Nama lengkap Suhrawardi adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habash
bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/
1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut
dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of
Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga
melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya.
Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan
Azerbaijan. Di kota ini ia belajar filsafat, hukum dan teologi kepada
Majd al-Din al-Jili. Untuk memperdalam kajian filsafat ia juga berguru
pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan
guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi Suhrawardi.
Pengembaraan ilmiahnya kemudian berlanjut ke Is}fahan, Iran Tengah
dan belajar logika kepada Zahir al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari
logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan al-Sawi.
Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan
diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan
Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan “gudang” tokoh-tokoh
sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya menekuni
mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari teori-teori
dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus mempraktekkannya
sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani hidupnya
dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola hidup
seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian
sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat
dikatakan sebagai seorang filosof sekaligus sufi.
Perjalanannya berakhir di Aleppo, Syria. Di sini ia berbeda pandangan
dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia dihukum penjara oleh gubernur
Aleppo Malik al-Zahir atas perintah ayahnya Sultan Salahuddin al-Ayyubi
di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan pandangannya.
Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam usia 36
tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender qamariyyah). Namun
demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui secara pasti,
hanya menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya yang
tragis ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya
yang berseberangan dengan para tokoh pada masa itu.
Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi
Melihat pada tahun hidupnya, peradaban Islam pada masa Suhrawardi berada
pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah
panjang peradaban Islam, terutama sejak bani Abbasiyah menjadi penguasa
dunia Islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiah klasik ke
dalam bahasa Arab peradaban Islam terus berkembang. Kegiatan
penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual
muslim dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indikator yang
paling real bagi masa keemasan Islam mulai abad X hingga mencapai
puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran Islam pada masa ini memiliki
tiga alur utama, pertama, falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, kedua, mistis
(tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan
al-Ghazali di antara pionir-pionirnya, ketiga¸ gabungan dari dua aliran
itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran
teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa
(dhawq) yang mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya
pada aliran ketiga inilah Suhrawardi mengembang-kan
pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang
sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari
pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianisme, filsafat Yunani
khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina
dari kalangan filosof Islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi,
Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya seperti
Dhu al-Nun al-Mis}ri (w. 860), Abu Yazid al-Bustami (w. 974), dan
al-Ghazali (w. 1111). Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai
wujud ketidak-puasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia
termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga
dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya.
Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan
tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima kategori sebagai berikut :
- Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan H}ikmah al-‘Ishraq.
- Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
- Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
- Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq.
- Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai
ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga
memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya
doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan
sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak
pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.
Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi,
ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi.
Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur
sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari
terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya
mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik,
terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal
yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib
al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3)
sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya
sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan
memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi
memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri
sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu
seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan
adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan Ibn Sina
lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi
memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya
merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi.
Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi
akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan
mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan
falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan
tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi
akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang
sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal
hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori
emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi
cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan
sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa,
sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur
al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab.
Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan
cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua,
dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul
cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya
kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya
yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap
cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap
cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang
berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu
menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari
semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh
cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat
suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka
dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat
diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap
cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II
memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran,
cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali
pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh
64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX
memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran,
begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang
berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah
pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk
susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan.
Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara
berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of
fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of
mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of
mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of
zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan
kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nur ayat 35 berikut
ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat
di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari
segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu
diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali
terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur
al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan
banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari
proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang
mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam
merumuskan teori iluminasinya.
Pengaruh Teosofi Suhrawardi
Suhrawardi boleh saja dihentikan hidupnya, akan tetapi warisan yang
ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu survive di tengah kekuasaan yang
mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme tinggi yang ia miliki
mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang diyakini
sebagai kebenaran.
Hasil pemikiran Suhrawardi juga mampu mempengaruhi generasi-generasi
sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul
belakangan yang indikatornya antara lain terlihat dari adanya tanggapan
yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik berupa komentar,
sanggahan ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat ditelusuri
melalui aspek geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid, dan
perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya.
Dari aspek geografis, pengaruh pemikiran Suhrawardi berkembang di
Persia lalu menyebar ke India-Pakistan, Syria, Anatolia, dan bahkan ke
Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran Suhrawardi ini didukung
oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah kelahiran, faktor
historis dan kultur, serta dukungan politis penguasa Safawi terhadap
pengembangan intelektual di Persia.
Di India penyebaran pengaruh pemikiran Suhrawardi berawal dari
penerjemahan karya-karyanya, terutama karya monumentalnya Hikmah
al-Ishraq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskrit. Penyebaran
ini juga ditopang oleh perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn
Tughlug (1325 M), yang besar terhadap pengembangan intelektual di India.
Perhatian itu tidak hanya terbatas pada penciptaan suasana yang
kondusif tetapi juga penyediaan anggaran untuk fasilitas pendidikan
seperti asrama dan perpustakaan yang banyak berisi karya-karya filsafat
terutama dari Ibn Sina, Nas}ir al-Din al-T{u>si, dan Qut}b al-Din
al-Shirazi. Sebagaimana diketahui bahwa dua tokoh terakhir ini adalah
pengikut Suhrawardi. Berdasarkan fakta ini maka dapat diasumsikan bahwa
doktrin-doktrin hasil pemikiran Suhrawardi telah mulai dikaji oleh para
ilmuan di India.
Jejak pemikiran Suharawardi di Syria dan Anatolia dapat ditelusuri
melalui koleksi-koleksi manuskrip yang terdapat di perpustakaan Turki.
Data-data koleksi pustaka yang ada mengindikasikan bahwa pemikiran
Suhrawardi juga dipelajari oleh para sarjana Turki. Sementara itu,
seperti sudah diketahui bahwa dalam pengembaraan intelektualnya
Suhrawardi pernah singgah di Syiria untuk berdiskusi dan berdebat dengan
para sahabatnya. Dari diskusi dan perdebatan itu serta sejumlah karya
yang ia selesaikan di Syria ikut membuka peluang bagi dipelajarinya
pemikiran Suhrawardi di negeri ini.
Berbeda dengan kawasan-kawasan yang telah disebutkan di atas, di
Eropa, pemikiran Suhrawardi pada mulanya kurang mendapat perhatian yang
serius, tidak seperti filosof muslim lainnya seperti Ibn Sina,
al-Farabi, dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya Suhrawardi tidak diterjemahkan
sehingga mereka tidak mengenal dengan baik pemikiran teosofis
Suhrawardi.
Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat seperti Carra de Vaux, Max
Horten, Lois Massignon, Otto Spies, dan Henry Corbin mulai melirik
karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting pasca
Ibn Sina.
Sedangkan dari segi kontinuitas hubungan antara guru dan murid serta
perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya, pengaruh pemikiran
Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya tokoh-tokoh yang berusaha
melestarikan ajarannya dari abad ke abad. Pada abad XIII, misalnya,
lahir komentator pemikiran Suhrawardi seperti Shams al-Din Muhammad
Shahrazuri (w. 1288) dan Sa’d bin Mans}ur Ibn Kammunah (w. 1284). Pada
abad XIV muncul tokoh Qut}b al-Din al-Shirazi (w. 1311), pada abad XVI
ada Jalaluddin Muhammad Ibn Sa’d al-Din al-Dawwani (w. 1502) dan Ghiyath
al-Din Mans}ur al-Shirazi (w. 1542), pada abad XVII lahir tokoh
Muhammad Sharif Niz}am al-Din al-Harawi dan S}adr al-Din al-Shirazi,
pada abad XIX terdapat Mulla Ali Nuri (w. 1830) dan Mulla Hadi Sabziwari
(w. 1878), dan pada abad XX terdapat tokoh Muhammad Hussein Tabattaba’i
serta Seyyed Hossein Nasr.
Penutup
Dari serangkaian pembahasan yang tertuang dalam makalah ini, dapat
disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda Islam yang sangat
cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran para filosof
peripatetik yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah
pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis, yang kemudian lebih
popular dengan sebutan teosofi.
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang
lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran
filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada
pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang
dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun dengan cara yang sama
dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran atau limpahan,
tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini. Hal
tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan
keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori tersebut. Bila teori
emanasi menggunakan istilah akal sebagai instrument, maka teori
iluminasi menggunakan istilah cahaya yang inspirasinya diambil dari Q.S.
al-Nu>r ayat 35. Bila pada teori emanasi penyebaran akal hanya
terbatas pada akal ke-10, maka pada teori iluminasi pancaran cahaya itu
tidak terbatas. (artikel ini dtulis oleh teman penulis bernama
al-Mujahidin, seorang guru Agama Islam di Kepulauan Riau)
BIBLIOGRAFI
al-Ahwani, Ahmad Fuad, al-Madrasah al-Falasafiyyah, Kairo : al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1965
Corbin, Henry, (ed.), Majmu’ah Musannafat Shaikh al-Ishraq Shihab
al-Din Yah}ya Suhrawardi, Teheran: Anjuman Shahanshahay Falsafah Iran,
1397H
______, History of Islamic Philosophy , London : Kegan Paul International, 1993
Drajat, Amroeni, Suhrawardi : Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta : LKis, 2005
Eliade, Mirciea, The Encyclopedia of Religion, Vol. XIV, New York : Simon & Schuster Macmillan, 1995
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, London : Longman Group Limited, 1983
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, Cambridge : Harvard University Press, 1964
_____, (ed.), World Sprituality : Islamic Sprituality Manifestations,
Vol. XX, New York : The Crossroad Publishing Company, 1991
_____, The Islamic Intelectual Tradition in Persia, Surrey : Curzon Press, 1996
Rayyan, Muhammad ‘Ali Abu, Ushul al-Falsafah al-Ishraqiyyah ‘Inda
Shihab al-Din as-Suhrawardi, Beirut : Dar al-Talabat al-Arab, 1969
Razavi, Mehdi Amin, Suhrawardi and the School of Illumination, Surrey : Curzon Press, 1997
Sharif, M.M. (ed.), History of Muslim Philosophy, Vol. I, Delhi : Santosh Offset, 1961
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi H}ikmah al-Ishraq, Terj., Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998