TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Konsep Manusia dalam al-Qur’an



Muqaddimah

Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.

Konsep manusia dalam al-Qur’an

Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,[1]menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.[2]
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.[3]
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. [4]
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh.[5] Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an

Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.[6]
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain[7] menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.[8]

Penutup

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

Daftar Pustaka

Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002
Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989
——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[1] Penciptaan/keberadaan manusia menurut al-Qu’an ini dapat dkategorikan menjadi tiga fase. Pertama,kemunculan Adam manusia pertama. Penciptaan Adam sebagai manusia, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ia diciptakan dari semacam tanah liat. Dan atas kehendak Allah maka jadilah Adam dalam rupa manusia. Manusia pertama ini, hadir tanpa ibu dan bapak. Kemudian, kedua, diciptakannya manusia kedua yaitu Hawa, yang disebutkan bahwa ia berasal dari tulang rusuk kiri Adam. Manusia kedua ini hadir tanpa ibu. Ketiga, fase inilah yang menjadi gambaran umum manusia. Yaitu hadir dengan adanya bapak dan ibunya.
[2] Turunnya Adam menurut Alamah Kamal Faqih Imami sedikit banyak diilustrasikan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 11-25. Alamah Kamal Faqih Imami, Tafsir Nurul Qur’an, terj. R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, jilid I, 2003, hal 156-171. Di dalam kitab tafsirnya ini, beliau juga menafsirkan turunnya Adam dan Hawa adalah sekenario Allah semata. Hal ini karena pada dasarnya Bapak Adam dan Ibu Hawa (manusia) memang diciptakan untuk menghuni bumi—menjadi khalifah di bumi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan: “Ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” Ini menjelaskan bahwa Allah sejak awal telah menetapkan bahwa manusialah yang akan menghuni bumi.
[3] Mengenai sujudnya Malaikat pada Adam ini, Alamah kamal Faqih Imani menafsirkan sebagai sebuah sujud yang tidak dimaksudkan untuk beribadah layaknya sujudnya para Malaikat pada Allah. Tetapi sujud ini adalah sujud sebagai sebuah representasi penghormatan para Malaikat pada Adam. Ibid. Hal. 166.
[4] Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7 mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat. Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan dalam manusia.” K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000. hal.204.
[5] Ruh atau jiwa di sini jangan diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan lainnya
[6] Banyak kalangan dari umat Islampun masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Apakah Adam yang dimaksud di sini adalah benar-benar manusia pertama, ataukah ada Adam-Adam lain sebelumnya? Ini disandarkan pada alasan bahwa jika Adam ini adalah manusia pertama, rentang waktu kehidupan manusia pertama ini dengan manusia masa kini masihlah terlalu singkat yaitu sekitar lima belas ribu tahun. Satu masa yang dapat dikatakan sedikit dibandingkan umur bumi sendiri yang dikatakan sampai milyaran tahun. Dengan argumen inilah beberapa kalangan muslimin menyatakan bahwa ada Adam-Adam lain selain yang disebutan al-Qur’an. Dan mengenai keberadaan Adam di surga, itu juga tidak surga dalam artian sebenarnya menurut kalangan ini. Surga di sini menurut mereka adalah satu tempat di bumi ini yang karena keindahannya dan kemudahannya dalam meraih sesuatu digambarkan seperti surga. Tentu pendapat inipun mendapat sanggahan, dengan argumen bahwa Adam yang disebutkan al-Qur’an ini memang benar-benar manusia pertama yang menghuni bumi, dan ia benar-benar diturunkan Allah dari surga, lagi-lagi itu karena kemaha Kuasaan Allah SWT, dan apa yang tidak mungkin bagi Allah. Kalau menciptakan alam saja mampu, kenapa harus diragukan ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, tentu bagi Allah itu bukan hal yang sulit. Perdebatan yang menarik, dan memang sepertinya tak akan pernah selesai. Begitu menariknya makhluk yang bernama manusia ini! (Penjelasan matakuliah ulumul Qur’an, Pak Subandi)
[7] Harun Yahya misalnya yang berjuang mati-matian untuk mengcover teori evolusi Darwin.
[8] Ada satu hal lagi berkaitan dengan dua pendapat di atas, yang mencoba menjembatani perdebatan sengit itu. Meskipun tidak nampak begitu berhasil, dan malah menjadi satu golongan tersendiri yang nampak mendukung teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa dari beberapa aspek apa yang dikatakan oleh Darwin memang benar adanya. Bahwa manusia memang berevolusi. Namun, sayangnya Darwin terlalu materialis dalam melihat evolusi manusia, sehingga permata dalam diri manusia, jiwa, terabaikan dinegasikan Darwin begitu saja. Dan pedapat para tokoh sufi seperti Mulla Shadra, yang sering kali ditekankan Dr. Haidar Bagir dalam tiap kali perbicangannya menyatakan bahwa manusia memang berevolusi, bukan sekedar fisik saja, jiwanyapun berevolusi mencari kesejatian diri, menuju Tuhan. Dan dalil al-Qur’an tentang Adam dan Hawa yang sering ditafsirkan manusia pertama yang diturunkan dari Surga hanyalah simbolitas saja.




No comments:

Post a Comment

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate