TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Sebuah Karya Monumental Ibn Thufail: Hayy ibn Yaqdzan



Muqaddimah

Antara akal dan wahyu tidaklah memiliki kontradiksi yang begitu besar. Bahkan keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh dengan intelektualitas manusia, yang cenderung berhasrat untuk terus bertanya dan mencoba menjawab apa yang ada, dan juga oleh wahyu yang dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu kebenaran. Keduanya sama-sama dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin disampaikan Ibn Thufail pada kita dalam karya monumentalnya, Hayy Ibn Yaqdzan.
Dalam karyanya ini, Ibn Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian dua proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya, menentang Ibn Sina dan al-Farabi dengan ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al-Ghazali yang fokus pada tiga ajaran para filososf, terutama Ibn Sina dan al-Farabi, tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal yang benar-benar dianggap oleh al-Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian ini coba didamaikan Ibn Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui penalaran, melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang sama.

Tentang Ibnu Thufail

Di Guadix atau di Wadi Asy, juga disebut Cadiz, sebuah distrik yang terletak cukup jauh di Timur Laut Granada, Ibnu Thufail atau Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi dilahirkan pada tahun 1110 M. Masa kecil Ibn Thufail di Andalusia adalah masa-masa di mana terjadi pergolakan politik yang luar biasa. Sebelas tahun setelah kelahirannya, dinasti Murabitihun yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin yang sebelumnya menggulingkan Muluk ath-Thawa’if  pengambil alih kekuasaan Daulah Umayyah, ditundukkan oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 yang kemudian mendirikan Dinasti Muwahhidun. Setelah Dinasti Muwahhidun berdiri, gejolak politik itu berangsur-angsur mereda. Kondisi kembali seperti masa-masa Dinasti Umayyah sebelumnya. Sevilla, Cordova, atau Andalusia secara umum kemudian kembali menjadi pusat peradaban Islam, yang menjadi salah satu paru yang berperan memajukan pendidikan Islam. Ilmu-ilmu warisan orang-orang seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Bajjah, bahkan al-Razi juga al-Ghazali, kembali mengalir deras di wilayah-wilayah ini. Dan Ibn Thufail muda dalam situasi pendidikan yang dinamis[1] seperti itu dididik dan diajarkan bernagai ilmu oleh orang tuanya, belajar filsafat, ilmu kedokteran, dan beragam ilmu yang lainnya. Hingga kemudian dia dikenal sebagai seorang dokter yang disegani di Andalusia.
Peran pentingnya dalam tubuh pemerintahan Dinasti Muwahhidun pada masa itu dimulai ketika ia diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Granada, diteruskan menjadi Sekretaris Gubernur Ceuta dan Tangier. Mengabdi pada putra Muhammad ibn Tumart (1080-1130 M), Abd al-Mu’min ibn ‘Ali (w.1163). Setelah  al-Mu’min wafat, Ibnu Thufail menjadi dokter istana dan wazir Abu Ya’qub Yusuf (memerintah 1163-1183). Sebagai ahli falsafah, Ibnu Thufail adalah guru dari Ibnu Rusyd (Averroes), ia mengusai ilmu lainnya seperti ilmu hukum, pendidikan, dan kedokteran, sehingga Thufail pernah menjadi sebagai dokter pribadi. Ia menjadi salah seorang terpenting di negerinya berada, serta memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Andalusia, karena melalui dialah Abu Ya’qub Yusuf yang cinta ilmu pengetahuan itu memberikan wewenang untuk mengundang orang berilmu dan terpelajar ke istana, salah satunya Ibnu Rusyd yang terkenal membela mati-matian filsafat dalam Islam. Ibnu Thufail seperti yang dikatakan oleh Leen E. Goodman[2] menjadi menteri kebudayaan Abu Ya’qub Yusuf, selain juga sebagai dokter pribadinya. Satu jabatan yang lebih tepat disebut sebagai wazir jika melihat kedekatan antara Abu Ya’qub dan Ibn Thufail seperti yang dikatakan Goodman. Sedikit orang yang dapat memiliki hubungan khusus dengan sultan, meskipun dengan jabatan sebagai menteri yang notabene di bawah wazir tetap dimungkinkan adanya hubungan dekat itu. Namun sekali lagi, hubungan itu akan nampak relevan jika Ibn Thufail adalah wazir dari khalifah.
Kehidupan Ibn Thufail dapat dilihat sebagai sebuah kesuksesan yang dapat dijadikan aspirasi. Kehidupan seorang intelektual yang malang-melintang di sebuah istana, yang memberikan segala tentang dunia. Akhirnya setelah melampui masa-masa indah sebagai manusia, menjalani tawa dan canda bersama orang-orang istana, ia wafat di usianya yang telah senja pada tahun 1185 M, di Maroko, ibu kota kerajaan dinasti Muwahiddun. Meninggalkan beberapa karya yang beberapa di antaranya dapat kita baca sampai hari ini. Dan kebanyakan tidak terekam atau hilang ditelan zaman.
Hanya sedikit karya tulis yang dapat dikenal sebagai buah pikir Ibn Thufail, di antaranya Rasa’il fi an-Nafs, Fi Biqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah, dan Hayy ibn Yaqdzan. Namun dari sekian karyanya itu, hanya Hayy ibn Yaqdzan yang lengkap sampai pada kita. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) sebagai karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama pada masa itu. Hayy ibn Yaqdzan juga diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa Latin. Edward Packoke memberikan catatan khusus pada terjemahannya tersebut dengan Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak), satu bentuk apresiasi yang diberikan pada Ibn Thufail. Setelah adanya penterjemahan dalam bahasa latin ini, Hayy ibn Yaqdzan kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Simon Ockley, dengan judul “The Improvement of Human Reason”, pada tahun 1708. Kemudian di susul oleh edisi barunya dengan judul “The History of Hayy ibn Yaqzhan” pada tahun 1926. Terjemahan bahasa Perancis muncul setelah Leon Gauthier mengalihbahasakan Hayy ibn Yaqdzan dalam bahasa tersebut, karya dalam edisi bahasa Perancis ini bahkan di sertai dengan teks arabnya “Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail”. Hayy Ibn Yaqdzan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan Indonesia

Tentang Hayy ibn Yaqdzan

Perjalanan manusia menapaki jalan spritualnya, demikianlah Hayy ibn Yaqdzan dikisahkan oleh Ibn Thufail. Pencarian jalan yang benar dengan berbagai tahapan pengamatan dan tindakan. Hayy Ibn Yaqdzan mulai melakukan pencarian dengan memulai pengamatan-pengamatan inderawainya, kemudian rasio, dan ketiga batinnya. Sedikit demi sedikit Hayy mulai melakukan itu, mengamati fenomena yang ada di sekitar, binatang, bintang, gejala alam, yang kemudian jalan pada Sang Kebenaran ia temukan setelah melalui tahapan demi tahapan itu. Hayy berhasil menemukan esensi dari segala esensi yang ada.
Kisah ini dimulai dengan penuturan Ibn Thufail yang mengatakan bahwa ada dua versi tentang keberadaan Hayy ibn Yaqdzan. Pertama, Hayy Ibn Yaqdzan dilahirkan oleh seorang Puteri yang memiliki saudara seorang raja yang tiran. Sang raja yang mengutamakan kemegahan, melarang sang Puteri menikah sebelum ada jodoh yang sederajat dengan mereka. Namun, secara diam-diam salah seorang kawan raja, bernama Yaqdzan, mengawini sang Puteri. Dan sang Puteripun akhirnya hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Karena takut ketahuan sang Raja, maka sang Puteri menghayutkan anaknya ke laut pada sebuah peti. Peti itupun sampai pada pulau Waqwaq, sebuah pulau tak berpenghuni manusia. Peti yang berisi Hayy ibn Yaqdzan ini kemudian dihempaskan oleh air laut ke daerah dalam pulau, dan di situlah Hayy ditemukan oleh seekor rusa, yang kemudian mengasuhnya.
Kedua, dikatakan bahwa Hayy ibn Yaqdzan lahir karena proses alam. Perpaduan antara unsur-unsur alam yang menyatu dalam tanah dengan tekstur dan kondisi dalam rahim. Sedemikian rupa karena terolah dengan baik dalam waktu yang cukup lama oleh alam akirnya tanah tersebut melahirkan Hayy ibn Yaqdzan yang kemudian ditemukan dan dirawat sang Rusa.[3]
Selama tujuh tahun Hayy ibn Yaqdzan dirawat sang Rusa, dan belajar bagiamna cara berkomunikasi, meminta tolong, dan berbagai isyarat komunikasi baik dengan hewan lain maupun rusa yang mengasuhnya. Dari sini ia mulai belajar dengan pengamatan inderanya, melihat binatang lain seusianya yang nampak memiliki kelebihan muncul pada tubuh mereka. Hewan-hewan yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan ada pada tubuh mereka, rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga dengan tanduk mereka, macan dengan taring dan kukunya, Elang dengan paruhnya, dan itu semua membuat Hayy ibn Yaqdzan kecil bertanya-tanya, kenapa dia tidak memiliki itu semua. Diapun belajar dengan melihat hal-hal itu, kemudian dibuatlah baju untuk menutupi tubuhnya dari sengat matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau binatang buas yang hendak mengganggunya.
Pengetahuan Hayy bertambah lagi setelah secara tidak sengaja di dalam sebuah perjalanannya mengelilingi pulau ia menemukan api. Dari api itu ia dapat menghangatkan diri dan memperoleh penerangan di kala gelap melanda. Selain itu ia juga tahu bahwa api mampu menjadikan daging dan ikan menjadi lebih lezat setelah dibakar, mulailah ia selalu menggunakannya untuk memasak makanannya.
Ketika mengamati bahwa silih berganti apa yang ada di dalam ini kemudian musnah dengan sendirinya, disusul kematian rusa yang merawatnya, Hayy ibn Yaqdzan mulai menyadari bahwa alam ini tidak abadi, satu persatu semua akan berakhir pada ketiadaan. Ia menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan, maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu, dan kini dalam pikirannya telah terpatri satu zat tunggal yang diimani sebagai sang pencipta segalanya. Hayy menemukan Tuhan melalui jejak-jejak suci yang ditinggalkan-Nya.
Pengamatannya berlanjut pada benda-benda langit, bahwa matahari terbit dan tenggelam, demikian juga dengan bulan dan bintang, yang kemudian memunculkan satu tesis bahwa alam ini begitu teratur. Dan tentu ada dzat maha sempurna yang mengaturnya yang tentunya maha kekal dan tidak sama dengan alam semesta ini yang tiada abadi, hilang dan silih berganti mengisi waktu.
Kematangan mulai nampak pada diri Hayy ibn Yaqdzan saat ia berusia 35 tahun,[4]ia mulai mencari kebenaran melalui pencarian melalu penelusuran ulang tentang cipta rasanya yang sudah-sudah. Ia mulai meraba-raba episteme mana yang membawanya pada kebenaran. Dan ia kemudia berkesimpulan bahwa, ia dapat mengetahui melalui tiga hal, akal dengan bantuan pencerapan indra, ruh, dan jiwa. Menuntunya pada tingkatan-tingkatan yang pernah dilalui sampai yang kini dijalani, maqam keindahan spiritual melalui pancaran cahaya ilahi.
Kisah inipun semakin menarik ketika datang Asal atau Absal dari pulau seberang ke pulau Waqwaq. Ia juga seorang salik layaknya Hayy ibn Yaqdzan yang tengah sibuk dengan meditasi dan menikmati ekstasi spiritualitas yang dijalaninya, mencari ketenangan dan memilih jalan hidup kesendirian. Asal atau Absal ini berasal dari sebuah pulau yang dipimpin oleh Salaman, sahabat Asal yang memilih hidup zuhud di tengah masyarakat dengan melakukan ritual keagamaan secara biasa, karena hal inilah Asal dan Salaman kemudian berpisah.[5]Di pulau yang dikira Asal tidak berpenghuni ini, Hayy ibn Yaqdzan dan Asal bertemu pandang. Karena tidak mau terganggu Asal pun berlari dan bersembunyi. Hayy yang baru sekali seumur hidup melihat manusia lain dengan pakaian aneh yang dipakainnya, mengejar dan mencari Asal yang bersembunyi. Asal akhirnya tertangkap, melihat ada orang aneh dengan kekuatan yang luar biasa ia nampak ketakutan. Namun, Asal tetap mencoba berkomunikasi dengan Hayy yang dikiranya ingin berbuat jahat padanya. Dengan segala bahasa yang dimilikinya ia berkata pada Hayy ibn Yaqdzan, namun Hayy tidak memahami apa yang dikatakannya. Setelah tahu bahwa Hayy ibn Yaqdzan tidak bermaksud jahat dan tahu bahwa orang yang ada dihadapnnya tidak dapat berbahasa manusia, Asal sedikit demi sedikit memberi petunjuk menandai sesuatu dengan bahasa. Dari sinilah Hayy mulai belajar berkomunikasi, dan kemudian mereka saling bertukar pikiran tentang pengalaman mereka. Asal bercerita tentang kaummnya yang ada di pulau seberang yang hidup dengan cara hidup agama wahyu yang nampak adikodrati. Sedang Hayy menceritakan pengalaman hidupnya setelah lama hidup di pulau Waq-waq sendiri, dan ia bercerita pula tentang pencapaiannya pada cahaya cinta sang Illahi. Bahwa dengan pengamatan dan penalaran yang dilaluinya ia telah sampai pada maqam pencari kesejatian, menemukan apa yang dicarinya.
Merasa satu jalan dengan Hayy ibn Yaqdzan, Asal yang merasa bahwa apa yang dijalani oleh masyarakat di tempatnya haruslah dirubah, yaitu dengan jalan yang telah ditemukan Hayy ibn Yaqdzan. Ia ingin agar penduduk di kotanya memperoleh pencerahan seperti halnya Hayy ibn Yaqdzan memperoleh hal itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke kampung halaman Asal, menyebarkan ajaran agama yang ditemukan Hayy Ibn Yaqdzan, ajaran agama melalui penalaran dan penyelaman jiwa pada cinta Ilahi. Sesampainya di tempat Asal, mereka berdua mulai berdakwah menyebarkan ajaran yang mereka bawa. Namun segala upaya yang mereka tempuh tidak menghasilkan apa-apa, dan penolakan terhadap ajaran yang mereka berikan yang kemudian muncul. Akhirnya Hayy Ibn Yaqdzan dan Asal memilih kembali ke pulau Waqwaq, dan tetap meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar ajaran agama wahyu yang ada di tempat Asal berasal. Kembali menjalani hidup suci di padang pengasingan kehidupan.

Epistemologi Hayy Ibn Yaqdzan

Pencapaian pencarian seperti yang dialami Hayy ibn Yaqdzan dalam kisah yang diceritakan Ibn Thufail memiliki tiga jalan yang harus dilalui. Tiga jalan yang pada dasarnya bisa dilalui oleh setiap manusia yang telah dibekali Tuhan dengan akal dan jiwa dalam tubuh yang sama. Tiga jalan pencarian itu adalah;

  1. Indera (empiris)
Meliputi panca indra yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan, dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna, bahwa indera dapat dengan mudah tertipu dengan karena tiap indera memiliki kemampuan terbatas dalam mengidentifikasi objek, maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan lain.

  1. Akal (rasio)
Akal yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek. Selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi. Pengetahuan yang dicapai oleh akal memiliki validitas yang lebih dibanding dengan indera, bahwa rasio mampu melampau objek, ruang, dan waktu. Dalam tahapan ini Ibn Thufail menggambarkan bahwa Hayy Ibn Yaqdzan mencoba melakukan apa yang ada dalam pengamatannya terhadap benda-benda langit. Ia mulai berputar-putar, mengelilingi pulau, tempatnya tinggal, dan juga berputar pada dirinya sendiri. Ia mulai memikirkan bahwa ada satu subjek yang dapat memberinya pencerahan, dan ia dapat melihat itu pada jejak-jejak-Nya di alam ini. Hayy mulai merasionalkan segala keteraturan dan ketiadaabadian alam ini. Ia melihat rusa yang mengasuhnya nampak semakin tua dan kemudian mati, hewan yang lain juga sama, ia juga memikirkan peredaran matahari yang selalu muncul dari Timur ke Barat setiap hari. Dari sinilah ia menemukan satu entitas pencipta dan pengatur segalanya, sang Causa Prima. 
Namun sayangnya, kemampuan akalpun terbatas, akal tidak mampu misalnya menjelaskan dirinya sendiri secara jelas, akal juga misalnya tidak dapat menjelaskan mengapa manusia dapat menangis sejadi-jadinya ketika melihat kekasihnya mati. Atau akal tidak dapat mengenali sang Causa Prima itu, akal hanya mampu mengetahui-Nya melalui jejak-jejak yang ada, akal belum mampu membawa manusia pada pertemuan manusia pada sang Penciptanya. Maka dari itu, manusia pada dasarnya dibekali Tuhan dengan intuisi.

  1. Intuisi
intuisi menurut Ibn Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa, seperti halnya Hayy Ibn Yaqdzan yang dalam tahap akhir pencarianya menemukan esensi dari segala esensi yang ada. Hayy melalui riyadah perjalanan spiritula menemukan identitas kesejatian yang menyelimuti alam semesta. Dia tenggelam dalam identitas kesejatian itu, menikmati pancaran cinta yang ada menyertainya.

Penutup

Meskipun tidak secara jelas Ibn Thufail melakukan mediasi antara wahyu dan akal, namun secara implisit ia ingin menyatakan bahwa keduanya sama-sama jalan menuju kebenaran. Hayy Ibn Yaqdzan mampu menemukan kebenaran sejati melalui jalan penalaran yang dijalaninya. Begitu juga dengan Salaman, ia menemukan Tuhan melalui pemahaman keberagamaannya yang berasal dari kabar-kabar Tuhan yang disampaikan Muhammad SAW. Keduanya mencapai hal yang sama. Sedangkan Asal adalah tokoh yang dihadirkan Ibn Thufail, sebagai anatomi elaborasi keduanya, Asal yang sebelumnya tinggal satu kota dengan Salaman, memperoleh pengetahuan awalnya dari wahyu dan kemudian setelah pertemuannya dengan Hayy Ibn Yaqdzan, ia memadukan pemahaman pengetahuan awalnya itu dengan ajaran yang diterimanya dari Hayy.
Berkaitan dengan, Ibn Thufail mengajarkan pada kita bahwa, semangat keagamaan, baik yang penerimaannya melalui wahyu atau penalaran, tidaklah elok bila saling menjatuhkan. Keduanya melihat kebenaran dari sisi yang dilihat masing-masing. Keduanya melihat kebenaran yang tunggal, kebenaran yang tidak sepatutnya diklaim dan dijadikan justifikasi untuk menegasikan atau bahkan mengkafirkan yang lain. Kebenaran tetaplah tunggal, cara melihatnya yang beragam.

Bahan Bacaan

Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leamen, editor, Ensiklopedi Tematis, Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003, jilid I
Masruri, Hadi, Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, Yogyakarta: LKIS, 2005
Ibn Thufail, Hayy bin Yqdzan, Anak Alam Mencari Tuhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

[1] Dalam Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, M. Hadi Masruri mengatakan bahwa masa-masa Ibnu Thufail bukanlah masa-masa yang kondusif untuk beerkembangnya intelektualitas orang-orang di sana, dan saya agak tidak setuju dengan hal ini, meskipun dalam beberapa bidang keilmuan saya setuju dengan dia, bahwa misalnya filsafat mengalami sedikit kurang berkembang pada masa-masa awal kehidupan Ibnu Thufail, tetapi bagaimanapun bidang keilmuan seperti kedokteran, astronomi, bahasa, dan beberapa bidang keilmuan lainnya selain filsafat terus berkembang dengan baik.
[2] Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003
[3] Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqdzan, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal 19-20
[4] Saya tidak tahu kenapa Ibn Thufail memilih usia ini. Mungkin saja karena memang pada usia inilah manusia biasanya memperoleh kematangan diri, atau juga ini didasarkan pada pengalaman pribadi Ibn Thufail sendiri yang mencapai kematangannya pada usia ini.
[5] satu metafor untuk menggambarkan antara Filsafat yang diwakili Asal dan menganut ajaran agama secara fatalistik ala para fuqaha, yang diwakili Salaman. Dan juga menggambarkan ketidakharmonisan hubungan intelektual Ibn Sina dan al-Ghazali.


PETUALANGAN JIWA: Sebuah Langkah Awal Dalam Meniti Jalan Cinta Menurut Perspektif ‘Attar dalam Mantiq at-Tayr



By Nanik Y.
------------
PENDAHULUAN

            Jiwa, sebuah kata yang mengandung banyak misteri di dalamnya. Begitu banyak alegori yang melambangkan tentang jiwa, terlebih jiwa manusia, salah satunya adalah ‘Attar, yang menggambarkan jiwa manusia sebagi burung-burung yang melakukan sebuah pencarian menuju sebuah kebenaran sejati.
            Dalam makalah ini, saya mencoba untuk menghubungkan antara perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar dengan kaitannya terhadap Cinta Ilahi. Yang pada dasarnya, perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar tersebut, juga merupakan sebuah proses bagi jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi serta kebenaran yang hakiki.
Tulisan ini terbagi dalam beberapa kerangka bagian, yang tersusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama mengetengahkan sekilas tentang ‘Attar, sang perangkai Mantiq at-Tayr. Bagian kedua memberikan sedikit gambaran mengenai Mantiq at-Tayr  karya ‘Attar. Bagian ketiga mencoba mengungkap sedikit makna yang terkandung dalam proses perjalanan burung-burung, yang terkemas dalam Mantiq at-Tayr. Bagian keempat  mencoba menghubungkan antara alegori karya ‘Attar ini, dengan suatu proses meniti jalan cinta menuju Ilahi.


SEKILAS MENGENAI ‘ATTAR

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, atau yang lebih sering dikenal dengan al-`Attar (yang artinya adalah pembuat minyak wangi dan obat-obatan), ia lahir pada tahun 1120 di Nisyapur, ia juga adalah seorang sufi dan sastrawan besar persia pada sekitar abad ke-12 dan 13 M.  Karyanya, yaitu Mantiq al-Tayr  (Musyawarah Burung) dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam sejarah sastra Islam, serta diterima secara luas di hampir seluruh  belahan dunia.
Selain sebagai seorang sufi yang juga merangkap sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai seorang ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi yang cukup berada, itulah sebabnya, ia lebih dikenal dengan nama ‘Attar. Kisah perjalanan hidupnya berubah dan bermula ketika pada suatu hari, datanglah seorang fakir lanjut usia ke toko minyak wanginya. Melihat seorang fakir yang dikiranya akan mengemis itu, `Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Kemudian, fakir itu menjawab, “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini pun,  tidaklah sulit bagiku! Tetapi, bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Seketika itu pula, fakir lanjut usia tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah menguburkan fakir itu sebagaimana seharusnya, `Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang  melimpah di Nisyapur kepada sanak-saudaranya, sedangkan dia sendiri, tanpa membawa sepeser pun uang,  ia mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf. Beberapa tahun kemudian, ketika usianya mencapai 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya tersebut, namun, sebagai seorang ‘Attar yang berbeda, yaitu, seorang ‘Attar yang pada awalnya hanyalah seorang pemilik toko minyak wangi dan obat-obatan besar, kini juga telah menjadi seorang guru kerohanian yang cukup bernama besar. Kemudian, selain memberikan pelatihan-pelatihan kerohanian serta mendirikan beberapa sekolah, dia juga tetap melanjutkan profesinya sebagai ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi.
            Salah satu kemahiran `Attar yang telah lama dikenal oleh penduduk Nisyapur, adalah kemahirannya bercerita. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita, sehingga secara langsung cerita–cerita tersebut pun  memikat  mereka. Ketika  tokonya  sedang sepi  dengan pelanggan, dia pun
menyempatkan dirinya untuk menulis cerita. Di antara karya-karyanya yang terkenal ialah  Thadkira al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), yang secara lebih lanjutnya akan saya bahas pada bait demi bait kata berikutnya.


MANTIQ AT TAYR    

Salah satu karya terbesar ‘Attar adalah Mantiq at-Tayr, yaitu musyawarah para burung. Di dalamnya, ‘Attar menggambarkan secara simbolik mengenai penapakan jalan kerohanian atau tasawwuf yang dapat ditempuh melalui tujuh lembah, yaitu: lembah pencarian (talab), lembah cinta (`isyq), lembah kearifan (ma`rifah), lembah  kebebasan atau kepuasan hati (istighna), lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (tauhid), lembah ketakjuban (hayrat), serta lembah kefakiran (faqr) dan (fana`).
Namun,  `Attar menganggap bahwasanya jalan-jalan tasawuf yang dimaksud  sebenarnya adalah merupakan jalan cinta, sedangkan ke-tujuh lembah yang dimaksud, tidak lain adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan cinta.  Misalnya, ketika seseorang memasuki lembah pencarian.  Cintalah  yang pada dasarnya mendorong seseorang yang bersangkutan untuk melakukan pencarian. Sedangkan lembah-lembah lainnya adalah merupakan tahapan berikutnya yang sekiranya akan dicapai dalam jalan cinta tersebut.
Mantiq al-Tayr, adalah sebuah alegori sufi yang menceritakan tentang penerbangan para burung dalam proses pencariannya akan sosok seorang raja, yang berada di puncak gunung Qaf, yang mereka sebut sebagai Simurgh.       Dalam pencarian tersebut para burung dipimpin oleh Burung Hud hud. 
            Lembah pertama yang dilalui oleh burung-burung tersebut, adalah lembah pencarian (talab). Di lembah ini, seseorang atau jiwa manusia yang dilambangkan dengan burung-burung, diharuskan untuk memiliki cinta dan harapan, karena dengan kedua hal tersebutlah, seseorang dapat bertindak lebih sabar dalam menghadapi rintangan serta godaan yang dijumpainya. Dalam lembah ini juga, ia harus melepaskan kecintaannya akan dunia dan jasmani. Dengan demikian, ketika ia berhasil melakukannya, ia akan merasakan kerinduan yang amat sangat terhadap-Nya, serta rela mengabdikan diri kepada-Nya. Setelah itu, dengan sendirinya, ia akan berada dalam naungan Cinta,  serta diberikan anugerah dengan menyaksikan cahaya Keagungan Tuhan.
Lembah yang Kedua, yaitu lembah Cinta (isyq). Di sini, `Attar melambangkan cinta sebagai api yang terang, yaitu mata batin yang dapat menembus bentuk-bentuk jasmani dan menyikap rahasia yang terdapat dalam ciptaan. Sedangkan, ‘Attar melambangkan pikiran (akal) sebagai asap yang mengaburkannya. Sehingga, cinta yang sejati dapat menyingkap apa yang ada di balik asap tersebut.
Berkaitan dengan hubungan antara cinta dan pikiran (akal) ini, Syah Nikmatullah Wali memberikan sumbangsihnya dalam mengartikan bahwa cinta dan pikiran (akal), adalah ibarat dua sayap yang berasal dari satu burung yang sama, yaitu yang disebut dengan jiwa. Ia berkata:

            Akal dipakai  untuk memahami
            Keadaan manusia selaku hamba-Nya
            Cinta untuk mencapai kesaksian
            Bahwa  Tuhan itu Satu[1]

Di lembah Cinta ini, ada begitu banyak cobaan serta ujian, yang dapat menyesatkan seseorang. Hanya petunjuk Tuhan lah, yang dapat menyelamatkannya dari bahaya. Namun, petunjuk tersebut hanya akan datang berdasarkan ikhtiyar dan doa yang dipanjatkan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain. Seperti halnya yang terdapat dalam kisah Syekh San’an dan gadis yunani yang beragama nasrani.
Lembah Ketiga, yaitu lembah kearifan (ma’rifah). Kearifan adalah sebuah pengetahuan yang berisi tentang Zat Yang Abadi, dengan demikian, ia akan selalu terjaga kesadarannya tentang Tuhan Yang Satu. Dengan adanya kearifan, seseorang akan dapat selalu terjaga dari adanya tipu muslihat, serta waspada terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya.
Seseorang yang telah berhasil mencapai makrifat, akan menerima cahaya sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya, serta akan mengenal kebenaran Ilahi. Orang yang telah mengenal hakekat segala sesuatu, akan memandang dunia  melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, serta tidak lagi terpaku pada  sesuatu yang tidak berguna, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya terhadap yang Hakiki.
Lembah Keempat, yaitu lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna). Di lembah ini, tidak ada lagi nafsu dan keinginan-keinginan pribadi maupun duniawi yang dapat memenuhi jiwa seseorang, karena pandangannya telah tercerahkan oleh kehadiran Ilahi.  Di sini, seseorang telah merasa tercukupi dengan adanya rahmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk  mencapai tingkat ini, seseorang harus mengganti segala keraguan yang ada dengan keteguhan iman (haqq al-yaqin).
Lembah Kelima, yaitu lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah  (Tauhid). Di lembah ini, seseorang menyadari bahwa sebenarnya hakekat wujud yang beraneka ragam itu sebenarnya satu, yaitu manifestasi Cinta Yang Satu, rahman dan rahim-Nya. Dan, segala sesuatu yang kelihatannya berbeda, terlihat bahwasanya semuanya berasal dari hakekat yang sama. Meskipun, pada awalnya ia melupakan segalanya, namun selanjutnya, ia akan menyadari bahwasanya ia selalu bersama dengan Tuhan Yang Esa.


Ralph Waldo Emerson, dalam The Celestial Love, menyatakan:

Hendaknya engkau meratapi cinta;
Di dalam bayangan, yang darinya semuanya terbentuk
Ke dalam satu bentuk, kemudian semuanya melebur……
Membimbing dunia dengan ikatan dan persyaratan;
Dimana hal-hal yang tidak sama menjadi serupa;
Di mana kebaikan dan keburukan,
Pekik kegembiraan dan rintih kesedihan,
Melebur menjadi satu.[2]

Lembah Keenam, yaitu lembah ketakjuban (Hayrat). Di lembah ini, kita akan tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang amat sagat,  yang karenanya, seolah-olah kita berada dalam suatu kebingungan.  Siang seakan menjadi malam, dan  malam seakan menjadi siang. Kesusahan dan kebahagiaan seakan sulit untuk dibedakan. Dan segala sesuatunya menjadi semakin tak jelas batasannya.
Lembah Ketujuh, yaitu lembah kefakiran (Faqir) dan (Fana). Faqir, adalah suatu kesadaran bahwasanya dia tidaklah memiliki sesuatu apapun kecuali cinta kepada-Nya.   Namun demikian, hal ini tidaklah mengindikasikan bahwasanya seorang faqir sama sekali tidak memperdulikan segala seuatu selain-Nya, melainkan, ia menandang segala sesuatunya dengan tetap merujuk kepada-Nya. Dengan adanya kefakiran,  seseorang mampu memaknai setiap kejadian yang terjadi dalam kehudupannya, dengan tidak hanya terpaku pada makna formal semata.
Dalam akhir kisah pencarian ini, ‘Attar menuliskannya sebagai berikut:         “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf  kau  mula-mula akan dicampakkan  ke dalam lembah kehinaan, kemudian baru kau akan diangkatnya  ke  puncak gunung  kemuliaan”.


MAKNA DI BALIK MANTIQ AT-TAYR

Mantiq at-tayr, merupakan sebuah perumpamaan yang menggambarkan dan menceritakan keadaan rohani dan pengalaman mistik seorang sufi, yang juga adalah sebuah proses pencarian dalam menempuh jalan tasawuf. Burung-burung, yang melakukan perjalanannya dalam mantiq at-tayr tersebut, adalah menggambarkan jiwa manusia yang merindu akan Tuhannya serta akan hakikat dirinya yang hakiki. Yang pada dasarnya, jiwa yang bersangkutan itu mampu untuk terbang mengembara menuju alam lain di luar tubuh dan fikiran manusia itu sendiri, seperti halnya burung yang dapat terbang melalui kedua sayapnya.
Menurut para sufi, jiwa manusia adalah bagaikan seekor burung yang memiliki dua sayap, yaitu akal dan cinta (kalbu). Yang pada dasarnya, jika jiwa-jiwa itu merindukan Tuhan dan hakikat dirinya sendiri, dengan sendirinya, ia akan melakukan sebuah perjalanan penerbangan dengan akal dan cinta (kalbu) yang dimilikinya.
Sedangkan burung-burung lain yang juga melakukan perjalanan tersebut, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis burung yang berbeda-beda, juga mencerminkan hakikat-hakikat manusia yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pula. Yang pada dasarnya, hal-hal tersebut seringkali mempengaruhi manusia itu sendiri dalam melakukan perjalanan menuju kebenaran yang hakiki.
Burung Hud hud, yang memimpin perjalanan kerohanian tersebut, adalah melambangkan atau menggambarkan sebuah jiwa manusia yang uncommon, yaitu seorang guru kerohanian atau sufi, yang pada dasarnya telah mencapai tingkatan makrifat yang tinggi.
Simurgh, yang menjadi obyek pencarian dalam perjalanan tersebut, adalah melambangkan hakikat diri manusia itu sendiri, yang juga melambangkan hakikat kebenaran tertinggi. Sebagaimana diceritakan dalam mantiq at tayr tersebut, Simurgh berada di puncak gunung yang tinggi, seperti halnya  hakikat diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki posisi yang tertinggi.  Dalam kisah Mantiq al-Tayr tersebut, jumlah burung yang berhasil menjumpai Simurgh berjumlah tiga puluh ekor. Si-murgh, dalam bahasa Persia berarti tiga puluh. Dengan demikian, kisah pencarian para burung ini adalah merupakan kisah penerbangan jiwa-jiwa manusia dalam mencari hakikat dirinya sendiri.
Bukit Qaf, adalah melambangkan suatu pengalaman atau pencapaian tingkat kerohanian yang tertinggi. Dalam sastra sufi, bukit digunakan untuk melambangkan pertemuan antara manusia dengan Tuhan, serta dengan hakikat dirinya sendiri.
Tujuh lembah, adalah melambangkan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi. Pada tiap lembah atau tahapan perjalanan yang ditempuh, ada banyak tantangan serta pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh para jiwa yang melakukan perjalanan kerohanian tersebut. Dan, pada setiap lembahnya, jiwa-jiwa manusia itu akan mengalami pengalaman-pengalaman yang berbeda.
Berkaitan dengan lembah terakhir  yang dilalui oleh jiwa manusia tersebut, `Attar menuliskan sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh
Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu
Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru
Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar
Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau
Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka
            Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka
            Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya
            Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia
            Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh
            Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka
            Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.
            Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung
            Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu
            Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh[3]

           

MENITI JALAN CINTA MENUJU ILAHI

Dalam sedikit ulasan mengenai Mantiq at-Tayr di atas, ‘Attar menyarankan agar, dalam kehidupan, manusia hendaknya menempuh jalan cinta. Karena cinta, adalah penawar bagi segala kesedihan, dan merupakan obat dalam dua dunia. Selain itu, cinta juga adalah merupakan penghubung antara kita dan Tuhan kita. Dan ternyata, pengalaman cinta juga dapat membantu kita agar dapat mengenal obyek yang kita cintai dengan lebih mendalam.
Sebelum memulai proses penitian jalan cinta ini, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui tentang konsep dari cinta, serta pembagian-pembagian cinta itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
Ø      Cinta Ilahi.
Rahmat atau cinta Tuhan terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Rahmat atau cinta esensial (rahman), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya, tanpa mengenal ras, bangsa, maupun agama.
2.      Rahmat atau cinta wajib (rahim), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang hanya dilimpahkan-Nya kepada orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya.
Ø      Cinta Mistikal atau Kesufian atau (cinta pada manusia), terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Cinta mistikal atau rohani, yaitu, cinta yang ditujukan kepada Tuhan. Cinta ini,  mampu membawa seorang pencinta kepada penglihatan batin yang peka, sehingga mampu menembus bentuk forma kehidupan, untuk menuju kepada yang hakiki, termasuk hakikat ke-Tuhan-an. Cinta semacam inilah, yang mampu mengepakkan sayap jiwa untuk terbang menuju Hakikat Yang Tertinggi.
2.      Cinta alami atau kodrati, yaitu, cinta yang ditujukan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Cinta ini, dapat dijadikan sebagai jalan dalam mendaki cinta mistikal atau rohani. Dalam al-Qur’an, cinta alami atau kodrati ini adalah merupakan konsep amar ma’ruf nahi munkar, atau disebut juga dengan solidaritas sosial yang bertujuan untuk membentuk lingkungan masyarakat yang diridhoi oleh Tuhan[4].
Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam cinta, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba Tuhan, juga merupakan utusan Tuhan di bumi.
Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan lebih mendalam akan Tuhan.
Salah satu ciri dari cinta sejati  dalam makna penglihatan batin, adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata batinnya. Berkaitan dengan ini, `Attar  menyatakan demikian:

            Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
            Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
            Dari kungkungan sangkarnya  sebelum ajal mereka tiba
            Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
            Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
            Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
            Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
            Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung[5]

Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta  memberikan dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat menghantarkan seseorang terhadap pengenalan hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi  berpendapat bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya menuju Yang Esa,  Rumi menulis sebagai berikut:

            Inilah Cinta: Terbang tinggi melesat  ke langit
            Setiap saaat ratusan hijab tercabik
            Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd)
            Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki

            Dalam cinta, dunia dan benda telah raib
            Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi

            Kataku, ”Moga bahagia kau, o Jiwa!
            Bertandang riang ke negeri para pencinta

            Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata
            Merasakan  alangkah lezatnya gairah dalam dada!
            Katakan, o Jiwa, dari mana nafas ini datang
            Katakan pula o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut![6]

Menurut Musliuddin Sa’di Shirazi (571 H), dalam mencintai Tuhan, kualitas cinta manusia diukur berdasarkan tingkat kedekatannya terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Cinta adalah sebuah kesetiaan yang luar biasa. Lebih lanjutnya, Sa’di menyatakan:

Orang yang menginginkan keselamatan hidupnya hendaknya tidak memasuki jalan cinta, karena berpikir tentang keselamatan seringkali membelokkan hati dari ketaatan terhadap yang dicintainya. Menjadi budak bagi diri sendiri dapat mengalihkan cinta kepada cara berpikir  yang menyesatkan. Seorang pecinta sejati, sekalipun tidak pernah memperoleh kasih sayang yang sesungguhnya, tanpa disadari ia akan mati ketika sedang berusaha meraihnya. Apabila engkau seorang pecinta, kejarlah Kekasihmu, perolehlah apa yang dapat diperoleh, yakni kebahagiaan, atau engkau akan menjumpai kematian di pintu gerbang kerinduan.[7]

Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.  Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.
Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang lainnya.  Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan. Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.
            Berkaitan dengan ini, Rumi menuliskan, dalam syairnya yang berjudul Cinta dan Tindakan Batin, sebagi berikut:

Seperti halnya kekuasaan memberi keterangan tentang cinta
Yang membuat kau menyimpulkan adanuya cinta begitulah, jika cahaya Tuhan mencapai indera
Kau tak akan menjadi hamba dari sebab ataupun akibat

Cinta akan memancarkan kilatan cahaya dalam hati
Dan membuat orang yang tercerahkan bebas dari akibat
Dia tak memerlukan lagi alamat atau isyarat cinta
Karena cinta telah mwemancarkan kilauan sinarnya kelangit kalbu[8]



KESIMPULAN

          Dari sedikit pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.
Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengelaman-pengalaman yang dialami itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.
          Dengan demikian, begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Hadi W.M, Abdul. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah
Seni dan Sastra Islam (6).  

Hadi W.M, Abdul. Cinta  Ilahi  dalam  Tasawwuf   Menurut  Fariduddin ‘Attar  dalam
‘Mantiq at-Tayr”. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam.

Hadi W.M, Abdul. Puisi-puisi Sufi Arab. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (5).

Hadi W.M, Abdul. Rumi  dan Relevansi  Sastra Sufi. Mata  Kuliah  Seni  dan  Sastra
Islam. Jakarta: 2005

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi  Islam atas Dunia  Intelektual  Barat (Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam). Risalah Gusti. Surabaya: 2003.

Hadi W.M, Abdul. Lagu seruling rumi. Matahari. Yogyakarta: 2004.

Dari internet




[1] Abdul Hadi W.M. Cinta Ilahi dalam Tasawwuf Menurut Fariduddin ‘Attar dalam ‘Mantiq at-Tayr”.  Mata  Kuliah Seni dan Sastra Islam. Hal, 2.
[2] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya: 2003. Hal, 135.
[3] Abdul Hadi W.M. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (6).  Hal 19
[4] Op. Cit.
[5] Op. Cit.
[6] Abdul Hadi W.M. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam. Jakarta: 2005.
[7] Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya. 2003.  Hal. 119.
[8] Abdul Hadi. Lagu Seruling Rumi. Yogyakarta: 2004. Hal, 37.


Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 4)





بسم الله الرحمن الر حيم



4.   Mahabbah dan Ma’rifat

Cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli tasawuf, termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridha), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridha mewakili ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintai; syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih; dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang sufi akan langsung mencapai ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan dapat menyatu dengan-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 74).


Ajaran cinta yang dikembangkan Rabi’ah merupakan pengembangan dari konsep yang diajarkan Hasan al-Bashri, dimana Hasan al-Bashri semula membawa ajaran khauf dan raja’, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Rabi’ah, yaitu ke suatu tingkat mahabbah. Hasan al-Bashri dalam mengabdi kepada Allah karena didasari rasa takut kepada neraka dan harapan akan surga. Namun Rabi’ah jauh dari kedua hal itu. Ia mencintai Allah bukan karena takut neraka, dan tidak juga mengharap surga, namun ia mencintai Allah karena Allah semata:


”Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalam neraka-Mu. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka campakkanlah aku dari dalam surga-Mu, tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.” (Syamsun Ni’am, 2001: 76)

’Aththar menyebutkan bahwa di antara ucapan-ucapan Rabi’ah tentang demikian mendalamnya cinta kepada Allah, yaitu pada suatu hari Rabi’ah ditanya, ”Apakah engkau sangat mencintai Allah Yang Maha Agung?” Rabi’ah menjawab, ”Ya aku sangat mencintai-Nya.” Lalu ia ditanya, ”Apakah engkau sangat membenci syetan sebagai musuhmu?”, Rabi’ah menjawab, ”Cintakku kepada Allah tidak menyisakan ruang di hatiku untuk membenci syetan.” Kemudian Rabi’ah melanjutkan perkataannya ”Pada suatu hari aku bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw, dan beliau bertanya padaku, ”Wahai Rabi’ah, apakah engkau mencintaiku?” Aku berkata, ”Wahai Rasul, siapakah yang tidak mencintaimu. Tetapi cintaku kepada Allah begitu besar, hingga tidak menyisakan tempat untuk mencintai dan membenci apapun lagi.” (Margaret Smith, 2001: 113)


Dengan cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dan hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah tanpa hijab. Dengan mata yang telah dipenuhi oleh ma’rifat, para sufi akan mampu menatap penyaksian itu, dan memandang-Nya dengan asyik terpesona dalam penyatuan dengan Yang Suci. Itulah tujuan akhir dari pencarian atau pengembaraan jiwa, akhir dari jalur, tercapai sudah, tidak dengan penghancuran, tetapi kekhusyukan dan perubahan, sehingga jiwa akan diubah ke dalam penyaksian suci, dan menjadi bagian dari Allah itu sendiri, di dalam tempat dan kehidupan bersama-Nya untuk selamanya.

Alhamdulillah, semoga bermanfaat,,,

Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 3)




بسم الله الرحمن الر حيم

3.   Fakir dan zuhud

Kefakiran adalah dianggap maqam penting dalam kajian tasawuf. Kemiskinan banyak dilakukan oleh para sufi, tetapi disini kemiskinan yang dilakukan hanya demi Allah. Abu Muhammad al-Jurairi berkata: ”Fakir ialah hendaknya kamu tidak mencari sesuatu yang tidak ada pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezeki- rezeki kecuali kamu takut tidak dapat menegakkan kewajiban” (Syamsun Ni’am, 2001: 68).

Spirit kemiskinan pun dicerap oleh dunia sufi, yang begitu diidamkan Rabi’ah, semenjak ia belum menjadi seorang zahid, maupun saat ia belum menyadari maknanya.
`Aththar menceritakan bagaimana Rabi’ah pada suatu kesempatan di dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji dan tiba di Arafah, ia mendengar suara Allah berkata padanya,


”Wahai engkau yang selalu memohon, apa yang engkau inginkan dari-Ku? Jika Aku yang engkau inginkan, maka akan Aku tunjukkan sebuah kilatan kebesaran-Ku (tetapi dengan itu) engkau akan hancur luluh.” Lalu ia menjawab, ”Ya Allah Yang Maha Agung, Rabi’ah tidaklah memiliki arti untuk meraih tingkatan setinggi itu, yang aku inginkan adalah setitik kemiskinan” (Margaret Smith, 2001: 86).

Yang dimaksud kemiskinan di sini adalah menunjukkan suatu keadaan yang benar-benar kehilangan diri sendiri, sangat sulit untuk dicapai, dan tidak akan membimbing pada jalan penyatuan, kecuali apabila benar-benar sempurna, dan bahkan akan menjadikan para sufi itu subjek dari kegelapan malam dalam jiwa sebelum meraih penyatuan. Penyatuan yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang benar-benar berkemampuan meninggalkan semua atribut ’jati diri’ (Margaret Smith, 2001: 87).


Penolakan atau asketisisme (zuhud), dianggap sebagai persamaan sisi dari konsep agung kemiskinan itu. Tahap pertama zuhud ini, bagi kaum sufi, sebagai permulaan dan mewaliki kehidupan penyucian, apabila jiwa telah disucikan dari semua nafsu, dan seorang sufi telah ”suci dari jati diri sendiri bagaikan terpisahnya antara api dengan asap”, maka barulah dimulai perjalanan menuju Allah (Margaret Smith, 2001: 87).

Bersambung...

Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 2)




بسم الله الرحمن الر حيم


2.   Raja’ dan Khauf


Al-Hujwiri manganggap bahwa harapan dan rasa takut yang benar sangat penting bagi manusia di dunia, dan menganggapnya bagaikan dua pilar keimanan. Mereka yang merasa takut, akan beribadat kepada Allah seakan-akan takut terpisahkan dari-Nya, dan bagi mereka yang memiliki harapan, beribadat kepada Allah dengan penuh harap akan dapat menyatu dengan-Nya (Margaret Smith, 2001: 75).


 As-Sarraj menyatakan bahwa harapan dan rasa takut bagaikan dua sayap dimana tanpa keduanya, kerja seorang sufi tidak akan berhasil. Rasa takut adalah seperti sebuah tempat dalam kegelapan, dimana jiwa mengembara, liar, selalu mencari jalan untuk keluar. Dan di saat harapan datang untuk meneranginya, jiwa akan menuju ke suatu tempat yang menyenangkan, dan dengan demikian, rahmat akan dapat diraih. Hati terkadang merupakan budak di dalam kegelapan rasa takut dan terkadang merupakan mahkota dalam terangnya harapan. Cinta, rasa takut, dan harapan terikat bersama-sama menjadi satu. Cinta tidak akan sempurna tanpa rasa takut, rasa takut tidak akan sempurna tanpa harapan, dan harapan pun tidak akan sempurna tanpa rasa takut (Margaret Smith, 2001: 79-80).


Bagi Rabi’ah pada tahap ini dikisahkan, bahwa ia telah menjadi subyek dari rasa takut ini, dan pengaruhnya tampak padanya saat disebutkan neraka. Hal ini disebabkan karena kepercayaannya pada hari pengadilan nanti, yang pasti akan dilalui oleh orang-orang yang berdosa, suatu keputusan dimana ia dalam keadaan yang lebih lemah. Ia merasa takut apabila ia ditakdirkan harus menghadapi masa itu, dan pada suatu saat ia berdo’a bahwa ia tidak akan dihukum di neraka dan terbujuk oleh pemikiran jahat (Syamsun Ni’am, 2001: 67).


Meskipun begitu, kesimpulan dari permasalahan ini adalah bahwa bentuk yang paling agung dari rasa takut ini adalah objek itu sendiri (Allah), bukannya hukuman atau bahkan dosa, tetapi Allah sendirilah yang menjadi objek rasa takut, yaitu rasa takut apabila jiwa itu akan dicabut selamanya dari Keindahan Allah Yang Abadi.

Rabi’ah memiliki alasan bahwa takut akan hukuman atau harapan terhadap penghargaan (pahala) menjadi sama-sama tidak berharga lagi bagi seorang sufi. Dalam suatu peristiwa yang diceritakan oleh Aflaki, tampak Rabi’ah sangat berusaha untuk melepaskan kedua alasan itu, sebagai rintangan-rintangan mencapai tujuan utama seorang sufi. Lagi pula Rabi’ah berpendapat, adalah seorang hamba yang bodoh apabila dalam beribadat kepada Allah selalu dilandasi pemikiran untuk melepaskan diri dari hukuman dan untuk meraih penghargaan (pahala). Baginya hanya Allah saja yang perlu ditakuti dengan penuh ta’zim dikarenakan kesucian-Nya, dan sama bagi dirinya, harapan hanya kepada Allah semata, dalam bayang-bayang keindahan-Nya (Margaret Smith, 2001: 81).


Cukup jelas uraian ajaran Rabi’ah tentang harapan dan rasa takut ini, dimana memiliki hubungan yang sangat erat dengan cinta tanpa pamrih kepada Allah swt.

Bersambung...


Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 1)



بسم الله الرحمن الر حيم

Dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti melalui beberapa tahapan yang harus dilaluinya, tahapan-tahapan tersebut disebut maqamat. Jalan itu sangat berat dan untuk berpindah dari satu maqamat ke maqamat yang lain membutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tidak singkat. Terkadang tak jarang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu maqam. Jalan pendakian tersebut mencakup beberapa maqam, dan Mahabbah adalah maqam tertinggi. Begitu juga dengan Rabi’ah al-Adawiyah, dalam meniti perjalanan dan pengalaman spiritualnya, ia harus melalui beberapa maqam.


Adapun tahapan-tahapan yang dilalui oleh Rabi’ah untuk mencapai maqam mahabbah adalah sebagai berikut:


1.   Tobat, Sabar, dan Syukur

Tobat adalah tahapan pertama dalam menempuh tahapan-tahapan berikutnya. Tobat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Tanpa adanya tobat seseorang tidak dapat menempuh jalan menuju Allah. Tobat adalah bagian terpenting dalam kehidupan manuju Allah.
Al-Juhwiri berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang termasuk dalam tobat: pertama, tobat karena ketidaktaatannya, kedua, memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, ketiga, segera meninggalkan perbuatan dosa itu. Pendapat ini berhubungan dengan konsep pertobatan yang terdapat dalam doktrin sufi, sebagai hukuman pertama atas dosanya, lalu merasakan penyesalan terhadap dosa itu secara mendalam, akhirnya harus membimbingnya untuk memperbaiki keadaan yang semula kotor oleh dosa (Margaret Smith, 2001: 62).
Rabi’ah memiliki pengertian mendalam tentang dosa dan kebutuhan untuk bertobat dan memaafkan, dan para penulis sufi, dalam pembahasan masalah tobat lebih dari sekali menyebutkan ajaran Rabi’ah tentang masalah ini. Di dalam sebuah fragmen yang dikutip oleh Hurayfisy dimana ia melampirkan syair Rabi’ah tentang dua cinta, ia berdo’a:


Wahai kekasih hati, tak ada yang ku miliki selain Diri-Mu,
bagaimanapun, kasihanilah orang-orang berdosa
yang datang pada-Mu.
Wahai harapanku, Ketenanganku, Kebahagiaanku,
Hati ini hanya dapat mencintai-Mu. (Margaret Smith, 2001: 63)

Rabi’ah berkata bahwa Allah adalah Penyejuk di dalam dukanya, dan sebagai Yang Hanya mampu menghapuskan dirinya dari dosa. Kesedihan Rabi’ah atas dosa-dosanya seringkali diulang-ulangnya. Di dalam Siyar ash-Shalihat, penulis riwayat hidup Rabi’ah memberikan gambaran halus tentang kesedihannya yang mendalam karena dosa-dosa, mengatakan:


”Abdullah bin Isa berkata, ’Aku mengunjungi Rabi’ah, tampak seberkas cahaya di wajahnya, dan ia sedang menangis, dan seseorang menceritakan bahwa apabila dikisahkan kepadanya tentang api (menyimbolkan hukuman atas penyesalan yang tidak diterima), ia pingsan, dan aku mendengarkan tetesan air matanya di tanah bagaikan suara tetesan (air) di dalam sebuah bejana.” (Margaret Smith, 2001: 64)

Rabi’ah mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu memisahkan jiwa dengan Yang Dicintai. Keyakinan bahwa dosa adalah penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya akan membimbing pada jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang mendalam. Kondisi semacam ini tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda kesedihan dari luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini tampak pada Rabi’ah dan juga para sufi lainnya sebagai tanda kesalehan, penyesalan terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua ini akan membakar semua kesediahan terus-menerus sehingga tidak ada tempat lagi bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi’ah adalah membangkitkan rasa benci, karena hal itu akan menyebabkan terpisahkan dari Yang Dicintai (Margaret Smith, 2001: 65).

Menurut Rabi’ah tobat merupakan pemberian Allah, bukannya karena usaha dari orang yang berdosa itu – jika Allah menerima tobatmu, maka engkau akan bertobat kepada-Nya – dan pandangan ini sesuai dengan pandangan umum bahwa segala sesuatu yang baik dan sempurna datangnya dari atas, dan hanya dengan takdir Allah jualah untuk menyentuh hati orang berdosa bahwa ia akan menghindari perbuatan buruk dan bertobat (Margaret Smith, 2001: 66).
Kesabaran dihubung-hubungkan oleh para penulis sufi sebagai tahap penting di dalam kemajuankehidupan spiritul, atau mungkin sebagai kualitas penting yang harus dicapai oleh seorang yang suci.


Melalui perjalanan hidup Rabi’ah, dapat dibaca konsep ajarannya tentang sabar dan banyak anekdot yang dikisahkan dalam riwayat hidupnya. Rabi’ah adalah seorang yang memiliki kesabaran luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain pada masanya. Bila kita perhatikan awal hingga akhir, kehidupan Rabi’ah penuh dengan tantangan dan penderitaan, tidak dapat dipungkiri bahwa cobaan ini sangat menyakitkan, namun justru dalam keadaan seperti itulah hatinya mengalami tempaan.


Rabi’ah adalah sosok seorang sufi perempuan yang sangat sabar, dan teguh pendirian dalam menjalani segala cobaan dan rintangan hidup. Rabi’ah pernah berkata: ”Seandainya keutamaan kesabaran itu laksana seorang laki-laki, maka ia akan berjiwa pemurah” (Syamsun Ni’am, 2001: 59).
Bersyukur adalah kualitas pelengkap bagi tahap kesabaran, yaitu suatu sikap atas semua kebaikan Allah terhadap hamba-Nya. Sebagaimana kualitas-kualitas lainnya yang harus dicapai pada tahap-tahap berbeda di dalam jalur mistik, bersyukur terdiri dari elemen-elemen iman, perasaan dan tindak-tanduk. Iman harus sudi menerima bahwa semua kebaikan itu datangnya dari Allah dan itu adalah pemberian cuma-cuma dari-Nya. Semua pemberian itu datangnya dari Allah, dan hal ini haruslah memberikan kebahagiaan kepada sang hamba dan juga menimbulkan sikap kerendahan hati di hadapan Sang Pemberi, bahkan dalam menjalani penderitaan kita pun harus bersyukur. Perasaan bahagia dan kerendahan hati ini akan membimbing pada suatu tindak-tanduk, dan hamba penerima kebaikan itu akan melakukan segala tindakannya sesuai dengan keinginan-Nya dan menghindari semua larangan-Nya (Margaret Smith, 2001: 68-69).

Rabi’ah memiliki iman yang menganggap bahwa semua pemberian berasal dari Allah sebagai Sang Pemberi, dan menganggap bahwa penderitaan dan ketidakberuntungan itu  merupakan secercah kebaikan dan kebahagiaan. Imannya telah membimbing pada suatu kebahagiaan dalam menjalani hukuman dari Allah yang ia anggap sebagai kebaikan-Nya, dan bersikap rendah hati menerima semua yang diberikan-Nya, dan dari sikap ini membimbing pada tindakan beribadat dan bersyukur, dan keinginan yang sangat mendalam untuk memandang Sang Pemberi tersebut, dimana semua pemberian itu mendorong pada keinginan Penyatuan yang mendalam, selamanya, dengan Sang Pemberi itu (Margaret Smith, 2001: 72).


Bersambung...





MAN 'ARAFA - Hamzah Al-Fansuri




“Man ‘arafa nafsahu hadith Nabi
Faqad ‘arafa rabbahu tujuan diri
Setelah sampai mengenali diri
Maka tercapai ketenteraman hati

La ilaha illallah ucapan zahir
Bila mungkir menjadi kafir
Atas hakikat manusia lahir
Cari maknanya dibalik tabir

Wujud Qidam didalam fana
Meng’isbatkan Allah Al Baqa
Sholat da’im besar menafaatnya
Agar tercapai ketenangan jiwa"

__________
Petikan dari Syair Syeikh Hamzah Fansuri

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate