Oleh Abdul Hadi W. M.
    
 Islam dan Barat, atau Barat dan Islam adalah kisah benturan budaya dan 
peradaban yang panjang serta nyaris membosankan. Sejak 1300 tahun yang 
lalu, Eropa atau Barat terus menerus memandang Islam sebagai ancaman 
terbesar. Peristiwa peledakan bom di kantor Pm Norwegia beberapa waktu 
lalu oleh Ander Breivik yang dialanjutkan dengan pembantaian 72 pemuda 
Partai Buruh oleh tokoh yang sama, adalah suatu bukti bahwa kebencian 
terhadap Islam kaum muslimin tidak kunjung mati di Eropa. Begitu 
peristiwa yang menggegerkan tersiar, yang dituduh sebagai pelakunya 
ialah Islam ekstrim atau radikal. Dampaknya ialah suburnya kembali 
sentimen anti-Islam di Eropa, walau kemudian diketahui bahwa pelakunya 
adalah seorang ultra-nasionalis dan fundamentalis Kristen yang fanatik 
dan sangat membenci imigran Muslim. Bukan hanya itu, apa yang dilakukan 
Breivik yang membenci imigran Muslim itu didukung oleh tokoh-tokoh 
politik Eropa berhaluan liberal kanan. 
Jika 
kita telusuri sejarahnya, awal kebencian terhadap Islam di Eropa 
berkaitan dengan perbedaan sistem kepercayaan orang Eropa dan orang Islam
 yang merupakan tetangganya paling dekat. Baru kemudian merembet ke 
bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan militer. Sejak itu Eropa 
menyusun berbagai siasat untuk menghancurkan dan memporakporandakan 
dunia Islam yang agamanya berkembang pesat di Afrika Utaa, Andalusia, 
Dunia Arab dan Asia Barat. Untuk memahami pergaduhan ini, kita dituntut 
menelusuri akar dan perjalanan sejarahnya. Yaitu sejak agama Islam 
muncul dan berkembang pesat pada abad ke-7 M.
Bersamaan dengan berkembanganya Islam di Jazirah Arab itu, Buyzantium 
(Romawi Timur) baru saja mengalahkan Persia, saingan beratnya selama 
berabad-abad di medan perang Ninive, Iraq, sebuah wilayah subur di Timur
 Tengah dan strategis karena merupakan pintu gerbang masuk ke daratan 
Asia. Kemenangan di Ninive sangat penting bagi Byzantium untuk 
memuluskan ekspansinya ke Asia dan membuka jalur perdagangannya dengan 
negeri-negeri Timur, khususnya India dan Cina. Hambatan terbesar bagi 
Byzantium adalah kemaharajaan Persia yang sejak abad ke-2 SM telah 
tampil sebagai adikuasa baru di Asia.
Pada 
abad ke-7 itu pula agama Kristen telah mantap dan mapan sebagai agama 
resmi dari kekaisaran Byzantium. Doktrin Trinitas telah ditetapkan 
sebagai satu-satunya ajaran resmi dari agama Kristen dan pantang 
digugat. Madzab-madzab Kristen lain seperti Yaakibbah (Jacobian) dan 
Nasaritah (Nestoria) dianggap aliran sesat dan menyimpang, khususnya 
karena tidak mengakui ketuhanan Yesus. Pada akhir abad ke-6 M, kaisar 
Yustianus aliran-aliran yang menolak doktrin trinitas itu dilarang di 
seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium. Para pemimpin 
dan cendikiawan mereka diusir dari Konstantinopel, ibukota Byzantium.

 
Tidak lama setelah kemenangan tentara Byzantium di Ninive itu, 
pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemaharajaan Persia dan 
wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium seperti Syam (Syria), Palestina,
 Lbanon, Mesir, Yerusalem, Iraq dan Yaman. Wilayah-wilayah yang direbut 
kaum Muslimin ini sebagian merupakan wilayah bangsa Arab yang secara 
bergentian diduduki Byzantium dan Persia. Ninive merupakan ibukota 
kerajaan Hira. Pada tahun 590 M wilayah inii direbut penguasa Dinastii 
Ghazzan yang meerintah di Palestina dan Yordania. Kerajaan Ghazzan 
adalah negara vasal dari kekaisaran Byzantium. Akibat penaklukan itu, 
orang-orang Arab yang merupakan penduduk Hira, banyak yang mengungsi ke 
Jazirah Arab dan tinggal di Madinah.
Menjelang awal abad ke-7 M, Persia kembali merebut Hira. Byzantium 
kembali menyerang wilayah ini. Demikian pada tahun 614 M tentara 
Byzantium dapat memukul mundur tentara Persia. Raja Hira melarikan diri 
ke Jazirah Arab. Pada tahun 631 M khalifah Abu Bakar Sidiq mengirim misi
 dagang dan dakwah ke Hira, tetapi rombongan dari Madinah itu digantai 
habis oleh penguasa Byzantium. Atas desakan penduduk Madinah yang 
berasal dari Hira, pasukan kaum Muslimin menyerbu Hira dan mengusir 
tentara Byzantium dari tanah air mareka.
Kemenangan kaum Muslimin ini disambut gembira di wilayah-wilayah Arab 
yang dikuasai Byzantium seperti Syam, Palestina, Libanon, Yerusalem dan 
Mesir. Para penganut madzah Nasaritah dan Yaakibah yang telah lama 
ditindas oleh penguasa Byzantium, meminta bantuan kaum Muslimin untuk 
membebaskan negeri mereka dari penjajahan Romawi dan Kristen Barat. 
Permintaan ini dipenuhi oleh khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). 
Dalam peperangannya melawan pasukan pendudukan Byzantium itu memperoleh 
kemenangan yang gilang gemilang sehingga Syam, Palestina, Libanon dan 
Mesir jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Semenjak
 itulah Eropa benar-benar menganggap bahwa Islam merupakan ancaman besar
 bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Telah dikatakan bahwa anggapan 
ini berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah dan doktrin 
Kristen Eropa dengan aqidah dan doktrin Islam. Karena aqidah dan doktrin
 yang diajarkan Islam bertentangan dengan aqidah dan doktrin Trinitas 
Kristen, lahinyr agama Islam menanam perasaan benci yang mendalam dalam 
hati mereka. Betapa tidak. Doktrin Trinitas yang mereka agungkan digugat
 oleh ajaran Tauhid dari Islam. Yesus yang mereka yakini sebagai putra 
Tuhan, dipandang hanya sebagai nabi seperti halnya nabi lain sebelum 
Nabi Muhammad s.a.w. Islam juga menolak anggapan bahwa yang wafat di 
palang salib adalah Yesus, melainkan orang lain yang mirip Isa Almasih.
Lebih
 jauh orang Islam yakin bahwa Injil dalam bahasa Latin yang ada di 
tangan orang Kristen bukan Injil asli yang diwahyukan kepada Nabi Isa 
dalam bahasa Suryani (Syria Kuna). Memang, seperti orang Kristen, orang 
Islam percaya pada hari kebangkitan, serta adanya sorga dan neraka. 
Tetapi orang Kristen mengecam keyakinan orang Islam bahwa mereka yang 
masuk sorga mendapat pahala berupa kesenangan sensual. Maka lahirlah 
anggapan di kalangan orang Kristen Byzantium/Eropa bahwa orang Islam 
patuh pada ajaran agama dan berjuang membela ajaran agama mereka 
disebabkan pamrih sensual dan seksual. Kebencian bertambah-tambah karena
 dalam waktu relatif wilayah-wilayah Byzantium direbut oleh kaum 
Muslimin..
           
Perang Salib 
  
Persoalan-persoalan
 tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akhir abad ke-8 M, 
setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung Iberia (Spanyol dan
 Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil menerobos wilayah 
Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada masa itu. 
Sembilan abad kemudian pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa 
terulang lagi. Pasukan Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang 
selama satu milenium membangun peradaban dan kebudayaan dengan tenang, 
tanpa gangguan yang berarti dari luar benua itu. Bahkan pada abad ke-18 
dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, 
Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak negeri dunia termasuk 
wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan Turki Usmani yang 
perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan kota-kota mereka. 
Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu masuk utama ke 
Eropa Barat dan Skandinavia.
Kenyataan ini 
semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang 
disebarkan melalui peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya 
merupakan ancaman besar bagi peradaban Eropa. Untuk membendungnya 
merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab kalau dibiarkan tatanan dunia 
akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang lahir di padang pasir 
Arabia yang tandus itu. Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak 
tahun 600 SM hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak 
henti-hentinnya kemaharajaan Romawi dan Makedonia menggobrak-abrik 
wilayah yang dihuni orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan 
berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka lupa bahwa 
kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab seperti Hira, Petra, Himyar, 
Palestina dan lain-lain telah berulang kali diserbu dan menjadi ajang 
rebutan kekaisaran Romawi dan Persia.
Selama beberapa abad pula 
orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru 
memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenekmoyang mereka setelah
 datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam 
dipandang sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serrta dapat
 mempersatuka mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari 
pandangan orang Eropa yang menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan 
malapetaka.
Perang Salib yang berlangsung selama hampir
 dua abad (1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian 
orang Eropa terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa 
Kristen. Orang Eropa jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang 
diharapkan dari peperangan yang lama itu dan tidak pula berhasil merebut
 Yerusalem tempat salib suci disimpan. Ketika itu kekuasaan Bani Saljug 
di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang mencapai 
puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah 
paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug. 
Perang dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan 
Armenia dan Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak. 
Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang 
agama.           
(1956:255) William K. Langer 
menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut 
Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar 
Byzantium kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari 
berbagai negara Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius 
VII mengubah bantuan militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan 
tentara Islam yang dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang 
ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah 
Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung 
halamannya, mereka menebar issue bahwa orang Kristen di Yerusalem dan 
Palestina banyak yang dianiaya dan disiksa, serta wanita-wanita mereka 
diperkosa oleh tentara Saljug. Ini menimbulkan amarah kasir Byzantium di
 Kontantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh daratan Eropa.    
         
Ketika itu sedang terjadi pula 
pergolakan internal dalam tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan 
Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing merebut kepemimpinan umat 
Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan Perang Salib itu 
sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib sedang 
digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II 
diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II 
dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, 
Perancis, yaitu Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari 
Byzantium selain meminta bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh 
umat Nasrani di Eropa untuk membantu rencana perangnya. Dalam imbauannya
 Kaisar Byzantium memnjanjikan bahwa barang siapa berani bergabung 
dengan tentara salib, sebagai balas jasanya akan dilimpahi kekayaan dan 
memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita.
Perang Salib 
tambah berkobar disebabkan khotbah keliling yang dilakukan seorang rahib
 bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib barang siapa yang ikut 
berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat pengampunan 
dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah 
tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada
 permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib 
mengalami kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai 
Yerusalem selama beberapa tahun.
Fakta-fakta 
yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran bahwa sejak awal orang 
Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam, baik 
Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang 
memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa 
abad kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok 
tinggi yang memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan 
dunia Kristen di Barat. Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah 
yaang dihasilkan oleh pembangunan tembok pemisah antara dua peradaban 
ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang Islam sangat buruk dalam 
semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata Barat dalam 
memandang dan menyikapi Islam.
Dikatakan 
misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran sesat dan bentuk 
kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain, Islam 
adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang 
memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama 
Bahira. Kitab suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di 
atas tanduk lembu putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah
 tukang sihir yang berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh
 wahyu dari Tuhan setelah melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu 
melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita di luar 
nikah.Mereka menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad 
s.a.w. sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak
 memiliki mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai 
Nabi dan Rasul Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan 
pemuka agama Kristen terhadap kaum Muslimin dan agama Islam.mencari 
kemiripan ajaran al-Qur’an dengan Bibel;           
Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I, keinginan 
mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan 
terpelajar Eropa. Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, 
begitu pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan 
al-Qur’an pertama dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana 
Inggris Robert dri Ketton pada tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13 
dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam ditumpukan pada dua hal;
Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena dua hal. 
Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang dari
 tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian 
Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang 
sebagai perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh
 orang Islam. Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium
 sebelum Perang Salib meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah 
demi kekuasaan politik dan sumber-sumber ekonomi. Adalah 
penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa gereja yang pertama kali 
menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang antar budaya dan 
peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia itu 
sebagai perang agama.
Dalam sebuah dramanya berjudul 
(Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang masyhur pada 
abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai 
penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena 
dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan 
Sultan Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan
 dari Tuhan. Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama Nabi Luth 
dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika 
itu penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam 
dapat dilihat dalam Kecaman lain yang ditujukan kepada 
Islam ialah berkenaan dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad 
s.a.w. Tetapi mereka bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan 
lain-lain mempunyai istri lebih dari satu, tetapi tidak membuat mereka 
berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini.
Bahkan Edward Gibbon 
(abad ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya Pandangan orang 
Eropa pada zaman Renaissan dan Reformasi (abad ke-15 – 16 M) telah 
berubah, padahal mereka telah mulai memandang gereja secara kritis. 
Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan Kristen 
abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya 
sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen 
dan ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang
 kenikmatan seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang 
di jalan Tuhan.
Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus
 d’Hesbelot,  merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang 
disampaikan Nabi Muhammad s.a.w.memulai entrinya dengan kalimat-kalimat 
serupa.  Voltaire (akhir abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi 
Muhammad akan wafat, beliau mewasiatkan kepada para penggantinya agar 
kejahatan-kejahatan yang dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak 
merusak keimanan kaum Muslimin.          
Martin Luther, pendiri 
Protestanisme bersama-sama dengan Calvin dan Zwingli, menyamakan 
kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja 
Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s. 
Pada 
permulaan abad ke-18, memasuki zaman (Pencerahan)  sebenarnya sejumlah 
sarjana Eropa sedang sibuk membangun dasar-dasar pemahaman yang lebih 
luas tentang Islam dan kebudayaan Timur. Ketika itu pamor agama Kristen 
mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang dibangun oleh Kristen 
Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa yang mulai 
sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat 
bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun 
pemahaman mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh 
Eropanisme. Khusus mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara
 lain disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani 
Turki, yang pada abad ke-18 M memang sangat kuat. 
setahun
 kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India 
melawan tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad 
ke-19 Rusia berhasil menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus
 dan wilayah Asia Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang 
anti-kolonial yang ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra, 
khususnya Perang Diponegoro di Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam 
Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial ketiga yang paling berat 
dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri, ialah Perang Aceh.
 Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan ‘jihad’ melawan kolonial 
oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi.pada tahun 1798 secara dramatis 
Perancis menaklukkan Mesir tanpa mengalami banyak kesukaran. Untuk 
merebut hati orang Islam, Napoleon menggunakan jargon-jargon yang 
diambil dari ajaran Islam.             
Baru pada akhir 
abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa mereka dapat melakukan hubungan
 produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat mengalahkan dan menguasai 
mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal:
Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari kungkungan 
pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam beserta
 kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah 
berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh 
peluang itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu
 pengetahuan tentang dunia Timur, khsususnya Islam, yang dirancang 
mengikuti metode dan kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang 
inilah kampanye misionaris menentang Islam kian menjadi-jadi. 
Bersama-sama penguasa kolonial mereka berusaha melucuti kekuatan umat 
Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya dan intelektual dan 
dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah kebudayaan bangsa 
Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam yang buruk 
terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas. 
Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan citra 
negatif tentang Islam ialah buku Sir William Muir.Di Hindia Belanda 
tokoh utama orientalisme yang berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah
 kolonial mengenai Islam ialah Snouck Hurgronje. Setelah berakhirnya 
Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis membuat konstruksi ilmu 
yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan modern, terutama untuk
 kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu tersebut, Islam – 
kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan sebagai roh 
jahat yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan seksual. 
Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku 
Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an , terbit di Bombay 
pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris 
sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau
 Isa Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi 
Muhammad adalah utusan setan.. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari
 buku William Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan 
orang-orang India yang beragama Hindu dan Islam.
             
  Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada utusan
 pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, “Jika orang 
Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan 
dan akan menyambut anda dengan tangan terbuka.” Ucapan serupa pernah 
dikemukakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada 
kepala perwakilan dagang VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda 
memeluk agama Islam dan dengan demikian akan leluasa melakukan aktivitas
 perdagangan di Sumatra tanpa gangguan yang berarti. Ini menunjukkan 
bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekedar masalah 
politik dan ekonomi. 
Dalam bukunya yang telah disebutkan William 
Muir mengatakan, “Pedang Muhammad dan al-Qur’an adalah musuh paling 
berbahaya bagi Peradaban, Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi 
oleh dunia yang beradab!” Kurang lebih seperti inilah pemahaman tentang 
Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran para pemimpin Eropa, sebelum dan
 sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon sampai zaman Bush dan 
Tonny Blayr.
Dalam sajak ini Multatuli mengatasnamakan 
dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara Diponegoro. 
Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah puas 
jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas 
jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah 
memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu 
dikatakan, bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum, 
“Orang Jawa berlutut di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang 
terlembut, dari cengkraman anjing-anjing Kristen.”             Gambaran 
tentang Islam sebagai agama kekerasan dan menghalalkan kekebasan seks 
dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana dan pengarang Eropa 
abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert, novelis Perancis 
abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris. Gambaran dan 
pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak “Hari Terakhir Olanda di
 Tanah Jawa” karangan Multatuli, novelis Beland abad ke-19 yang masyhur 
karena novelnya
Memang selama dua abad ini 
tidak sedikit sarjana Barat yang berusaha memberikan pemahaman yang 
simpatik terhadap agama Islam dan kaum Muslimin. Itu terjadi sejak 
Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua beberapa dasawarsa 
yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih meningkatkan 
toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut adalah 
agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu 
dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak 
seorang pun tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para 
orientalis yang simpatik terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa 
orang Eropa dan Amerika yang telah keruh, tidak seorang di antara kita 
dapat menjawabnya.
CATATAN

 
- mengatakan
 bahwa konfrontasi Islam dan Kristen/Barat dimulai dari bidang agama dan
 spiritual. Penulis Kristen selalu menggunakan argumen licik terutama 
berkaitan dengan pribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kemudian gambaran ini 
diperbaiki sedikit. Orang Islam digambarkan sebagai pemalas, apa dia 
Muslim Turki, Ara, Melayu atau India. Selain pemalas orang Islam 
digambarkan egosentirk dan senang seks. Sebetulnya banyak hal-hal baik 
dari Islam mereka ketahui, tetapi sengaja ditutup-tutupi.G.H. Jansen 
(1979) dalam bukunya
 
- Misionaris Kristen mengeluh orang 
Islam enggan diajak berdebat dan bedialog menyangkut kepercayaan agama 
mereka. Diam itu emas dan tidak mudah terpencing adalah senjata orang 
Islam sampai abad ke-17 M. Kegiatan misionaris semakin menonjol setelah 
Napoleon menaklukkan Mesir. Kegiatan missi dan zending Kristen pada abad
 ke-19 mempunyai hubungan erat dengan perluasan kekuasaan dari kaum 
penjajah. Karena mereka menjumpai perlawanan sengit dari orang Islam. 
Karena membiarkan dirinya menjadi alasat kekuasaan kolonial inilah orang
 Islam memandang mereka sebagai musuh.
 
- Walau missi mereka
 gagal pada abad ke-18 M, tetapi pada pada abad ke-19 mereka yakin 
berhasil. Dugaan ini meleset. Orang Islam yang telah disekulerkan 
seperti di Indonesia dan mendapat pendidikan Barat justru menentang 
kolonialisme. Ini membuat penguasa Barat semakin jengkel.
Sumber