Pada jaman Orde Baru dulu, bicara tak bisa terlalu bebas. Apalagi bicara politik. Apalagi kepada kumpulan massa yang besar.
Maka pengajian umum hanya bisa digelar bila ada ijin dari Pemerintah. Sedangkan untuk memperoleh ijin itu prosedurnya panjang dan “menakutkan”. Tak kurang dari 20 tanda tangan harus bisa didapatkan oleh panitia dari pejabat-pejabat yang berwenang di semua tingkatan dan semua sektor pemerintahan, baik sipil maupun militer –yang termasuk didalamnya adalah polisi. Dari RT ke RW ke Lurah ke Polsek ke Koramil ke Camat ke Polres ke Kejaksaan Negeri… dan seterusnya.
Saat pengajian digelar pun selalu ada petugas intelejen dari kepolisian yang menunggui. Petugas itu berwenang penuh membiarkan acara terus berlangsung atau menghentikannya kapan pun ia suka, atas nama stabilitas.
Kyai Bisri Mustofa sudah hadir di arena sebuah pengajian sebagai pembicara yang diundang untuk memberikan mau’idhoh hasanah. Tapi panitia bingung dan susah hati tak keruan karena intel polisi tiba-tiba melarang mereka memberikan panggung kepada Kyai Bisri.
Tampak jelas air mata yang menitik di wajah panitia ketika mewadulkan hal itu kepada beliau. Kyai Bisri malah acuh tak acuh saja.
“Coba tanya polisinya, kalau berdoa saja boleh enggak?” kata beliau.
Panitia menurut dengan hati gundah. Dan tak juga merasa lega ketika polisi meluluskan permintaannya. Jauh-jauh didatangkan, kalau cuma berdoa tanpa ngaji jelas bikin kecewa.
Tapi apa boleh buat, pengajian dilangsungkan tanpa mata acara mau’idhoh hasanah. Dan Kyai Bisri diundang ke panggung untuk langsung memimpin doa.
“Al Faaatihah!” Kyai Bisri memulai seperti lazimnya doa, hadirin membaca dengan hati gundah-gulana. Kyai Bisri pun meneruskan dengan hamdalah, sholawat dan salam, diiringi amin-amin hadirin. Yang kurang lazim adalah bahwa kalimat-kalimat doa selanjutnya tidak lagi pakai bahasa Arab, tapi bahasa daerah.
“Dhuh Gusti Pengeran Kulo, Panjenengan Maha mengetahui. Kami semua berkumpul di tempat ini, mengharap barokah seorang hambaMu yang Kau kasihi. Guru kami. Pengasuh jiwa kami. Ulama pejuang. Pahlawan negeri ini. Yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk membela, menjaga dan membangun bangsanya…
Dhuh Gusti Tuhan kami, Panjenengan Maha Mengetahui. Tak terhitung banyaknya kyai dan santri telah berjuang. Mempersembahkan jiwa-raga demi bangsa dan negara. Berapa banyak diantara mereka telah gugur berkalang tanah? Menjadi korban keganasan penjajah? Meninggalkan kami semua yang sedih dan kehilangan.
Tapi Panjenengan Maha Tahu, Ya Allah, kami tidak menyesal. Kami tidak menyesal mereka tinggalkan. Kami tidak menyesal walaupun saudari-saudari kami menjadi janda. Keponakan-keponakan kami menjadi yatim. Sama sekali. Gugurnya mereka tidak kami sesali. Walaupun itu karena suwuk kebal yang tidak manjur…” (hadirin berusaha menahan tawa)…”Kami menangis bukan karena sedih yang berkepanjangan. Kami menangis penuh kebanggaan. Dan pengharapan akan berkah pahala perjuangan mereka untuk kami semua. Dan Bangsa ini. Bangsa dan Negara yang kami cintai…”
“… Bukalah hati para pemimpin kami. Ingatkan mereka akan cita-cita kemerdekaan. Akan impian bebasnya rakyat dari penindasan. Akn keadilan dan kemakmuran…”
“…Mohon Kau beri petunjuk pula kepada Pak Polisi yang mengawasi pengajian ini…” (tawa hadirin terpaksa meledak)… “Cerdaskanlah akalnya. Lembutkanlah hatinya. Agar mampu membedakan, mana yang mengancam negara, mana yang membangun rakyatnya…”
Demikianlah, doa berlangsung panjang sekali. Malah lebih panjang dari mau’idhoh hasanah yang biasanya. Hadirin beramin-amin sebisanya. Kadang ingat kadang lupa. Karena diaduk-aduk perasaannya oleh kalimat-kalimat doa. Kadang bangkit semangatnya berkobar-kobar. Kadang dibikin terharu sampai mata berkaca-kaca. Kadang tak kuat lagi menahan tawa.
Usai seluruh acara, panitia mengelu-elukan Kyai Bisri dengan sumringah dan riang-gembira. Pak Polisi tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin sedang menitikkan air mata.
sumber: http://teronggosong.com/
sumber: http://teronggosong.com/