Di dalam mobil menuju pulang, Mbah Syakur menimang-nimang amplop bagiannya.
“Kayaknya kok terlalu banyak ini, Dik…”, Mbah Syakur bergumam serius — beliau memanggil Mbah Jauhari dengan “Dik”, sebutan untuk yang lebih muda — masih menimang-nimang amplopnya, “… Apa baiknya kukembalikan saja ya…?”
Mbah Jauhari memicing-micingkan mata dalam keremangan, berusaha mengamati raut muka Mbah Syakur. Tak ia temukan sama-sekali tanda-tanda bercanda. Mbah Syakur memang nyaris senantiasa serius secara istiqomah. Begitu pun saat itu.
“Menurutmu gimana, Dik?” Mbah Syakur mengulangi pertanyaannya karena tidak segera dijawab.
Mbah Jauhari menghela napas dan menghembuskannya seperti orang sial yang tak berdaya.
“Kalau njenengan kembalikan, itu namanya nyiksa kyai-kyai sekelas saya ini, Yi!” katanya.
“Kok bisa?” Mbah Syakur tak mengerti.
“Lha iya… Kalau njenengan kembalikan, lantas orang-orang menjadikannya pedoman gimana?”
“Pedoman apa?”
“Bisa-bisa mereka menganggap bahwa ngasih amplop kepada kyai itu tidak baik, wong njenengan nggak mau”.
“Memangnya kalau gitu kenapa?”
“Buat njenengan sih nggak apa-apa… wong njenengan sudah kelas kyai tajrid,” (tajriditu artinya melepaskan diri dari ketergantungan duniawi, -pen.) “lha kayak saya ini masih kelas kyai njerit je!”
Mbah Syakur cuma mesem, tapi setuju membawa pulang amplopnya.
Sampai di rumah, saat turun dari mobil, Mbah Syakur tampak kerepotan membawa rokok yang dua slop itu.
“Lha rokok ini buat apa?” katanya, “wong aku nggak doyan rokok…”
Beliau mikir-mikir sejurus,
“Ya sudah! Buat kamu saja, Dik!” beliau mengangsurkan rokok kepada Mbah Jauhari. Yang menerima tersenyum lebar sekali,
“Lha mbok gitu! Kan ya tetap manfaat to, Yi!”
No comments:
Post a Comment