Mawas Diri adalah Puncak Makrifat


Tasawuf adalah khazanah ilmu Islam yang bagai samudera tanpa tepi. Ia ajaran yang membumi, sekaligus melangit. Membumi karena memberi keleluasaan bagi kearifan lokal. Melangit karena memberi keluasan bagi pejalan untuk mencapai puncak-puncak spiritualitas masing-masing. Dan, sebagaimana jumlah gunungnya yang banyak, puncak makrifat di Jawa pun tidak cuma satu, melainkan jamak dan beragam.


Dalam buku ”Makrifat Cinta” yang saya tulis dan akan diterbitkan Noura Books (Grup Mizan) pada Januari 2013, saya menulis,”Mripat, yang adalah bahasa Jawa dari mata, oleh sebagian kalangan juga dianggap sebagai selip lidah dari Makrifat.” Dalam hubungannya dengan Makrifat, mripat atau mata bukanlah alat penglihatan, melainkan medium bagi peristiwa cahaya. Terang dan gelap memang berbeda, namun keadaan itu akan sama saja jika tidak ada mata yang dicahayai dan sinar yang mencahayai.

Mata adalah yang dicahayai, sinar adalah yang mencahayai. Dalam tatasurya, matahari adalah bintang induk dan komponen utama yang memancarkan cahaya terbesar bagi kehidupan. Matahari dapat dibaca selayaknya zat, sifat, asma, dan af'al dalam kajian tasawuf. Zatnya adalah matahari itu sendiri. Sifatnya adalah cahaya atau benderang matahari. Asmanya adalah sinar atau pancaran cahaya. Af'al-nya panas atau sentuhan sinar. Matahari tetap di tempatnya, namun cahaya, sinar, dan panas matahari sampai ke bumi yang berjarak 150 juta kilometer, bahkan menembus kulit manusia.

Untuk memahami Makrifat, kita tidak boleh kehilangan momen-momen manusiawi. Cahaya, sinar, dan panas matahari memberikan sensasi rasa yang sama bagi setiap manusia. Di bawah satu matahari yang sama, manusia sama saja. Sama-sama mengalami kasyaf sejak menerima cahaya. Sama-sama mengalami tajalli sejak menerima sinar. Sama-sama mengalami makrifat sejak menerima panas. Tanpa panas matahari, sama-sama akan layu dan mati. Tanpa sinar matahari, sama-sama akan hilang pandang, bahkan buta. Tanpa cahaya matahari, sama-sama akan berada dalam gelap.

Jika makrifat dikaitkan dengan mripat atau mata, maka puncak makrifat sesungguhnya adalah peristiwa melihat. Segitiga melihat diri sendiri-melihat liyan-dilihat liyan, mengerucut pada salah satu puncak makrifat Jawa, yaitu sawang-sinawang. Sebagaimana kajian tentang cahaya, yang mencahayai, dan yang dicahayai; maka makrifat adalah penglihatan, yang melihat, dan yang dilihat. Dalam rangka mawas diri, yaitu melihat diri sendiri sebelum melihat liyan dan dilihat liyan, maka mata menjelma penglihatan, penglihatan melihat diri sendiri, dan diri sendiri dilihat oleh penglihatannya sendiri.

Kearifan Makrifat Jawa mengajarkan,” Sawangen githokmu dewe. (Lihatlah tengkukmu sendiri).” Ini ajaran tentang bagaimana hidup dengan melihat perilaku diri sendiri demi mencapai kemuliaan tindakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Anas ibn Malik, Rasulullah Saw bersabda,” Innama buits-tu li utammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Akhlak mulia mewujud tindakan luhur. Rasulullah Saw sendiri adalah sosok pribadi yang luhur.

Rasulullah Saw adalah uswatun hasanah, suri teladan. Dalam Q.S. Al Anbiyaa: 107, Allah berfirman,”Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil-aalamiina. Tiadalah Kami mengutus engkau [Muhammad], melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam raya.” Ia melihat kehidupan bukan sekadar hitam putih. Muhammad melihat setiap hal dengan membiarkan apa yang dilihatnya itu sesuai warna aslinya. Dari sanalah, perbedaan dinikmati sebagai keindahan dan kemanusiaan diterima sebagai sesuatu yang semestinya.
==

Candra Malik, pengasuh Kelas Sufi

No comments:

Post a Comment