TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

TIPOLOGI KEPRIBADIAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

Kepribadian merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Dalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya. Di antaranya adalah Surah al-Baqarah ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.[1]
Pada dasarnya manusia diberikan fitrah oleh Allah berupa memeluk Agama Isalam dan bertauhid, namun ketika manusia itu dilahirkan ke dunia, manusia dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga tingkahlakunya berubah. Firman Allah dalam QS Ar-Rum ayat 30.
  Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Ar-rum ayat 3.
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Dalam memendang konsep dan pilsafat tentang manusia, maka tidak lepas dari pandangan Islam itu sendiri. Dalam Islam, manusia memang makhluk yang memiliki dimensi-dimensi yang kompleks. Manusia dimanpun dan beragama apapun tidak terlepas dari yang dinamakan jasad dan roh. Oleh karena itu manusia harus mengetahui eksistensi dia sebagai manusia agar hidupnya baik.


1.      Pengertian Tipe Kepribadian

Dalam kamus chaplin kata “tipe” memiliki pengertian sebagai “satu pengelompokan individu yang dapat dibedakan dari orang lain karena memiliki satu sifat khusus”. Setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Sejalan dengan itu, maka istilah kepribadian sampai saat ini belum bias di definisikan secara mendetail, meskipun sudah ada beberapa teori yang membahas tentang itu.[2]
Adapun pengertian kepribadian sebagaimana dikatakan oleh Allport yaitu organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang system psiko-fisik yang menentukan penyesuainnya yang unik terhadap lingkungan.[3]
Kepribadian adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasikan dan bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu. Kepribadian tidak menyatakan sesuatuyang bersifat statis, seperti bentuk badan atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang. Kepribadian tidak berkembang secara pasif saja, tetapi orang mempergunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosal.[4]


2.      Fungsi Jiwa Manusia

Tentang kepribadian, pada awalnya Carl Gustav jung menemukan, bahwa manusia memiliki empat macam fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan, keduanya berbentuk rasional. Kemudian pengindraan (sensasi) dan intuisi, keduanya berbentuk irasional. Rasional bekerja dengan penilaian, pikiran melihat segala sesuatu menurut criteria menyenangkan. Irasional tidak memberikan penilaian, tetapi semata-mata mendapat pengamatan. Pengindraan mendapat pengamatan dengan sadar indra, sedangkan intuisi mendapatkan penamatan secara tidak sadar naluriah. Dalam bentuk table digambarkan sebagai berikut:
Fungsi jiwa.[5]
Fungsi jiwa
Sifat jiwa
Cara bekerja jiwa
Pikiran
Rasional
Dengan penilaian: benar atau alah
Perasaan
Rasional
Dengan penilaian: senang atau tidak senang
Pengindraan
Irasional
Tanpa penilaian: sadar indra
Intuisi
Irasional
Tanpa penilaian: tidak sadar naluriyah



3.      Struktur Kepribadian Manusia

Ada beberapa persi dalam pemberian struktuk kepribadian manusia. Menurut Al-Ghazali dalam bastaman membagi menjadi empat, yaitu qalbu, roh, nafs, dan akal. Sementara itu, Al-Ghazali dalam versi mujib membagi tiga yaitu hawa nafs, aql dan qalb, ketiganya disebut nafs, kemudian dibagi kepada dua secara garis besar yaitu jasad dan roh.
a.       Qalb (hati)
Qalb menurut Ibnu Araby adalah suatu organ tubuh yang menghasilkan pengetahuan yang benar, intuisi yang menyeluruh, mengenal Allah SWT. Dan misteri ketuhanan. Singkatnya hati adalah bagian organ segala sesuatu yang memenuhi syarat untuk mengetahui ilmu ghaib.
Sifat qalb yang seperti inilah yang kemudian disebut dengan istilah rasio qalbani yang ada dalam nafs, sebagai penjelmaan selfish-self, yaitu tempat mengaktualisasikan segala potensi yang ada dalam qalb berupa kekuatan rohani sehingga berdampak pada tindakan atau prilaku.
Dengan demikian qalb adalah bagian spiritual manusia. Ia ada, tetapi keberadaanya hanya dapat dirasakan, seperti tiupan angin yang semilir terasa menyejukan. Kesepadanan gerak rohani serupa dengan keberadaan wahyu dan ilham, sehingga kebenaran bagi mereka yang terbuka dan tersingkap tabir dibalik dirinya adalah sama dengan kebenaran wahyu.[6]
b.      Jism (jasmani)
Jasmani adalah struktur terluar manusia, berupa badan atau tubuh fisik biologis. Keberadaannya dapat dilihat oleh mata kepala, bentuk rupanya dapat dinilai langsung. Banyak manusia yang akal pikirannya hanya mampu memberikan penilaian pada sesuatu yang bersifat jasmani. Mereka mengagumi dan mendewakannya walaupun sebenarnya patamorgana, dijadikan dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah.
Jasmani ini akan menemani manusia hingga terpisahnya nyawa dari raganya. Ia akan kembali menyatu dengan tanah menjadi santapan cacing dan belatung. Sebagai salah satu struktur adanya jasmani ini karena adanya:
1)      Hawa nafsu
Hawa nafsu adalah dorongan (syahwat) kepada sesuatu yang bersifat rendah, segera dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral.
2)      Nafsu syahwat
Syahwat merupakan fitrah kecenderungan yang bersifat universal. Menurut Mubarok, syahwat adalah menjalankan sesuatu yang mengikuti fitrah seperti menyukai lawan jenis, menyayangi anak, dan sebagaianya.
c.       Nafs (psikis)
Psikis merupakan gejala psikologi yang dapat disaksikan dan diindrai, jika telah terakumulasi dalam bentuk tingkah laku, baik yang disengaja ataupun gerakan refleks. Hal positif dari psikis adalah rasa saying dan ramah, sedangkan negatifnya akan ditemukan pada sifat emosi, marah, dengki, dan sebagainya.[7]


4.      Dinamika Kepribadian Manusia

Kepribadian menurutu psikologi Islam adalahintegrasi sitem qalbu, akal, dan nafsu manusia menimbulkan tingkah laku.  Aspek nasfsiyah manusia memiliki tiga daya yaitu, qalbu, akal, dan nafsu.
Kepribadian sesungguhnya produk dari interaaksi diantara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah satunya yang lebih mendominasinya dari omponen lain. Kepribadian manusia memiliki beberapa dinamika, yaitu:[8]
1.      Kepribadian amarah (nafs al-Amarah) adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan. Sesuai dengan firman Allah surat Yusuf ayat 53.
      
Artinya: dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.(QS yusuf: 53).[9]
2.      Kepribadian lawwamah (nafs al-Lawwamah) adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya qalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang di dominasi oleh akal. Firman Allah QS al-Qiyamah ayat 2.
  
Artinya:  dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.

3.      Kepribadian muthmainah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur qalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat yang tercela. Firman Allah QS Al-Fajr ayat 27-28.
Artinya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.[10]


5.      Tipe-tipe kepribadian

Manusia diciptakan di muka bumi ini bersuku-suku. Dan setiap suku dari sekian banyak suku itu, memiliki ciri khas masing-masing. Eropa misalnya, memiliki ciri khusus berupa kulitnya yang putih (bule). Sedangkan Afrika, identik dengan kulitnya yang hitam legam. Begitu pula manusia-manusia yang lain, yang berdomisili di luar kedua benua tersebut.
Seberapapun kontras perbedaan (fisik) yang dimiliki oleh manusia, namun Al-Quran telah mengklasifikasikan mereka menjadi tiga golongan (tipe).
Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.  Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[11]
Dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan dan sifat-sifat malaikat yang terkadang timbul pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia tersebut. Adakalanya, manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya, dan adakalanya ia tertarik oleh kebutuhan spiritualnya.
Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya.
Disamping itu, Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.
Potensi positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an. Di antaranya ada dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu Surah at-Tin ayat 5 (manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya) dan Surah al-Isra’  ayat 70 (manusia dimuliakan oleh Allah dibandingkan dengan kebanyakan makhlik-makhluk yang lain). Di samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan memberikan cap negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya serta mengingkari nikmat (Q.S. Ibrahim : 34), manusia sangat banyak membantah (Q.S. al-Kahfi: 54), dan manusia bersifat keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Ma’arij : 19).
Sebenarnya, dua potensi manusia yang saling bertolak belakang ini diakibatkan oleh perseteruan di antara tiga macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-suu’ (jiwa yang selalu menyuruh kepada keburukan), nafsu lawwamah (jiwa yang amat mencela), dan nafsu muthma’innah (jiwa yang tenteram). Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan beberapa kondisi yang berbeda yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan psikologis antara aspek material dan aspek spiritual.
Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut.


1.      Kepribadian Orang Beriman (Mu’minun)

Mereka ini adalah golongan manusia yang meyakini tentang keberadaan Allah dengan seyakin-yakinnya. Tidak cukup itu saja, untuk membuktikan keimanan yang bersemayam di dalam hati tersebut, merekapun mengikrarkannya dengan lisan, kemudian mewujudkannya dengan paraktek-praktek ibadah yang mereka lakukan setiap harinya.
Itulah ciri iman (attashdiqu bilqalbi wattaqriru billisani wal’amalu biljawarih/arkani). Keimanan seseorang akan sempurna ketika ketiga unsur ini benar-benar diaplikasikan. Begitupun sebaliknya, ketika salah satunya tidak terlaksana, maka dia belum termasuk al-mukminu al-haqiqiyyu (mukmin yang sejati).
Untuk golongan pertama ini, Allah menjamin bahwa tempat mereka diakhirat kelak adalah surga. Firman-Nya:
ž“sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga ‘adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai….(Al-Bayyinah: 7-8)
Dikatakan beriman bila ia percaya pada rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah swt., iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Allah (qadar/takdir). Rasa percaya yang kuat terhadap rukun iman tersebut akan membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktivitasnya. Dengan nilai-nilai itu, setiap individu seyogianya memiliki kepribadian yang lurus atau kepribadian yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian lurus dan sehat ini memiliki ciri-ciri antara lain:
a.       Akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan,
b.      Rendah hati di hadapan Allah dan juga terhadap sesama manusia,
c.       Senang menuntut ilmu,
d.      Sabar,
e.       Jujur, dan lain-lain.[12]
Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas yang mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha mewujudkannya dalam diri kita. Rasulullah saw. telah membina generasi pertama kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak mereka. Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.


2.      Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)

Kelompok yang kedua adalah orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang ingkar akan keberadaan Allah. Jangankan untuk menjalankan perintah-perintah-Nya, sekedar untuk mempercayai-Nya saja, mereka enggan. Mereka justru mengejek orang-orang yang beriman, dan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh, yang tidak berilmu. Demikianlah predikat yang diberikan oleh mereka kepada orang-orang yang beriman. Namun ingatlah, tuduhan-tuduhan tersebut telah dibantah Allah melalui firman-Nya:
   
“dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukan orang gila” (Al-Qalam: 2).

Untuk golongan ini, tiadalah tempat kembali mereka di akhirat kelak, kecuali neraka jahannam. Itu sesuai dengan keterangan Allah dalam Al-Quran:

Artinya: “sesungguhnya, orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.” (Al-Bayyinah: 6)

Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain:
a.       Suka putus asa,
b.      Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,
c.       Tidak percaya pada rukun iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam,
d.      Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim,
e.       Mereka sering tidak setia pada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman,
f.       Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan hal-hal yang bersifat material. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering kali berakibat ketidakseimbangan pada kepribadian,
g.      Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan, dan lain-lain.Ciri-ciri orang kafir sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an tersebut menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya mereka mengalami penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan lahiriah dan duniawi. Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu dalam kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah dan mengharap rida-Nya untuk mengharap magfirah serta pahala-Nya di dunia dan akhirat.[13]

3.      Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)

Adapun golongan ketiga, adalah golongan orang-orang munafik, yaitu mereka yang secara dzahir menampakkan keimanan mereka di hadapan orang-orang mukmin, namun, batin mereka, hati mereka sebenarnya mengingkari hal tersebut.
Karena perilaku mereka ini mencerminkan orang-orang beriman, maka untuk mendeteksi keberadaan mereka ini relatif sulit. Kitapun dilarang untuk menjastifikasi seseorang sebagai orang munafik, sebab manusia hanya diperbolehkan untuk menghukumi sesuatu sesuai dengan apa yang nampak (dzahir). Adapun di luar itu (bathin) adalah urusan Allah. 
Al-Quran dan As-Sunnah hanya memberikan cirri-ciri tentang mereka. Dan  salah satu dari pada ciri orang munafik ialah ketika mereka mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakanya dengan malas-malasan. Sedang di dalam hadits, Rasulullah SAW menerangkan, bahwa cirri-ciri mereka itu ada tiga, pertama, ketika ia berjanji, ia mengingkari. Ketika berbicara, ia berduasta. Dan yang terakhir, ketika ia dipercaya, maka ia berhianat. 
Untuk golongan yang terakhir ini, tempat kembali mereka di akhirat kelak, sama dengan kelompok yang kedua, yaitu neraka, karena kalau ditinjau dari segi keimanan, mereka masih termasuk orang-orang kafir. Firman Allah, “(bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan ketika ia berkata pada manusia “kifirlah kamu!” kemudian ketika manusia itu menjadi kafir ia berkata, “sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”. Maka kesudahan bagi keduanya, bahwa keduanya masuk ke dalam neraka, kekal di dalamnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang dzolim” (Al-Hasyr: 16-17)
Dari ketiga golongan di atas, jelas, bahwa golongan pertama adalah golongan yang terbaik, golongan yang akan membawa kita kepada kebahagian di dunia dan di akhirat. Tidak ada jalan lain untuk meraih itu semua, selain dengan membuktikan keimanan kita kepada-Nya.
Akhirnya, marilah kita senantiasa berdo’a kepada Allah, mudah-mudahan kita senantiasa dimasukkan ke dalam golongan ini sampai akhir hayat kita. Sehingga, kelak ketika kita menghadap-Nya, kita menghadap dengan jiwa yang tenang, jiwa yang telah dijanjikan dengan syurga.  
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhainya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al-Fajr: 27-30).
Munafik adalah segolongan orang yang berkepribadian sangat lemah dan bimbang. Di antara sifat atau watak orang munafik yang tergambar dalam Al-Qur’an antara lain:
a.       Mereka “lupa” dan menuhankan sesuatu atau seseorang selain Allah swt.,
b.      Dalam berbicara mereka suka berdusta,
c.       Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran,
d.      Orang-orang munafik ialah kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
e.       Mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.
Ciri kepribadian orang munafik yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas berkaitan dengan keyakinan bertauhid.

Berangkat dari teori kepribadian di atas, maka kita dapat membagi kepribadian manusia menjadi dua macam, yaitu:


1.      Kepribadian kemanusiaan (basyariyyah)

Kepribadian kemanusiaan di sini mencakup kepribadian individu dan kepribadian ummah. Kepribadian individu di antaranya melliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan intelektual yang dimiliki masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain. Dalam pandangan Islam, manusia memang mempunyai potensi yang berbeda (al-farq al-fardiyyah) yang meliputi aspek fisik dan psikis. Selanjutnya, kepribadian ummah meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah lainnya, mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat memberikan dampak negatif.


2.      Kepribadian samawi (kewahyuan)

Yaitu, corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam firman Allah sebagai berikut.
  Dan, bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’am : 153)
Itulah beberapa gambaran mengenai psikologi dan kepribadian manusia dalam Al-Qur’an. Tentu gambaran di atas belum sepenuhnya berhasil meng-cover keseluruhan maksud Al-Qur’an mengenai manusia dengan segala kepribadiannya yang sangat kompleks. Sebab, begitu luasnya aspek kepribadian manusia sehingga usaha untuk mengungkap hakikat manusia merupakan pekerjaan yang sukar.
Walaupun demikian, paling tidak penjelasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan, yaitu potensi baik dan potensi buruk. Dua potensi ini lantas memilah manusia ke dalam tiga kategori, yaitu mukmin, kafir, dan munafik. Pembinaan kepribadian manusia lewat pendidikan yang baik akan menuntun manusia agar bisa memperkokoh potensi baiknya sehingga ia bisa memaksimalkan tugas utamanya untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi. Sebaliknya, pembinaan kepribadian manusia yang kurang maksimal akan memerosokkan manusia ke dalam derajat yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang.


Dinamika kepribadian ada 3.

1.      Kepribadian amarah
2.      Kepribadian lawwamah
3.      Kepribadian muthmainah

Tipe-tipe kepribadian

1.      Kepribadian Orang Beriman (Mu’minun)
2.      Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)
3.      Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)



DAFTAR PUSTAKA

§  Ramayulis Dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Dan Pemikiran Para Tokohnya , Kalam Mulia,Jakarta: 2009.
§  Shihab, Umar,  Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an,penamadani, Jakarta: 2005.
§  Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 2004
§  Sapuri, Rafy,  Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta: 2008.
§  Syamsul Yusuf, dkk, Teori Kepribadian, Rosda, Bandung: 2008.
§  Jalulddin, Psikologi Agama, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta: 1998.
§  Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”, dalam www.pusakahati. com, 28 Desember 2009.
§  Hikmawati, Fenti, Bimbingan Konseling, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta: 2011.
§  Jalaluddin Al-Mahali, Jalaluddin As-Suyuthy, Tafsir Jalalain, Al-Haromaen Jaya Indonesia, Departemen Agama: 2008.


[1] Jalaluddin Al-Mahali, Jalaluddin As-Suyuthy, Tafsir Jalalain, Al-Haromaen Jaya Indonesia, Departemen Agama: 2008. Hal,. 2-3.
[2] Rafy Sapuri, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2008. Hal, 149.
[3] Syamsul Yusuf, dkk, Teori Kepribadian, Rosda, bandung, 2008, hal,. 4.
[4] Jalalddin, Psikologi Agama, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 1998, hal,. 151.
[5] Rafy Sapuri, Psikologi Islam, Op. Cit, Hal,. 152.
[6] Rafy Sapuri, psikologi Islam, op,cit,. hal. 161.
[7] Ibid, hal,. 165.
[8] Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2011, hal,. 116.
[9] Ibid,. hal. 118.
[10] Ibid,. hal. 120.
[11] Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam bumi Aksara, Jakarta: 2004, hlm. 186.
[12] Rani Anggraeni Dewi,  “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”, dalam www.pusakahati. com, 28 Desember 2009.
[13] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, penamadani, Jakarta: 2005,  hlm. 105-106.

Jejak-Jejak Waliyullah





Al Alimmul Al Allamah Al Arrif Billah KH.Syarwani Abdan Al Banjary,Bangil ( Guru Bangil )

Tulisan ini bertujuan untuk memetakan dan mendeskripsikan kiprah keulamaan dan pemikiran keagamaan Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan (Guru Bangil) sebagai bagian penting dari eksplorasi terhadap khazanah intelektual ulama Banjar, dan dilengkapi pula dengan kajian terhadap riwayat hidup beliau. Karena, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) dan masyarakat Bangil (Jawa Timur) khususnya, nama Guru Bangil tidaklah asing lagi.

Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul).

Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, dicetak, dipublikasikan, dan banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat Banjar, terutama di Martapura dan Bangil.

LATAR BELAKANG

Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran ulama dalam memberi warna kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key people) dalam masyarakatnya tersimpul dalam hadits Nabi Saw: “Ulama adalah pewaris para Nabi”.

Menurut bahasa, ulama merupakan bentul plural dari kata alim, yang berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar, berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa 197 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam ayat tersebut tidak selalu merujuk kepada pengertian khusus yang berarti sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat umum. Karena itu jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok atau sinonim dari apa yang disebut dengan istilah ulil albab, yakni orang-orang yang berakal, mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama dianggap sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman luas akan agama serta memiliki kebijaksanaan (men of understanding and men of wisdom).

Dalam Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali, antara lain mereka yang termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai “orang yang diberi hikmah” (Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil pelajaran” (Yusuf 111), “mereka yang kritis mendengarkan pemikiran orang lain” (Az-Zumar 18), “orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu” (Ali Imran 109), “orang yang mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah” (As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7), dan “orang-orang yang merasa takut kepada Tuhannya”.

Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran) menjuluki kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran keulamaannya semata, tetapi mestinya juga terpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki kehidupan masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami mereka, serta siap menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama ulama kata Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.[1]

Imam Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya kedudukan ulama di tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah lampu Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang ulama lain yang akan menggantikannya. Kesalahan yang dilakukan ulama seperti pecahnya sebuah kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi juga orang-orang yang ikut bersamanya”

Dari kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal namanya bagi masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan) khususnya, adalah Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan. Karenanya, bagi masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, nama Guru Bangil, pendiri Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di daerah kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya, akan tetapi juga di Kota Bangil (Pasuruan).

Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang akrab dipanggil Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil dan sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga dikenal sebagai salah seorang keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.

Kiprah Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan beragama masyarakat merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji. Karena, aktivitas keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset penting bagi masyarakat Banjar dan Bangil khususnya.

PROFIL DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL

A. Kelahiran

Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.

Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud, ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.

Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub

Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. Hasan.

B. Pendidikan

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura. Karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.

Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.

Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif di bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Di samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori. Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.

Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.

Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf. Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.

Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.
Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu. Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”. Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad Amin kutbi.

Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.

Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.

Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas. Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.

C. Keluarga

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.

Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.

Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi

Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra. Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.

H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

D. Wafat

“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga (vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.

Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.

KIPRAH DAN PEMIKIRAN

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.

Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25] namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.

Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu. Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.

Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:

1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.

2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.

3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.

4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).

5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.

6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.

7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.

8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).

9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.

Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.

Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.

Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat.

Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.

Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.

Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian.

Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik.

Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.

Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.

Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.

Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.

Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.

Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.

“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai suatu perkara agama itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi hendaknya di-tanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui tentang urusan agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan”.

Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau menghalalkan tentang sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk mayit serta tawassul. Menurut beliau, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu telah memberikan jalan yang sesat kepada kita.[37] Tulisan ini sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran penulis sendiri tetapi hasil dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.

Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah talqin, bacaan dan doa untuk mayit serta pembahasan tentang tawassul.

1. Talqin

Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin itu adalah bid’ah dhalalah.[38] Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Abu Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu Umamah telah berkata:

“Apabila aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana Rasulullah telah memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah kepada kami, beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga akhirnya”.

Menurut beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai hadits yang dha’if (lemah) karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit, karena itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:

“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin Umir, telah berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan berpalinglah (pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu (sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi kuburnya, ya Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah, Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling (pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).

Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair adalah para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas tidak ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah langsung dari Nabi Saw seperti tertera dalam kaidah.

Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut adalah yang diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam hadits itu terdapat perkataan:

“Maka jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah kuburku, kemudian berdiamlah kamu di samping kuburku sekadar selama waktu disembelih onta dan dibagi-bagikan dagingnya[39], sehingga aku mendapat kesenangan dengan kamu dan supaya aku mengetahui bagaimana menjawab utusan Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).

Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan yang Shahih:

“Adalah Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam atasnya, lalu beliau bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya karena ia sekarang akan ditanya”.


Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, telah pula memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam hadits ini dimaksudkan adalah doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.

Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata bahwa hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.

Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan sekadar memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur,[40] seperti tersebut di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:

Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.


Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan menjelaskan masalah talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan bukanlah perbuatan bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.

Senada dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.

2. Bacaan dan Doa untuk Mayit

Masalah bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan beliau ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal dunia mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang yang meninggal dunia dengan berbagai macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.

Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu Utsman: “Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”

Menurut Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di antara perawinya ada yang kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits tersebut, di antaranya:

Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin karena menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia diantara kamu”.

Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan ayat-ayat Alquran di atas kubur, yaitu:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala yang kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam kitab Fawaid).

Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata Aisyah ra, “Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda: “Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat Imam Muslim).

Dalam membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan beberapa keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali surah al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga dari ulama yang lain seperti, Imam Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan doa untuk mayit ini.

Mengenai masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah ada sejak masa sahabat. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama sahabat-sahabatnya di rumah seorang wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia itu sampai kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil selamatan yang dikerjakan untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bersedekah untuknya setelah ia meninggal dunia.[42]

3. Tawassul

Tawassul adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai dengan ucapan: dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu amal, dengan sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.

Guru Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu tidak ada larangan dalam agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali Dia.

Adapun dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama yang membolehkan tawassul, antara lain:

Hadits yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang yang hidup. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik, ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya (kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.

Dalil tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul kepada Nabi dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah hadits:

“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas, bahwasanya Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata pada Sayyidina Abbas: Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina Abbas …… telah menghadap kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan hubunganku dengan nabi-Mu”.

Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).

Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah wafat, Guru Bangil memberikan contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan ayah dan ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah baik. Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam Abiddunia di dalam kitab Addharra).

Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil yang menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah dan mendatangi kubur Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang bertawassul dengan Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun bertawassul dengan ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan keluarganya, dan dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab Qashidah Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat Islam menurut Guru Bangil untuk tidak meragukan dan tidak pula mengingkari akan bolehnya bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang shaleh).[43]

Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru Bangil berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas. Di mana dalam buku 40 Masalah Agama tersebut, masalah tawassul dalam mendoa dikemukakan secara panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa dengan cara bertawassul.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.

Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta kepada anak cucu beliau.

Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.



Mencari Dunia

politisi-pencari-dunia
Kejujuran memanglah penting. Apalagi saat menghubungkan diri dengan Tuhan.
Karena prasangka baik masyarakat bahwa Mbah Syahid Kemadu memiliki derajat luhur di sisi Allah, maka tiap hari beliau didatangi tamu-tamu yang beristighotsah (minta didoakan) untuk macam-macam hajat. Ada urusan kesehatan, urusan dagang, perjodohan, dan segala hajat hidup lainnya. Yang agak jarang adalah dari jenis mereka yang sedang mencari jabatan. Mungkin mereka jerih sendiri, karena beranggapan Mbah Syahid tak suka diistighotsahi soal jabatan.
Pernah seorang calon kepala desa sowan minta didoakan agar terpilih.
“Niatmu apa?” Mbah Syahid bertanya.
“Saya ingin berjuang, Mbah”, jawab si calur (calon lurah), “saya ingin agar masyarakat desa saya nanti lebih saleh, lebih taat beribadah dan syi’ar agama lebih semarak. Masjid dan madrasah akan saya renovasi. Rutinan Yasin, Tahlil dan Barzanji digiatkan…”, bla bla bla calur berusaha meyakinkan Mbah Syahid bahwa tujuannya mulia dan layak didukung dengan doa yang semantab-mantabnya.
Siapa nyana, Mbah Syahid justru memerah wajahnya, bangkit dari kursi dan masuk ke ruang dalam tanpa berkata apa-apa. Ditunggu seharian, beliau tak keluar-keluar lagi, hingga si calur putus asa dan pulang dengan hati galau.
Agaknya cerita si calur itu lantas beredar dari mulut ke mulut dan pada gilirannya menciutkan nyali kaum pemburu jabatan.
Yang tak banyak didengar orang adalah pengalaman Pak Mastur (bukan nama sebenarnya), seorang calur lainnya. Ketika Mbah Syahid menanyakan niatnya, Pak Mastur menjawab lugu,
“Bengkok lurah di desa saya itu luas sekali, Mbah. Makanya jadi rebutan. Yah… siapa tahu saya berjodoh…”
Mbah Syahid tersenyum bijak,
“Nanti kalau jadi lurah beneran jangan pelit ya! Orang-orang yang lemah itu ditolong. Cari sangu akherat sebanyak-banyaknya”.
Belakangan Pak Mastur menjadi lurah favorit warga desanya.
Di lain kesempatan, seorang politisi partai Islam mampir ke kediaman Mbah Syahid sepulang kampanye. Sang politisi adalah tokoh besar yang dimuliakan orang, bahkan sudah dipanggil kyai pula. Mbah Syahid pun memberikan penghormatan sesuai dengan kedudukannya,
“Habis dari mana ini?”
“Ini lho, Mbah…”, politisi meluncurkan pesonanya yang khas, “…mencari akherat kok sulitnya bukan main…”
Tapi Mbah Syahid tidak kelihatan terkesan.
“Ah, masih lebih sulit mencari dunia kok”, kata beliau. Politisi tercekat. Merasa kalau sudah salah bicara.
“Coba bayangkan susahnya penjual daun”, Mbah Syahid melanjutkan, “pagi-pagi berangkat ke hutan. Memanjat pohon jati. Menyenggeti daun-daunnya. Daun-daun yang jatuh pun melayang sembarangan, sehingga harus berjalan kesana-kemari untuk mengumpulkannya. Ditumpuki, dibawa ke pasar. Sampai di pasar belum tentu laku pula…”
Hingga hampir satu jam sesudah itu, sampai tiba saatnya pamit, politisi tak berani berkata apa-apa lagi.

sumber : http://teronggosong.com/

Keutamaan Membaca Kitab Dalail Khairat


Sultan Awliya Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani qs

Bismillahir Rahmaanir Rahim

Saya selalu membaca Dalail al-Khairat, dan saya telah membacanya selama 70 tahun. Tetapi saat itu masih belum terbuka seperti ketika sekarang ini saya membacanya. Ajaib, semoga Allah senantiasa mensucikan rahasia Hazrat Imam Jazuli (ra), Masya Allah dia bagaikan naga bagi spiritual. Imam Jazuli qs, beliau adalah seseorang yang dibentuk dengan cinta yang luar biasa kepada Nabi Muhammad (saw).


Tetapi lihatlah dizaman ini, manusia kehilangan rasa hormat dan kehilangan rasa cinta kepada Nabi Muhammad (saw), oleh sebab itu mereka terjatuh kedalam berbagai masalah. Jika mereka memiliki rasa hormat dan cinta kepada Nabi (saw) maka berbagai masalah dan penderitaan tak akan pernah menyentuh dan mengenai mereka, baik didunia ini maupun di akhirat kelak.

Rasa Hormat dan Cinta kepada Rasulullah (saw) akan melindungi kalian didunia ini dan di akhirat kelak dan mereka akan dikaruniakan tingkatan spiritual yang tinggi didunia dan di akhirat. Tetapi manusia saat ini telah kehilangan anugerah berharga ini. Mereka lebih memilih membaca Surat Kabar, menonton TV dan Film yang tidak memberikan mereka keuntungan apapun.

Oleh karena itu hari ini banyak manusia mengalami kesedihan dan terjatuh kedalam penderitaan yang luar bisa berat dengan berbagai musibah, sehingga mereka mengatakan lebih baik aku mati, aku sudah tidak tahan hidup untuk merasakan penderitaan yang telah mencapai puncaknya ini. Semoga Allah (swt) tidak menggolongkan kita semua menjadi golongan orang-orang yang seperti ini. Allahu Akbar.

Hikmah dan Rahasia Dalail Khairat tidak pernah terbuka sedemikian besar seperti saat ini ketika aku membacanya. Sungguh ajaib, ajaib. Dan mereka mengira kitab Dalail Khairat ini hanya seperti buku-buku biasa. Hazrat Imam Jazuli (ra) ketika menulis Kitab ini mendapatkan inspirasi Ilahiah, maka lihatlah betapa ajaibnya susunan kalimat didalam Kitab Dalail Khoyrot ini. Oleh karena itu seluruh guru-guru (Masyaikh Naqshbandi) memerintahkan kita untuk membaca kitab Dalail Khoyrot ini.

Maka bacalah Dalail Khairat dan selamatkan dirimu. Lihatlah betapa indahnya Kitab Dalail Khairat, Aman Yaa Rabbi. Kita masih belum dapat melihat keseluruhan hikmah didalamnya. Ketika kita membaca Dalail Khairat kita tidak dapat melihatnya, dan kita tidak mengetahui apakah arti dari setiap kata-katanya. Tetapi mereka yang mengetahuinya mereka sangat menikmatinya dengan berbagai rasa yang sangat indah. Sangat ajaib. Apakah engkau membaca Kitab Dalail Khairat? (Yaa Mawlana).

Bacalah dan perhatikanlah, betapa indah dan ajaibnya kitab ini. Hajjah Aminah qs (almarhumah istri Mawlana Syaikh Nazim qs) telah menulis biografi tentang Hazrat Imam Jazuli (ra) dengan sangat indahnya. Dan tebal buku tersebut yang dikomentari oleh Kara Daud hampir setebal seperti ini (30-40 cm) dalam bahasa Turki. Tetapi sesungguhnya lebih banyak lagi yang termuat didalamnya, Allahu Akbar. Sungguh kita telah membuang banyak waktu kita untuk hal yang sia-sia tanpa menyadarinya.

Kita berlomba-lomba dan berjuang menghabiskan waktu kita untuk sesuatu yang tidak berguna dan sia-sia. Aman Yaa Robbi, Taubat Yaa Robbi. Lihatlah, rahasia ini semua terbuka dibulan Muharram yang Mulia. Ini telah terbuka, telah terbuka. Sungguh aku ingin bertemu seorang suci seperti Hazrat Imam Jazuli (ra) dan berada didalam majelis sucinya, memujinya, takzim kepadanya dengan mendengarkannya. Tetapi bagaimana orang seperti kami ini dapat mencapainya? Manusia seperti saya yang hanya bagaikan sampah didunia ini.

Orang-orang Suci para Wali Allah (Awliya) mereka semua membaca Dalail Khairat. Siapapun yang tidak membaca Dalail Khairat sesungguhnya mereka tidak memiliki cinta, tidak memilki gairah dan semangat yang besar untuk mencintai Nabi (saw) dan tidak sempurna dalam keimanannya. Hati mereka kering, bagaikan seonggok daging kering. Oleh karena itu bacalah Dalail Khairat. Jika seseorang membaca Dalalil Khairat, maka tidak akan ada masalah, kesedihan dan penderitaan yang menimpa dirinya. Ini sebuah kepastian, tidak akan ada masalah berat yang akan menimpa dirinya.

Bagi mereka yang telah mengetahui bagaimana cara membaca Dalail Khairat, maka mereka harus membacanya, dan mereka yang belum mengetahuinya mereka harus mendengarkan di majelisnya bersama-sama.

Wa min Allah at Tawfiq. Fatihah

sumber : Zawiyah Haqqul Mubin

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate