بسم الله الرحمن الر حيم
3. Fakir dan zuhud
Kefakiran adalah dianggap maqam penting dalam kajian tasawuf.
Kemiskinan banyak dilakukan oleh para sufi, tetapi disini kemiskinan
yang dilakukan hanya demi Allah. Abu Muhammad al-Jurairi berkata: ”Fakir
ialah hendaknya kamu tidak mencari sesuatu yang tidak ada pada dirimu,
sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan hendaklah
kamu tidak usah mencari rezeki- rezeki kecuali kamu takut tidak dapat
menegakkan kewajiban” (Syamsun Ni’am, 2001: 68).
Spirit kemiskinan pun dicerap oleh dunia sufi, yang begitu diidamkan
Rabi’ah, semenjak ia belum menjadi seorang zahid, maupun saat ia belum
menyadari maknanya.
`Aththar menceritakan bagaimana Rabi’ah pada suatu kesempatan di dalam
perjalanan melaksanakan ibadah haji dan tiba di Arafah, ia mendengar
suara Allah berkata padanya,
”Wahai engkau yang selalu memohon, apa yang engkau inginkan dari-Ku? Jika Aku yang engkau inginkan, maka akan Aku tunjukkan sebuah kilatan kebesaran-Ku (tetapi dengan itu) engkau akan hancur luluh.” Lalu ia menjawab, ”Ya Allah Yang Maha Agung, Rabi’ah tidaklah memiliki arti untuk meraih tingkatan setinggi itu, yang aku inginkan adalah setitik kemiskinan” (Margaret Smith, 2001: 86).
”Wahai engkau yang selalu memohon, apa yang engkau inginkan dari-Ku? Jika Aku yang engkau inginkan, maka akan Aku tunjukkan sebuah kilatan kebesaran-Ku (tetapi dengan itu) engkau akan hancur luluh.” Lalu ia menjawab, ”Ya Allah Yang Maha Agung, Rabi’ah tidaklah memiliki arti untuk meraih tingkatan setinggi itu, yang aku inginkan adalah setitik kemiskinan” (Margaret Smith, 2001: 86).
Yang dimaksud kemiskinan di sini adalah menunjukkan suatu keadaan yang
benar-benar kehilangan diri sendiri, sangat sulit untuk dicapai, dan
tidak akan membimbing pada jalan penyatuan, kecuali apabila benar-benar
sempurna, dan bahkan akan menjadikan para sufi itu subjek dari kegelapan
malam dalam jiwa sebelum meraih penyatuan. Penyatuan yang demikian itu
hanya dapat dilakukan oleh seorang yang benar-benar berkemampuan
meninggalkan semua atribut ’jati diri’ (Margaret Smith, 2001: 87).
Penolakan atau asketisisme (zuhud), dianggap sebagai persamaan
sisi dari konsep agung kemiskinan itu. Tahap pertama zuhud ini, bagi
kaum sufi, sebagai permulaan dan mewaliki kehidupan penyucian, apabila
jiwa telah disucikan dari semua nafsu, dan seorang sufi telah ”suci dari
jati diri sendiri bagaikan terpisahnya antara api dengan asap”, maka
barulah dimulai perjalanan menuju Allah (Margaret Smith, 2001: 87).
Bersambung...
No comments:
Post a Comment