Oleh Abdul Hadi W. M.
Islam dan Barat, atau Barat dan Islam adalah kisah benturan budaya dan
peradaban yang panjang serta nyaris membosankan. Sejak 1300 tahun yang
lalu, Eropa atau Barat terus menerus memandang Islam sebagai ancaman
terbesar. Peristiwa peledakan bom di kantor Pm Norwegia beberapa waktu
lalu oleh Ander Breivik yang dialanjutkan dengan pembantaian 72 pemuda
Partai Buruh oleh tokoh yang sama, adalah suatu bukti bahwa kebencian
terhadap Islam kaum muslimin tidak kunjung mati di Eropa. Begitu
peristiwa yang menggegerkan tersiar, yang dituduh sebagai pelakunya
ialah Islam ekstrim atau radikal. Dampaknya ialah suburnya kembali
sentimen anti-Islam di Eropa, walau kemudian diketahui bahwa pelakunya
adalah seorang ultra-nasionalis dan fundamentalis Kristen yang fanatik
dan sangat membenci imigran Muslim. Bukan hanya itu, apa yang dilakukan
Breivik yang membenci imigran Muslim itu didukung oleh tokoh-tokoh
politik Eropa berhaluan liberal kanan.
Jika
kita telusuri sejarahnya, awal kebencian terhadap Islam di Eropa
berkaitan dengan perbedaan sistem kepercayaan orang Eropa dan orang Islam
yang merupakan tetangganya paling dekat. Baru kemudian merembet ke
bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan militer. Sejak itu Eropa
menyusun berbagai siasat untuk menghancurkan dan memporakporandakan
dunia Islam yang agamanya berkembang pesat di Afrika Utaa, Andalusia,
Dunia Arab dan Asia Barat. Untuk memahami pergaduhan ini, kita dituntut
menelusuri akar dan perjalanan sejarahnya. Yaitu sejak agama Islam
muncul dan berkembang pesat pada abad ke-7 M.
Bersamaan dengan berkembanganya Islam di Jazirah Arab itu, Buyzantium
(Romawi Timur) baru saja mengalahkan Persia, saingan beratnya selama
berabad-abad di medan perang Ninive, Iraq, sebuah wilayah subur di Timur
Tengah dan strategis karena merupakan pintu gerbang masuk ke daratan
Asia. Kemenangan di Ninive sangat penting bagi Byzantium untuk
memuluskan ekspansinya ke Asia dan membuka jalur perdagangannya dengan
negeri-negeri Timur, khususnya India dan Cina. Hambatan terbesar bagi
Byzantium adalah kemaharajaan Persia yang sejak abad ke-2 SM telah
tampil sebagai adikuasa baru di Asia.
Pada
abad ke-7 itu pula agama Kristen telah mantap dan mapan sebagai agama
resmi dari kekaisaran Byzantium. Doktrin Trinitas telah ditetapkan
sebagai satu-satunya ajaran resmi dari agama Kristen dan pantang
digugat. Madzab-madzab Kristen lain seperti Yaakibbah (Jacobian) dan
Nasaritah (Nestoria) dianggap aliran sesat dan menyimpang, khususnya
karena tidak mengakui ketuhanan Yesus. Pada akhir abad ke-6 M, kaisar
Yustianus aliran-aliran yang menolak doktrin trinitas itu dilarang di
seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium. Para pemimpin
dan cendikiawan mereka diusir dari Konstantinopel, ibukota Byzantium.
Tidak lama setelah kemenangan tentara Byzantium di Ninive itu,
pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemaharajaan Persia dan
wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium seperti Syam (Syria), Palestina,
Lbanon, Mesir, Yerusalem, Iraq dan Yaman. Wilayah-wilayah yang direbut
kaum Muslimin ini sebagian merupakan wilayah bangsa Arab yang secara
bergentian diduduki Byzantium dan Persia. Ninive merupakan ibukota
kerajaan Hira. Pada tahun 590 M wilayah inii direbut penguasa Dinastii
Ghazzan yang meerintah di Palestina dan Yordania. Kerajaan Ghazzan
adalah negara vasal dari kekaisaran Byzantium. Akibat penaklukan itu,
orang-orang Arab yang merupakan penduduk Hira, banyak yang mengungsi ke
Jazirah Arab dan tinggal di Madinah.
Menjelang awal abad ke-7 M, Persia kembali merebut Hira. Byzantium
kembali menyerang wilayah ini. Demikian pada tahun 614 M tentara
Byzantium dapat memukul mundur tentara Persia. Raja Hira melarikan diri
ke Jazirah Arab. Pada tahun 631 M khalifah Abu Bakar Sidiq mengirim misi
dagang dan dakwah ke Hira, tetapi rombongan dari Madinah itu digantai
habis oleh penguasa Byzantium. Atas desakan penduduk Madinah yang
berasal dari Hira, pasukan kaum Muslimin menyerbu Hira dan mengusir
tentara Byzantium dari tanah air mareka.
Kemenangan kaum Muslimin ini disambut gembira di wilayah-wilayah Arab
yang dikuasai Byzantium seperti Syam, Palestina, Libanon, Yerusalem dan
Mesir. Para penganut madzah Nasaritah dan Yaakibah yang telah lama
ditindas oleh penguasa Byzantium, meminta bantuan kaum Muslimin untuk
membebaskan negeri mereka dari penjajahan Romawi dan Kristen Barat.
Permintaan ini dipenuhi oleh khalifah Umar bin Khattab (634-644 M).
Dalam peperangannya melawan pasukan pendudukan Byzantium itu memperoleh
kemenangan yang gilang gemilang sehingga Syam, Palestina, Libanon dan
Mesir jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Semenjak
itulah Eropa benar-benar menganggap bahwa Islam merupakan ancaman besar
bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Telah dikatakan bahwa anggapan
ini berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah dan doktrin
Kristen Eropa dengan aqidah dan doktrin Islam. Karena aqidah dan doktrin
yang diajarkan Islam bertentangan dengan aqidah dan doktrin Trinitas
Kristen, lahinyr agama Islam menanam perasaan benci yang mendalam dalam
hati mereka. Betapa tidak. Doktrin Trinitas yang mereka agungkan digugat
oleh ajaran Tauhid dari Islam. Yesus yang mereka yakini sebagai putra
Tuhan, dipandang hanya sebagai nabi seperti halnya nabi lain sebelum
Nabi Muhammad s.a.w. Islam juga menolak anggapan bahwa yang wafat di
palang salib adalah Yesus, melainkan orang lain yang mirip Isa Almasih.
Lebih
jauh orang Islam yakin bahwa Injil dalam bahasa Latin yang ada di
tangan orang Kristen bukan Injil asli yang diwahyukan kepada Nabi Isa
dalam bahasa Suryani (Syria Kuna). Memang, seperti orang Kristen, orang
Islam percaya pada hari kebangkitan, serta adanya sorga dan neraka.
Tetapi orang Kristen mengecam keyakinan orang Islam bahwa mereka yang
masuk sorga mendapat pahala berupa kesenangan sensual. Maka lahirlah
anggapan di kalangan orang Kristen Byzantium/Eropa bahwa orang Islam
patuh pada ajaran agama dan berjuang membela ajaran agama mereka
disebabkan pamrih sensual dan seksual. Kebencian bertambah-tambah karena
dalam waktu relatif wilayah-wilayah Byzantium direbut oleh kaum
Muslimin..
Perang Salib
Persoalan-persoalan
tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akhir abad ke-8 M,
setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung Iberia (Spanyol dan
Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil menerobos wilayah
Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada masa itu.
Sembilan abad kemudian pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa
terulang lagi. Pasukan Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang
selama satu milenium membangun peradaban dan kebudayaan dengan tenang,
tanpa gangguan yang berarti dari luar benua itu. Bahkan pada abad ke-18
dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris,
Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak negeri dunia termasuk
wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan Turki Usmani yang
perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan kota-kota mereka.
Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu masuk utama ke
Eropa Barat dan Skandinavia.
Kenyataan ini
semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang
disebarkan melalui peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya
merupakan ancaman besar bagi peradaban Eropa. Untuk membendungnya
merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab kalau dibiarkan tatanan dunia
akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang lahir di padang pasir
Arabia yang tandus itu. Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak
tahun 600 SM hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak
henti-hentinnya kemaharajaan Romawi dan Makedonia menggobrak-abrik
wilayah yang dihuni orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan
berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka lupa bahwa
kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab seperti Hira, Petra, Himyar,
Palestina dan lain-lain telah berulang kali diserbu dan menjadi ajang
rebutan kekaisaran Romawi dan Persia.
Selama beberapa abad pula
orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru
memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenekmoyang mereka setelah
datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam
dipandang sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serrta dapat
mempersatuka mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari
pandangan orang Eropa yang menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan
malapetaka.
Perang Salib yang berlangsung selama hampir
dua abad (1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian
orang Eropa terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa
Kristen. Orang Eropa jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang
diharapkan dari peperangan yang lama itu dan tidak pula berhasil merebut
Yerusalem tempat salib suci disimpan. Ketika itu kekuasaan Bani Saljug
di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang mencapai
puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah
paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug.
Perang dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan
Armenia dan Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak.
Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang
agama.
(1956:255) William K. Langer
menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut
Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar
Byzantium kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari
berbagai negara Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius
VII mengubah bantuan militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan
tentara Islam yang dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang
ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah
Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung
halamannya, mereka menebar issue bahwa orang Kristen di Yerusalem dan
Palestina banyak yang dianiaya dan disiksa, serta wanita-wanita mereka
diperkosa oleh tentara Saljug. Ini menimbulkan amarah kasir Byzantium di
Kontantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh daratan Eropa.
Ketika itu sedang terjadi pula
pergolakan internal dalam tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan
Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing merebut kepemimpinan umat
Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan Perang Salib itu
sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib sedang
digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II
diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II
dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne,
Perancis, yaitu Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari
Byzantium selain meminta bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh
umat Nasrani di Eropa untuk membantu rencana perangnya. Dalam imbauannya
Kaisar Byzantium memnjanjikan bahwa barang siapa berani bergabung
dengan tentara salib, sebagai balas jasanya akan dilimpahi kekayaan dan
memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita.
Perang Salib
tambah berkobar disebabkan khotbah keliling yang dilakukan seorang rahib
bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib barang siapa yang ikut
berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat pengampunan
dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah
tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada
permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib
mengalami kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai
Yerusalem selama beberapa tahun.
Fakta-fakta
yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran bahwa sejak awal orang
Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam, baik
Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang
memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa
abad kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok
tinggi yang memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan
dunia Kristen di Barat. Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah
yaang dihasilkan oleh pembangunan tembok pemisah antara dua peradaban
ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang Islam sangat buruk dalam
semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata Barat dalam
memandang dan menyikapi Islam.
Dikatakan
misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran sesat dan bentuk
kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain, Islam
adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang
memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama
Bahira. Kitab suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di
atas tanduk lembu putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah
tukang sihir yang berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh
wahyu dari Tuhan setelah melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu
melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita di luar
nikah.Mereka menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad
s.a.w. sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak
memiliki mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai
Nabi dan Rasul Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan
pemuka agama Kristen terhadap kaum Muslimin dan agama Islam.mencari
kemiripan ajaran al-Qur’an dengan Bibel;
Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I, keinginan
mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan
terpelajar Eropa. Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
begitu pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan
al-Qur’an pertama dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana
Inggris Robert dri Ketton pada tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13
dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam ditumpukan pada dua hal;
Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena dua hal.
Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang dari
tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian
Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang
sebagai perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh
orang Islam. Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium
sebelum Perang Salib meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah
demi kekuasaan politik dan sumber-sumber ekonomi. Adalah
penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa gereja yang pertama kali
menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang antar budaya dan
peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia itu
sebagai perang agama.
Dalam sebuah dramanya berjudul
(Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang masyhur pada
abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai
penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena
dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan
Sultan Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan
dari Tuhan. Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama Nabi Luth
dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika
itu penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam
dapat dilihat dalam Kecaman lain yang ditujukan kepada
Islam ialah berkenaan dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad
s.a.w. Tetapi mereka bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan
lain-lain mempunyai istri lebih dari satu, tetapi tidak membuat mereka
berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini.
Bahkan Edward Gibbon
(abad ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya Pandangan orang
Eropa pada zaman Renaissan dan Reformasi (abad ke-15 – 16 M) telah
berubah, padahal mereka telah mulai memandang gereja secara kritis.
Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan Kristen
abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya
sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen
dan ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang
kenikmatan seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang
di jalan Tuhan.
Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus
d’Hesbelot, merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang
disampaikan Nabi Muhammad s.a.w.memulai entrinya dengan kalimat-kalimat
serupa. Voltaire (akhir abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi
Muhammad akan wafat, beliau mewasiatkan kepada para penggantinya agar
kejahatan-kejahatan yang dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak
merusak keimanan kaum Muslimin.
Martin Luther, pendiri
Protestanisme bersama-sama dengan Calvin dan Zwingli, menyamakan
kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja
Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
Pada
permulaan abad ke-18, memasuki zaman (Pencerahan) sebenarnya sejumlah
sarjana Eropa sedang sibuk membangun dasar-dasar pemahaman yang lebih
luas tentang Islam dan kebudayaan Timur. Ketika itu pamor agama Kristen
mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang dibangun oleh Kristen
Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa yang mulai
sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat
bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun
pemahaman mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh
Eropanisme. Khusus mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara
lain disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani
Turki, yang pada abad ke-18 M memang sangat kuat.
setahun
kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India
melawan tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad
ke-19 Rusia berhasil menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus
dan wilayah Asia Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang
anti-kolonial yang ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra,
khususnya Perang Diponegoro di Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam
Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial ketiga yang paling berat
dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri, ialah Perang Aceh.
Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan ‘jihad’ melawan kolonial
oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi.pada tahun 1798 secara dramatis
Perancis menaklukkan Mesir tanpa mengalami banyak kesukaran. Untuk
merebut hati orang Islam, Napoleon menggunakan jargon-jargon yang
diambil dari ajaran Islam.
Baru pada akhir
abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa mereka dapat melakukan hubungan
produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat mengalahkan dan menguasai
mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal:
Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari kungkungan
pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam beserta
kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah
berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh
peluang itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu
pengetahuan tentang dunia Timur, khsususnya Islam, yang dirancang
mengikuti metode dan kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang
inilah kampanye misionaris menentang Islam kian menjadi-jadi.
Bersama-sama penguasa kolonial mereka berusaha melucuti kekuatan umat
Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya dan intelektual dan
dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah kebudayaan bangsa
Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam yang buruk
terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas.
Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan citra
negatif tentang Islam ialah buku Sir William Muir.Di Hindia Belanda
tokoh utama orientalisme yang berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah
kolonial mengenai Islam ialah Snouck Hurgronje. Setelah berakhirnya
Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis membuat konstruksi ilmu
yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan modern, terutama untuk
kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu tersebut, Islam –
kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan sebagai roh
jahat yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan seksual.
Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku
Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an , terbit di Bombay
pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris
sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau
Isa Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi
Muhammad adalah utusan setan.. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari
buku William Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan
orang-orang India yang beragama Hindu dan Islam.
Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada utusan
pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, “Jika orang
Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan
dan akan menyambut anda dengan tangan terbuka.” Ucapan serupa pernah
dikemukakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada
kepala perwakilan dagang VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda
memeluk agama Islam dan dengan demikian akan leluasa melakukan aktivitas
perdagangan di Sumatra tanpa gangguan yang berarti. Ini menunjukkan
bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekedar masalah
politik dan ekonomi.
Dalam bukunya yang telah disebutkan William
Muir mengatakan, “Pedang Muhammad dan al-Qur’an adalah musuh paling
berbahaya bagi Peradaban, Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi
oleh dunia yang beradab!” Kurang lebih seperti inilah pemahaman tentang
Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran para pemimpin Eropa, sebelum dan
sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon sampai zaman Bush dan
Tonny Blayr.
Dalam sajak ini Multatuli mengatasnamakan
dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara Diponegoro.
Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah puas
jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas
jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah
memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu
dikatakan, bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum,
“Orang Jawa berlutut di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang
terlembut, dari cengkraman anjing-anjing Kristen.” Gambaran
tentang Islam sebagai agama kekerasan dan menghalalkan kekebasan seks
dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana dan pengarang Eropa
abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert, novelis Perancis
abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris. Gambaran dan
pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak “Hari Terakhir Olanda di
Tanah Jawa” karangan Multatuli, novelis Beland abad ke-19 yang masyhur
karena novelnya
Memang selama dua abad ini
tidak sedikit sarjana Barat yang berusaha memberikan pemahaman yang
simpatik terhadap agama Islam dan kaum Muslimin. Itu terjadi sejak
Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua beberapa dasawarsa
yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih meningkatkan
toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut adalah
agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu
dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak
seorang pun tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para
orientalis yang simpatik terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa
orang Eropa dan Amerika yang telah keruh, tidak seorang di antara kita
dapat menjawabnya.
CATATAN
- mengatakan
bahwa konfrontasi Islam dan Kristen/Barat dimulai dari bidang agama dan
spiritual. Penulis Kristen selalu menggunakan argumen licik terutama
berkaitan dengan pribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kemudian gambaran ini
diperbaiki sedikit. Orang Islam digambarkan sebagai pemalas, apa dia
Muslim Turki, Ara, Melayu atau India. Selain pemalas orang Islam
digambarkan egosentirk dan senang seks. Sebetulnya banyak hal-hal baik
dari Islam mereka ketahui, tetapi sengaja ditutup-tutupi.G.H. Jansen
(1979) dalam bukunya
- Misionaris Kristen mengeluh orang
Islam enggan diajak berdebat dan bedialog menyangkut kepercayaan agama
mereka. Diam itu emas dan tidak mudah terpencing adalah senjata orang
Islam sampai abad ke-17 M. Kegiatan misionaris semakin menonjol setelah
Napoleon menaklukkan Mesir. Kegiatan missi dan zending Kristen pada abad
ke-19 mempunyai hubungan erat dengan perluasan kekuasaan dari kaum
penjajah. Karena mereka menjumpai perlawanan sengit dari orang Islam.
Karena membiarkan dirinya menjadi alasat kekuasaan kolonial inilah orang
Islam memandang mereka sebagai musuh.
- Walau missi mereka
gagal pada abad ke-18 M, tetapi pada pada abad ke-19 mereka yakin
berhasil. Dugaan ini meleset. Orang Islam yang telah disekulerkan
seperti di Indonesia dan mendapat pendidikan Barat justru menentang
kolonialisme. Ini membuat penguasa Barat semakin jengkel.
Sumber