Sistem berfikir
al-Maturidy tidak banyak berbeda dengan al-Asy’ary. Banyak segi
persamaannya, disamping ada sekitar beberapa masalah yang mereka berbeda
pendapat antara lain masalah takdir. Al-Asy’ary tampak lebih dekat
kepada jabariyah, sedangkan al-Maturidy tampak lebih dekat kepada
Qadariyah. Persamaanya, keduanya sama-sama gencar menentang Mu’tazilah
dan membela kepercayaan-kepercayaan yang ada didalam al-Quran.Perbedaan lain
al-Asy’ari bependapat bahwa makrifat kepada Allah adalah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan al-Maturidy berpendapat hal itu diwajibkan
oleh akal fikiran. Sesuatu itu baik atau buruk, diwajibkan oleh syara’
atau dilarangnya. Demikian menurut al-Asyary. Sedangkan menurut
al-Maturidy, sesuatu itu sendiri mempunyai sifat baik dan buruk. Dalam
hal ini al-Maturidy tampak lebih mendekati Mu’tazilah.
Pemikiran kalamnya
Sebagai seorang teolog, pemikiran teologinya tercermin dalam kitab karangannya Kitab al-Tauhid, yang inti pokok nya sebagai berikut:
1. Akal dan Wahyu
Al-Maturidy dalam pemikiran
teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan
diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut
Al-Maturidy, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh
pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak
memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau
menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah
berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh
ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidy tidak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain. Dalam
masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan
buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan
perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal
mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal
terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan
sebagai pembimbing. Al-Maturidy membagi kaitan sesuatu dengan akal pada
tiga macam, yaitu :
a. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui
kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah,
namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan
Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
Al-Maturidy,
bertentangan dengan pendapat al-Asy’ary tetapi sefaham dengan
Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahi kewajiban
manusia berterimaksih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari
keterangan al-Bazdawi berikut: “percaya pada Tuhan dan berterimakasih
kepadaNya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam faham
Mu’tazilah…as-Syaikh Abu Manshur al-Maturidy dalam hal ini sefaham
dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian
dari alim ulama Iraq.
Syaikh Muhammad Abu zahrah dalam bukunya menerangkan:
Sesungguhnya tidak
ada keraguan lagi, keduanya (al-Asyariyah dan al-Maturidiyah) berusaha
menetapkan aqidah-aqidah yang ada didalam al-Quran baik dengan
perbuatan maupun dengan bukti-bukti logika, dan sebenarnya keduanya
membela kepercayaan-kepercayaan al-Quran. Hanya saja salah satu diantara
keduanya memberikan porsi yang berlebihan pada akal fikiran dari pada
lainnya.
Al-Asy’ariyah
berpendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah kewajiban syara’,
sedangkan al-Maturidiyah mengikuti jejak Abu Hanifah yang berpendapat
bahwa hal itu diwajibkan oleh akal fikiran. Al-Asyariyah berpendapat
bahwa sesuatu itu baik, dan tidak dapat diketahui oleh fikiran tanpa
perintah Syari’(pembuat syara’), sedangkan al-Maturidiyah menetapkan
bahwa sesuatu itu baik, dapat diketaui oleh akal juga.
Sekalipun
al-Maturidiyah memberikan porsi akal fikiran lebih banyak dan karena
itu di lebih dekat pendapat-pendapatnya dengan Mu’tazilah, namun bila
diperhatikan ternyata terdapat pula perbedaan-perbedaan. Dalam hal ini
Syaikh Muhammad Abu Zahrah jug menerangkan:
Hal ini
mendekati pendapat Mu’tazilah,akan tetapi ada perbedaan yang cukup
mendasar, yaitu: Mu’tazilah berpendapat bahwa makrifat kepada Allah itu
adalah kewajiban akal fikiran. Sedangkan al-Maturidiyah tidak menetapkan
demikian. Bahkan mereka berpendapat bahwa makrifat kepada Allah itu
adalah mungkin merupakan kewajiban akal fikiran, akan tetapi kewajiban
itu taka akan terjadi kecuali dari yang membuat kewajiban, yaitu Allah.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu Uzbah:” (dikutip dari kitab ushuluddin, al Bazdawi) :
“Dalam pendapat
Mu’tazilah, orang yang berakal, muda-tua tak dapat diberi maaf dalam
soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang berakal mempunyai
kewajiban terhadap Tuhan. Jika sekiranya ia mati tanpa pecaya pada Tuhan
ia mesti diberi hokum. Dalam Maturidiyah anak yang belum balig tidak
mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Manshur al-Maturidy berpendapat
bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal
ini tak terdapat perbedaan antara Maturidiyah dan Mu’tazilah.
Akal, kata
al-Maturidy, mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang baik
dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian
akal juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbaut baik adalah
baik. Dan pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan
larangan.
Akal, kata al-Maturidy
selanjutnya mengetahui bahwa sifat adil dan lurus adalah baik dan bahwa
bersikap tak adil dan tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu akal
memendang mulia terhadap oran g yang adil serta lurus dan memandang
rendah orang yang bersikap tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya
memerintah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi
kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian, menjadi
wajib dengna kemestian akal. (dipetik dari Photocopy T Izutsu, Cambridge University Library MS add fol. 48 r.)
Jelaslah bahwa dalam
pendapat al-Maturidy, akal dapat mengetahui baik dan buruk. Pendapatnya
diatas diterima oleh pengikut-pengikutnya di Samarkand. Adapun
pengikut-pangikutnya di Bukhara, mereka mempunyai faham yang berlainan
sedikit. Perbedaan antara golongan Samarkand dan Bukhara berkisar
sekitar persoalan kewajiban mengenal Tuhan.
Dalam hubungan ini
al-Bayadi mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Hanifah mengetahui Tuhan
adalah wajib walaupn pemberitaan dari Rasul tidak ada. Abu manshur dan
sebagian terbesar dari alim Ulama Iraq, kata al-Bayadi selanjutnya,
berpendapat bahwa ini berarti “wajib menurut akal naluri”. “jika
kewajiban mengetahui dan percaya pada Tuhan berarti kewajiban menganut
kepercayaan itu maka pada umumnya alim ulama tidak sefaham dengan imam
abu Manshur; tetapi jika yang dimaksud adalah asal (ashl) kewajiban, maka umumnya alim ulama berpendapat demikian.(isyarat al-maram min ‘ibarat al-imam[lebih dikenal dengan Isyarat].
Seperti dilihat
sebelumnya, adanya perbedaan faham antara Samarkand dan Bukhara, telah
disinggung pula oleh Abu ‘Uzbah. Al-Maturidy sefaham dengan Mu’tazilah,
berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan kewajiban mengetahui
Tuhan bagi anak. Dalam faham mereka akal itu mampu untuk mengetahui
sebabnya kewajiban.
Dengan demikian akal
menurut faham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat
kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat dari pedapat demikian
ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterimakasih kepada Tuhan,
sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang
pendapat Bukhara.
Pendapat serupa ini juga terdapat dalam uraian al-Bazdawi . dalam member komentar terhadap ayat:
وَلَوْ
أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا
لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آَيَاتِكَ مِنْ قَبْلِ
أَنْ نَذِلَّ وَنَخْزَى(طه: 134)
“jika
sebelumnya mereka kami hancurkan dengan siksaan, mereka akan berkata:
Ya Tuhan, apa sebabnya tak engkau kirimkan seorang Rasul kepada kami,
sehingga kami dapat mengikuti petunjuk-petunjukMu sebelum kami jatuh
dalam keadaan rendah lagi hina”
Ia mengatakan bahwa
menurut ayat ini bahwa kewajiban-kewajiban tidak ada sebelum pengiriman
Rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya
wahyu tidaklah wajib. Kewajiban-kewajiban kata Bazdawi ditentukan hanya
oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu tak dapat diketahui kecuali
melalui wahyu.
Tetapi, sebagian dari
golongan Bukhara berpendapat bahwa akal tak dapat megetahui baik dan
buruk, dan dengan demikian mereka sebenarnya masuk dalam golongan
Asy’ariyah dan bukan dalam aliran Maturidiyah golongan Bukhara.
Sungguhpun demikian
terdapat juga perbedaan paham yang samar-samarsekali mengenai hal ini
antara kedua aliran itu. Pendapat Maturidiyah bukhara bahwa akal dapat
sampai kepada sebab kewajiban mengetahui Tuhan mengandug arti bahwa bagi
meraka akal tidak hanya dapat sampai kepada pengetahuan adanya Tuhan,
tetapi juga kepada sifat terpujinya pengetahuan demikian. Untuk dapat
mengetahui sebab diwajibkannya sesuatu perbuatan orang harus terlebih
dahulumengetahui sifat terpujinya perbuatan itu. Bagi Asy’ariyah akal
dapat sampai hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan tidak lebih dari
itu. Sejajaar dengan pendrian merekabahwa akal dapat mengetahui baik dan
buruk, mereka juga berkeyakinan bahwa akal juga tak dapat mengetahui
sifat baik atau terpujinya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Dari
uraian ini dan uraian sebelumya dapat kita tarik kesimpulan bahwa
Maturidiyah Bukhara member daya yang lebih besar kepada akal daripada
Asy’ariyah.
Berlainan dengan kedua
aliran diatas, Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
akal dapat sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat
terpujinya pengetahuan demikian tetapi juga kepada kewajiban mengetahui
Tuhan. Tetapi akal, dalam pendapat Maturidiyah Samarkand, tidak dapat
mengetahui kewajiban beerbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan
kejahatan. Disisni terdapat perbedaan antara Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand.
Bagi kedua aliran ini,
akal merupakan mujib dalam hal kwajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban
berterima kasih kepadaNya. Tetapi dalam hal kewajiban berbuat baik dan
kewajiban menjauhi kejahatan akal merupakan mujib hanya bagi Mu’tazilah.
Mujib dalam hal ini bagii Maturidiyah Samarkand ialah Tuhan.
Dengan demikian
Maturidiyah samarkand megadakan perbedaan antara sifat terpujinya
mengenai Tuhan dan berterimakasih kepadanya atas nikmat yang di
anugerahkanNya dan sifat terpujinya peerbuatan menjauhi kejahatan.
Dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterimakasih
kepada pemberi nikmat. Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar. Untuk dapat
berterimakasih kepadaNya orang harus mengetahuhi Tuhan. Dalam hal ini
baik dan buruk tak terdapat usur penerima nikmat dan pemberi nikmat.
Dengan demikian akal dalam hal ini akal tidak mempunyai petunjuk yang
kuat untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan tentang
baik dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat
Maturidiyah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami
perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan mengenai baik dan buruk
dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
Kesimpulannya bahwa
Mu’tazilah memberikan daya besar pada akal. Maturidiyah Samarkand
memberikan daya kurang besar dari Maturidiyah Bukhara.
2. Perbuatan Manusia
Menurut pendapat al-Maturidy, kekuasaan dan kehendak mutlak Allah itu diberi batasan-batasan tertentu, yaitu:
a) Adanya kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang ada pada manusia
b) Allah
menjatuhkan hukuman yang tidak berarti dilakukan secara
sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kebebasan manusia dalam
mempergunakan daya yang telah diciptakan Allah pada dirinya, bukan
berdasarkan atas kemutlakan kekuasaan dan kehendakNya.
Perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk
berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat
dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidy mempertemukan antara ikhtiar
manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah
mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas
memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara
qudrat Allah dan ikhtiar manusia. Dalam masalah pemakaian daya ini
Al-Maturidy memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha
(kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk
tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan
kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi
tidak dengan kerelaan-Nya.
3. Sifat Tuhan
Menurut al-Maturidy
Allah bersifat immateri, yang karenanya Ia tidak memiliki sifat-sifat
jasmani (materiil). Ayat-ayat alQuran yang menggambarkan bahwa Allah
(seolah-olah) memiliki sifat jasmani, seperti ayat-ayat mutasyabihat
seperti surat al-fath 10:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan Allah berada diatas tangan mereka”(al-fath: 10)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan kekallah wajah tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan” (Ar-Rahman:27)
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan peetunjuk wahyu kami” (Hud: 37)
Kata-kata seperti
tangan, muka, dan mata yang dinisbatkan kepada Allah dalam alQuran
maksudnya adalah kekuasaan, rahmat dan penguasaan Allah atas makhlukNya.
Allah tidak mempunyai badan sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani
manusia, karena badann tersusun dari substansi dan aksiden. Berbeda
dengan makhluk seperti manusia, berhajat kepada anggota badan, karena
tanpa anggota badan mannusia tentu tidak ada. Sedangkan Allah tanpa
anggota badanpun tetap wujud.
Menurut pandangan
al-Maturidy sifat Allah itu bukanlah sesuatu yang selain dzat. Pendapat
ini pararel dengan pendapat al-Asy’ary yang juga menetapkan sifat bagi
Allah. Hanya saja perbedaanya, al-Asy’ary mengatakan bahwa sifat itu
adalah selain dzat, yang karena Allah mempunyai sifat Qudrat, iradat,
ilm, hayat,dll. Sedang menurut al-Maturidy sifat itu bukanlah sifat yang
berdiri dengan dzat Nya dan pula tidak terpisah dari dzat Nya. Sifat
itu tidak mempunyai wujud atau essensi yang bebas dari dzat, sehingga
dapat dikatakan bahwa terbilangnya sifat itu dapat mendatangkan
pengertian terbilangnya yang Qadim atau ta’addud al-Qudama.
Pendapat kedua
tokoh ini dalam sifat Allah menetapkan adanya sifat bagi Allah dengan
sedikit berbeda nuansa dalam hal menjelaskan hakikat sifat tersebut.
Dengan demikian penapat kedua tokoh ini sama-sama menolak pendapat
Mu’tazilah yang menafikan sifat bagi Allah. Menurut Mu’tazilah, sifat
itu adalah sesuatu yang melekat pada esensi atau dzat, yang karena itu
bisa menimbulkan paham Ta’addud al-Qudama’.
Tetapi nuansa tersebut lebih mendekati kepada Mu’tazilah, bahkan dapat dikatakan sinkron (muttafaq). Karena itu sesungguhnya tidak ada perbedaan diantara umat Islam mengenai bahwa Allah adalah ‘Alim, Qodir, bashar, dll. Perbedaan
yang terjadi hanya dalam soal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah
sesuatu yang bukan dzat dan mempunyai wujud bukan dzat itu. Jelasnya
,bagi al-Maturidy sifat itu adalah bukanlah sesuatu yang berbeda dengan
dzat. Jadi pendapatnya dekat dengan pendapat Mu’tazilah, yang mengatakan
bahwa sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah Asma’ (nama-nama) amrun I’tibary (sesuatu yang dianggap ada). Dengan demikian,
sifat adalah nama yang bisa menunjukkan kepada sebagian dari keadaan
dzat, seperti panjang, pendek, berakal dan sebagainya.
Menurut al-maturidy sifat bukanlah pensifatan (al Washif), dia juga menolak komentar al-Ka’bi, salah seorang tokoh Mu’tazilah, bahwa sifat Allah hanyalah murni sebutan (Qoul) karena Qoul adalah baru (hadits). Sedangkan Allah tidak disifati dengan hadits, ia adalah Qadim.
Seperti
perkataan al-Maturidy yang di kutip oleh Qosim alGhaly (akal mewajibkan
untuk mensifati Allah, meskipun dmikian sifat-sifat Allah itu berbeda
dengan sifat-sifat makhluk dari segi elemen-elemennya. Dan
sifat-sifatnya itu menunjukkan bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat
secara umum tetapi adalah perbuatan otoritas Allah sendiri.
4. Melihat Tuhan
Al-Maturidy
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam
Al-Qur’an, surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat
Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana
beda dengan dunia. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengQiyaskan ru’yatullah di akhirat dengan melihat sesuatu yang berbentuk jisim, mengqiyaskan sesuatu yang berbentuk dengan sesuatu yang tidak berbentuk, dan menurut al-Maturidy hal itu tidak sah.
Al-Maturidy meyakini
bahwa Allah dapat dilihat kelak di akhirat , karena ia mempunyai wujud.
Sungguhpun Allah tidak mempunyai bentuk, tidak diketahui caranya dan
tidak mengambil tempat serta tak terbatas. Kalau terbatas berarti ia
bersifat materi atau jisim, karena jisim adalah nama bagi setiap yang
terbatas.
Al-Maturidy menolak pandapat yang diajukan oleh Mu’tazilah dalam hal menafikan ru’yah. Penolakan ini tercermin dalam penolakannya tentang pandangan al-Ka’bi . al-Ka’bi mengajukan dalil dari ayat alQuran
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِير
“dia tidak akan dapat dilihat mata manusia, tetapi dia mekihat mata manusia. Allah maha indah dan waspada. (QS. Al-An’am :102)
Al-Ka’bi mengartikan Idrak sebagai Ru’yah, yang
berarti Allah maha suci dan bisa dilihat. Pendapat ini ditolak oleh
al-Maturidy dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa arti Idrak ialah
menguasai yang terbatas. Sedangkan Allah adalah maha suci dari sifat
terbatas, karena sifat terbatas itu berarti titik maksimal dan membatasi
yang lebih tinggi. Allah menjadikan bagi segala sesuatu batasan yang
bisa dijangkau. Sedangkan ru’yah tidak meliputi yang terbatas, bahkan
dapat terjadi atas beberapa hal yang tidak dapat diketahui hakikatnya
kecuali dengan mengerti tentang hal ini. Idrak hanyalah berarti
melihat pada batas sesuatu dan dengan batas itulah sesuatu itu dapat
diketahui. Seperti terangnya waktu siang hari, ia dapat dillihat tetapi
terangnya tidak dapat diketahui dengan dzatnya. Karena itu ru’yah tidak
menghendaki jika yang dilihat itu terbatas. Al-Maturidy menguatkan
pendapatnya tentang ru’yah ini dengan mengemukakan dalil hadits Nabi:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَر(رواه البخاري)َ
Melihat dalam hal ini
batas dan luasnya, pada hakikatnya tidak dapat diketahui meskipun secara
lahir apa yang dapat dilihat dapat dikuasai. Ia dapat dilihat secara
yakin.5. Kalam Tuhan
Al-Maturidy membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima
pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi
Al-Maturidy lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk
untuk sebutan Al-Qur’an.
Abu al-Mu’in an Nasafi dalam kitabnya Tahsunah al-Adillah seperti yang terkutip:
“orang-orang
berbeda pendapat dalam masalah kalam Allah, apakah ia Qadim atau Hadits.
Ahli kebenaran berkata: sebenarnya kalam Allah merupakan sifat azali
yang tidka memiliki jenis, huruf maupun suara. Kalam Allah merupak sifat
Allah yang terdapat dalam dzatNya, sifat yang menafikan dari diam dan
bahaya dari sifat kekanak-kanakan, serta dari sifat bisu dan sebagainya.
Allah berefirman dengan sifat tersebut, memerintah,melarang, dan
memberi kabar”.
Mengenai qodimnya
alQuran al-Maturidy mengambil dalil ditantangnya orang-orang arab untuk
menandingi alQuran sebagai kalam Allah dan hujjahnya. Hujjah bahwa
alQuran adalah firman Allah, ada dua segi:
Pertama: terbukti ketidakmampuan orang arab membuat semisal alQuran atau menandinginya.
Kedua :
semua yang dibacakan dari alQuran tidak disampaikan melalui ayat-ayat
kecuali akal dapat menyaksikan keterbatasan memahami hikmah yang
dikandung oleh alQuran. Ini menjadi dalil sebagai kalam dzat yang Maha
Mengetahui yang gaib dan tidak ada sesuatupun yang rahasia bagiNya.
Kesimpulannya alQuran adalah kalam Allah yang tidak baru. Ia adalah
kalam Allah dengan pngertian bahwa ia adalah hakikat kalamNya.
6. Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi
atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak
Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari
hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain:
Tuhan tidak akan
membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut
tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah
dalam kemampuan dan perbuatannya. Hukuman atau ancaman dan janji
terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Memang benar perbuatan
Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-citaannya
maupun dalam peerintah dan larangan-larangannya (taklifi). Tetepi
perbbuatan Tuhan tersebut tidak Karena paksaaan . karena itu tidak bisa
dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan
terhadap irodahNya. Dan sebenarnya perbedaan pendapt al-Maturidy dan
al-Mu’tazilah hanya perbedaan kata-kata (istilah) sekitar penggunaan
kata”wajib” sedang inti persoalannya sama, yaitu bahwa kedua-duanya
mengakui adananya tujuan pada perbuatan Tuhan.
Penjelasan di atas
menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau
buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat
sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak
sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
7. Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul
berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang
berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan
pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah
kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam
hidupnya.
8. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidy
berpendapat iman itu tidak akan hilang karena melakukan dosa besar, dan
Tuhan yang akan mengadili kelak dihari kiamat. Antara iman dan
perbuatan tidak saling mempengaruhi atau menghilangkan, karena iman itu
di dalam Qalb, sedang perbuatan letaknya pada gerakan anggota badan.
Orang mukmin tidak
selamanya di neraka ketika melakukan dosa, itu yang disepakati oleh
jumhur. Al-Maturidy berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.
Dalam hal ini dia berkata: Allah telah menjelaskan dalam alQuran bahwa Dia tidak membalas perbuatan jelek kecuali dengan kejelekan pula.
Firman Allah
(الانعام: 160) وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Tidak diragukan lagi
bahwa orang yang tidak kafir dan tidak menyekutukan Allah dosanya tidak
sama dengan orang yang kafir dan meneyekutukanNya dan Dia menyiksa
mereka selamanya. Jika orang yang beriman melakukan dosa besar disiksa
seperti siksaan kepada orang kafir maka siksaan itu melebihi batas
dosanya. Dan ini bertentangan dengan janji Allah. Sementara Allah tidak
menganiaya hamba dan tidak melanggar janji. Dan menyamakan balasan
terhadap orang kafir dan mukmin yang berbuat dosa adalah menyalahi hukum
Allah. Karena mukmin yang bebuat dosa mempunyai kebaikan dalam dirinya,
yaitu iman. Dan tidak memiliki seburuk-buruk kejelekan, yaitu
kekufuran. Jika Allah mengabadikannya dalam siksaan maka Allah telah
berbuat dholim.
Hal ini karena Tuhan
telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidy, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan
amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau
mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
9. Iman
Dalam masalah iman,
aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi
al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan5. Al-Qur’an surat Al-Hujurat
ayat 14 :
قَالَتِ
الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا
وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab
Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum
beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami
sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa
diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidy mendasarkan pendapatnya
pada surat Al-Baqarah ayat 260 :
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ
أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ
فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْك ثُمَّ اجْعَلْ
عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ
سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah
kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah
berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari
bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang
kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi
Maha bijaksana
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman,
tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah.
Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut
golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu
meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan
rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala
pokok ajaran Islam secara verbal
Al-Maturidy
menjelaskan bahwa iman adalah membenarkan dengan hati, dan ikrar adalah
syarat untuk menjalankan hukum di dunia. Maka dari itulah Iman secara
bahasa dinamakan “at tashdiq”, seperti dalam alQuran di sebutkan tentang berita yang disampaikan oleh saudara-saaudara Yusuf:
وما انت بمؤمن لنا )يوسف : 17 ) kata mu’min tersebut dengan arti : بمصدق
Tetapi pembenaran atas sesuatu yang samar (batiniyah) tidak bisa dijadikan media untuk membuat hukum. Maka dari itu Iqrar diwajibkan sebagai tanda dari tashdiq dan sebagai syarat untuk menjalakan hukum didunia.
10. Kebaikan dan keburukan menurut akal.
Al-Maturidy dan juga
golongan Maturidiyah jug amengakui adanya keburukan objektif(yang
terdapat pada asustu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui
kebaikan dan keburukan itu sebagi sesuatu perbuatan. Seolah-olah
meerekamembagi perbuatan menjadi tiga bagian. Yaitu bagian yang dapat
diketahui kebaikannya dengan akal semata. Sebagian yang tidak dapat
diketahui keburukannya dengan akal semata dana sebagian lagi yang tidak
jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian
terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.
Pendapat
al-Maturidy tidak sesuai dengan pendapat al-asy’ary yang menyatakan
bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan objektif (zati)
melainkan kebaika itu ada (terdapat) karena adanya perintah syara’.
Jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan. Dengan
demikian, ternyata bahwapikiran-pikiran al-maturidy berada di
tengah-tengah pendapat aliran Mu’tazilah dan al-Asy’ary.
Di Indonesia para pengikut al-Maturidi masuk dalam JATMAN (Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabaroh An Nahdliyyah ) dalam wadah organisasi massa Nahdlatul Ulama. Karena
faham kalam Nahdlatul Ulama mengikuti faham teologi al Asy’ariyah dan
al Maturidiyah yang mengambil posisi menengah antara fungsi wahyu dan
kekuatan akal, antara penyerahan segala persoalan kepada Tuhan dan
kemampuan manusia untuk berbuat, mengambil jalan tengah menentukan
criteria imna, kufur, serta mengakui adanya sifat Tuhan.
. ibid
. harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, hlm 87. . Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-madzahib al-Islamiyah fi as-siyasah wa-alaqoid, juz I (Mesir, Dar al-fikr al-Araby,2009) hlm.199 . ibid.hlm. 201. harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, hlm 88. . harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, hlm 89 . ibid, hlm.90 .ibid. harun Nasution, hlm 92 .ibid, hlm93 . ibid. . harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan (UI Press; Jakarta 1986)hlm 94 .ibid . ibid. hlm. 95 . ibid, hlm 95. . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya,(rajawali pers; Jakarta 2010) hlm 273. .K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 263. . ibid K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 263 . Qosim al-Gholy. Abu Manshur al-maturidy, Hayatuhu wa arouhu al-aqdiyyah. Dar al-turky linnasyr. Hlm 135. . Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-madzahib al-Islamiyah fi as-siyasah wa-alaqoid, juz I (Mesir, Dar al-fikr al-Araby,2009) hlm 192 . Abu Manshur al-Maturidy, at-Tawhid (maktabah al-irsyad, Istanbul) hlm 163. . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 269. . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 265. .ibid . A.Hanafi, Pengantar Theology Islam (Djajamurni;Djakarta) hlm 131. . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 269 . Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-madzahib al-Islamiyah fi as-siyasah wa-alaqoid, juz I (Mesir, Dar al-fikr al-Araby,2009) hlm 193 .K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 270 . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 271 . A.Hanafi, Pengantar Theology Islam (Djajamurni;Djakarta) hlm.130. . ibid hlm. 131.
Sumber