Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 1)



بسم الله الرحمن الر حيم

Dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti melalui beberapa tahapan yang harus dilaluinya, tahapan-tahapan tersebut disebut maqamat. Jalan itu sangat berat dan untuk berpindah dari satu maqamat ke maqamat yang lain membutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tidak singkat. Terkadang tak jarang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu maqam. Jalan pendakian tersebut mencakup beberapa maqam, dan Mahabbah adalah maqam tertinggi. Begitu juga dengan Rabi’ah al-Adawiyah, dalam meniti perjalanan dan pengalaman spiritualnya, ia harus melalui beberapa maqam.


Adapun tahapan-tahapan yang dilalui oleh Rabi’ah untuk mencapai maqam mahabbah adalah sebagai berikut:


1.   Tobat, Sabar, dan Syukur

Tobat adalah tahapan pertama dalam menempuh tahapan-tahapan berikutnya. Tobat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Tanpa adanya tobat seseorang tidak dapat menempuh jalan menuju Allah. Tobat adalah bagian terpenting dalam kehidupan manuju Allah.
Al-Juhwiri berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang termasuk dalam tobat: pertama, tobat karena ketidaktaatannya, kedua, memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, ketiga, segera meninggalkan perbuatan dosa itu. Pendapat ini berhubungan dengan konsep pertobatan yang terdapat dalam doktrin sufi, sebagai hukuman pertama atas dosanya, lalu merasakan penyesalan terhadap dosa itu secara mendalam, akhirnya harus membimbingnya untuk memperbaiki keadaan yang semula kotor oleh dosa (Margaret Smith, 2001: 62).
Rabi’ah memiliki pengertian mendalam tentang dosa dan kebutuhan untuk bertobat dan memaafkan, dan para penulis sufi, dalam pembahasan masalah tobat lebih dari sekali menyebutkan ajaran Rabi’ah tentang masalah ini. Di dalam sebuah fragmen yang dikutip oleh Hurayfisy dimana ia melampirkan syair Rabi’ah tentang dua cinta, ia berdo’a:


Wahai kekasih hati, tak ada yang ku miliki selain Diri-Mu,
bagaimanapun, kasihanilah orang-orang berdosa
yang datang pada-Mu.
Wahai harapanku, Ketenanganku, Kebahagiaanku,
Hati ini hanya dapat mencintai-Mu. (Margaret Smith, 2001: 63)

Rabi’ah berkata bahwa Allah adalah Penyejuk di dalam dukanya, dan sebagai Yang Hanya mampu menghapuskan dirinya dari dosa. Kesedihan Rabi’ah atas dosa-dosanya seringkali diulang-ulangnya. Di dalam Siyar ash-Shalihat, penulis riwayat hidup Rabi’ah memberikan gambaran halus tentang kesedihannya yang mendalam karena dosa-dosa, mengatakan:


”Abdullah bin Isa berkata, ’Aku mengunjungi Rabi’ah, tampak seberkas cahaya di wajahnya, dan ia sedang menangis, dan seseorang menceritakan bahwa apabila dikisahkan kepadanya tentang api (menyimbolkan hukuman atas penyesalan yang tidak diterima), ia pingsan, dan aku mendengarkan tetesan air matanya di tanah bagaikan suara tetesan (air) di dalam sebuah bejana.” (Margaret Smith, 2001: 64)

Rabi’ah mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu memisahkan jiwa dengan Yang Dicintai. Keyakinan bahwa dosa adalah penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya akan membimbing pada jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang mendalam. Kondisi semacam ini tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda kesedihan dari luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini tampak pada Rabi’ah dan juga para sufi lainnya sebagai tanda kesalehan, penyesalan terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua ini akan membakar semua kesediahan terus-menerus sehingga tidak ada tempat lagi bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi’ah adalah membangkitkan rasa benci, karena hal itu akan menyebabkan terpisahkan dari Yang Dicintai (Margaret Smith, 2001: 65).

Menurut Rabi’ah tobat merupakan pemberian Allah, bukannya karena usaha dari orang yang berdosa itu – jika Allah menerima tobatmu, maka engkau akan bertobat kepada-Nya – dan pandangan ini sesuai dengan pandangan umum bahwa segala sesuatu yang baik dan sempurna datangnya dari atas, dan hanya dengan takdir Allah jualah untuk menyentuh hati orang berdosa bahwa ia akan menghindari perbuatan buruk dan bertobat (Margaret Smith, 2001: 66).
Kesabaran dihubung-hubungkan oleh para penulis sufi sebagai tahap penting di dalam kemajuankehidupan spiritul, atau mungkin sebagai kualitas penting yang harus dicapai oleh seorang yang suci.


Melalui perjalanan hidup Rabi’ah, dapat dibaca konsep ajarannya tentang sabar dan banyak anekdot yang dikisahkan dalam riwayat hidupnya. Rabi’ah adalah seorang yang memiliki kesabaran luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain pada masanya. Bila kita perhatikan awal hingga akhir, kehidupan Rabi’ah penuh dengan tantangan dan penderitaan, tidak dapat dipungkiri bahwa cobaan ini sangat menyakitkan, namun justru dalam keadaan seperti itulah hatinya mengalami tempaan.


Rabi’ah adalah sosok seorang sufi perempuan yang sangat sabar, dan teguh pendirian dalam menjalani segala cobaan dan rintangan hidup. Rabi’ah pernah berkata: ”Seandainya keutamaan kesabaran itu laksana seorang laki-laki, maka ia akan berjiwa pemurah” (Syamsun Ni’am, 2001: 59).
Bersyukur adalah kualitas pelengkap bagi tahap kesabaran, yaitu suatu sikap atas semua kebaikan Allah terhadap hamba-Nya. Sebagaimana kualitas-kualitas lainnya yang harus dicapai pada tahap-tahap berbeda di dalam jalur mistik, bersyukur terdiri dari elemen-elemen iman, perasaan dan tindak-tanduk. Iman harus sudi menerima bahwa semua kebaikan itu datangnya dari Allah dan itu adalah pemberian cuma-cuma dari-Nya. Semua pemberian itu datangnya dari Allah, dan hal ini haruslah memberikan kebahagiaan kepada sang hamba dan juga menimbulkan sikap kerendahan hati di hadapan Sang Pemberi, bahkan dalam menjalani penderitaan kita pun harus bersyukur. Perasaan bahagia dan kerendahan hati ini akan membimbing pada suatu tindak-tanduk, dan hamba penerima kebaikan itu akan melakukan segala tindakannya sesuai dengan keinginan-Nya dan menghindari semua larangan-Nya (Margaret Smith, 2001: 68-69).

Rabi’ah memiliki iman yang menganggap bahwa semua pemberian berasal dari Allah sebagai Sang Pemberi, dan menganggap bahwa penderitaan dan ketidakberuntungan itu  merupakan secercah kebaikan dan kebahagiaan. Imannya telah membimbing pada suatu kebahagiaan dalam menjalani hukuman dari Allah yang ia anggap sebagai kebaikan-Nya, dan bersikap rendah hati menerima semua yang diberikan-Nya, dan dari sikap ini membimbing pada tindakan beribadat dan bersyukur, dan keinginan yang sangat mendalam untuk memandang Sang Pemberi tersebut, dimana semua pemberian itu mendorong pada keinginan Penyatuan yang mendalam, selamanya, dengan Sang Pemberi itu (Margaret Smith, 2001: 72).


Bersambung...





1 comment: