TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE
Showing posts with label kedai kopi Bebas. Show all posts
Showing posts with label kedai kopi Bebas. Show all posts

Secangkir Kopi Sufi

Oleh: Candra Malik
Iman dibangun atas empat pilar keyakinan. Yaitu ilmal yaqin atau percaya berdasarkan pengetahuan, 'ainul yaqin atau percaya berdasarkan pandangan langsung, haqqul yaqin atau percaya berdasarkan pengalaman pribadi, dan ikmal yaqin atau percaya berdasarkan keterlibatan mendalam.
Ilmal yaqin dapat diibaratkan sebagai mula-awal belajar. Seorang Sufi menimba ilmu dari siapa pun, terutama dari gurunya, tentang sesuatu hal. Sebagaimana seorang pehobi masak mencatat resep masakan dari seorang Chef. Jika berhenti hanya pada menimba ilmu, apalagi jika sebanyak-banyaknya, maka semakin banyak ilmu justru semakin berat beban hidupnya.
Para Sufi memiliki analogi yang satir, yaitu betapa pun seekor keledai menarik segerobak ilmu, toh ia tetaplah seekor keledai. Semakin banyak ilmu, jika tak diwujudkan menjadi amal, maka alih-alih membawa manfaat, ia justru menimbulkan madharat bagi penghimpun ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, ilmal yaqin harus dilanjutkan dengan 'ainul yaqin.
Kita bisa belajar dari kopi. Setelah mencatat bahwa secangkir kopi dibuat dari setuang air mendidih, setakar bubuk kopi, dan gula sebutuhnya, seorang Sufi harus melihat sendiri apa itu air, kopi, dan gula. Tak cukup baginya hanya mendapati air, kopi, dan gula sebagai susunan aksara. Hanya teks, dan bukan konteks.
Sesuai fitrahnya, kopi diseduh atau disajikan dengan ampasnya, dengan cangkir, bukan gelas. Tapi, mengapa harus demikian? Seorang Guru Tasawuf saya mengatakan," supaya kau seolah memegang kuping sendiri saat memegang kuping cangkir."
"Setelah kuping terpegang dan kopi mendekat, kau aktifkan lidah sebagai indera penyesap dan hidung sebagai indera pencium," lanjutnya. Mata sebagai indera penglihat akan menatap ke arah suwung tertentu, ketika kopi kita sesap dan seketika aromanya kita hirup. Segera panasnya secangkir kopi itu membuka pori-pori kulit, sehingga pendek kata: hiduplah seluruh lima indera dalam diri.
Inilah mengapa tatkala mengaji Tasawuf, seorang murid disuguhi secangkir kopi oleh sang mursyid. Lebih pahit lebih baik bagi indera. Seolah belum Sufi jika belum ngopi. Dan, memang demikianlah tradisi ngopi bermula: dari para Sufi yang melek semalam suntuk.
"Tahu dari mana itu kopi?" tanya Guru Tasawuf saya, suatu malam. Ia berseru,"siapa tahu aspal? Toh sama hitamnya sama pekatnya. Minumlah!"
Segera saya sesap secangkir kopi itu, saya rasakan dengan tamat, lalu saya jawab,"Ini benar kopi, Kiai. Yakin seyakin-yakinnya."
Guru saya itu berwasiat, iman dibangun setidaknya dengan empat keyakinan: 'ilmal yaqin, 'ainul yaqin, haqqul yaqin, ikmal yaqin. "Ilmal yaqin adalah yakin berdasar pengetahuan. Tahu secangkir kopi diracik dari air mendidih, kopi, dan gula dalam takaran tertentu. Namun, cita-rasa tak cukup hanya dari resep di atas kertas. 'Ainul yaqin adalah yakin berdasarkan kesaksian. Melihat kasunyatan," katanya.
Melihat sendiri,"O, ini yang disebut air mendidih. O, ini bubuk kopi. O, ini butiran gula." Nyata. Bukan lagi teori, bukan ilusi. Tapi, melihat saja pun tak cukup. Haqqul yaqin adalah yakin karena mengalami sendiri. Memasak air, meracik kopi. Terlibat prosesnya. Puncaknya keyakinan adalah ikmal yaqin, yaitu yakin karena merasakan sendiri. Menyesap kopi dan merasakan sensasinya.
Ini kopiku, mana kopimu?

Candra Malik, pengasuh Pesantren Asy-Syahadah, di Segoro Gunung, lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Mencari Dunia

politisi-pencari-dunia
Kejujuran memanglah penting. Apalagi saat menghubungkan diri dengan Tuhan.
Karena prasangka baik masyarakat bahwa Mbah Syahid Kemadu memiliki derajat luhur di sisi Allah, maka tiap hari beliau didatangi tamu-tamu yang beristighotsah (minta didoakan) untuk macam-macam hajat. Ada urusan kesehatan, urusan dagang, perjodohan, dan segala hajat hidup lainnya. Yang agak jarang adalah dari jenis mereka yang sedang mencari jabatan. Mungkin mereka jerih sendiri, karena beranggapan Mbah Syahid tak suka diistighotsahi soal jabatan.
Pernah seorang calon kepala desa sowan minta didoakan agar terpilih.
“Niatmu apa?” Mbah Syahid bertanya.
“Saya ingin berjuang, Mbah”, jawab si calur (calon lurah), “saya ingin agar masyarakat desa saya nanti lebih saleh, lebih taat beribadah dan syi’ar agama lebih semarak. Masjid dan madrasah akan saya renovasi. Rutinan Yasin, Tahlil dan Barzanji digiatkan…”, bla bla bla calur berusaha meyakinkan Mbah Syahid bahwa tujuannya mulia dan layak didukung dengan doa yang semantab-mantabnya.
Siapa nyana, Mbah Syahid justru memerah wajahnya, bangkit dari kursi dan masuk ke ruang dalam tanpa berkata apa-apa. Ditunggu seharian, beliau tak keluar-keluar lagi, hingga si calur putus asa dan pulang dengan hati galau.
Agaknya cerita si calur itu lantas beredar dari mulut ke mulut dan pada gilirannya menciutkan nyali kaum pemburu jabatan.
Yang tak banyak didengar orang adalah pengalaman Pak Mastur (bukan nama sebenarnya), seorang calur lainnya. Ketika Mbah Syahid menanyakan niatnya, Pak Mastur menjawab lugu,
“Bengkok lurah di desa saya itu luas sekali, Mbah. Makanya jadi rebutan. Yah… siapa tahu saya berjodoh…”
Mbah Syahid tersenyum bijak,
“Nanti kalau jadi lurah beneran jangan pelit ya! Orang-orang yang lemah itu ditolong. Cari sangu akherat sebanyak-banyaknya”.
Belakangan Pak Mastur menjadi lurah favorit warga desanya.
Di lain kesempatan, seorang politisi partai Islam mampir ke kediaman Mbah Syahid sepulang kampanye. Sang politisi adalah tokoh besar yang dimuliakan orang, bahkan sudah dipanggil kyai pula. Mbah Syahid pun memberikan penghormatan sesuai dengan kedudukannya,
“Habis dari mana ini?”
“Ini lho, Mbah…”, politisi meluncurkan pesonanya yang khas, “…mencari akherat kok sulitnya bukan main…”
Tapi Mbah Syahid tidak kelihatan terkesan.
“Ah, masih lebih sulit mencari dunia kok”, kata beliau. Politisi tercekat. Merasa kalau sudah salah bicara.
“Coba bayangkan susahnya penjual daun”, Mbah Syahid melanjutkan, “pagi-pagi berangkat ke hutan. Memanjat pohon jati. Menyenggeti daun-daunnya. Daun-daun yang jatuh pun melayang sembarangan, sehingga harus berjalan kesana-kemari untuk mengumpulkannya. Ditumpuki, dibawa ke pasar. Sampai di pasar belum tentu laku pula…”
Hingga hampir satu jam sesudah itu, sampai tiba saatnya pamit, politisi tak berani berkata apa-apa lagi.

sumber : http://teronggosong.com/

Etos Salafi

kitab-kuning-etos-salafi
Konon, ilmu tidak dapat merubah watak, alih-alih justru memperkuat ekspresinya. Sebuah hikayat menceritakan perdebatan antara Luqman Al Hakim dengan rajanya tentangthabi’ah (watak) dantarbiyyah (pendidikan): mana yang lebih kuat? Luqman berpendapatthabi’ah lebih kuat, Raja sebaliknya.
Barangkali karena kalah ahli, Raja merasa mustahil memenangkan perdebatan itu hanya dengan kata-kata. Maka ia minta waktu beberapa bulan untuk menghadirkan bukti nyata kebenaran pendapatnya.
Tenggang waktu itu dipergunakan untuk melatih sekumpulan anak kucing secara rahasia. Pada akhir tenggatnya, Raja mengundang Luqman untuk menyaksikan pembuktian dalam sebuah perjamuan makan. Raja tidak menyadari bahwa Luqman telah memperoleh info tentang kucing-kucing itu dan datang ke perjamuan dengan berbekal persiapannya sendiri.
Para tamu undangan hadir dengan gairah ingin menyaksikan siasat Sang Raja menekuk Luqman Si Bijak. Maka Raja pun memberi tanda. Dan keluarlah seregu kucing berbusana layaknya para pelayan istana. Mereka berjalan diatas dua kaki dan berbaris rapi. Tangan-tanggan… maaf… kaki-kaki depan mereka masing-masing menyangga nampan berisi hidangan ikan berbagai rasa. Kucing-kucing itu begerak lucu tapi tenang, meletakkan nampan-nampan ke atas meja tanpa sedikit pun keliahatan tertarik menyentuh ikannya.
Dan Sang Raja tersenyum puas sekali,
“Lihat! Pendidikanku telah merubah watak kucing-kucing itu!”
Tapi Luqman sama sekali tidak tampak grogi.
“Benarkan?” ia berujar santai. Lalu merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasianya: seekor tikus!
Ia lepas tikus itu ke tengah ruangan dan kucing-kucing pun berserabutan mengejarnya. Lupa berjalan seperti manusia. Lupa busana dan disiplin pelayan istana. Tak perduli sama sekali pada tamu-tamu, bahkan pada Sang Raja tuan mereka!
Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri sama-sama muridnya Kyai Hasyim Asy’ari. Boleh dikata ilmu mereka sama dan mereka pun beriparan pula. Tapi pendapat mereka tentang segala hal, terutama syari’at, senantiasa berbeda. Kyai Wahab ajarannya ringan-ringan, Kyai Bisri menekankan kehati-hatian.
Lebih ajaib dari merka adalah Kyai Bisri Mustofa dan adiknya, Kyai Misbah Mustofa. Dua bersaudara sekandung, tunggal-guru tunggal-ilmu. Tapi dari cara masing-masing menanggapi berbagai keadaan, perbedaan watak kelihatan sekali.
Sebagai anak-anak yatim, harta warisan mereka dikelola oleh sang wali, yakni kakak mereka sebapa, Kyai Zuhdi Mustofa. Dari harta itulah pendidikan mereka dibiayai. Dan dengan mempertimbangkan masa depan mereka, Kyai Zuhdi membagi mereka bekal mondok secara ngirit sekali.
Kyai Misbah pun menjalani kehidupan santri yang penuh tirakat: makan sesedikit mungkin supaya bisa menyisakan sebanyak mungkin untuk membeli kitab.Kyai Bisri merekrut sejumlah temannya sesama santri melarat dan membuka “perusahaan tukang masak”. Santri-santri kaya dibujuk menjadi klien, menyerahkan uang makan mereka untuk dikelola sehingga tanpa perlu repot mereka tinggal makan setiap waktunya. Santri-santri melarat pekerja perusahaan itu pun beruntung bisa nebeng makan bareng santri-santri kaya.
Di kemudian hari, pandangan-pandangan Kyai Bisri dan Kyai Misbah dalam masalah-masalah agama tak pernah sama.
Paling ajaib dari semuanya adalah Kyai Ali Ma’shum dan adik ipar sekaligus murid kesayangannya, Kyai Zainal Abidin Munawwir.
Kyai Zainal tak punya guru selain Kyai Ali. Praktis segala yang ia ketahui tentang agama, mulai alif-ba’-ta’ sampai pengetahuan tertinggi, ia dapatkan dari Kyai Ali. Toh kenyataan itu tak menjadikannya foto kopi. Ia bahkan menjadi “gambar” yang berbeda sama sekali. Kyai Ali membongkar, Kyai Zainal membatasi. Mbah Ali meringkas, Mbah Zainal menambahi.
Tapi didalam perbedaan itu ada yang senantiasa sama, bukan hanya diantara mereka saja, tapi diantara segala ulama sepanjang masa. Yaitu kesetiaan kepada ilmu, dantazkiyyatun nafs, penjernihan diri. Para kyai itu bertindak berdasarkan ilmu dan tidak bertindak kecuali atas dasar ilmu. Dalam membersihkan jiwa pun mereka selalu sama ngototnya. Walaupun caranya berbeda.
Mbah Zainal menjernihkan diri dengan menghindari segala yang bagi lumrahnya manusia dapat mengotori. Mbah Ali membongkar berbagai bingkai nilai bikinan manusia dan meraih makna hakiki.
Mbah Zainal tidak mau berjalan melewati gereja, tidak mau memandang ke arah tiang listrik yang bentuknya menyerupai salib, tidak menyukai pohon cemara, demi melindungi benaknya sendiri agar hal-hal yang lumrahnya merupakan simbol-simbol nasrani itu tak mendapat jalan untuk membersit di pikirannya. Mbah Ali membongkar segala “lembaga persepsi” atas benda-benda dan mengembalikannya pada realitas sejatinya: sekedar benda.
Itu sebabnya saat Mbah Zainal ingin menebang pohon cemara di halaman pondok Krapyak, yakni pohon yang dalam persepsi umum merupakan simbol natal, Mbah Ali mencegahnya dengan mengatakan,
“Sejak kapan pohon punya agama?”
Kesetiaan kepada ilmu dan penjernihan diri, itulah etos para ulama yang diwariskan oleh Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Kesimpulan fiqih bisa saja berganti-ganti, tapi etos ini abadi. Etos para pengampu agama sejak zaman salaf. Etos salafi.

sumber : http://teronggosong.com/

MAQOM


"Setiap orang punya maqom. Dan dalam setiapmaqom, skala prioritas amalnya berbeda dari maqomlainnya", demikian ajaran Kiyai Bisri Mustofa.

Bagi orang yang maqomnya 'alim, yaitu telah (relatif) sempurna pengetahuannya tentang (syari'at) agama, mengajar adalah amal paling utama baginya. Yang maqomnya muta'allim (pelajar): ya belajar. Yang maqomnyamutaharrif, yaitu orang yang mempunyai tanggungan nafkah tapi tidak bisa memperoleh penghasilan kecuali dengan bekerja setiap harinya, bekerja (mencari nafkah) adalah amal paling utama baginya.

Pada mulanya, Kiyai Ma'shum rahimahullah, ayahanda Kiyai Ali Ma'shum, berdagang secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dengan jadwal yang tetap. Demikian dikisahkan dalam buku biografi beliau, karya M. Luthfi Thomafi. Diantara langganannya adalah pasar-pasar di Cirebon, Demak dan Jombang. Di setiap kota itu Kiyai Ma'shum membagi waktu. Usai berdagang di pasar, sejumlah santri telah menunggunya di masjid, untuk memperoleh pengajaran berbagai kitab darinya.

Bertahun-tahun beliau menekuni pola kegiatan itu, dengan maksud menjaga keseimbangan antara mencari nafkah dan mengajarkan ilmu. Sampai akhirnya Kanjeng Nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi Wasallam datang di salah satu mimpinya dan memerintahkannya berhenti berdagang untuk kemudian membangun pesantren dan mengkhususkan diri dengan mengajarkan ilmu saja. Kiyai Ma'shum patuh. Pesantren dibangunnya di Desa Soditan, Lasem, kemudian berhenti berdagang sama sekali dan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar.

Kiyai Abdul Wahab Husain rahimahullah sudah punya tanggungan santri yang cukup banyak di pesantrennya di desa Kauman, Sulang, Rembang. Tapi Kiyai Wahab tetap menekuni pekerjaannya sebagai polangan (pedagang) kambing. Menjelajahi desa-desa untuk membeli kambing-kambing petani adalah pekerjaan beliau sehari-hari. Pada hari pasaran, sendiri pula beliau menggiring kambing-kambing itu ke pasar hewan.

Hari itu, dengan topi laken khas polangan dan pecut di tangan, Kiyai Wahab menggiring kambing-kambingnya menyusuri jalan raya. Susah payah ia jaga agar kambing-kambing itu tidak melantur terlalu ke tengah, walaupun jalan raya agak sepi. Tiba-tiba sebuah mobil yang berjalan lambat-lambat dari arah belakang melintasinya. Kurang ajarnya, mobil itu malah sengaja menerjang barisan kambing-kambingnya sehingga kocar-kacir tak karuan. Sudah tentu Kiyai Wahab kaget, kelabakan, dan berang bukan alang kepalang! Apalagi mobil itu malah lantas berhenti tidak jauh darinya, seolah menantang!

Di kursi belakang terlihat ada seorang penumpang, tapi kurang jelas karena kacanya gelap. Kiyai Wahab yang jadhug lagi berangasan tak memperdulikan lagi kambing-kambingnya. Dengan penuh  amarah ia hampiri jendela disamping penumpang itu. Ia yakin, itu boss, yang punya mobil. Digebraknya atap mobil dengan garang, sekalian melampiaskan kekesalan.

Kaca jendela diturunkan, dan sebuah kepala melongok keluar. Bukan main kagetnya Kiyai Wahab. Ternyata orang itu adalah... Kiyai Bisri! Gurunya sendiri!

"Sudah jadi kiyai punya pondok kok santrinya ditinggal polangan wedhus", kata Kiyai Bisri, "pulang sana!"

Legenda Kiyai Alhamdulillah: Mengenang Mbah Kiyai Ahmad Syahid Kemadu

Kyai Ahmad Syahid Sholihun, Kemadu
Kyai Ahmad Syahid Sholihun, Kemadu
Demak tergolong daerah kering. Bahkan air untuk kebutuhan sehari-hari pun bukan perkara mudah. Tidak heran, warga kemudian memanfaatkan kanal irigasi sepanjang tepian jalan raya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka akan air. Kalau kau bepergian melewati kawasan itu, akan kau lihat di tepi sebelah Utara jalan orang-orang sibuk dengan bermacam kegiatan di kanal, mulai dari buang hajat sampai dengan mencuci beras sebelum ditanak.
Seusai mengikuti suatu kegiatan Nahdlatul Ulama di Semarang, rombongan kyai Rembang dalam satu mobil dalam perjalanan pulang. Diantara mereka adalah Mbah Kyai Ahmad Syahid bin Sholihun rahimahullah dari Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang.
Melewati wilayah Demak yang jalanannya senantiasa dalam kondisi buruk, mobil itu tak dapat melaju kencang. Tiba-tiba dari dalam air kanal di pinggir jalan itu menyembul sesosok (untungnya!) laki-laki tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya. Dengan penuh percaya diri, laki-laki itu mendaki keatas tebing sembari menggenggam erat pusat rasa malunya —seolah-olah jika yang itu tertutup berarti seluruh bagian tubuh sisanya pun tak kelihatan.
Terang saja pemandangan tak senonoh itu menghujam penglihatan para kyai. Lumrah bila beliau-beliau terperanjat bukan kepalang.
“Astaghfirullah!” Kyai Mabrur berseru.
“Maa syaa-allaah!” Kyai Wahab.
“Laa ilaaha illallaah!” Kyai Tamam.
“Subhaanallaah!” Kyai Sahlan.
Dan Mbah Syahid?
“Al… ham… dulillaaaah…”
* * * * *
Selain merupakan dzikir yang dibiasakan, “alhamdulillah” bagi Mbah Syahid adalahkredo. Segala yang terjadi adalah kehendak dan karya Allah: “maa syaa-allaahu kaana wa maa lam yasya lam yakun”. Dan dalam setiap kehendak dan karya-Nya, hanya pujianlah yang patut bagi Allah. Selama saya mengenal Mbah Syahid —ingatan terjauh saya adalah ketika masih kanak-kanak antara 5-6 tahun diajak kakek saya berkunjung ke kediaman beliau dan saya mengejar-ngejar seekor menthog yang oleh Mbah Syahid kemudian dihadiahkan kepada saya— belum pernah saya mendengar beliau nyebutselain “alhamdulillah”.
Ada orang mengabarkan lahir anaknya,
“Alhamdulillah”.
Orang menceritakan laku sapinya,
“Alhamdulillah”.
Orang wadul sakit isterinya,
“Alhamdulillah”.
Orang meninggal bapaknya,
“Alhamdulillah”.
Seolah tak ada dzikir yang patut selain “alhamdulillah”.
Sejauh bentang ingatan saya, entah sejak kapan, Mbah Syahid dijuluki orang “Kyai Alhamdulillah”. Pesantrennya yang tanpa papan nama —dan memang tak pernah diberi nama— disebut-sebut orang “Pesantren Alhamdulillah”.
Hari ini, lima tahun yang lalu, tepat sebelas hari setelah meninggalnya Kyai Kholil Bisri, Mbah Syahid kembali kepada Kekasihnya. Lahumal faatihah….

sumber : http://teronggosong.com/

Antara Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Ma’shum

Kyai Ali Ma'shum
Kyai Ali Ma’shum
Mbah Kyai Ali Ma’shumrahimahullahterlahir dengan kecerdasan istimewa. Pada usia remaja, beliau sudah menjadi amat ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Kefashihan beliau sulit dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathirahimahullah, Kyai Ali diberi hak untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previles yang tidak didapatkan bahkan oleh santri-santri yang jauh lebih senior. Bukan karena Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem). Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai Abdul Hamid (Pasuruan) yang pada waktu itu juga mondok bareng di Termas. Previles itu diberikan sebagai pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali. Di kemudian hari, Kyai Ali Ma’shum pun diakui sebagai kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.
Tidak heran jika, sesudah trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri) “habis” dengan wafatnya Kyai Bisri Syansuri, semua kyai yang hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) untuk mendaulat Kyai Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah Ali menolak. Tapi semua kyai mendesak beliau bertubi-tubi. Dari pagi hingga malam Gus Mus menunggui di kediaman beliau di Krapyak, dengan tekad tak akan beringsut sebelum beliau menyatakan kesediaan. Dengan berlinangan air mata, Mbah Ali akhirnya menyerah.
“Aku tak mau jabatan”, beliau berkata, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”
Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan satu-satunya— anak-anak muda yang getol dengan pembaharuan, ketika gagasan-gagasan kreatif mereka memanaskan telinga kebanyakan kyai karena dianggap terlampau berani.
Barangkali orang masih ingat, bagaimana Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu ketika merasa tak kuat lagi menenggang “keliaran” Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU sehingga hubungan diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith Muzadi ke Situbondo.
“Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith, “sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”.
Kyai Muhith angkat tangan.
“Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…”
“Wah, saya ’dak biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”
Pada kesempatan lain, Kyai As’ad mengundang kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum berhalangan, hanya mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal Pasuruan, membawa surat beliau untuk para kyai yang hadir di Surabaya.
“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.
Rapat itu rupanya membahas Gus Dur dengan segala kembelingannya, sehingga akhirnya kyai-kyai sepakat untuk membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad untuk menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yang kemudian benar-benar dibaca didepan majlis itu ternyata berisi pernyataan tegas bahwa Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari jabatannya. Kyai As’ad tak punya pilihan.
“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”
Keputusan rapat pun batal.
Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memang bukan perjalanan yang mudah. Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.
“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu, “tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.
Mbah Ali tersenyum bijak.
“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.
Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalibkarramallahu wajhah, bahwa pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidinsebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affanradliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.
Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?
“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”

sumber : http://teronggosong.com/

Kuat Kaya

“Dia itu KUAT MISKIN, tapi nggak KUAT KAYA…”
Semenjak masih miskin, Fu Lan memang tinggi gengsinya. Walaupun lapar, tak mau dikasihani. Sesudah kaya, dia royal sekali. Gemar menghamburkan uang untuk dibagi-bagikan kepada orang. Saya ingatkan agar hati-hati dan pakai perhitungan strategis dalam pengeluaran, dia tak perduli.
“Bagaimana nanti saja”, katanya.
Lu Fan sebaliknya. Seorang kiyai mengeluhkan tabiat Lu Fan kepada saya,
“Bakhil sekali!” kata Pak Kiyai, “Sudah berapa lama saya jadi pendukung setianya? Tak sepeser pun ia pernah menyedekahi saya!”
Saya ketawa.
“Dia itu KUAT KAYA, ‘Yi”, saya membela, “pandai menyimpan kekayaan dan mengeluarkannya hanya untuk keperluan strategis saja. Kalau dia tidak menyedekahi ‘njenengan, berarti ‘njenengan tidak strategis!”

sumber : http://teronggosong.com/

Calon Wali

Gus Mus dan Gus Cholil
Gus Mus dan Gus Cholil
Sebelum mondok di Krapyak, Yogya, Gus Mus dan Gus Kholil muda sempat mondok di Lirboyo, Kediri. Pada waktu itu Lirboyo terkenal gudangnya ilmu hikmah dan kanuragan. Maka dua santri kakak-beradik ini pun tak ketinggalan, getolmesu diri, tirakat, menekuni gemblengan untuk mempelajari berbagai ilmu kejadugan.
Sampailah akhirnya kesempatan pulang kampung di waktu liburan. Sebagai orang-orang “dhugdheng alu gembreng”, dua bersaudara ini pulang ke Rembang dengan bersengaja mengenakan pakaian dan perhiasan yang menegaskan kejadugan mereka:
  1. Rambut gondrong sampai ke punggung pertanda tak mempan dicukur
  2. Baju kutung dan celana komprang sebatas dengkul, semua serba hitam, khas pendekar
  3. Ikat kepala batik dan terompah kayu yang tebalnya hampir sehasta yang mungkin mereka kira mirip kepunyaan Sunan Kalijaga; dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bergaya super-pendekar yang membuat jerih siapa pun disekitarnya. Memandang langsung kepada mereka pun orang tak berani, takut dikira nantang.
Tak dinyana, begitu sampai di rumah, Mbah Bisri, ayahanda mereka marah besar!
Segala pakaian dan perhiasan kependekaran mereka dilucuti dan dibakar. Karena tak ada yang mampu mencukur rambut mereka —benar-benar jadug rupanya, Mbah Bisri sendiri yang turun tangan membabat habis rambut mereka. Pendek kata mereka divonis harus berhenti main jadug-jadugan!
Kenapa Mbah Bisri melakukan semua itu?
“AKU SAJA CUMA KIYAI KOK KALIAN MAU JADI WALI!”
Kakak-beradik itu akhirnya dipindahkan mondoknya ke Krapyak, Yogya.

sumber : http://teronggosong.com/

Wasiat

Kyai Abdullah Salam
Kyai Abdullah Salam
Menjelang wafat, Kyai Abdussalam menyuruh orang memanggil putera keduanya, Gus Abdullah, agar menghadap.
“Gus Mahfudh juga?” orang yang disuruh menanyakan putera pertama beliau, apakah perlu dipanggil juga.
Mbah Salam menggeleng,
“Nggak usah. Mahfudh sudah cukup”.
Ketika Gus Abdullah menghadap, Mbah Salam pun hanya bicara singkat saja,
“Kowe ojo golek kepenak”. Kamu jangan mencari kenyamanan.
Kemudian beliau wafat.
Orang bertanya-tanya, mengapa Gus Mahfudh tidak mendapat wasiat seperti adiknya. Apakah berarti Gus Mahfudh boleh mencari kenyamanan? Atau dianggap benar-benar sudah tahu bahwa kenyamanan tak boleh dicari?
Belakangan baru dipahami kewaskitaan Mbah Salam. Kyai Mahfudh, sang putera sulung, mengangkat senjata menghadapi NICA dan gugur dalam sebuah pertempuran di Salatiga. Hingga kini tak diketahui dimana kuburnya. Seorang putera beliau, Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdussalam, pun harus menghabiskan seluruh hidupnya dalam tungkus-lumus yang jauh dari nyaman dalam khidmah kepada Nahdlatul Ulama, hingga akhir hayatnya.
Adapun sang putera kedua, Kyai Abdullah Salam, mati-matian menggigit wasiat ayahnya itu sekuat geraham. Mbah Dullah tidak mau membangun pondok demi memblokir keinginginan mendapatkan santri. Jangan dikata mengambil santri untuk menjadi khadam rumah tangganya, itu pantangan!
“Jangan sekali-kali kamu membiayai santri seolah-olah kamu dermawan, tapi mengambil manfaat tenaganya kamu pekerjakan di rumahmu”, Mbah Dullah mewanti-wanti keponakannya, Kyai Mu’adz Thohir, “itu nista!”
Kyai Mu’adz cuma bisa melongo. Teringat betapa kaprahnya kyai dimana-mana mengambil khadam dari antara santri-santrinya.
“Daripada begitu, masih mendingan kau suruh nyaimu jualan nasi!” Mbah Dullah melanjutkan wanti-wantinya.
“Jualan nasi, maksudnya gimana, Pakdhe?” Kyai Mu’adz tak paham.
“Lha nyai terima kos-kosan makan santri-santri itu ‘kan jualan nasi namanya!”

sumber: http://teronggosong.com/

Do’a Politik

Kyai Bisri Mustofa Pidato
Kyai Bisri Mustofa Pidato
Pada jaman Orde Baru dulu, bicara tak bisa terlalu bebas. Apalagi bicara politik. Apalagi kepada kumpulan massa yang besar.
Maka pengajian umum hanya bisa digelar bila ada ijin dari Pemerintah. Sedangkan untuk memperoleh ijin itu prosedurnya panjang dan “menakutkan”. Tak kurang dari 20 tanda tangan harus bisa didapatkan oleh panitia dari pejabat-pejabat yang berwenang di semua tingkatan dan semua sektor pemerintahan, baik sipil maupun militer –yang termasuk didalamnya adalah polisi. Dari RT ke RW ke Lurah ke Polsek ke Koramil ke Camat ke Polres ke Kejaksaan Negeri… dan seterusnya.
Saat pengajian digelar pun selalu ada petugas intelejen dari kepolisian yang menunggui. Petugas itu berwenang penuh membiarkan acara terus berlangsung atau menghentikannya kapan pun ia suka, atas nama stabilitas.
Kyai Bisri Mustofa sudah hadir di arena sebuah pengajian sebagai pembicara yang diundang untuk memberikan mau’idhoh hasanah. Tapi panitia bingung dan susah hati tak keruan karena intel polisi tiba-tiba melarang mereka memberikan panggung kepada Kyai Bisri.
Tampak jelas air mata yang menitik di wajah panitia ketika mewadulkan hal itu kepada beliau. Kyai Bisri malah acuh tak acuh saja.
“Coba tanya polisinya, kalau berdoa saja boleh enggak?” kata beliau.
Panitia menurut dengan hati gundah. Dan tak juga merasa lega ketika polisi meluluskan permintaannya. Jauh-jauh didatangkan, kalau cuma berdoa tanpa ngaji jelas bikin kecewa.
Tapi apa boleh buat, pengajian dilangsungkan tanpa mata acara mau’idhoh hasanah. Dan Kyai Bisri diundang ke panggung untuk langsung memimpin doa.
“Al Faaatihah!” Kyai Bisri memulai seperti lazimnya doa, hadirin membaca dengan hati gundah-gulana. Kyai Bisri pun meneruskan dengan hamdalah, sholawat dan salam, diiringi amin-amin hadirin. Yang kurang lazim adalah bahwa kalimat-kalimat doa selanjutnya tidak lagi pakai bahasa Arab, tapi bahasa daerah.
“Dhuh Gusti Pengeran Kulo, Panjenengan Maha mengetahui. Kami semua berkumpul di tempat ini, mengharap barokah seorang hambaMu yang Kau kasihi. Guru kami. Pengasuh jiwa kami. Ulama pejuang. Pahlawan negeri ini. Yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk membela, menjaga dan membangun bangsanya…
Dhuh Gusti Tuhan kami, Panjenengan Maha Mengetahui. Tak terhitung banyaknya kyai dan santri telah berjuang. Mempersembahkan jiwa-raga demi bangsa dan negara. Berapa banyak diantara mereka telah gugur berkalang tanah? Menjadi korban keganasan penjajah? Meninggalkan kami semua yang sedih dan kehilangan.
Tapi Panjenengan Maha Tahu, Ya Allah, kami tidak menyesal. Kami tidak menyesal mereka tinggalkan. Kami tidak menyesal walaupun saudari-saudari kami menjadi janda. Keponakan-keponakan kami menjadi yatim. Sama sekali. Gugurnya mereka tidak kami sesali. Walaupun itu karena suwuk kebal yang tidak manjur…” (hadirin berusaha menahan tawa)…”Kami menangis bukan karena sedih yang berkepanjangan. Kami menangis penuh kebanggaan. Dan pengharapan akan berkah pahala perjuangan mereka untuk kami semua. Dan Bangsa ini. Bangsa dan Negara yang kami cintai…”
“… Bukalah hati para pemimpin kami. Ingatkan mereka akan cita-cita kemerdekaan. Akan impian bebasnya rakyat dari penindasan. Akn keadilan dan kemakmuran…”
“…Mohon Kau beri petunjuk pula kepada Pak Polisi yang mengawasi pengajian ini…” (tawa hadirin terpaksa meledak)… “Cerdaskanlah akalnya. Lembutkanlah hatinya. Agar mampu membedakan, mana yang mengancam negara, mana yang membangun rakyatnya…”
Demikianlah, doa berlangsung panjang sekali. Malah lebih panjang dari mau’idhoh hasanah yang biasanya. Hadirin beramin-amin sebisanya. Kadang ingat kadang lupa. Karena diaduk-aduk perasaannya oleh kalimat-kalimat doa. Kadang bangkit semangatnya berkobar-kobar. Kadang dibikin terharu sampai mata berkaca-kaca. Kadang tak kuat lagi menahan tawa.
Usai seluruh acara, panitia mengelu-elukan Kyai Bisri dengan sumringah dan riang-gembira. Pak Polisi tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin sedang menitikkan air mata.

sumber: http://teronggosong.com/

ISLAM DAN BARAT:, BENTURAN YANG TAK KUNJUNG USAI

Oleh Abdul Hadi W. M.


     Islam dan Barat, atau Barat dan Islam adalah kisah benturan budaya dan peradaban yang panjang serta nyaris membosankan. Sejak 1300 tahun yang lalu, Eropa atau Barat terus menerus memandang Islam sebagai ancaman terbesar. Peristiwa peledakan bom di kantor Pm Norwegia beberapa waktu lalu oleh Ander Breivik yang dialanjutkan dengan pembantaian 72 pemuda Partai Buruh oleh tokoh yang sama, adalah suatu bukti bahwa kebencian terhadap Islam kaum muslimin tidak kunjung mati di Eropa. Begitu peristiwa yang menggegerkan tersiar, yang dituduh sebagai pelakunya ialah Islam ekstrim atau radikal. Dampaknya ialah suburnya kembali sentimen anti-Islam di Eropa, walau kemudian diketahui bahwa pelakunya adalah seorang ultra-nasionalis dan fundamentalis Kristen yang fanatik dan sangat membenci imigran Muslim. Bukan hanya itu, apa yang dilakukan Breivik yang membenci imigran Muslim itu didukung oleh tokoh-tokoh politik Eropa berhaluan liberal kanan.

Jika kita telusuri sejarahnya, awal kebencian terhadap Islam di Eropa berkaitan dengan perbedaan sistem kepercayaan orang Eropa dan orang Islam yang merupakan tetangganya paling dekat. Baru kemudian merembet ke bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan militer. Sejak itu Eropa menyusun berbagai siasat untuk menghancurkan dan memporakporandakan dunia Islam yang agamanya berkembang pesat di Afrika Utaa, Andalusia, Dunia Arab dan Asia Barat. Untuk memahami pergaduhan ini, kita dituntut menelusuri akar dan perjalanan sejarahnya. Yaitu sejak agama Islam muncul dan berkembang pesat pada abad ke-7 M.

Bersamaan dengan berkembanganya Islam di Jazirah Arab itu, Buyzantium (Romawi Timur) baru saja mengalahkan Persia, saingan beratnya selama berabad-abad di medan perang Ninive, Iraq, sebuah wilayah subur di Timur Tengah dan strategis karena merupakan pintu gerbang masuk ke daratan Asia. Kemenangan di Ninive sangat penting bagi Byzantium untuk memuluskan ekspansinya ke Asia dan membuka jalur perdagangannya dengan negeri-negeri Timur, khususnya India dan Cina. Hambatan terbesar bagi Byzantium adalah kemaharajaan Persia yang sejak abad ke-2 SM telah tampil sebagai adikuasa baru di Asia.

Pada abad ke-7 itu pula agama Kristen telah mantap dan mapan sebagai agama resmi dari kekaisaran Byzantium. Doktrin Trinitas telah ditetapkan sebagai satu-satunya ajaran resmi dari agama Kristen dan pantang digugat. Madzab-madzab Kristen lain seperti Yaakibbah (Jacobian) dan Nasaritah (Nestoria) dianggap aliran sesat dan menyimpang, khususnya karena tidak mengakui ketuhanan Yesus. Pada akhir abad ke-6 M, kaisar Yustianus aliran-aliran yang menolak doktrin trinitas itu dilarang di seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium. Para pemimpin dan cendikiawan mereka diusir dari Konstantinopel, ibukota Byzantium.


Tidak lama setelah kemenangan tentara Byzantium di Ninive itu, pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemaharajaan Persia dan wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium seperti Syam (Syria), Palestina, Lbanon, Mesir, Yerusalem, Iraq dan Yaman. Wilayah-wilayah yang direbut kaum Muslimin ini sebagian merupakan wilayah bangsa Arab yang secara bergentian diduduki Byzantium dan Persia. Ninive merupakan ibukota kerajaan Hira. Pada tahun 590 M wilayah inii direbut penguasa Dinastii Ghazzan yang meerintah di Palestina dan Yordania. Kerajaan Ghazzan adalah negara vasal dari kekaisaran Byzantium. Akibat penaklukan itu, orang-orang Arab yang merupakan penduduk Hira, banyak yang mengungsi ke Jazirah Arab dan tinggal di Madinah.

Menjelang awal abad ke-7 M, Persia kembali merebut Hira. Byzantium kembali menyerang wilayah ini. Demikian pada tahun 614 M tentara Byzantium dapat memukul mundur tentara Persia. Raja Hira melarikan diri ke Jazirah Arab. Pada tahun 631 M khalifah Abu Bakar Sidiq mengirim misi dagang dan dakwah ke Hira, tetapi rombongan dari Madinah itu digantai habis oleh penguasa Byzantium. Atas desakan penduduk Madinah yang berasal dari Hira, pasukan kaum Muslimin menyerbu Hira dan mengusir tentara Byzantium dari tanah air mareka.

Kemenangan kaum Muslimin ini disambut gembira di wilayah-wilayah Arab yang dikuasai Byzantium seperti Syam, Palestina, Libanon, Yerusalem dan Mesir. Para penganut madzah Nasaritah dan Yaakibah yang telah lama ditindas oleh penguasa Byzantium, meminta bantuan kaum Muslimin untuk membebaskan negeri mereka dari penjajahan Romawi dan Kristen Barat. Permintaan ini dipenuhi oleh khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Dalam peperangannya melawan pasukan pendudukan Byzantium itu memperoleh kemenangan yang gilang gemilang sehingga Syam, Palestina, Libanon dan Mesir jatuh ke tangan kaum Muslimin.

Semenjak itulah Eropa benar-benar menganggap bahwa Islam merupakan ancaman besar bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Telah dikatakan bahwa anggapan ini berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah dan doktrin Kristen Eropa dengan aqidah dan doktrin Islam. Karena aqidah dan doktrin yang diajarkan Islam bertentangan dengan aqidah dan doktrin Trinitas Kristen, lahinyr agama Islam menanam perasaan benci yang mendalam dalam hati mereka. Betapa tidak. Doktrin Trinitas yang mereka agungkan digugat oleh ajaran Tauhid dari Islam. Yesus yang mereka yakini sebagai putra Tuhan, dipandang hanya sebagai nabi seperti halnya nabi lain sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Islam juga menolak anggapan bahwa yang wafat di palang salib adalah Yesus, melainkan orang lain yang mirip Isa Almasih.
Lebih jauh orang Islam yakin bahwa Injil dalam bahasa Latin yang ada di tangan orang Kristen bukan Injil asli yang diwahyukan kepada Nabi Isa dalam bahasa Suryani (Syria Kuna). Memang, seperti orang Kristen, orang Islam percaya pada hari kebangkitan, serta adanya sorga dan neraka. Tetapi orang Kristen mengecam keyakinan orang Islam bahwa mereka yang masuk sorga mendapat pahala berupa kesenangan sensual. Maka lahirlah anggapan di kalangan orang Kristen Byzantium/Eropa bahwa orang Islam patuh pada ajaran agama dan berjuang membela ajaran agama mereka disebabkan pamrih sensual dan seksual. Kebencian bertambah-tambah karena dalam waktu relatif wilayah-wilayah Byzantium direbut oleh kaum Muslimin..

          

Perang Salib

 
Persoalan-persoalan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akhir abad ke-8 M, setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil menerobos wilayah Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada masa itu. Sembilan abad kemudian pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa terulang lagi. Pasukan Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang selama satu milenium membangun peradaban dan kebudayaan dengan tenang, tanpa gangguan yang berarti dari luar benua itu. Bahkan pada abad ke-18 dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak negeri dunia termasuk wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan Turki Usmani yang perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan kota-kota mereka. Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu masuk utama ke Eropa Barat dan Skandinavia.

Kenyataan ini semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang disebarkan melalui peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya merupakan ancaman besar bagi peradaban Eropa. Untuk membendungnya merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab kalau dibiarkan tatanan dunia akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang lahir di padang pasir Arabia yang tandus itu. Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak tahun 600 SM hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak henti-hentinnya kemaharajaan Romawi dan Makedonia menggobrak-abrik wilayah yang dihuni orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka lupa bahwa kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab seperti Hira, Petra, Himyar, Palestina dan lain-lain telah berulang kali diserbu dan menjadi ajang rebutan kekaisaran Romawi dan Persia.
Selama beberapa abad pula orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenekmoyang mereka setelah datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam dipandang sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serrta dapat mempersatuka mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari pandangan orang Eropa yang menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan malapetaka.

Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian orang Eropa terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa Kristen. Orang Eropa jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang diharapkan dari peperangan yang lama itu dan tidak pula berhasil merebut Yerusalem tempat salib suci disimpan. Ketika itu kekuasaan Bani Saljug di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang mencapai puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug. Perang dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan Armenia dan Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak. Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang agama.          

(1956:255) William K. Langer menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar Byzantium kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari berbagai negara Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius VII mengubah bantuan militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan tentara Islam yang dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka menebar issue bahwa orang Kristen di Yerusalem dan Palestina banyak yang dianiaya dan disiksa, serta wanita-wanita mereka diperkosa oleh tentara Saljug. Ini menimbulkan amarah kasir Byzantium di Kontantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh daratan Eropa.            

Ketika itu sedang terjadi pula pergolakan internal dalam tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing merebut kepemimpinan umat Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan Perang Salib itu sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib sedang digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, Perancis, yaitu Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari Byzantium selain meminta bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh umat Nasrani di Eropa untuk membantu rencana perangnya. Dalam imbauannya Kaisar Byzantium memnjanjikan bahwa barang siapa berani bergabung dengan tentara salib, sebagai balas jasanya akan dilimpahi kekayaan dan memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita.
Perang Salib tambah berkobar disebabkan khotbah keliling yang dilakukan seorang rahib bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib barang siapa yang ikut berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat pengampunan dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib mengalami kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai Yerusalem selama beberapa tahun.

Fakta-fakta yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran bahwa sejak awal orang Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam, baik Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa abad kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok tinggi yang memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan dunia Kristen di Barat. Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah yaang dihasilkan oleh pembangunan tembok pemisah antara dua peradaban ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang Islam sangat buruk dalam semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata Barat dalam memandang dan menyikapi Islam.

Dikatakan misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran sesat dan bentuk kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain, Islam adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Kitab suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di atas tanduk lembu putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah tukang sihir yang berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh wahyu dari Tuhan setelah melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita di luar nikah.Mereka menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai Nabi dan Rasul Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan pemuka agama Kristen terhadap kaum Muslimin dan agama Islam.mencari kemiripan ajaran al-Qur’an dengan Bibel;           

Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I, keinginan mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan terpelajar Eropa. Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, begitu pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan al-Qur’an pertama dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana Inggris Robert dri Ketton pada tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13 dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam ditumpukan pada dua hal;
Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena dua hal. Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang dari tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang sebagai perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh orang Islam. Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium sebelum Perang Salib meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah demi kekuasaan politik dan sumber-sumber ekonomi. Adalah penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa gereja yang pertama kali menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang antar budaya dan peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia itu sebagai perang agama.

Dalam sebuah dramanya berjudul (Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang masyhur pada abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan Sultan Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan dari Tuhan. Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama Nabi Luth dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika itu penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam dapat dilihat dalam Kecaman lain yang ditujukan kepada Islam ialah berkenaan dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi mereka bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan lain-lain mempunyai istri lebih dari satu, tetapi tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini.
Bahkan Edward Gibbon (abad ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya Pandangan orang Eropa pada zaman Renaissan dan Reformasi (abad ke-15 – 16 M) telah berubah, padahal mereka telah mulai memandang gereja secara kritis. Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan Kristen abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen dan ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang kenikmatan seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang di jalan Tuhan.

Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus d’Hesbelot,  merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang disampaikan Nabi Muhammad s.a.w.memulai entrinya dengan kalimat-kalimat serupa.  Voltaire (akhir abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan wafat, beliau mewasiatkan kepada para penggantinya agar kejahatan-kejahatan yang dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak merusak keimanan kaum Muslimin.          
Martin Luther, pendiri Protestanisme bersama-sama dengan Calvin dan Zwingli, menyamakan kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s.

Pada permulaan abad ke-18, memasuki zaman (Pencerahan) sebenarnya sejumlah sarjana Eropa sedang sibuk membangun dasar-dasar pemahaman yang lebih luas tentang Islam dan kebudayaan Timur. Ketika itu pamor agama Kristen mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang dibangun oleh Kristen Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa yang mulai sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun pemahaman mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh Eropanisme. Khusus mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara lain disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani Turki, yang pada abad ke-18 M memang sangat kuat.

setahun kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India melawan tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad ke-19 Rusia berhasil menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus dan wilayah Asia Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang anti-kolonial yang ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra, khususnya Perang Diponegoro di Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial ketiga yang paling berat dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri, ialah Perang Aceh. Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan ‘jihad’ melawan kolonial oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi.pada tahun 1798 secara dramatis Perancis menaklukkan Mesir tanpa mengalami banyak kesukaran. Untuk merebut hati orang Islam, Napoleon menggunakan jargon-jargon yang diambil dari ajaran Islam.            

Baru pada akhir abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa mereka dapat melakukan hubungan produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat mengalahkan dan menguasai mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal:
Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari kungkungan pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam beserta kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh peluang itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu pengetahuan tentang dunia Timur, khsususnya Islam, yang dirancang mengikuti metode dan kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang inilah kampanye misionaris menentang Islam kian menjadi-jadi. Bersama-sama penguasa kolonial mereka berusaha melucuti kekuatan umat Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya dan intelektual dan dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam yang buruk terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas.

Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan citra negatif tentang Islam ialah buku Sir William Muir.Di Hindia Belanda tokoh utama orientalisme yang berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial mengenai Islam ialah Snouck Hurgronje. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis membuat konstruksi ilmu yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan modern, terutama untuk kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu tersebut, Islam – kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan sebagai roh jahat yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan seksual. Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an , terbit di Bombay pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau Isa Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi Muhammad adalah utusan setan.. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari buku William Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan orang-orang India yang beragama Hindu dan Islam.
             
  Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada utusan pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, “Jika orang Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan dan akan menyambut anda dengan tangan terbuka.” Ucapan serupa pernah dikemukakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada kepala perwakilan dagang VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda memeluk agama Islam dan dengan demikian akan leluasa melakukan aktivitas perdagangan di Sumatra tanpa gangguan yang berarti. Ini menunjukkan bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekedar masalah politik dan ekonomi.
Dalam bukunya yang telah disebutkan William Muir mengatakan, “Pedang Muhammad dan al-Qur’an adalah musuh paling berbahaya bagi Peradaban, Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi oleh dunia yang beradab!” Kurang lebih seperti inilah pemahaman tentang Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran para pemimpin Eropa, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon sampai zaman Bush dan Tonny Blayr.

Dalam sajak ini Multatuli mengatasnamakan dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara Diponegoro. Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah puas jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu dikatakan, bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum, “Orang Jawa berlutut di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang terlembut, dari cengkraman anjing-anjing Kristen.”             Gambaran tentang Islam sebagai agama kekerasan dan menghalalkan kekebasan seks dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana dan pengarang Eropa abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert, novelis Perancis abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris. Gambaran dan pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak “Hari Terakhir Olanda di Tanah Jawa” karangan Multatuli, novelis Beland abad ke-19 yang masyhur karena novelnya

Memang selama dua abad ini tidak sedikit sarjana Barat yang berusaha memberikan pemahaman yang simpatik terhadap agama Islam dan kaum Muslimin. Itu terjadi sejak Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua beberapa dasawarsa yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih meningkatkan toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut adalah agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak seorang pun tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para orientalis yang simpatik terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa orang Eropa dan Amerika yang telah keruh, tidak seorang di antara kita dapat menjawabnya.


CATATAN

  1. mengatakan bahwa konfrontasi Islam dan Kristen/Barat dimulai dari bidang agama dan spiritual. Penulis Kristen selalu menggunakan argumen licik terutama berkaitan dengan pribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kemudian gambaran ini diperbaiki sedikit. Orang Islam digambarkan sebagai pemalas, apa dia Muslim Turki, Ara, Melayu atau India. Selain pemalas orang Islam digambarkan egosentirk dan senang seks. Sebetulnya banyak hal-hal baik dari Islam mereka ketahui, tetapi sengaja ditutup-tutupi.G.H. Jansen (1979) dalam bukunya
  2. Misionaris Kristen mengeluh orang Islam enggan diajak berdebat dan bedialog menyangkut kepercayaan agama mereka. Diam itu emas dan tidak mudah terpencing adalah senjata orang Islam sampai abad ke-17 M. Kegiatan misionaris semakin menonjol setelah Napoleon menaklukkan Mesir. Kegiatan missi dan zending Kristen pada abad ke-19 mempunyai hubungan erat dengan perluasan kekuasaan dari kaum penjajah. Karena mereka menjumpai perlawanan sengit dari orang Islam. Karena membiarkan dirinya menjadi alasat kekuasaan kolonial inilah orang Islam memandang mereka sebagai musuh.
  3. Walau missi mereka gagal pada abad ke-18 M, tetapi pada pada abad ke-19 mereka yakin berhasil. Dugaan ini meleset. Orang Islam yang telah disekulerkan seperti di Indonesia dan mendapat pendidikan Barat justru menentang kolonialisme. Ini membuat penguasa Barat semakin jengkel.


    Sumber

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate