بسم الله الرحمن الر حيم
4.   Mahabbah dan Ma’rifat
Cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli tasawuf, termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridha), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridha mewakili ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintai; syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih; dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang sufi akan langsung mencapai ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan dapat menyatu dengan-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 74).
Ajaran cinta yang dikembangkan Rabi’ah merupakan pengembangan dari 
konsep yang diajarkan Hasan al-Bashri, dimana Hasan al-Bashri semula 
membawa ajaran khauf dan raja’, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Rabi’ah, yaitu ke suatu tingkat mahabbah.
 Hasan al-Bashri dalam mengabdi kepada Allah karena didasari rasa takut 
kepada neraka dan harapan akan surga. Namun Rabi’ah jauh dari kedua hal 
itu. Ia mencintai Allah bukan karena takut neraka, dan tidak juga 
mengharap surga, namun ia mencintai Allah karena Allah semata: 
”Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka 
bakarlah aku di dalam neraka-Mu. Dan jika aku menyembah-Mu karena 
mengharapkan surga, maka campakkanlah aku dari dalam surga-Mu, tetapi 
jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan 
memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.” (Syamsun Ni’am, 
2001: 76)
’Aththar menyebutkan bahwa di antara ucapan-ucapan Rabi’ah tentang 
demikian mendalamnya cinta kepada Allah, yaitu pada suatu hari Rabi’ah 
ditanya, ”Apakah engkau sangat mencintai Allah Yang Maha Agung?” Rabi’ah
 menjawab, ”Ya aku sangat mencintai-Nya.” Lalu ia ditanya, ”Apakah 
engkau sangat membenci syetan sebagai musuhmu?”, Rabi’ah menjawab, 
”Cintakku kepada Allah tidak menyisakan ruang di hatiku untuk membenci 
syetan.” Kemudian Rabi’ah melanjutkan perkataannya ”Pada suatu hari aku 
bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw, dan beliau bertanya padaku, ”Wahai 
Rabi’ah, apakah engkau mencintaiku?” Aku berkata, ”Wahai Rasul, siapakah
 yang tidak mencintaimu. Tetapi cintaku kepada Allah begitu besar, 
hingga tidak menyisakan tempat untuk mencintai dan membenci apapun 
lagi.” (Margaret Smith, 2001: 113)
Dengan cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat
 sufistik dan hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya. Pengetahuan itu 
datang langsung sebagai pemberian dari Allah tanpa hijab. Dengan mata 
yang telah dipenuhi oleh ma’rifat, para sufi akan mampu menatap
 penyaksian itu, dan memandang-Nya dengan asyik terpesona dalam 
penyatuan dengan Yang Suci. Itulah tujuan akhir dari pencarian atau 
pengembaraan jiwa, akhir dari jalur, tercapai sudah, tidak dengan 
penghancuran, tetapi kekhusyukan dan perubahan, sehingga jiwa akan 
diubah ke dalam penyaksian suci, dan menjadi bagian dari Allah itu 
sendiri, di dalam tempat dan kehidupan bersama-Nya untuk selamanya.
Alhamdulillah, semoga bermanfaat,,,

No comments:
Post a Comment