Hakikat manusia yang diusung dalam buku “Makrifat Cinta” karya Candra Malik ini menarik makna dari dalil al-Quran yang mulia. Menjelaskan tentang siapa dia manusia, bagaimana awal penciptaan dan akhir dari dirinya, untuk apa diciptakan dan mengapa manusia mengingkari tugas yang diembannya dalam hidupnya sendiri. Manusia membawa berbagai macam kemungkinan kebaikan dan termasuk pula sifat buruk dalam dirinya. Kesemua yang ada pada dirinya adalah murni dan seutuhnya adalah pemberian dari Tuhan. Dari nyawa yang merasup dalam dirinya adalah tiupan dari ruh Allah yang dihembuskan kepadanya untuk mendebarkan jantung simbol dari jasmani. Jiwa yang disuntikkan untuk menghidupkan ruhani. Sukma atau jasad sebagai perekat antara nyawa dan jiwa yang telah berpegangan. Satu tugas hati sebagai perajut hubungan emosional manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan penciptanya.
Jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan adalah sudah dipersiapkan dari pada-Nya sebuah kitab khusus perjalanan manusia sebelum ia menjalankan hidupnya dalamLauh al-Mahfudz yang didalamnya sudah dituliskan bagaimana ia, jodohnya, hidupnya dan kesemuanya yang berkaitan dengan hidupnya semasa didunia sampai pada akhir perjalanannya di alam dimana seluruh manusia ditentukan akan bertempat dimana dirinya pada waktu yang ditentukan. Maha Besar Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang juga masih menyediakan tempat bagi manusia untuk bisa mengisi sendiri lembar-lembar catatannya sesukanya ketika masih dihembuskannya nafas yang tersimpan dalam bingkisan paru-paru pemberian dari yang Maha Mengasihi. Sesungguhnya tulisan-tulisan yang ada sebelum tulisan manusia sendiri dapat merubah apa yang sudah ditulis oleh Maha Aku. Tinggal manusia sendiri yang menentukan bakal menggoreskan cerita yang bagaimana pada catatan yang dijaga secara penuh oleh Allah dengan penjagaan para malaikat yang dimilikiNya.
Adanya ruh dan jiwa dalam jasad adalah perhitungan hebat yang dirancang oleh Tuhan untuk mengaktifkan sebuah makhluk mulia diantara makhluk-makhluk lain yang juga Allah ciptakan sebelum diciptakannya Adam. Namun karena kesempurnaan komponen yang dibawanya justru membuat manusia berpeluang mengarah pada jalan yang tak seharusnya. Jalan yang tidak di ridhoi oleh-Nya. Meskipun yang menentukan nilai pada seluruh perbuatan manusia pada akhirnya adalah Allah sendiri tidak dimungkinkan manusia berbuat ingkar dari hakikinya sendiri. Karena adanya badan yang membelenggu jiwanya membuat jiwa terpontang-panting dalam banyak pilihan. Badan yang termaktub didalamnya ruh dan jiwa menjadikan manusia itu masuk dalam belenggu yang dapat terpecahkan dengan cinta yang selain rindu pada Sang Pencipta. Badanlah yang menuntut banyak suplemen untuk keberlangsungan dirinya. Badan yang mendera jiwa dengan segala kebutuhannya yang kompleks yang mampu membawa manusia keluar dari fitrahnya. Meskipun semua manusia pada akhirnya kembali pada fitrahnya, yakni kembali kepada siapa yang menjadikannya manusia kepada siapa yang menghidupkannya dengan cinta yang Maha luas, cinta yang begitu banyak melebihi jumlah yang selain cinta, cinta yang lembut lebih lembut dari bulu-bulu sayap malaikat, cinta yang begitu banyak lebih banyak dari ribuan kubik air di samudra lepas. Cinta yang sejati yang tak pernah tersamarkan. Cinta yang lebih terang dari cahaya matahari yang mampu mengahapus gelapnya kegelapan. Sesungguhnya raga yang menjadikan langkah pertama manusia menuju alam keabadian yang tak abadi melainkan yang menciptakan raga itu sendiri, Yang Maha Abadi kekal seutuhnya tiada lagi selain Dia Sang Maha Aku yang tunggal. Raga yang transit dimuka bumi untuk menanti saat dimana ia harus dijemput oleh ruh abadi meskipun dengan paksaan melalui tangan Izrafil.
Jasad mewujudkan konsep-konsep hasil karyanya karya. Melantunkan begitu banyak materi dari imateri yang ada di dalam jasad yang ghaib sebagaimana manusia menyebut dirinya adalah yang kasat mata meskipun sesungguhnya dirinya adalah bagian dari yang ghaib terwujud dari struktur dan organ-organ yang menempel dalam badan yang tak nampak secara lahiriyah. Keadaan yang tersusun sedemikian cantik yang mampu menuntunnya kedalam jurang kegelapan. Dan hati yang begitu halus sehalus embun pancaran kilauan cahaya Illahi juga mudah terkontaminasi karena penyeimbang hati itu sendiri yaitu akal pikiran.
Akal pikiran yang mengubahnya dalam perasaan yang beraneka ragam warnanya, perasaan yang tiada hentinya menghiasi isi hati manusia. Perasaan itu berwujud ghaib namun nampak pada perbuatan yang diperbuat manusia itu sendiri. Tapi hati manusia selalu merujuk pada kerinduan yang dahsyat pada Tuhannya. Sebab hati adalah konektor antara manusia dengan Tuhannya dan Tuhan pulalah yang menciptakan hati sebagai penimbang diantara banyak sekali perbedaan dan perselisihan. Hati begitu dekat dengan sumber cinta. Maka dari itu hati selalu dipenuhi oleh cinta karena sebenarnya hati adalah wujud pemberian cinta yang nyata dari Tuhan untuk manusia.
Akal pikiran yang mengubahnya dalam perasaan yang beraneka ragam warnanya, perasaan yang tiada hentinya menghiasi isi hati manusia. Perasaan itu berwujud ghaib namun nampak pada perbuatan yang diperbuat manusia itu sendiri. Tapi hati manusia selalu merujuk pada kerinduan yang dahsyat pada Tuhannya. Sebab hati adalah konektor antara manusia dengan Tuhannya dan Tuhan pulalah yang menciptakan hati sebagai penimbang diantara banyak sekali perbedaan dan perselisihan. Hati begitu dekat dengan sumber cinta. Maka dari itu hati selalu dipenuhi oleh cinta karena sebenarnya hati adalah wujud pemberian cinta yang nyata dari Tuhan untuk manusia.
Perselisihan merupakan skenario yang sengaja Tuhan renda khusus diadakan untuk mengasah dan menguji segala pemberian yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar ia tahu untuk apa ia diciptakan, agar ia mengetahui hanya kepada Tuhanlah ia meminta, hanya kepada Tuhanlah ia menyanyikan isi hatinya, keinginannya, hanya kepada Tuhanlah ia menyembah, hanya kepada Tuhanlah tempat ia memuji. Walaupun semua itu tidak berdampak pada adanya Tuhan itu sendiri, tidak berpengaruh sama sekali terhadap harta yang Tuhan miliki, tidak menambah Kebesaran Tuhan yang bergemilau melebihi kilau mutiara-mutiara yang dikenakan bidadari surga. Tapi itulah tugas utama manusia selama masa hidupnya. Tugas yang sering teralihkan karena keterbatasan inderawi yang menempel pada raga yang mendoktrinasi pemikiran manusia untuk beranjak dari tugasnya. Manusia berani mengambil tawaran yang gunung-gunung sendiri tak berani mengambilnya, manusia berani menelantarkan tugasnya hanya demi bongkahan emas yang menggunung dalam perut bumi, manusia berani hanya memikirkan mencari ilmu pengetahuan dan mengesampingkan keharusannya untuk tetap selalu menyembah siapa yang seharusnya ia sembah. Manusia lantas memuat didalam dirinya sifat ikan yang merenggutnya dari air kehidupan abadi, sifat naga yang menyentakkan dirinya dari abu, sifat burung yang mencoba mengangkat sangkarnya keluar.
Seluruh alam semesta dan semua isi dunia apabila diubah menjadi pena untuk menulis semua ilmu pengetahuan yang dimiliki Allah tidak akan cukup bagi manusia untuk menulisnya secara menyeluruh. Seluruh nafas manusia dari awal mulainya ia bernafas bila dikumpulkan dan dihitung satu persatu tidak akan cukup untuk menghitung semua nikmat yang telah tercurahkan kepada seluruh alam. Manusia telah terlena akan dunia, meskipun dunia adalah syarat wajib untuk mencapai akhirat dan bila tanpa menginjakkan kaki didunia dunia tidak akan ada tiket yang tersisa untuk ke tujuan hidup yang untuk mati.
Ialah manusia, makhluk yang ditakdirkan sebagai khalifah dibumi untuk menjaga keharmonisan alam semesta dengan tugas yang diemban sebagai sebuah pertanggung jawaban dihari akhir. Meskipun Tuhan telah mengirimkan utusan yang begitu handal dan manusia itu sendiri yang menjadi saksi saat diturunkannya utusan tersebut. Ialah Muhammad Sang Pencerah yang memuliakan akhlak manusia dari ajaran-ajaran yang sebelumnya. Bukan untuk menyalahkan dan menganggap bahwa ad-Din yang dibawanya adalah yang paling benar melainkan untuk meluruskan ajaran-ajaran yang sebelumnya diajarkan oleh rasul-rasul terdahulu. Karena tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, kebenaran adalah milik yang memiliki kebenaran yang paling benar. Hak menilai yang seutuhnya adalah bagian dari kebenaran abadi yang sesungguhnya. Tak pantaslah manusia bersitegang dengan sesamanya hanya untuk memperebutkan kebenaran atas nama dirinya, atas nama apa yang dimilikinya yang melekat pada raganya yang semua itu adalah kepemiliikan Allah subhanahu wata’ala. Ibarat jika manusia telah mengetahui mili demi mili setiap lekuk tubuhnya dan mengambil makna yang tersirat dari raganya yang begitu indah dari situlah dia akan mengetaui seberapa Agung Tuhan Yang Maha Kuasa yang berkehendak diatas segala kehendak, pemilik Arsy. Kedekatan Tuhan dengan diri manusia adalah lebih dekat dari urat nadimu. Maka, Yang mengenal dirinya Yang mengenal Tuhannya.
No comments:
Post a Comment