
بسم الله الرحمن الر حيم
Dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti melalui beberapa 
tahapan yang harus dilaluinya, tahapan-tahapan tersebut disebut maqamat. Jalan itu sangat berat dan untuk berpindah dari satu maqamat ke maqamat
 yang lain membutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tidak singkat. 
Terkadang tak jarang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal 
dalam satu maqam. Jalan pendakian tersebut mencakup beberapa maqam, dan Mahabbah adalah maqam
 tertinggi. Begitu juga dengan Rabi’ah al-Adawiyah, dalam meniti 
perjalanan dan pengalaman spiritualnya, ia harus melalui beberapa maqam.
Adapun tahapan-tahapan yang dilalui oleh Rabi’ah untuk mencapai maqam mahabbah adalah sebagai berikut:
1.   Tobat, Sabar, dan Syukur
Tobat adalah tahapan pertama dalam menempuh tahapan-tahapan berikutnya.
 Tobat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Tanpa adanya tobat 
seseorang tidak dapat menempuh jalan menuju Allah. Tobat adalah bagian 
terpenting dalam kehidupan manuju Allah.
Al-Juhwiri berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang termasuk dalam tobat: pertama, tobat karena ketidaktaatannya, kedua, memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, ketiga,
 segera meninggalkan perbuatan dosa itu. Pendapat ini berhubungan dengan
 konsep pertobatan yang terdapat dalam doktrin sufi, sebagai hukuman 
pertama atas dosanya, lalu merasakan penyesalan terhadap dosa itu secara
 mendalam, akhirnya harus membimbingnya untuk memperbaiki keadaan yang 
semula kotor oleh dosa (Margaret Smith, 2001: 62).
Rabi’ah memiliki pengertian mendalam tentang dosa dan kebutuhan untuk 
bertobat dan memaafkan, dan para penulis sufi, dalam pembahasan masalah 
tobat lebih dari sekali menyebutkan ajaran Rabi’ah tentang masalah ini. 
Di dalam sebuah fragmen yang dikutip oleh Hurayfisy dimana ia 
melampirkan syair Rabi’ah tentang dua cinta, ia berdo’a:
Wahai kekasih hati, tak ada yang ku miliki selain Diri-Mu,
bagaimanapun, kasihanilah orang-orang berdosa
yang datang pada-Mu.
Wahai harapanku, Ketenanganku, Kebahagiaanku,
Hati ini hanya dapat mencintai-Mu. (Margaret Smith, 2001: 63)
Rabi’ah berkata bahwa Allah adalah Penyejuk di dalam dukanya, dan 
sebagai Yang Hanya mampu menghapuskan dirinya dari dosa. Kesedihan 
Rabi’ah atas dosa-dosanya seringkali diulang-ulangnya. Di dalam Siyar ash-Shalihat, penulis riwayat hidup Rabi’ah memberikan gambaran halus tentang kesedihannya yang mendalam karena dosa-dosa, mengatakan:
”Abdullah bin Isa berkata, ’Aku mengunjungi Rabi’ah, tampak seberkas 
cahaya di wajahnya, dan ia sedang menangis, dan seseorang menceritakan 
bahwa apabila dikisahkan kepadanya tentang api (menyimbolkan hukuman 
atas penyesalan yang tidak diterima), ia pingsan, dan aku mendengarkan 
tetesan air matanya di tanah bagaikan suara tetesan (air) di dalam 
sebuah bejana.” (Margaret Smith, 2001: 64)
Rabi’ah mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu 
memisahkan jiwa dengan Yang Dicintai. Keyakinan bahwa dosa adalah 
penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya akan membimbing pada 
jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang mendalam. Kondisi 
semacam ini tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda kesedihan dari 
luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini tampak pada 
Rabi’ah dan juga para sufi lainnya sebagai tanda kesalehan, penyesalan 
terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua ini akan 
membakar semua kesediahan terus-menerus sehingga tidak ada tempat lagi 
bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi’ah adalah membangkitkan rasa 
benci, karena hal itu akan menyebabkan terpisahkan dari Yang Dicintai 
(Margaret Smith, 2001: 65).
Menurut Rabi’ah tobat merupakan pemberian Allah, bukannya karena usaha dari orang yang berdosa itu – jika Allah menerima tobatmu, maka engkau akan bertobat kepada-Nya – dan
 pandangan ini sesuai dengan pandangan umum bahwa segala sesuatu yang 
baik dan sempurna datangnya dari atas, dan hanya dengan takdir Allah 
jualah untuk menyentuh hati orang berdosa bahwa ia akan menghindari 
perbuatan buruk dan bertobat (Margaret Smith, 2001: 66).
Kesabaran dihubung-hubungkan oleh para penulis sufi sebagai tahap 
penting di dalam kemajuankehidupan spiritul, atau mungkin sebagai 
kualitas penting yang harus dicapai oleh seorang yang suci.
Melalui perjalanan hidup Rabi’ah, dapat dibaca konsep ajarannya tentang
 sabar dan banyak anekdot yang dikisahkan dalam riwayat hidupnya. 
Rabi’ah adalah seorang yang memiliki kesabaran luar biasa yang tidak 
dimiliki oleh orang lain pada masanya. Bila kita perhatikan awal hingga 
akhir, kehidupan Rabi’ah penuh dengan tantangan dan penderitaan, tidak 
dapat dipungkiri bahwa cobaan ini sangat menyakitkan, namun justru dalam
 keadaan seperti itulah hatinya mengalami tempaan.
Rabi’ah adalah sosok seorang sufi perempuan yang sangat sabar, dan 
teguh pendirian dalam menjalani segala cobaan dan rintangan hidup. 
Rabi’ah pernah berkata: ”Seandainya keutamaan kesabaran itu laksana 
seorang laki-laki, maka ia akan berjiwa pemurah” (Syamsun Ni’am, 2001: 
59).
Bersyukur adalah kualitas pelengkap bagi tahap kesabaran, yaitu suatu 
sikap atas semua kebaikan Allah terhadap hamba-Nya. Sebagaimana 
kualitas-kualitas lainnya yang harus dicapai pada tahap-tahap berbeda di
 dalam jalur mistik, bersyukur terdiri dari elemen-elemen iman, perasaan
 dan tindak-tanduk. Iman harus sudi menerima bahwa semua kebaikan itu 
datangnya dari Allah dan itu adalah pemberian cuma-cuma dari-Nya. Semua 
pemberian itu datangnya dari Allah, dan hal ini haruslah memberikan 
kebahagiaan kepada sang hamba dan juga menimbulkan sikap kerendahan hati
 di hadapan Sang Pemberi, bahkan dalam menjalani penderitaan kita pun 
harus bersyukur. Perasaan bahagia dan kerendahan hati ini akan 
membimbing pada suatu tindak-tanduk, dan hamba penerima kebaikan itu 
akan melakukan segala tindakannya sesuai dengan keinginan-Nya dan 
menghindari semua larangan-Nya (Margaret Smith, 2001: 68-69).
Rabi’ah memiliki iman yang menganggap bahwa semua pemberian berasal 
dari Allah sebagai Sang Pemberi, dan menganggap bahwa penderitaan dan 
ketidakberuntungan itu  merupakan secercah kebaikan dan kebahagiaan. 
Imannya telah membimbing pada suatu kebahagiaan dalam menjalani hukuman 
dari Allah yang ia anggap sebagai kebaikan-Nya, dan bersikap rendah hati
 menerima semua yang diberikan-Nya, dan dari sikap ini membimbing pada 
tindakan beribadat dan bersyukur, dan keinginan yang sangat mendalam 
untuk memandang Sang Pemberi tersebut, dimana semua pemberian itu 
mendorong pada keinginan Penyatuan yang mendalam, selamanya, dengan Sang
 Pemberi itu (Margaret Smith, 2001: 72).
Bersambung...
mkasih gan..
ReplyDelete#santri pp suryalaya