Setiap atom menari di darat atau di udara
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan..
Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup. Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas menghormat.
Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju. Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat. Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.
Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.
Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8) masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti, mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.
Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.
Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .
Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru tercinta wafat.
Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya, menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru dunia.
Seperti gelombang di atas putaran kepalaku,
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya
Rumi
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta.
Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama, budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam diri manusia.
Dan Rumi telah menterjemahkan itu semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan membagikan cinta itu kepada makhluknya.
Perlu disampaikan, bahwa penjelasan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di Timur, tapi juga di Barat.
Terlepas dari keberatan sebagian ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.
give your weakness to one who helps
---
berikan kelemahanmu kepada seseorang yang menolongmu
[mawlana rumi] —
---
berikan kelemahanmu kepada seseorang yang menolongmu
[mawlana rumi] —
Wajahmu
-----------
Mungkin kau berencana pergi,
seperti ruh manusia
tinggalkan dunia membawa hampir semua
kemanisan diri bersamanya
Kau pelanai kudamu
Kau benar-benar harus pergi
Ingat kau punya teman disini yang setia
rumput dan langit
Pernahkah kukecewakan dirimu ?
Mungkin kau tengah marah
Tetapi ingatlah malam-malam
yang penuh percakapan,
karya-karya bagus,
melati-melati kuning di pinggir laut
Kerinduan, ujar Jibril
biarlah demikian
Syam-i Tabriz,
Wajahmu adalah apa yang coba diingat-ingat lagi oleh setiap agama
Aku telah mendobrak kedalam kerinduan,
Penuh dengan nestapa yang telah kurasakan sebelumnya
tapi tiada semacam ini
Sang inti penuntun pada cinta
Jiwa membantu sumber ilham
Pegang erat sakit istimewamu ini
Ia juga bisa membawamu pada Tuhan
Tugasku adalah membawa cinta ini
sebagai pelipur untuk mereka yang kangen kamu,
untuk pergi kemanapun kau melangkah
dan menatap lumpur-lumpur
yang terinjak olehmu
muram cahaya mentari,
pucat dinding ini
Cinta menjauh
Cahayanya berubah
Ternyata ku perlu keanggunan
lebih dari yang kupikirkan
(Maulana jalaludin Rumi)
Kegelapan dan Cahaya - Rumi
-------------------------- -----------
Cahaya menjadikan warna-warna nyata:
malam membuat merah, hijau dan kecoklatan sirna dari mata.
Cahaya, oleh kegelapan, diperkenalkan padamu.
Segala yang tak terlihat, oleh lawannya, ditampakkan untukmu.
Allah, ahad tanpa lawan, maka
Bagi-Nya segala sesuatu terlihat,
namun Dia tak akan pernah dilihat.
Dari gelapnya belantara
tempat singa terlihat mata
jadilah jiwa tak terlihat
yang melompat ke dalam cahaya.
(Jalaluddin Rumi, terjemahan R. A. Nicholson. Terjemahan bahasa Indonesia oleh Herry Mardian)
Nama Sejati - Rumi
----------------------
Penghulu umat manusia, Adam: kepadanya Allah
mengajarkan nama-nama seluruhnya; dia
memiliki ribuan ilmu di setiap pembuluh
darahnya.
Pada jiwanya terhimpun pengetahuan mengenai nama
dari segala sesuatu ciptaan sampai akhir zaman:
dari yang telah, sampai yang akan, mewujud.
Tidak ada panggilan yang telah diberikannya kepada
sesuatu kemudian berubah, apa yang disebutnya
cepat tidak akan lalu menjadi lambat.
Siapa yang pada akhirnya menjadi seorang beriman,
telah diketahuinya sejak awal; siapa saja yang
pada akhirnya menjadi seorang yang kufur, sejak
awal jelas belaka baginya.
Apakah telah kau dengar nama dari segala sesuatu dari
dia yang telah diberi ilmu mengenai hal itu;
dengarlah makna terdalam dari rahasia
Dan telah diajarkan kepada Adam, al-asma 'akullaha.... [1]
Bersama kita, nama dari sesuatu adalah tampilan
lahiriahnya; bersama Sang Pencipta nama dari
sesuatu adalah hakikat batiniah sejatinya.
Di mata Musa a.s. nama dari sebatang kayu di tangannya
adalah tongkat; di mata Sang Pencipta namanya
adalah naga.
Pernah disini nama Umar berarti penyembah berhala,
tetapi di alam Alastu nama sebenarnya adalah [2]
Mukmin Sejati.
Nama itu, yang bersama kita baru merupakan
semacam bibit; dalam pandangan Sang Pencipta,
adalah dirimu saat ini, saat sedang membaca ini.
Bibit tersebut adalah suatu bentuk ide ketika sesuatu
belum mewujud, masih sesuatu saat mengada bersama
dengan-Nya; tidak lebih tidak kurang.
Ringkasnya: apa yang merupakan tujuan kita adalah
nama kita yang sejati bersama dengan-Nya. [3]
Dia menganugerahkan nama kepada seorang insan
sesuai dengan keadaan akhirnya; dan bukannya
berdasarkan keadaan sementaranya, saat nama itu
baru merupakan suatu pinjaman.
Demikianlah, karena pandangan Adam melihat dengan
penglihatan Cahaya Murni, jiwa dan makna terdalam
dari semua yang diberi nama nampak jelas baginya.
Karena para malaikat menangkap dalam dirinya cahaya
Ilahiah, mereka bersujud kepadanya dan bergegas
menghormat kepadanya.
Adam seperti inilah yang namanya kurayakan,
jika aku memujinya sampai Hari Kebangkitan,
masih kurang aku menghormatinya.
__________
(Rumi: Matsnavi I no 1234 - 1248, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholoson)
Catatan:
[1] QS [2]: 31.
[2] QS [7]: 172; Persaksian Awal, ketika jiwa-jiwa bersaksi bahwa Rabb mereka adalah Allah.
[3] Seseorang sebagaimana adanya dalam pandangan Sang Pencipta.
----------------------
Penghulu umat manusia, Adam: kepadanya Allah
mengajarkan nama-nama seluruhnya; dia
memiliki ribuan ilmu di setiap pembuluh
darahnya.
Pada jiwanya terhimpun pengetahuan mengenai nama
dari segala sesuatu ciptaan sampai akhir zaman:
dari yang telah, sampai yang akan, mewujud.
Tidak ada panggilan yang telah diberikannya kepada
sesuatu kemudian berubah, apa yang disebutnya
cepat tidak akan lalu menjadi lambat.
Siapa yang pada akhirnya menjadi seorang beriman,
telah diketahuinya sejak awal; siapa saja yang
pada akhirnya menjadi seorang yang kufur, sejak
awal jelas belaka baginya.
Apakah telah kau dengar nama dari segala sesuatu dari
dia yang telah diberi ilmu mengenai hal itu;
dengarlah makna terdalam dari rahasia
Dan telah diajarkan kepada Adam, al-asma 'akullaha.... [1]
Bersama kita, nama dari sesuatu adalah tampilan
lahiriahnya; bersama Sang Pencipta nama dari
sesuatu adalah hakikat batiniah sejatinya.
Di mata Musa a.s. nama dari sebatang kayu di tangannya
adalah tongkat; di mata Sang Pencipta namanya
adalah naga.
Pernah disini nama Umar berarti penyembah berhala,
tetapi di alam Alastu nama sebenarnya adalah [2]
Mukmin Sejati.
Nama itu, yang bersama kita baru merupakan
semacam bibit; dalam pandangan Sang Pencipta,
adalah dirimu saat ini, saat sedang membaca ini.
Bibit tersebut adalah suatu bentuk ide ketika sesuatu
belum mewujud, masih sesuatu saat mengada bersama
dengan-Nya; tidak lebih tidak kurang.
Ringkasnya: apa yang merupakan tujuan kita adalah
nama kita yang sejati bersama dengan-Nya. [3]
Dia menganugerahkan nama kepada seorang insan
sesuai dengan keadaan akhirnya; dan bukannya
berdasarkan keadaan sementaranya, saat nama itu
baru merupakan suatu pinjaman.
Demikianlah, karena pandangan Adam melihat dengan
penglihatan Cahaya Murni, jiwa dan makna terdalam
dari semua yang diberi nama nampak jelas baginya.
Karena para malaikat menangkap dalam dirinya cahaya
Ilahiah, mereka bersujud kepadanya dan bergegas
menghormat kepadanya.
Adam seperti inilah yang namanya kurayakan,
jika aku memujinya sampai Hari Kebangkitan,
masih kurang aku menghormatinya.
__________
(Rumi: Matsnavi I no 1234 - 1248, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholoson)
Catatan:
[1] QS [2]: 31.
[2] QS [7]: 172; Persaksian Awal, ketika jiwa-jiwa bersaksi bahwa Rabb mereka adalah Allah.
[3] Seseorang sebagaimana adanya dalam pandangan Sang Pencipta.