bukalah hati para pemimpin kami. Ingatkan mereka akan cita-cita kemerdekaan. Akan impian bebasnya rakyat dari penindasan. Akn keadilan dan kemakmuran…”
“…Mohon Kau beri petunjuk pula kepada Pak Polisi yang mengawasi pengajian ini…” (tawa hadirin terpaksa meledak)… “Cerdaskanlah akalnya. Lembutkanlah hatinya. Agar mampu membedakan, mana yang mengancam negara, mana yang membangun rakyatnya…”
Demikianlah, doa berlangsung panjang sekali. Malah lebih panjang dari mau’idhoh hasanah yang biasanya. Hadirin beramin-amin sebisanya. Kadang ingat kadang lupa. Karena diaduk-aduk perasaannya oleh kalimat-kalimat doa. Kadang bangkit semangatnya berkobar-kobar. Kadang dibikin terharu sampai mata berkaca-kaca. Kadang tak kuat lagi menahan tawa.
Usai seluruh acara, panitia mengelu-elukan Kyai Bisri dengan sumringah dan riang-gembira. Pak Polisi tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin sedang menitikkan air mata.

sumber: http://teronggosong.com/

NU Azali

Hadlratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Aasy'ari
Hadlratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Aasy’ari
Hadlratusy Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy’ari Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai paripurna. Apa pun yang beliaudhawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup bagi santri-santrinya, bahkan sesudah wafatnya.
Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang. Segeromboljama’ah dalam merekjam’iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang yang ideologinya susah diidentifikasi, identitas yang nyaris tanpa definisi… tapi toh begitu terasa balutannya… bagi mereka yang —entah kenapa— mencintainya…
Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana Hadlaratusy Syaikh sendiri mencandranya:

بيني وبينكم في المحبة نسبة

مستورة في سر هذا العالم
نحن الذون تحاببت أرواحنا
من قبل خلق الله طينة آدم
antara aku dan kalian ada tautan cinta
tersembunyi dibalik rah’sia alam
arwah kita sudah saling mencinta
sebelum Allah mencipta lempungnya Adam
Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.
Kyai Abdul Karim Hasyim, putera Hadlratusy Syaikh sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah seorang santri Hadlratusy Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Majid. Mereka berdua memilih tetap didalam Masyumi. Apakah mereka tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada pernyataan Hadlratusy Syaikh semasa hidupnya, “Masyumi adalah satu-satunya partai bagi ummat Islam Indonesia!” NU keluar dari Masyumi sesudah Hadlratusy Syaikh wafat.
Apakah sikap pilihan mereka itu mu’tabar atau tidak, adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-pendar cahayanya.
Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian membuat odo-odo “aneh” sehingga memancing kontroversi diantara masyarakat kampungnya.
“Siapa namanya?” tanya Hadlratusy Syaikh.
“Ahmad Dahlan”
“Bagaimana ciri-cirinya?”
Santri Basyir menggambarkannya.
“Oh! Itu Kang Darwis!” Hadlratusy Syaikh berseru gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Nama kecilnya Darwis. Teman semajlis dalam pengajian-pengajian Syaikh Khatib Al Minangkabawi di Makkah sana. Mengikuti tradisi ganti nama bagi orang yang pulang dari Tanah Suci, beliau pun kemudian menggunakan nama Ahmad Dahlan
“Tidak apa-apa”, kata Hadlratusy Syaikh, “yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia”.
Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad Dahlan medirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.
Apakah Kyai Basyir “tak pernah NU”? Belum tentu. Puteranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir (Kakak ipar Kyai Ali Ma’shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan Al Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian Kyai Ali Ma’shum pun tak ditinggalkannya.
Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR Fahruddin. Kepada teman sekombong saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek,
“Kamu nggak usah macam-macam”, kata saya waktu itu, “ketuamu itu ORANG NU!”

sumber : http://teronggosong.com/

Dibentak

Kyai Muslim Rifa'I Imampuro (Mbah Lim)
Kyai Muslim Rifa’I Imampuro (Mbah Lim)
Menjelang Muktamar NU ke-28, 1989, Mbah Lim (Kyai Muslim Riva’i Imampuro) rahimahullah mementingkan berkeliling Nusantara untuk berziarah kepada para wali, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup, untuk bertawassul dan beristighotsah, merengek kepada mereka agar memohonkan kepada Allah perlindungan dan pertolongan bagi Bangsa Indonesia dan Nahdlatul Ulama.
Begitu masuk Kudus, Mbah Lim langsung menghadiahkan Fatihah kepada Syaikh Ja’far Shodiq, Sang Sunan. Terus-menerus ia menjaga sikap ta’dhim, lebih-lebih ketika mulai mendekati pesarean.
Tepat saat kakinya melangkahi pintu makam, Mbah Lim mendadak terperanjat hingga jatuh terduduk. Wajahnya pucat-pasi, kelihatan ketakutan sekali! Lalu sambil merunduk-runduk berjalan mundur menjauh, tidak jadi sowan Kanjeng Sunan.
Santri pendhereknya pun terheran-heran,
“Ada apa, Mbah?”
Mbah Lim masih gemetaran,
“Aku dimarahi…”
Dan ia pun bercerita, betapa saat melangkahi pintu tadi, tiba-tiba sebuah suara membentaknya keras sekali,
“Ngapain kesini?!! Kau kira aku nggak ikut mikir dari kemaren-kemaren?!!!”
_______
Catatan tentang sumber cerita:
Dari Kudus itu Mbah Lim langsung menuju Rembang dan di rumah Gus Mus bertemu dengan Gus Dur yang datang dari arah lain. Saya mendengar mereka membicarakan pengalaman Mbah Lim ini.

sumber : http://teronggosong.com/

Peringatan

Mbah Jauhari - Mbah Abdullah Salam
Mbah Jauhari – Mbah Abdullah Salam
Nikmat Tuhan yang luar biasa royal dan nyaris tak masuk akal adalah ketika orang mengasihimu dengan cinta yang teramat besar dan tulus padahal selama ini engkau kurang memperhatikan atau bahkan tidak memperdulikan keberadaannya.
Siapa yang kenal Mbah Jauhari Pamotan? Di Rembang dan sekitarnya, beliau tidak termasuk kyai yang masyhur. Menghabiskan umur untuk menunggui beberapa gelintir santri di pesantren kecilnya dan menyabari madrasah diniyyah yang gara-gara kejahatan sisdiknas murid-muridnya jadi cenderung malas masuk. Tak terlalu sering beliau diundang ke pengajian-pengajian umum. Itu pun biasanya hanya diminta memimpin tahlil dan doa, bukannya ceramah.
Walaupun akrab dengan ayahku, beliau tidak masuk dalam orbit kehidupan rutinku yang cenderung kosmopolit. Hanya kadang-kadang saja kami bertemu di tempat pengajian atau hajatan. Begitu renggangnya jarak pergaulan — dan kebangetan malasku akan silaturrahmi — sampai-sampai nama beliau saja timbul-tenggelam di ingatanku.
Pagi tadi tiba-tiba beliau muncul di ruang tamuku. Bahwa aku menyambutnya dengansemanak, itu soal latihan. Tapi hatiku kurang terlibat karena hubungan yang kurang akrab.
“Paling-paling mau ngundang pengajian”, pikirku.
Tapi dugaanku salah. Setelah berulang kali — nyaris seperti budak mohon ampun kepada tuannya — minta maaf karena telah mengganggu waktu istirahatku, beliau malah menceritakan kisah hidupnya sendiri.
“Dulu saya pernah mengerahkan modal habis-habisan untuk beternak ayam”, katanya, “lalu saya sowan Mbah Dullah Salam — Kyai Abdullah Salam Kajen — untuk mohon pangestu…”, beliau membuat jeda sesaat, “…tapi salah saya, waktu itu saya maturdengan hati yang mengandung kemaki (puas diri, besar kepala)… yah… namanya kemaki itu memang tidak baik ya…”
“Mohon pangestu, Mbah”, beliau mengisahkan ungkapannya saat bertemu Mbah Dullah, “saya ini sedang mulai beternak ayam. Itu kan pekerjaan yang enak, Mbah. Tak perlu berdandan rapi. Cukup sarungan gedodar-gedodor sambil mengajar santri-santri, sudah bisa dilakoni”.
Di hadapan Mbah Dullah ada sebotol kecil minyak angin yang kemudian diraih oleh empunya dan diendus-enduskan ke hidung sambil dihisap dalam-dalam beberapa kali.
“Yah… baguslah itu…”, kata Mbah Dullah, “Tapi gimana ya, ‘Ri… anak-anak kecil begitu nggak ada bapak-ibunya kok rasanya kasihan juga ya…”
Mbah Jauhari kurang mengerti maksud kata-kata Mbah Dullah dan kurang memperhatikannya.
Baru belakangan beliau menyadari ketika ayam-ayamnya tumpas oleh penyakit. Beliau bangkrut hingga harus menjual sawah untuk menutup hutang.
“Rupanya yang dimaksud Mbah Dullah dengan ‘anak-anak kecil’ itu kuthuk-kuthukyang saya tetaskan tanpa babon dan jago…”, Mbah Jauhari menerawang.
Sesudah itu Mbah Jauhari kerja serabutan, dagang ini-itu sehingga harus kerap-kali pergi ke kota-kota besar yang jauh. Tapi pada kesempatan sowan berikutnya, Mbah Dullah memarahinya,
“Tidak usah kelayapan begitu! Di rumah saja nungguin santri. Nanti kan Gusti Allah Sendiri yang mencukupi!”
Mbah Jauhari pun menurut. Menghentikan wira-wiri dan menyabar-nyabarkan diri menunggui santri.
“Yah… alhamdulillah cukup… yah… secukup-cukupnya orang desa…”, katanya, sedikit pun tanpa nada penyesalan.
Kemudian beliau mengijazahkan amalan dari Mbah Hambali Kajen agar santri-santri kerasan dan dari Mbah Manshur Lasem agar anak-anak dikaruniai futuh ilmu. Hatiku serasa diaduk-aduk rasa haru. Semua yang beliau tuturkan itu menyinari remang jalan yang selama bertahun-tahun ini kurayapi dengan gamang.
Tapi aku cukup berpengalaman dengan kekasih-kekasih Tuhan. Mereka biasanya kurang suka kalau kita terlalu memperlihatkan husnudhdhon kita kepada mereka. Maka aku membiarkan Mbah Jauhari pamit dan melepas kepergiannya dengan biasa-biasa saja.

Yahya Cholil Staquf
Pernah menjadi Juru Bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat ini sebagai Katib Syuriah PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate