
Muqaddimah
Antara
 akal dan wahyu tidaklah memiliki kontradiksi yang begitu besar. Bahkan 
keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang 
kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat 
digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh 
dengan intelektualitas manusia, yang cenderung berhasrat untuk terus 
bertanya dan mencoba menjawab apa yang ada, dan juga oleh wahyu yang 
dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu kebenaran. Keduanya sama-sama
 dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin disampaikan Ibn 
Thufail pada kita dalam karya monumentalnya, Hayy Ibn Yaqdzan. 
Dalam
 karyanya ini, Ibn Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian dua 
proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat dan wahyu. 
Pertikaian yang diledakkan oleh al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya,
 menentang Ibn Sina dan al-Farabi dengan ajaran Aristotelian mereka. 
Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al-Ghazali yang 
fokus pada tiga ajaran para filososf, terutama Ibn Sina dan al-Farabi, 
tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan 
pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal yang benar-benar dianggap 
oleh al-Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian
 ini coba didamaikan Ibn Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya
 tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal 
dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui 
penalaran, melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang 
sama.
Tentang Ibnu Thufail
Di Guadix atau di Wadi Asy, juga disebut Cadiz, sebuah distrik yang terletak cukup jauh di Timur Laut Granada, Ibnu Thufail atau Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi dilahirkan pada tahun 1110 M. Masa kecil Ibn Thufail di Andalusia adalah masa-masa di mana terjadi pergolakan politik yang luar biasa. Sebelas tahun setelah kelahirannya, dinasti Murabitihun yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin yang sebelumnya menggulingkan Muluk ath-Thawa’if pengambil alih kekuasaan Daulah Umayyah, ditundukkan oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 yang kemudian mendirikan Dinasti Muwahhidun. Setelah Dinasti Muwahhidun berdiri, gejolak politik itu berangsur-angsur mereda. Kondisi kembali seperti masa-masa Dinasti Umayyah sebelumnya. Sevilla, Cordova, atau Andalusia secara umum kemudian kembali menjadi pusat peradaban Islam, yang menjadi salah satu paru yang berperan memajukan pendidikan Islam. Ilmu-ilmu warisan orang-orang seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Bajjah, bahkan al-Razi juga al-Ghazali, kembali mengalir deras di wilayah-wilayah ini. Dan Ibn Thufail muda dalam situasi pendidikan yang dinamis[1] seperti itu dididik dan diajarkan bernagai ilmu oleh orang tuanya, belajar filsafat, ilmu kedokteran, dan beragam ilmu yang lainnya. Hingga kemudian dia dikenal sebagai seorang dokter yang disegani di Andalusia.
Peran
 pentingnya dalam tubuh pemerintahan Dinasti Muwahhidun pada masa itu 
dimulai ketika ia diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Granada, 
diteruskan menjadi Sekretaris Gubernur Ceuta dan Tangier. Mengabdi pada 
putra Muhammad ibn Tumart (1080-1130 M), Abd al-Mu’min ibn ‘Ali 
(w.1163). Setelah  al-Mu’min wafat, Ibnu Thufail menjadi 
dokter istana dan wazir Abu Ya’qub Yusuf (memerintah 1163-1183). Sebagai
 ahli falsafah, Ibnu Thufail adalah guru dari Ibnu Rusyd (Averroes), ia 
mengusai ilmu lainnya seperti ilmu hukum, pendidikan, dan kedokteran, 
sehingga Thufail pernah menjadi sebagai dokter pribadi. Ia menjadi salah
 seorang terpenting di negerinya berada, serta memiliki pengaruh penting
 terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Andalusia, karena melalui 
dialah Abu Ya’qub Yusuf yang cinta ilmu pengetahuan itu memberikan 
wewenang untuk mengundang orang berilmu dan terpelajar ke istana, salah 
satunya Ibnu Rusyd yang terkenal membela mati-matian filsafat dalam 
Islam. Ibnu Thufail seperti yang dikatakan oleh Leen E. Goodman[2]
 menjadi menteri kebudayaan Abu Ya’qub Yusuf, selain juga sebagai dokter
 pribadinya. Satu jabatan yang lebih tepat disebut sebagai wazir jika 
melihat kedekatan antara Abu Ya’qub dan Ibn Thufail seperti yang 
dikatakan Goodman. Sedikit orang yang dapat memiliki hubungan khusus 
dengan sultan, meskipun dengan jabatan sebagai menteri yang notabene di 
bawah wazir tetap dimungkinkan adanya hubungan dekat itu. Namun sekali 
lagi, hubungan itu akan nampak relevan jika Ibn Thufail adalah wazir 
dari khalifah. 
Kehidupan
 Ibn Thufail dapat dilihat sebagai sebuah kesuksesan yang dapat 
dijadikan aspirasi. Kehidupan seorang intelektual yang malang-melintang 
di sebuah istana, yang memberikan segala tentang dunia. Akhirnya setelah
 melampui masa-masa indah sebagai manusia, menjalani tawa dan canda 
bersama orang-orang istana, ia wafat di usianya yang telah senja pada 
tahun 1185 M, di Maroko, ibu kota kerajaan dinasti Muwahiddun. 
Meninggalkan beberapa karya yang beberapa di antaranya dapat kita baca 
sampai hari ini. Dan kebanyakan tidak terekam atau hilang ditelan zaman.
Hanya sedikit karya tulis yang dapat dikenal sebagai buah pikir Ibn Thufail, di antaranya Rasa’il fi an-Nafs, Fi Biqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah, dan Hayy ibn Yaqdzan. Namun dari sekian karyanya itu, hanya Hayy ibn Yaqdzan yang
 lengkap sampai pada kita. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
 latin oleh Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) sebagai karya besar
 ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama pada masa itu. Hayy ibn Yaqdzan juga
 diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa Latin. Edward 
Packoke memberikan catatan khusus pada terjemahannya tersebut dengan 
Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf 
Autodidak), satu bentuk apresiasi yang diberikan pada Ibn Thufail. 
Setelah adanya penterjemahan dalam bahasa latin ini, Hayy ibn Yaqdzan kemudian
 juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Simon Ockley, dengan 
judul “The Improvement of Human Reason”, pada tahun 1708. Kemudian di 
susul oleh edisi barunya dengan judul “The History of Hayy ibn Yaqzhan” 
pada tahun 1926. Terjemahan bahasa Perancis muncul setelah Leon Gauthier
 mengalihbahasakan Hayy ibn Yaqdzan dalam bahasa tersebut, karya 
dalam edisi bahasa Perancis ini bahkan di sertai dengan teks arabnya 
“Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail”. Hayy Ibn Yaqdzan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan Indonesia
Tentang Hayy ibn Yaqdzan
Perjalanan manusia menapaki jalan spritualnya, demikianlah Hayy ibn Yaqdzan dikisahkan oleh Ibn Thufail. Pencarian jalan yang benar dengan berbagai tahapan pengamatan dan tindakan. Hayy Ibn Yaqdzan mulai melakukan pencarian dengan memulai pengamatan-pengamatan inderawainya, kemudian rasio, dan ketiga batinnya. Sedikit demi sedikit Hayy mulai melakukan itu, mengamati fenomena yang ada di sekitar, binatang, bintang, gejala alam, yang kemudian jalan pada Sang Kebenaran ia temukan setelah melalui tahapan demi tahapan itu. Hayy berhasil menemukan esensi dari segala esensi yang ada.
Kisah ini dimulai dengan penuturan Ibn Thufail yang mengatakan bahwa ada dua versi tentang keberadaan Hayy ibn Yaqdzan. Pertama, Hayy
 Ibn Yaqdzan dilahirkan oleh seorang Puteri yang memiliki saudara 
seorang raja yang tiran. Sang raja yang mengutamakan kemegahan, melarang
 sang Puteri menikah sebelum ada jodoh yang sederajat dengan mereka. 
Namun, secara diam-diam salah seorang kawan raja, bernama Yaqdzan, 
mengawini sang Puteri. Dan sang Puteripun akhirnya hamil, dan kemudian 
melahirkan seorang anak laki-laki. Karena takut ketahuan sang Raja, maka
 sang Puteri menghayutkan anaknya ke laut pada sebuah peti. Peti itupun 
sampai pada pulau Waqwaq, sebuah pulau tak berpenghuni manusia. Peti 
yang berisi Hayy ibn Yaqdzan ini kemudian dihempaskan oleh air laut ke 
daerah dalam pulau, dan di situlah Hayy ditemukan oleh seekor rusa, yang
 kemudian mengasuhnya.
Kedua, dikatakan
 bahwa Hayy ibn Yaqdzan lahir karena proses alam. Perpaduan antara 
unsur-unsur alam yang menyatu dalam tanah dengan tekstur dan kondisi 
dalam rahim. Sedemikian rupa karena terolah dengan baik dalam waktu yang
 cukup lama oleh alam akirnya tanah tersebut melahirkan Hayy ibn Yaqdzan
 yang kemudian ditemukan dan dirawat sang Rusa.[3]
Selama
 tujuh tahun Hayy ibn Yaqdzan dirawat sang Rusa, dan belajar bagiamna 
cara berkomunikasi, meminta tolong, dan berbagai isyarat komunikasi baik
 dengan hewan lain maupun rusa yang mengasuhnya. Dari sini ia mulai 
belajar dengan pengamatan inderanya, melihat binatang lain seusianya 
yang nampak memiliki kelebihan muncul pada tubuh mereka. Hewan-hewan 
yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan 
ada pada tubuh mereka, rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga 
dengan tanduk mereka, macan dengan taring dan kukunya, Elang dengan 
paruhnya, dan itu semua membuat Hayy ibn Yaqdzan kecil bertanya-tanya, 
kenapa dia tidak memiliki itu semua. Diapun belajar dengan melihat 
hal-hal itu, kemudian dibuatlah baju untuk menutupi tubuhnya dari sengat
 matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat 
bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain 
mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin 
angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau 
binatang buas yang hendak mengganggunya.
Pengetahuan
 Hayy bertambah lagi setelah secara tidak sengaja di dalam sebuah 
perjalanannya mengelilingi pulau ia menemukan api. Dari api itu ia dapat
 menghangatkan diri dan memperoleh penerangan di kala gelap melanda. 
Selain itu ia juga tahu bahwa api mampu menjadikan daging dan ikan 
menjadi lebih lezat setelah dibakar, mulailah ia selalu menggunakannya 
untuk memasak makanannya.
Ketika
 mengamati bahwa silih berganti apa yang ada di dalam ini kemudian 
musnah dengan sendirinya, disusul kematian rusa yang merawatnya, Hayy 
ibn Yaqdzan mulai menyadari bahwa alam ini tidak abadi, satu persatu 
semua akan berakhir pada ketiadaan. Ia menyaksikan bahwa segala 
eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai 
titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan, maka ini 
mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari 
subyek yang satu, dan kini dalam pikirannya telah terpatri satu zat 
tunggal yang diimani sebagai sang pencipta segalanya. Hayy menemukan 
Tuhan melalui jejak-jejak suci yang ditinggalkan-Nya. 
Pengamatannya
 berlanjut pada benda-benda langit, bahwa matahari terbit dan tenggelam,
 demikian juga dengan bulan dan bintang, yang kemudian memunculkan satu 
tesis bahwa alam ini begitu teratur. Dan tentu ada dzat maha sempurna 
yang mengaturnya yang tentunya maha kekal dan tidak sama dengan alam 
semesta ini yang tiada abadi, hilang dan silih berganti mengisi waktu.
Kematangan mulai nampak pada diri Hayy ibn Yaqdzan saat ia berusia 35 tahun,[4]ia
 mulai mencari kebenaran melalui pencarian melalu penelusuran ulang 
tentang cipta rasanya yang sudah-sudah. Ia mulai meraba-raba episteme 
mana yang membawanya pada kebenaran. Dan ia kemudia berkesimpulan bahwa,
 ia dapat mengetahui melalui tiga hal, akal dengan bantuan pencerapan 
indra, ruh, dan jiwa. Menuntunya pada tingkatan-tingkatan yang pernah 
dilalui sampai yang kini dijalani, maqam keindahan spiritual melalui 
pancaran cahaya ilahi.
Kisah
 inipun semakin menarik ketika datang Asal atau Absal dari pulau 
seberang ke pulau Waqwaq. Ia juga seorang salik layaknya Hayy ibn 
Yaqdzan yang tengah sibuk dengan meditasi dan menikmati ekstasi 
spiritualitas yang dijalaninya, mencari ketenangan dan memilih jalan 
hidup kesendirian. Asal atau Absal ini berasal dari sebuah pulau yang 
dipimpin oleh Salaman, sahabat Asal yang memilih hidup zuhud di tengah 
masyarakat dengan melakukan ritual keagamaan secara biasa, karena hal 
inilah Asal dan Salaman kemudian berpisah.[5]Di
 pulau yang dikira Asal tidak berpenghuni ini, Hayy ibn Yaqdzan dan Asal
 bertemu pandang. Karena tidak mau terganggu Asal pun berlari dan 
bersembunyi. Hayy yang baru sekali seumur hidup melihat manusia lain 
dengan pakaian aneh yang dipakainnya, mengejar dan mencari Asal yang 
bersembunyi. Asal akhirnya tertangkap, melihat ada orang aneh dengan 
kekuatan yang luar biasa ia nampak ketakutan. Namun, Asal tetap mencoba 
berkomunikasi dengan Hayy yang dikiranya ingin berbuat jahat padanya. 
Dengan segala bahasa yang dimilikinya ia berkata pada Hayy ibn Yaqdzan, 
namun Hayy tidak memahami apa yang dikatakannya. Setelah tahu bahwa Hayy
 ibn Yaqdzan tidak bermaksud jahat dan tahu bahwa orang yang ada 
dihadapnnya tidak dapat berbahasa manusia, Asal sedikit demi sedikit 
memberi petunjuk menandai sesuatu dengan bahasa. Dari sinilah Hayy mulai
 belajar berkomunikasi, dan kemudian mereka saling bertukar pikiran 
tentang pengalaman mereka. Asal bercerita tentang kaummnya yang ada di 
pulau seberang yang hidup dengan cara hidup agama wahyu yang nampak 
adikodrati. Sedang Hayy menceritakan pengalaman hidupnya setelah lama 
hidup di pulau Waq-waq sendiri, dan ia bercerita pula tentang 
pencapaiannya pada cahaya cinta sang Illahi. Bahwa dengan pengamatan dan
 penalaran yang dilaluinya ia telah sampai pada maqam pencari kesejatian, menemukan apa yang dicarinya.
Merasa
 satu jalan dengan Hayy ibn Yaqdzan, Asal yang merasa bahwa apa yang 
dijalani oleh masyarakat di tempatnya haruslah dirubah, yaitu dengan 
jalan yang telah ditemukan Hayy ibn Yaqdzan. Ia ingin agar penduduk di 
kotanya memperoleh pencerahan seperti halnya Hayy ibn Yaqdzan memperoleh
 hal itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke kampung 
halaman Asal, menyebarkan ajaran agama yang ditemukan Hayy Ibn Yaqdzan, 
ajaran agama melalui penalaran dan penyelaman jiwa pada cinta Ilahi. 
Sesampainya di tempat Asal, mereka berdua mulai berdakwah menyebarkan 
ajaran yang mereka bawa. Namun segala upaya yang mereka tempuh tidak 
menghasilkan apa-apa, dan penolakan terhadap ajaran yang mereka berikan 
yang kemudian muncul. Akhirnya Hayy Ibn Yaqdzan dan Asal memilih kembali
 ke pulau Waqwaq, dan tetap meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa 
memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar ajaran agama wahyu yang ada di
 tempat Asal berasal. Kembali menjalani hidup suci di padang pengasingan
 kehidupan.
Epistemologi Hayy Ibn Yaqdzan
Pencapaian pencarian seperti yang dialami Hayy ibn Yaqdzan dalam kisah yang diceritakan Ibn Thufail memiliki tiga jalan yang harus dilalui. Tiga jalan yang pada dasarnya bisa dilalui oleh setiap manusia yang telah dibekali Tuhan dengan akal dan jiwa dalam tubuh yang sama. Tiga jalan pencarian itu adalah;
- Indera (empiris)
 
Meliputi
 panca indra yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba 
yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek
 fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan, dan obyek yang tersentuh 
sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang 
tidak bekerja secara sempurna, bahwa indera dapat dengan mudah tertipu 
dengan karena tiap indera memiliki kemampuan terbatas dalam 
mengidentifikasi objek, maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan 
lain. 
- Akal (rasio)
 
Akal
 yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang 
karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek. Selain 
ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati
 oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi 
indrawi. Pengetahuan yang dicapai oleh akal memiliki validitas yang 
lebih dibanding dengan indera, bahwa rasio mampu melampau objek, ruang, 
dan waktu. Dalam tahapan ini Ibn Thufail menggambarkan bahwa Hayy Ibn 
Yaqdzan mencoba melakukan apa yang ada dalam pengamatannya terhadap 
benda-benda langit. Ia mulai berputar-putar, mengelilingi pulau, 
tempatnya tinggal, dan juga berputar pada dirinya sendiri. Ia mulai 
memikirkan bahwa ada satu subjek yang dapat memberinya pencerahan, dan 
ia dapat melihat itu pada jejak-jejak-Nya di alam ini. Hayy mulai 
merasionalkan segala keteraturan dan ketiadaabadian alam ini. Ia melihat
 rusa yang mengasuhnya nampak semakin tua dan kemudian mati, hewan yang 
lain juga sama, ia juga memikirkan peredaran matahari yang selalu muncul
 dari Timur ke Barat setiap hari. Dari sinilah ia menemukan satu entitas
 pencipta dan pengatur segalanya, sang Causa Prima.  
Namun
 sayangnya, kemampuan akalpun terbatas, akal tidak mampu misalnya 
menjelaskan dirinya sendiri secara jelas, akal juga misalnya tidak dapat
 menjelaskan mengapa manusia dapat menangis sejadi-jadinya ketika 
melihat kekasihnya mati. Atau akal tidak dapat mengenali sang Causa Prima itu,
 akal hanya mampu mengetahui-Nya melalui jejak-jejak yang ada, akal 
belum mampu membawa manusia pada pertemuan manusia pada sang 
Penciptanya. Maka dari itu, manusia pada dasarnya dibekali Tuhan dengan 
intuisi.
- Intuisi
 
intuisi
 menurut Ibn Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang
 merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa, seperti halnya
 Hayy Ibn Yaqdzan yang dalam tahap akhir pencarianya menemukan esensi 
dari segala esensi yang ada. Hayy melalui riyadah perjalanan spiritula 
menemukan identitas kesejatian yang menyelimuti alam semesta. Dia 
tenggelam dalam identitas kesejatian itu, menikmati pancaran cinta yang 
ada menyertainya.
Penutup
Meskipun tidak secara jelas Ibn Thufail melakukan mediasi antara wahyu dan akal, namun secara implisit ia ingin menyatakan bahwa keduanya sama-sama jalan menuju kebenaran. Hayy Ibn Yaqdzan mampu menemukan kebenaran sejati melalui jalan penalaran yang dijalaninya. Begitu juga dengan Salaman, ia menemukan Tuhan melalui pemahaman keberagamaannya yang berasal dari kabar-kabar Tuhan yang disampaikan Muhammad SAW. Keduanya mencapai hal yang sama. Sedangkan Asal adalah tokoh yang dihadirkan Ibn Thufail, sebagai anatomi elaborasi keduanya, Asal yang sebelumnya tinggal satu kota dengan Salaman, memperoleh pengetahuan awalnya dari wahyu dan kemudian setelah pertemuannya dengan Hayy Ibn Yaqdzan, ia memadukan pemahaman pengetahuan awalnya itu dengan ajaran yang diterimanya dari Hayy.
Berkaitan
 dengan, Ibn Thufail mengajarkan pada kita bahwa, semangat keagamaan, 
baik yang penerimaannya melalui wahyu atau penalaran, tidaklah elok bila
 saling menjatuhkan. Keduanya melihat kebenaran dari sisi yang dilihat 
masing-masing. Keduanya melihat kebenaran yang tunggal, kebenaran yang 
tidak sepatutnya diklaim dan dijadikan justifikasi untuk menegasikan 
atau bahkan mengkafirkan yang lain. Kebenaran tetaplah tunggal, cara 
melihatnya yang beragam. 
Bahan Bacaan
Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leamen, editor, Ensiklopedi Tematis, Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003, jilid I
Masruri, Hadi, Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, Yogyakarta: LKIS, 2005
Ibn Thufail, Hayy bin Yqdzan, Anak Alam Mencari Tuhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999 
[1] Dalam Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, M.
 Hadi Masruri mengatakan bahwa masa-masa Ibnu Thufail bukanlah masa-masa
 yang kondusif untuk beerkembangnya intelektualitas orang-orang di sana,
 dan saya agak tidak setuju dengan hal ini, meskipun dalam beberapa 
bidang keilmuan saya setuju dengan dia, bahwa misalnya filsafat 
mengalami sedikit kurang berkembang pada masa-masa awal kehidupan Ibnu 
Thufail, tetapi bagaimanapun bidang keilmuan seperti kedokteran, 
astronomi, bahasa, dan beberapa bidang keilmuan lainnya selain filsafat 
terus berkembang dengan baik.
[2] Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003
[3] Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqdzan, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal 19-20
[4]
 Saya tidak tahu kenapa Ibn Thufail memilih usia ini. Mungkin saja 
karena memang pada usia inilah manusia biasanya memperoleh kematangan 
diri, atau juga ini didasarkan pada pengalaman pribadi Ibn Thufail 
sendiri yang mencapai kematangannya pada usia ini.
[5]
 satu metafor untuk menggambarkan antara Filsafat yang diwakili Asal dan
 menganut ajaran agama secara fatalistik ala para fuqaha, yang diwakili 
Salaman. Dan juga menggambarkan ketidakharmonisan hubungan intelektual 
Ibn Sina dan al-Ghazali. 
No comments:
Post a Comment