“Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah, tanpa suara. Perdengarkan madah ratapmu yang timbul karena luka dan kepedihan cinta. Hingga kau pun melihat mataair nurani yang tercelup di lautan cahaya, sementara kau tinggal di sumur kegelapan dan penjara ketakpastian. Kau terikat pada tubuh dunia ini, dan dari semesta dunia, kini dan nanti. Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau takkan ada lagi.” (Fariduddin Attar, The Conference of the Birds).
Attar, si penebar wangi dari Nisyapur ini, memang lahir dan hidup sebagai sang pengoreksi, seorang penyair dan pencari yang mendapatkan dirinya dalam keterbatasan, sekaligus menemukan kekayaannya dalam kesunyian dan pengembaraan. Bersama Sa’adi, ia dikenal sebagai penggubah lagu-lagu harpa dan rebana yang indah, misalnya:
“Bagaimana mengukur bulan dari ikan? Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari, namun hanya ratap dan keluh saja yang kudengar. Tak adakah Dawud yang malang tempat aku menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan?”
Wajar, jika kemudian Jalaluddin Rumi, yang dijuluki sebagai mahkota-nya para penyair sufi itu, berkata tentang Attar berikut ini: “Jika aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa.” Dalam lagu-lagu rebananya Attar, manusia senantiasa berada dalam kerentanan, bahkan dapat dikatakan iman itu sendiri tak luput dari keraguan, sebagaimana telah dicontohkan lagu-lagunya itu.
Suatu kali, ia pun pernah melontarkan semacan sindiran kepada mereka yang kurang bersimpati dan merenung dengan hikmat demi memahami hidup, sebentuk satir kepada kaum dogmatis, sekaligus bentuk renungan Attar sendiri: “Orang-orang yang beriman dan tidak beriman sama-sama bermandi darah.”
Apa yang dilontarkan Attar tersebut tentulah tidak lahir dari kekosongan atau pun kedangkalan perspektif. Attar bermaksud mengoreksi setiap bentuk dogmatisme yang malah akan membuat hati dan mata kita buta pada manifestasi cinta Tuhan di dalam hidup, rahasia-Nya yang acapkali tak mungkin dipahami: “Apa yang akan kukatakan selanjutnya, karena tak ada lagi yang mesti kukatakan, dan tak ada pula setangkai mawar pun yang tinggal dalam semak.”
Bahkan, dengan kerendahan hati dan gaya meditatifnya yang khas musikal itu, ia pun meneruskan: “Betapa aku si dungu, akankah sampai pada hakikat, dan kalau pun dapat, bagaimana aku akan bisa masuk lewat pintu itu?” Ini hanya contoh kecil yang dapat kita jadikan rujukan bahwa ada kualitas seorang filsuf dalam diri seorang penyair sufi bernama Fariduddin Attar.
Dengan nada lagu rebananya itu, sebenarnya, sesekali ia juga ingin mengkritik kaum normative-dogmatis yang terlampau verbal dalam memahami agama dan wujud kebesaran Tuhan. Ia juga hendak menyindir kaum kalamiyyun, alias para teolog, yang terlampau dogmatis pada logika, lalu terjebak dalam lingkaran bahasa dan tafsir, dan kemudian menjadikan simpulan bahasa dan tafsir itu sebagai hakikat: “Tak seorang pun yang sungguh tahu hakikat, tanyakan pada siapa saja sesukamu,” demikian Attar melempar polemik khasnya.
Attar juga sebenarnya sedang menerangkan di mana posisi seorang penyair, utamanya seorang darwis pencari. Tentang apa yang tak dapat dinarasikan dengan prosa-argumentatif yang deskriptif, memang hanya dapat diutarakan lewat sajak. Hal itu bukan karena sebuah puisi atau sajak kelewat angkuh untuk menggunakan narasi dan tuturan yang lazim dan biasa. Namun karena puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu yang terlampau panjang tapi pada saat yang sama juga teramat singkat.
Dari gaya meditatif Attar, kita dapat belajar bahwa ketika sebuah puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu secara naratif dan sistematik sebagaimana prosa pada umumnya, maka sebuah sajak atau puisi hanya akan kehilangan fungsinya sebagai pembangun dan pembentuk “dunia wawasan”.
Secara kiasi, Attar juga memang hendak menyatakan bahwa puisi memang kontradiksi itu sendiri. Ia mengatakan tentang banyak hal, tapi pada saat yang sama juga ia mendapatkan dirinya pada keharusannya untuk tidak menarasikannya secara prosaik dalam arti yang lazim dan normatif alias biasa saja. Sebuah puisi atau sajak memang hendak mengatakan banyak hal dengan cara singkat dan padat. Yang dengan itu, sebuah puisi atau sajak akan menjelma sebagai dunia dan wawasan yang terus memancarkan air dan cahaya.