Mengenal Allah dengan Cinta
Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya.
Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya
seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi
karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya
terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya
tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut,
penuh kasih. Sambil tersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana
pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang
haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih
baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu
saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya
didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri oleh para sufi atau orang-orang
saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah
memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in
Qandil). 
     Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari 
kemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama dan 
ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. 
Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak 
diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. 
Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) 
Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang 
salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang
 memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi 
penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 
H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui 
syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
        Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang 
diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. 
Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang 
terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, 
Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang 
harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah 
dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam 
al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi 
maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti 
darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
      Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni 
Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, 
tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata 
lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik
 melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda 
pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian 
Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang 
dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang 
Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta 
al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. 
        Ibnu Qayyim 
al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.
- Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum 
tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena 
orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga 
mencintai Allah.
 
- Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta 
inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan 
mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang 
paling kuat dengan cinta ini.
 
- Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
 
- Keempat,
 Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai 
sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah
 menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
 
       Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, 
bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah 
semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan 
mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada
 di jalan Allah.
      Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan 
untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu 
(lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah 
engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu 
melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:
Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
       Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah 
bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah 
bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga 
terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya
      Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya 
perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain 
karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah 
suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. 
Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga
 Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya 
hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap 
memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya 
saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, 
beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, 
sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban 
penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi 
seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk 
mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba 
kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. 
Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup 
serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk 
terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia 
jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian 
melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara 
deretan sejarah para sufi.
         Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk 
sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, 
Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis 
biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan 
karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) 
dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I 
asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat 
ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan 
Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ 
(Memoar Para Wali).
       Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’
 karya Fariduddin al-Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang 
paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah 
akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang 
menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan 
bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya 
Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, 
terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak 
mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
          Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya 
sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk 
kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, 
ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah 
tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta 
bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa 
pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri 
keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh
 Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak 
perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang 
pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi:
 “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah 
kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada 
malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia 
melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu 
sebanyak empat ratus dinar.”
       Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun 
menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang 
dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai 
membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada 
orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah 
mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan 
katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku 
dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang 
seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan
 mengusap penderitaannya dengan janggutku.”
     Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa 
keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya 
kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. 
Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah 
dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus 
berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
      Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia 
berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki 
itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga 
enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, 
Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga 
Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang 
laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. 
Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian 
jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya 
Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim 
piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun 
demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin 
sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla 
terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan,
 “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu 
akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
      Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap 
menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. 
Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya 
hingga siang hari. Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari
 jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam 
shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha 
Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti 
perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka 
aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah 
kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” 
Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada 
sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai 
tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu 
merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, 
artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
        Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan 
Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke 
tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. 
Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan 
baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan 
pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
       Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke 
Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan 
ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, 
belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di 
tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka
 menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. 
Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta 
bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan 
Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
        Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka 
meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan 
kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan 
dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang 
memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau 
mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang 
pasir ini.” Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang 
semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena 
bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.
      Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di 
tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa
 bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi
 ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah 
wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul 
suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai 
Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung
 Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ 
dengan Nama-Ku.”
       Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, 
tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. 
Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah 
ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, 
‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan 
berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki 
kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan 
apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, 
sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian 
menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah 
kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
        Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah 
al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk 
menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan 
yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh 
urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang 
berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya 
adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga 
seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota 
Basrah.
        Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang 
Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki
 sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah
 engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
     Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah 
adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari 
Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, 
laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar
 dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki 
pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh 
Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi 
budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan
 menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”
        Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah 
bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. 
Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah
 dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, 
“Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara
 kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah 
kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab 
empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan 
al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan 
menjawab pertanyaanmu.”
- “Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan 
oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam
 atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang 
dapat menjawab.”
 
- “Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat 
Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan 
menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
 
- “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang 
Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima 
buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana 
denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” 
Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
 
- “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian 
manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok 
manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban 
semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang 
tersembunyi itu.
 
       Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku 
telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus 
bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam 
penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang 
cukup indah.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
      Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda 
sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia 
hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang 
harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan 
bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali 
ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah 
yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang 
memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 
856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah 
abad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun 
al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.
      Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali 
berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. 
Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: 
“Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi
 tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku 
bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah 
ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku 
menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki 
apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang 
sesungguhnya sejati.
        Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah 
melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela 
dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. 
Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan 
ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya 
sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air
 itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari 
melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk 
sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia
 telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar 
kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
      Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak 
memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan
 kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para 
sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: 
Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan 
untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa 
rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan 
berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau 
memohonnya.”
Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah
        Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah 
memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan 
duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap 
makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, 
Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, 
tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani 
Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup 
menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya.
 Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah 
kepada Allah.
        Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini
 benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, 
seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya 
mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah 
seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan
 melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku 
sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, 
bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” 
Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:
“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua 
dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab 
Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai 
Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak 
mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
        Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, 
kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama
 tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada 
siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka
 akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, 
sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan 
mereka menarikku dari-Mu.”
    Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah
 agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, 
perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja 
dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. 
Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak 
mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian,
 Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang 
selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), 
namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah 
kepada Rabi’ah.
       Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar 
pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar 
tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat 
pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki 
teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan 
meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah 
besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab,
 “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada 
hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat 
kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, 
“Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui 
keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, 
kita harus menerimanya.”
      Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar
 ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena 
itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan
 lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa 
kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan 
penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah,
 adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, 
Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau 
pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada 
pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.” 
Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah
      Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki 
nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak
 ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat 
merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu 
Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu 
timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan 
tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan 
apa pun.
      Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak 
berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf 
(takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi 
kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk 
masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada
 Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, 
namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada 
dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah 
sebagai berikut: 
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku. 
     Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, 
sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. 
Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai 
Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada
 Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah 
juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia 
menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong 
sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
      Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana 
saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia 
mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia 
sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam 
salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada 
Teman dan Kekasihnya itu: 
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
        Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai 
kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke 
tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui 
tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. 
Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada
 Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan 
masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh 
karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu 
agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini 
sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka 
mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
        Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan 
bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap 
mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku. 
       Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah 
melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja 
bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk 
menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan 
dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya 
dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya 
kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan 
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga 
di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap
 Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya 
Rabi’ah mengatakan: 
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
      Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan,
 dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya 
dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. 
Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah 
kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah
 berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta
 menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali 
hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi
 setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia 
menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia 
cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali 
hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki 
Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada 
akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. 
Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia 
merasa harus mencintai-Nya.
      Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia 
menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu 
pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga 
di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan 
ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada 
lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah 
sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan 
akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret 
Smith, 1928). 
Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
        Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang 
lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai 
Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, 
Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat
 dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, 
kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah
 terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim 
(mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta 
kepada makhluk ciptaan-Nya.
      Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di 
antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim
 duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan
 keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’
 Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup 
pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, 
setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah 
kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama 
golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 
27-30).
       Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka 
kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah 
meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu 
menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan
 kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
      Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya 
hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan 
alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang 
kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh 
penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang 
sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa 
dengan Tuhannya.
      Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah 
memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana 
keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan 
Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, 
“Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada 
Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan 
lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia,
 tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, 
‘Siapa Tuhanmu?’”
      Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal 
untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di 
sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang
 bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.