بسم الله الرحمن الر حيم
2. Raja’ dan Khauf
Al-Hujwiri manganggap bahwa harapan dan rasa takut yang benar sangat
penting bagi manusia di dunia, dan menganggapnya bagaikan dua pilar
keimanan. Mereka yang merasa takut, akan beribadat kepada Allah
seakan-akan takut terpisahkan dari-Nya, dan bagi mereka yang memiliki
harapan, beribadat kepada Allah dengan penuh harap akan dapat menyatu
dengan-Nya (Margaret Smith, 2001: 75).
As-Sarraj menyatakan bahwa harapan dan rasa takut bagaikan dua sayap
dimana tanpa keduanya, kerja seorang sufi tidak akan berhasil. Rasa
takut adalah seperti sebuah tempat dalam kegelapan, dimana jiwa
mengembara, liar, selalu mencari jalan untuk keluar. Dan di saat harapan
datang untuk meneranginya, jiwa akan menuju ke suatu tempat yang
menyenangkan, dan dengan demikian, rahmat akan dapat diraih. Hati
terkadang merupakan budak di dalam kegelapan rasa takut dan terkadang
merupakan mahkota dalam terangnya harapan. Cinta, rasa takut, dan
harapan terikat bersama-sama menjadi satu. Cinta tidak akan sempurna
tanpa rasa takut, rasa takut tidak akan sempurna tanpa harapan, dan
harapan pun tidak akan sempurna tanpa rasa takut (Margaret Smith, 2001:
79-80).
Bagi Rabi’ah pada tahap ini dikisahkan, bahwa ia telah menjadi subyek
dari rasa takut ini, dan pengaruhnya tampak padanya saat disebutkan
neraka. Hal ini disebabkan karena kepercayaannya pada hari pengadilan
nanti, yang pasti akan dilalui oleh orang-orang yang berdosa, suatu
keputusan dimana ia dalam keadaan yang lebih lemah. Ia merasa takut
apabila ia ditakdirkan harus menghadapi masa itu, dan pada suatu saat ia
berdo’a bahwa ia tidak akan dihukum di neraka dan terbujuk oleh
pemikiran jahat (Syamsun Ni’am, 2001: 67).
Meskipun begitu, kesimpulan dari permasalahan ini adalah bahwa bentuk
yang paling agung dari rasa takut ini adalah objek itu sendiri (Allah),
bukannya hukuman atau bahkan dosa, tetapi Allah sendirilah yang menjadi
objek rasa takut, yaitu rasa takut apabila jiwa itu akan dicabut
selamanya dari Keindahan Allah Yang Abadi.
Rabi’ah memiliki alasan bahwa takut akan hukuman atau harapan terhadap
penghargaan (pahala) menjadi sama-sama tidak berharga lagi bagi seorang
sufi. Dalam suatu peristiwa yang diceritakan oleh Aflaki, tampak Rabi’ah
sangat berusaha untuk melepaskan kedua alasan itu, sebagai
rintangan-rintangan mencapai tujuan utama seorang sufi. Lagi pula
Rabi’ah berpendapat, adalah seorang hamba yang bodoh apabila dalam
beribadat kepada Allah selalu dilandasi pemikiran untuk melepaskan diri
dari hukuman dan untuk meraih penghargaan (pahala). Baginya hanya Allah
saja yang perlu ditakuti dengan penuh ta’zim dikarenakan kesucian-Nya,
dan sama bagi dirinya, harapan hanya kepada Allah semata, dalam
bayang-bayang keindahan-Nya (Margaret Smith, 2001: 81).
Cukup jelas uraian ajaran Rabi’ah tentang harapan dan rasa takut ini,
dimana memiliki hubungan yang sangat erat dengan cinta tanpa pamrih
kepada Allah swt.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment