TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Amplop Mbah Syakur

Di dalam mobil menuju pulang, Mbah Syakur menimang-nimang amplop bagiannya.
“Kayaknya kok terlalu banyak ini, Dik…”, Mbah Syakur bergumam serius — beliau memanggil Mbah Jauhari dengan “Dik”, sebutan untuk yang lebih muda — masih menimang-nimang amplopnya, “… Apa baiknya kukembalikan saja ya…?”
Mbah Jauhari memicing-micingkan mata dalam keremangan, berusaha mengamati raut muka Mbah Syakur. Tak ia temukan sama-sekali tanda-tanda bercanda. Mbah Syakur memang nyaris senantiasa serius secara istiqomah. Begitu pun saat itu.
“Menurutmu gimana, Dik?” Mbah Syakur mengulangi pertanyaannya karena tidak segera dijawab.
Mbah Jauhari menghela napas dan menghembuskannya seperti orang sial yang tak berdaya.
“Kalau njenengan kembalikan, itu namanya nyiksa kyai-kyai sekelas saya ini, Yi!” katanya.
“Kok bisa?” Mbah Syakur tak mengerti.
“Lha iya… Kalau njenengan kembalikan, lantas orang-orang menjadikannya pedoman gimana?”
“Pedoman apa?”
“Bisa-bisa mereka menganggap bahwa ngasih amplop kepada kyai itu tidak baik, wong njenengan nggak mau”.
“Memangnya kalau gitu kenapa?”
“Buat njenengan sih nggak apa-apa… wong njenengan sudah kelas kyai tajrid,” (tajriditu artinya melepaskan diri dari ketergantungan duniawi, -pen.) “lha kayak saya ini masih kelas kyai njerit je!”
Mbah Syakur cuma mesem, tapi setuju membawa pulang amplopnya.
Sampai di rumah, saat turun dari mobil, Mbah Syakur tampak kerepotan membawa rokok yang dua slop itu.
“Lha rokok ini buat apa?” katanya, “wong aku nggak doyan rokok…”
Beliau mikir-mikir sejurus,
“Ya sudah! Buat kamu saja, Dik!” beliau mengangsurkan rokok kepada Mbah Jauhari. Yang menerima tersenyum lebar sekali,
“Lha mbok gitu! Kan ya tetap manfaat to, Yi!”

al-Junaid al-Baghdadi

Beliau adalah al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Memiliki kunyah Abu al-Qasim. Ayah beliau adalah seorang penjual kaca, karenanya gelar beliau “al-Qawariri” adalah disandarkan kepada profesi ayahnya tersebut. Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak.
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sirri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyyah.
Al-Junaid salah seorang sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islam.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan–, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku” .
Muhammad Ibn Abdullah ar-Razi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita mengambilnya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allah yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasulullah: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…” .
Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasulullah dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allah selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.
Juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasulullah maka orang tersebut jangat diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah” .
Sikap wara’, zuhud, takwa, tawadlu’ dan kuat dalam ibadah sudah barang tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak empat ratus raka’at. Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak tiga ratus raka’at dan tiga puluh ribu kali bacaan tasbîh.
Banyak sekali karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya, suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir berkata: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits:
اتّقُوْا فَرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإنّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah”. (Artinya panglihatan seorang mukmin yang saleh memiliki kekuatan).
Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, masuk Islamlah engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islam”. Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islam.
Abu ‘Amr ibn ‘Ulwan berkata: “Suatu hari aku pergi ke pasar Rahbah untuk suatu keperluan. Setelah sampai di pasar tiba-tiba tanpa sengaja mataku tertuju kepada seorang perempuan cantik. Aku memalingkan muka sambil mengucap istighfâr. Namun lagi-lagi mataku tertuju kepadanya. Setibanya aku di rumah, seorang nenek berkata kepadaku: “Wahai tuan, apa yang menyebabkan wajahmu menjadi hitam?”. Aku mengambil cermin, dan benar ternyata wajahku berubah menjadi hitam. Lalu aku berdiam diri di rumahku selama empat puluh hari meminta ampun kepada Allah. Setelah empat puluh hari tiba-tiba hatiku berkata: “Kunjungilah gurumu; al-Junaid”. Maka aku bergegas menuju kota Baghdad. Setelah sampai di rumah al-Junaid aku mengetuk pintu, tiba-tiba al-Junaid datang membukakan pintu sambil berkata: “Masuklah wahai Abu ‘Amr, engkau berbuat dosa di Rahbah dan kita minta ampun kepada Allah di Baghdad” .
Ali ibn Muhammad al-Hulwani berkata: Berkata kepadaku Khair an-Nassaj: “Suatu hari aku sedang duduk di rumahku. Tiba-tiba hatiku memiliki prasangka bahwa al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Tapi aku berfikir mungkin ini hanya prakiraan saja. Namun dalam hatiku prasangka tersebut timbul kembali bahwa memang al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Sekali lagi aku berfikir mungkin itu hanya prakiraan saja. Lagi-lagi prasangka dalam hatiku tersebut datang kembali, ini berulang hingga tiga kali. Lalu aku berdiri menuju pintu untuk membukanya, dan ternyata benar al-Junaid sedang berdiri di sana, seraya berkata kepadaku: “Wahai Khair, semestinya engkau membukakan pintu dengan prasangkamu yang pertama” .
Al-Junaid wafat hari Jum’at tahun 297 Hijiriah atau 910 Masehi. Abu Bakr al-‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abu Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah setelah sebelumnya telah mangkhatamkan bacaan al-Qur’an seluruhnya.
Amaddanâ Allâh Min Amdâdih.

Kosmologi Puitik Fariduddin Attar


“Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah, tanpa suara. Perdengarkan madah ratapmu yang timbul karena luka dan kepedihan cinta. Hingga kau pun melihat mataair nurani yang tercelup di lautan cahaya, sementara kau tinggal di sumur kegelapan dan penjara ketakpastian. Kau terikat pada tubuh dunia ini, dan dari semesta dunia, kini dan nanti. Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau takkan ada lagi.” (Fariduddin Attar, The Conference of the Birds).

Attar, si penebar wangi dari Nisyapur ini, memang lahir dan hidup sebagai sang pengoreksi, seorang penyair dan pencari yang mendapatkan dirinya dalam keterbatasan, sekaligus menemukan kekayaannya dalam kesunyian dan pengembaraan. Bersama Sa’adi, ia dikenal sebagai penggubah lagu-lagu harpa dan rebana yang indah, misalnya:

“Bagaimana mengukur bulan dari ikan? Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari, namun hanya ratap dan keluh saja yang kudengar. Tak adakah Dawud yang malang tempat aku menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan?”

Wajar, jika kemudian Jalaluddin Rumi, yang dijuluki sebagai mahkota-nya para penyair sufi itu, berkata tentang Attar berikut ini: “Jika aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa.” Dalam lagu-lagu rebananya Attar, manusia senantiasa berada dalam kerentanan, bahkan dapat dikatakan iman itu sendiri tak luput dari keraguan, sebagaimana telah dicontohkan lagu-lagunya itu.

Suatu kali, ia pun pernah melontarkan semacan sindiran kepada mereka yang kurang bersimpati dan merenung dengan hikmat demi memahami hidup, sebentuk satir kepada kaum dogmatis, sekaligus bentuk renungan Attar sendiri: “Orang-orang yang beriman dan tidak beriman sama-sama bermandi darah.”

Apa yang dilontarkan Attar tersebut tentulah tidak lahir dari kekosongan atau pun kedangkalan perspektif. Attar bermaksud mengoreksi setiap bentuk dogmatisme yang malah akan membuat hati dan mata kita buta pada manifestasi cinta Tuhan di dalam hidup, rahasia-Nya yang acapkali tak mungkin dipahami: “Apa yang akan kukatakan selanjutnya, karena tak ada lagi yang mesti kukatakan, dan tak ada pula setangkai mawar pun yang tinggal dalam semak.”

Bahkan, dengan kerendahan hati dan gaya meditatifnya yang khas musikal itu, ia pun meneruskan: “Betapa aku si dungu, akankah sampai pada hakikat, dan kalau pun dapat, bagaimana aku akan bisa masuk lewat pintu itu?” Ini hanya contoh kecil yang dapat kita jadikan rujukan bahwa ada kualitas seorang filsuf dalam diri seorang penyair sufi bernama Fariduddin Attar.

Dengan nada lagu rebananya itu, sebenarnya, sesekali ia juga ingin mengkritik kaum normative-dogmatis yang terlampau verbal dalam memahami agama dan wujud kebesaran Tuhan. Ia juga hendak menyindir kaum kalamiyyun, alias para teolog, yang terlampau dogmatis pada logika, lalu terjebak dalam lingkaran bahasa dan tafsir, dan kemudian menjadikan simpulan bahasa dan tafsir itu sebagai hakikat: “Tak seorang pun yang sungguh tahu hakikat, tanyakan pada siapa saja sesukamu,” demikian Attar melempar polemik khasnya.

Attar juga sebenarnya sedang menerangkan di mana posisi seorang penyair, utamanya seorang darwis pencari. Tentang apa yang tak dapat dinarasikan dengan prosa-argumentatif yang deskriptif, memang hanya dapat diutarakan lewat sajak. Hal itu bukan karena sebuah puisi atau sajak kelewat angkuh untuk menggunakan narasi dan tuturan yang lazim dan biasa. Namun karena puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu yang terlampau panjang tapi pada saat yang sama juga teramat singkat.

Dari gaya meditatif Attar, kita dapat belajar bahwa ketika sebuah puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu secara naratif dan sistematik sebagaimana prosa pada umumnya, maka sebuah sajak atau puisi hanya akan kehilangan fungsinya sebagai pembangun dan pembentuk “dunia wawasan”.

Secara kiasi, Attar juga memang hendak menyatakan bahwa puisi memang kontradiksi itu sendiri. Ia mengatakan tentang banyak hal, tapi pada saat yang sama juga ia mendapatkan dirinya pada keharusannya untuk tidak menarasikannya secara prosaik dalam arti yang lazim dan normatif alias biasa saja. Sebuah puisi atau sajak memang hendak mengatakan banyak hal dengan cara singkat dan padat. Yang dengan itu, sebuah puisi atau sajak akan menjelma sebagai dunia dan wawasan yang terus memancarkan air dan cahaya.

Hakikat Manusia Mengemban Makrifat Cinta Bungkusan Candra Malik

Hakikat manusia yang diusung dalam buku “Makrifat Cinta” karya Candra Malik ini menarik makna dari dalil al-Quran yang mulia. Menjelaskan tentang siapa dia manusia, bagaimana awal penciptaan dan akhir dari dirinya, untuk apa diciptakan dan mengapa manusia mengingkari tugas yang diembannya dalam hidupnya sendiri. Manusia membawa berbagai macam kemungkinan kebaikan dan termasuk pula sifat buruk dalam dirinya. Kesemua yang ada pada dirinya adalah murni dan seutuhnya adalah pemberian dari Tuhan. Dari nyawa yang merasup dalam dirinya adalah tiupan dari ruh Allah yang dihembuskan kepadanya untuk mendebarkan jantung simbol dari jasmani. Jiwa yang disuntikkan untuk menghidupkan ruhani. Sukma atau jasad sebagai perekat antara nyawa dan jiwa yang telah berpegangan. Satu tugas hati sebagai perajut hubungan emosional manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan penciptanya.
Jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan adalah sudah dipersiapkan dari pada-Nya sebuah kitab khusus perjalanan manusia sebelum ia menjalankan hidupnya dalamLauh al-Mahfudz yang didalamnya sudah dituliskan bagaimana ia, jodohnya, hidupnya dan kesemuanya yang berkaitan dengan hidupnya semasa didunia sampai pada akhir perjalanannya di alam dimana seluruh manusia ditentukan akan bertempat dimana dirinya pada waktu yang ditentukan. Maha Besar Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang juga masih menyediakan tempat bagi manusia untuk bisa mengisi sendiri lembar-lembar catatannya sesukanya ketika masih dihembuskannya nafas yang tersimpan dalam bingkisan paru-paru  pemberian dari yang Maha Mengasihi. Sesungguhnya tulisan-tulisan yang ada sebelum tulisan manusia sendiri dapat merubah apa yang sudah ditulis oleh Maha Aku. Tinggal manusia sendiri yang menentukan bakal menggoreskan cerita yang bagaimana pada catatan yang dijaga secara penuh oleh Allah dengan penjagaan para malaikat yang dimilikiNya.
Adanya ruh dan jiwa dalam jasad adalah perhitungan hebat yang dirancang oleh Tuhan untuk mengaktifkan sebuah makhluk mulia diantara makhluk-makhluk lain yang juga Allah ciptakan sebelum diciptakannya Adam. Namun karena kesempurnaan komponen yang dibawanya justru membuat manusia berpeluang mengarah pada jalan yang tak seharusnya. Jalan yang tidak di ridhoi oleh-Nya. Meskipun yang menentukan nilai pada seluruh perbuatan manusia pada akhirnya adalah Allah sendiri tidak dimungkinkan manusia berbuat ingkar dari hakikinya sendiri. Karena adanya badan yang membelenggu jiwanya membuat jiwa terpontang-panting dalam banyak pilihan. Badan yang termaktub didalamnya ruh dan jiwa menjadikan manusia itu masuk dalam belenggu yang dapat terpecahkan dengan cinta yang selain rindu pada Sang Pencipta. Badanlah yang menuntut banyak suplemen untuk keberlangsungan dirinya. Badan yang mendera jiwa dengan segala kebutuhannya yang kompleks yang mampu membawa manusia keluar dari fitrahnya. Meskipun semua manusia pada akhirnya kembali pada fitrahnya, yakni kembali kepada siapa yang menjadikannya manusia kepada siapa yang menghidupkannya dengan cinta yang Maha luas, cinta yang begitu banyak melebihi jumlah yang selain cinta, cinta yang lembut lebih lembut dari bulu-bulu sayap malaikat, cinta yang begitu banyak lebih banyak dari ribuan kubik air di samudra lepas. Cinta yang sejati yang tak pernah tersamarkan. Cinta yang lebih terang dari cahaya matahari yang mampu mengahapus gelapnya kegelapan. Sesungguhnya raga yang menjadikan langkah pertama manusia menuju alam keabadian yang tak abadi melainkan yang menciptakan raga itu sendiri, Yang Maha Abadi kekal seutuhnya tiada lagi selain Dia Sang Maha Aku yang tunggal. Raga yang transit dimuka bumi untuk menanti saat dimana ia harus dijemput oleh ruh abadi meskipun dengan paksaan melalui tangan Izrafil.
Jasad mewujudkan konsep-konsep hasil karyanya karya. Melantunkan begitu banyak materi dari imateri yang ada di dalam jasad yang ghaib sebagaimana manusia menyebut dirinya adalah yang kasat mata meskipun sesungguhnya dirinya adalah bagian dari yang ghaib terwujud dari struktur dan organ-organ yang menempel dalam badan yang tak nampak secara lahiriyah. Keadaan yang tersusun sedemikian cantik yang mampu menuntunnya kedalam jurang kegelapan. Dan hati yang begitu halus sehalus embun pancaran kilauan cahaya Illahi juga mudah terkontaminasi karena penyeimbang hati itu sendiri yaitu akal pikiran.
Akal pikiran  yang mengubahnya dalam perasaan yang beraneka ragam warnanya, perasaan yang tiada hentinya menghiasi isi hati manusia. Perasaan itu berwujud ghaib namun nampak pada perbuatan yang diperbuat manusia itu sendiri. Tapi hati manusia selalu merujuk pada kerinduan yang dahsyat pada Tuhannya. Sebab hati adalah konektor antara manusia dengan Tuhannya dan Tuhan pulalah yang menciptakan hati sebagai penimbang diantara banyak sekali perbedaan dan perselisihan. Hati begitu dekat dengan sumber cinta. Maka dari itu hati selalu dipenuhi oleh cinta karena sebenarnya hati adalah wujud pemberian cinta yang nyata dari Tuhan untuk manusia.
Perselisihan merupakan skenario yang sengaja Tuhan renda khusus diadakan untuk mengasah dan menguji segala pemberian yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar ia tahu untuk apa ia diciptakan, agar ia mengetahui hanya kepada Tuhanlah ia meminta, hanya kepada Tuhanlah ia menyanyikan isi hatinya, keinginannya, hanya kepada Tuhanlah ia menyembah, hanya kepada Tuhanlah tempat ia memuji. Walaupun semua itu tidak berdampak pada adanya Tuhan itu sendiri, tidak berpengaruh sama sekali terhadap harta yang Tuhan miliki, tidak menambah Kebesaran Tuhan yang bergemilau melebihi kilau mutiara-mutiara yang dikenakan bidadari surga. Tapi itulah tugas utama manusia selama masa hidupnya. Tugas yang sering teralihkan karena keterbatasan inderawi yang menempel pada raga yang mendoktrinasi pemikiran manusia untuk beranjak dari tugasnya. Manusia berani mengambil tawaran yang gunung-gunung sendiri tak berani mengambilnya, manusia berani menelantarkan tugasnya hanya demi bongkahan emas yang menggunung dalam perut bumi, manusia berani hanya memikirkan mencari ilmu pengetahuan dan mengesampingkan keharusannya untuk tetap selalu menyembah siapa yang seharusnya ia sembah. Manusia lantas memuat didalam dirinya sifat ikan yang merenggutnya dari air kehidupan abadi, sifat naga yang menyentakkan dirinya dari abu, sifat burung yang mencoba mengangkat sangkarnya keluar.
Seluruh alam semesta dan semua isi dunia apabila diubah menjadi pena untuk menulis semua ilmu pengetahuan yang dimiliki Allah tidak akan cukup bagi manusia untuk menulisnya secara menyeluruh. Seluruh nafas manusia dari awal mulainya ia bernafas bila dikumpulkan dan dihitung satu persatu tidak akan cukup untuk menghitung semua nikmat yang telah tercurahkan kepada seluruh alam. Manusia telah terlena akan dunia, meskipun dunia adalah syarat wajib untuk mencapai akhirat dan bila tanpa menginjakkan kaki didunia dunia tidak akan ada tiket yang tersisa untuk ke tujuan hidup yang untuk mati.
Ialah manusia, makhluk  yang ditakdirkan sebagai khalifah dibumi untuk menjaga keharmonisan alam semesta dengan tugas yang diemban sebagai sebuah pertanggung jawaban dihari akhir. Meskipun Tuhan telah mengirimkan utusan yang begitu handal dan manusia itu sendiri yang menjadi saksi saat diturunkannya utusan tersebut. Ialah Muhammad Sang Pencerah yang memuliakan akhlak manusia dari ajaran-ajaran yang sebelumnya. Bukan untuk menyalahkan dan menganggap bahwa ad-Din yang dibawanya adalah yang paling benar melainkan untuk meluruskan ajaran-ajaran yang sebelumnya diajarkan oleh rasul-rasul terdahulu. Karena tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, kebenaran adalah milik yang memiliki kebenaran yang paling benar. Hak menilai yang seutuhnya adalah bagian dari kebenaran abadi yang sesungguhnya. Tak pantaslah manusia bersitegang dengan sesamanya hanya untuk memperebutkan kebenaran atas nama dirinya, atas nama apa yang dimilikinya yang melekat pada raganya yang semua itu adalah kepemiliikan Allah subhanahu wata’ala. Ibarat jika manusia telah mengetahui mili demi mili setiap lekuk tubuhnya dan mengambil makna yang tersirat dari raganya yang begitu indah dari situlah dia akan mengetaui seberapa Agung Tuhan Yang Maha Kuasa yang berkehendak diatas segala kehendak, pemilik Arsy. Kedekatan Tuhan dengan diri manusia adalah lebih dekat dari urat nadimu. Maka, Yang mengenal dirinya Yang mengenal Tuhannya.

MUQATTA’AT 6


Aku telah menulisMu, tanpa menyampaikan padaMu,

Karena aku menulis pada ruhku, tanpa melalui surat,

Dan karena ruh tidak akan terpisah dengan yang dicintainya, seperti jawaban yang menyelubungi isi surat,

Dan setiap surat yang bersal dariMu kembali padaMu, tanpa menyertakan sedikitpun jawabannya.



Sumber:

Diwan Al Hallaj “louis Massignon”
Diterjemahkan dari LE DIWAN D’ AL HALLAJ. Essai De Reconstitution, Edition Et Traduction, oleh LOUIS MASSIGNON,
Jurnal Asiatique, Librairie Orientaliste Paul Geuthner, Janvier, Mars 1931

Penerbit; PUTRA LANGIT, Jl.Palagan tentara pelajar no. 77 Yogyakarta
Phone: (0274) 887055, Facs: (0274) 566171
Email: putra_langit@yahoo.com
putra_langit@mailcity.com
Cetakan I, Januari 2001

Wajah-Wajah Yang Bercahaya


Bagaimanakah ciri-ciri orang yang bakal masuk Surga atau masuk Neraka? Salah satunya digambarkan Allah lewat idiom cahaya. Orang-orang yang beriman dan banyak amal salehnya, kata Allah, akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sebaliknya, orang-orang yang kafir dan banyak dosanya akan 'memancarkan' kegelapan. Hal itu dikemukakan olehNya di ayat-ayat berikut ini 

QS Al Hadiid (57) : 12 "Pada hari dimana kalian melihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya." 

QS. Yunus (10) : 27 “… seakan-akan wajah mereka ditutupi oleh kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, mereka itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Kenapakah orang-orang yang beriman dan banyak pahalanya memancarkan cahaya, sedangkan yang banyak dosa 'memancarkan' kegelapan alias kehilangan cahaya?

Ini memang rahasia yang sangat menarik. Allah sangat sering menggunakan istilah cahaya di dalam Al Qur’an. Dia mengatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan Bumi (QS. 24:35). Firman firmanNya juga berupa cahaya (Qur’an QS. 4:174; Taurat QS. 5:44; Injil QS. 5:46). Malaikat sebagai hamba-hamba utusanNya juga terbuat dari badan cahaya. Dan pahala adalah juga cahaya (QS. 57:19). Karena itu orang-orang yang banyak pahalanya memancarkan cahaya di wajahnya (QS. 57:12).

Kunci pemahamannya adalah di Al Qur’an Surat An Nuur: 35. Di ayat itu Allah membuat perumpamaan bahwa DzaNya bagaikan sebuah pelita besar yang menerangi alam semesta. Pelita itu berada di dalam sebuah lubang yang tidak tembus. Tetap di salah satu bagian yang terbuka, ditutupi oleh tabir kaca

Dari tabir kaca itulah memancar cahaya ke seluruh penjuru dunia, bagaikan sebuah mutiara. Pelita itu dinyalakan dengan menggunakan minyak Zaitun yang banyak berkahnya, yang sinarnya memancar dengan sendirinya tanpa disentuh api. Cahaya yang dipancarkan pelita itu berlapis-lapis, mulai dari yang paling rendah frekuensinya sampai yang tertinggi menuju cahaya Allah. Ayat tersebut memberikan perumpamaan yang sangat misterius tetapi sangat menarik. Dia mengatakan bahwa hubungan antara Allah dengan makhlukNya adalah seperti hubungan antara Pelita (sumber cahaya) dengan cahayanya. Artinya makhluk Allah ini sebenarnya semu saja. Yang sesungguhnya ADA adalah DIA. Kita hanya 'pancaran atau pantulan' saja dari eksistensiNya.

Nah, cahaya yang dipancarkan oleh Allah itu berlapis-lapis mulai dari yang paling jelek (Kegelapan) sampai yang paling baik (Cahaya Putih Terang). Allah telah menetapkan dalam seluruh ciptaanNya itu bahwa Kegelapan mewakili Kejahatan dan Keburukan. Sedangkan Cahaya Terang mewakili Kebaikan. Maka, kalau kita ingin memperoleh kebaikan dan keberuntungan, kita harus memperoleh cahaya terang. Dan sebaliknya kalau kita mempoleh kegelapan berarti kita masuk ke dalam lingkaran kejahatan dan kerugian.

Yang menarik, ternyata 'cahaya' dan 'kegelapan' itu digunakan oleh Allah di dalam firmannya sebagai ungkapan yang sesungguhnya. Misalnya ayat-ayat yang saya kutipkan di atas. Bahwa orang-orang yang beriman, kelak di hari kiamat, benar-benar akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sedangkan orang-orang kafir, justru kehilangan cahaya alias wajahnya gelap gulita. Dari manakah cahaya di wajah orang beriman itu muncul? Ternyata berasal dari berbagai ibadah yang dilakukan selama ia hidup di dunia. Setiap ibadah yang diajarkan rasulullah kepada kita selalu mengandung dua unsur, yaitu ingat kepada Allah (dzikrullah) dan membaca firmanNya yang berasal dari KitabNya. Baik ketika kita membaca syahadat, melakukan shalat, mengadakan puasa, berzakat, maupun melaksanakan ibadah haji.

Nah, dari kedua kedua unsur itulah cahaya Allah muncul. Bagaimanakah mekanismenya? Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa Allah adalah sumber cahaya langit dan Bumi. Maka ketika kita berdzikir kepada Allah, kita sama saja dengan memproduksi getaran getaran cahaya. Asalkan berdzikirnya khusyuk dan menggetarkan hati. Kuncinya adalah pada 'hati yang bergetar.’ Hati adalah tempat terjadinya getaran yang bersumber dari kehendak jiwa. Ketika seseorang marah, maka hatinya akan berdegup keras. Semakin marah ia, semakin kencang juga getarannya. Demikian pula ketika seseorang sedang sedih, gembira, berduka, tertawa, dan lain sebagainya.

Getaran yang kasar akan dihasilkan jika kita sedang dalam keadaan emosional. Sebaliknya getaran yang lembut akan muncul ketika kita sedang sabar, tenteram dan damai. Ketika sedang berdzikir, hati kita akan bergetar lembut. Hal ini dikemukan oleh Allah, bahwa orang yang berdzikir hatinya akan tenang dan tenteram.

QS. Ar Ra’d (13) : 28 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.”

Ketika seseorang dalam keadaan tenteram, getaran hatinya demikian lembut. Amplitudonya kecil, tetapi frekuensinya sangat tinggi. Semakin tenteram dan damai hati seseorang maka semakin tinggi pula frekuensinya. Dan pada, suatu ketika, pada frekuensi 10 pangkat 13 sampai pangkat 15, akan menghasilkan frekuensi cahaya.

Jadi, ketika kita berdzikir menyebut nama Allah itu, tiba-tiba hati kita bisa bercahaya. Cahaya itu muncul disebabkan terkena resonansi kalimat dzikir yang kita baca. lbaratnya, hati kita adalah sebuah batang besi biasa, ketika kita gesek dengan besi magnet maka ia akan berubah menjadi besi magnetik juga. Semakin sering besi itu kita gesek maka semakin kuat kemagnetan yang muncul daripadanya.

Demikianlah dengan hati kita. Dzikrullah itu menghasilkan getaran-getaran gelombag elektromagnetik dengan frekuensi cahaya yang terus menerus menggesek hati kita. Maka, hati kita pun akan memancarkan cahaya. Kuncinya, sekali lagi, hati harus khusyuk dan tergetar oleh bacaan itu. Bahkan, kalau sampai meneteskan air mata. Unsur yang kedua adalah ayat-ayat Qur’an. Dengan sangat gamblang Allah mengatakan bahwa Al Qur'an ada cahaya. Bahkan, bukan hanya Al Qur’an, melainkan seluruh kitab-kitab yang pernah diturunkan kepada para rasul itu mengandung cahaya.

QS. An Nisaa' (4) : 174 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).”

QS. Al Maa’idah (5 ) : 44 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya …”

QS Al Maa’idah (5 ) : 46 "Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya . . . "

Artinya, ketika kita membaca kalimat-kalimat Allah itu kita juga sedang mengucapkan getaran-getaran cahaya yang meresonansi hati kita. Asalkan kita membacanya dengan pengertian dan pemahaman. Kuncinya, hati sampai bergetar. Jika tidak mengetarkan hati, maka proses dzikir atau baca Al Qur’an itu tidak memberikan efek apa-apa kepada jiwa kita. Yang demikian itu tidak akan menghasilkan cahaya di hati kita.

Apakah perlunya menghasilkan cahaya di hati kita lewat kegiatan dzikir, shalat dan ibadah-ibadah lainnya itu? Supaya, pancaran cahaya di hati kita mengimbas ke seluruh bio elektron di tubuh kita. Ketika cahaya tersebut mengimbas ke miliaran bio elektron di tubuh kita, maka tiba-tiba badan kita akan memancarkan cahaya tipis yang disebut 'Aura'. Termasuk akan terpancar di wajah kita.

Cahaya itulah yang terlihat di wajah orang-orang beriman pada hari kiamat nanti. Aura yang muncul akibat praktek peribadatan yang panjang selama hidupnya, dalam kekhusyukan yang sangat intens. Maka Allah menyejajarkan atau bahkan menyamakan antara pahala dan cahaya, sebagaimana firman berikut ini.

QS. Al Hadiid (57) : 19 “... bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”

Dan ternyata cahaya itu dibutuhkan agar kita tidak tersesat di Akhirat nanti. Orang-orang yang memililki cahaya tersebut dapat berjalan dengan mudah, serta memperoleh petunjuk dan ampunan Allah. Akan tetapi orang-orang yang tidak memiliki cahaya, kebingungan dan berusaha mendapatkan cahaya untuk menerangi jalannya. QS. Al Hadiid (57) : 28 “…dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu.”

QS. Al Hadiid (57) 13 "Pada hati ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman : "Tunggulah kami, supaya kami bisa mengambil cahayamu."

Dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang, dan carilah sendiri cahaya (untukmu). "Lalu diadakanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa."

QS. Ali lmraan (3) : 106 - 107 "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri dan ada Pula yang menjadi hitam muram. 'Ada pun orang-orang yang hitam muram mukanya, (dikatakan kepada mereka) : kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

"Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya.”

Jadi, selain wajah yang memancarkan cahaya, Allah juga memberikan informasi tentang orang-orang kafir yang berwajah hitam muram. Bahkan di QS. 10 : 27 dikatakan Allah, wajah mereka gelap gulita seperti tertutup oleh potongan¬-potongan malam.

Dalam konteks ini memang bisa dimengerti bahwa orang -orang kafir yang tidak pernah beribadah kepada Allah itu wajahnya tidak memancarkan aura. Sebab hatinya memang tidak pernah bergetar lembut. Yang ada ialah getaran-getaran kasar.

Semakin kasar getaran hati seseorang, maka semakin rendah pula frekuensi yang dihasilkan. Dan semakin rendah frekuensi itu, maka ia tidak bisa menghasilkan cahaya.

Bahkan kata Allah, di dalam berbagai firmanNya, hati yang semakin jelek adalah hati yang semakin keras, tidak bisa bergetar. Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, tingkatan hati yang jelek itu ada 5, yaitu : 1. Hati yang berpenyakit (suka bohong, menipu, marah, dendam, iri, dengki disb), 2. Hati yang mengeras. 3. hati yang membatu. 4. Hati yang tertutup. dan 5. Hati yang dikunci mati oleh Allah. Maka, semakin kafir seseorang, ia akan semakin keras hatinya. Dan akhirnya tidak bisa bergetar lagi, dikunci mati oleh Allah. Naudzu billahi min dzalik. Hati yang:seperti itulah yang tidak bisa memancarkan aura. Wajah mereka gelap dan muram. QS. Az Zumaar (39) : 60 "Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah, mukanya menjadi hitam."

QS. Al An’aam (6) : 39 “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita…”

Seperti yang telah saya kemukakan di depan, bahwa ternyata kegelapan itu ada kaitannya dengan kemampuan indera seseorang ketika dibangkitkan. Di sini kelihatan bahwa orang-orang kafir itu dibangkitkan dala keaaan tuli, bisu, buta, dan sekaligus berada di dalam kegelapan. Sehingga mereka kebingungan. Dan kalau kita simpulkan semua itu disebabkan oleh hati mereka yang tertutup dari petunjuk-petunjuk Allah swt.

QS. Al Hajj (22) : 8 "Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang bercahaya."

QS. Al Maa’idah (5 ) : 16 “…dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya.”

QS. Al A’raaf (7) : 157 “…dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

QS. An Nuur (24) : 40 “…dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah ia memiliki cahaya sedikit pun.”

QS. At Tahriim (66) : 8 "Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah, dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan para nabi dan orang-orang beriman yang bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan : Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."


Mawas Diri adalah Puncak Makrifat


Tasawuf adalah khazanah ilmu Islam yang bagai samudera tanpa tepi. Ia ajaran yang membumi, sekaligus melangit. Membumi karena memberi keleluasaan bagi kearifan lokal. Melangit karena memberi keluasan bagi pejalan untuk mencapai puncak-puncak spiritualitas masing-masing. Dan, sebagaimana jumlah gunungnya yang banyak, puncak makrifat di Jawa pun tidak cuma satu, melainkan jamak dan beragam.


Dalam buku ”Makrifat Cinta” yang saya tulis dan akan diterbitkan Noura Books (Grup Mizan) pada Januari 2013, saya menulis,”Mripat, yang adalah bahasa Jawa dari mata, oleh sebagian kalangan juga dianggap sebagai selip lidah dari Makrifat.” Dalam hubungannya dengan Makrifat, mripat atau mata bukanlah alat penglihatan, melainkan medium bagi peristiwa cahaya. Terang dan gelap memang berbeda, namun keadaan itu akan sama saja jika tidak ada mata yang dicahayai dan sinar yang mencahayai.

Mata adalah yang dicahayai, sinar adalah yang mencahayai. Dalam tatasurya, matahari adalah bintang induk dan komponen utama yang memancarkan cahaya terbesar bagi kehidupan. Matahari dapat dibaca selayaknya zat, sifat, asma, dan af'al dalam kajian tasawuf. Zatnya adalah matahari itu sendiri. Sifatnya adalah cahaya atau benderang matahari. Asmanya adalah sinar atau pancaran cahaya. Af'al-nya panas atau sentuhan sinar. Matahari tetap di tempatnya, namun cahaya, sinar, dan panas matahari sampai ke bumi yang berjarak 150 juta kilometer, bahkan menembus kulit manusia.

Untuk memahami Makrifat, kita tidak boleh kehilangan momen-momen manusiawi. Cahaya, sinar, dan panas matahari memberikan sensasi rasa yang sama bagi setiap manusia. Di bawah satu matahari yang sama, manusia sama saja. Sama-sama mengalami kasyaf sejak menerima cahaya. Sama-sama mengalami tajalli sejak menerima sinar. Sama-sama mengalami makrifat sejak menerima panas. Tanpa panas matahari, sama-sama akan layu dan mati. Tanpa sinar matahari, sama-sama akan hilang pandang, bahkan buta. Tanpa cahaya matahari, sama-sama akan berada dalam gelap.

Jika makrifat dikaitkan dengan mripat atau mata, maka puncak makrifat sesungguhnya adalah peristiwa melihat. Segitiga melihat diri sendiri-melihat liyan-dilihat liyan, mengerucut pada salah satu puncak makrifat Jawa, yaitu sawang-sinawang. Sebagaimana kajian tentang cahaya, yang mencahayai, dan yang dicahayai; maka makrifat adalah penglihatan, yang melihat, dan yang dilihat. Dalam rangka mawas diri, yaitu melihat diri sendiri sebelum melihat liyan dan dilihat liyan, maka mata menjelma penglihatan, penglihatan melihat diri sendiri, dan diri sendiri dilihat oleh penglihatannya sendiri.

Kearifan Makrifat Jawa mengajarkan,” Sawangen githokmu dewe. (Lihatlah tengkukmu sendiri).” Ini ajaran tentang bagaimana hidup dengan melihat perilaku diri sendiri demi mencapai kemuliaan tindakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Anas ibn Malik, Rasulullah Saw bersabda,” Innama buits-tu li utammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Akhlak mulia mewujud tindakan luhur. Rasulullah Saw sendiri adalah sosok pribadi yang luhur.

Rasulullah Saw adalah uswatun hasanah, suri teladan. Dalam Q.S. Al Anbiyaa: 107, Allah berfirman,”Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil-aalamiina. Tiadalah Kami mengutus engkau [Muhammad], melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam raya.” Ia melihat kehidupan bukan sekadar hitam putih. Muhammad melihat setiap hal dengan membiarkan apa yang dilihatnya itu sesuai warna aslinya. Dari sanalah, perbedaan dinikmati sebagai keindahan dan kemanusiaan diterima sebagai sesuatu yang semestinya.
==

Candra Malik, pengasuh Kelas Sufi

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate