TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

PETUALANGAN JIWA: Sebuah Langkah Awal Dalam Meniti Jalan Cinta Menurut Perspektif ‘Attar dalam Mantiq at-Tayr



By Nanik Y.
------------
PENDAHULUAN

            Jiwa, sebuah kata yang mengandung banyak misteri di dalamnya. Begitu banyak alegori yang melambangkan tentang jiwa, terlebih jiwa manusia, salah satunya adalah ‘Attar, yang menggambarkan jiwa manusia sebagi burung-burung yang melakukan sebuah pencarian menuju sebuah kebenaran sejati.
            Dalam makalah ini, saya mencoba untuk menghubungkan antara perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar dengan kaitannya terhadap Cinta Ilahi. Yang pada dasarnya, perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar tersebut, juga merupakan sebuah proses bagi jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi serta kebenaran yang hakiki.
Tulisan ini terbagi dalam beberapa kerangka bagian, yang tersusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama mengetengahkan sekilas tentang ‘Attar, sang perangkai Mantiq at-Tayr. Bagian kedua memberikan sedikit gambaran mengenai Mantiq at-Tayr  karya ‘Attar. Bagian ketiga mencoba mengungkap sedikit makna yang terkandung dalam proses perjalanan burung-burung, yang terkemas dalam Mantiq at-Tayr. Bagian keempat  mencoba menghubungkan antara alegori karya ‘Attar ini, dengan suatu proses meniti jalan cinta menuju Ilahi.


SEKILAS MENGENAI ‘ATTAR

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, atau yang lebih sering dikenal dengan al-`Attar (yang artinya adalah pembuat minyak wangi dan obat-obatan), ia lahir pada tahun 1120 di Nisyapur, ia juga adalah seorang sufi dan sastrawan besar persia pada sekitar abad ke-12 dan 13 M.  Karyanya, yaitu Mantiq al-Tayr  (Musyawarah Burung) dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam sejarah sastra Islam, serta diterima secara luas di hampir seluruh  belahan dunia.
Selain sebagai seorang sufi yang juga merangkap sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai seorang ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi yang cukup berada, itulah sebabnya, ia lebih dikenal dengan nama ‘Attar. Kisah perjalanan hidupnya berubah dan bermula ketika pada suatu hari, datanglah seorang fakir lanjut usia ke toko minyak wanginya. Melihat seorang fakir yang dikiranya akan mengemis itu, `Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Kemudian, fakir itu menjawab, “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini pun,  tidaklah sulit bagiku! Tetapi, bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Seketika itu pula, fakir lanjut usia tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah menguburkan fakir itu sebagaimana seharusnya, `Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang  melimpah di Nisyapur kepada sanak-saudaranya, sedangkan dia sendiri, tanpa membawa sepeser pun uang,  ia mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf. Beberapa tahun kemudian, ketika usianya mencapai 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya tersebut, namun, sebagai seorang ‘Attar yang berbeda, yaitu, seorang ‘Attar yang pada awalnya hanyalah seorang pemilik toko minyak wangi dan obat-obatan besar, kini juga telah menjadi seorang guru kerohanian yang cukup bernama besar. Kemudian, selain memberikan pelatihan-pelatihan kerohanian serta mendirikan beberapa sekolah, dia juga tetap melanjutkan profesinya sebagai ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi.
            Salah satu kemahiran `Attar yang telah lama dikenal oleh penduduk Nisyapur, adalah kemahirannya bercerita. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita, sehingga secara langsung cerita–cerita tersebut pun  memikat  mereka. Ketika  tokonya  sedang sepi  dengan pelanggan, dia pun
menyempatkan dirinya untuk menulis cerita. Di antara karya-karyanya yang terkenal ialah  Thadkira al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), yang secara lebih lanjutnya akan saya bahas pada bait demi bait kata berikutnya.


MANTIQ AT TAYR    

Salah satu karya terbesar ‘Attar adalah Mantiq at-Tayr, yaitu musyawarah para burung. Di dalamnya, ‘Attar menggambarkan secara simbolik mengenai penapakan jalan kerohanian atau tasawwuf yang dapat ditempuh melalui tujuh lembah, yaitu: lembah pencarian (talab), lembah cinta (`isyq), lembah kearifan (ma`rifah), lembah  kebebasan atau kepuasan hati (istighna), lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (tauhid), lembah ketakjuban (hayrat), serta lembah kefakiran (faqr) dan (fana`).
Namun,  `Attar menganggap bahwasanya jalan-jalan tasawuf yang dimaksud  sebenarnya adalah merupakan jalan cinta, sedangkan ke-tujuh lembah yang dimaksud, tidak lain adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan cinta.  Misalnya, ketika seseorang memasuki lembah pencarian.  Cintalah  yang pada dasarnya mendorong seseorang yang bersangkutan untuk melakukan pencarian. Sedangkan lembah-lembah lainnya adalah merupakan tahapan berikutnya yang sekiranya akan dicapai dalam jalan cinta tersebut.
Mantiq al-Tayr, adalah sebuah alegori sufi yang menceritakan tentang penerbangan para burung dalam proses pencariannya akan sosok seorang raja, yang berada di puncak gunung Qaf, yang mereka sebut sebagai Simurgh.       Dalam pencarian tersebut para burung dipimpin oleh Burung Hud hud. 
            Lembah pertama yang dilalui oleh burung-burung tersebut, adalah lembah pencarian (talab). Di lembah ini, seseorang atau jiwa manusia yang dilambangkan dengan burung-burung, diharuskan untuk memiliki cinta dan harapan, karena dengan kedua hal tersebutlah, seseorang dapat bertindak lebih sabar dalam menghadapi rintangan serta godaan yang dijumpainya. Dalam lembah ini juga, ia harus melepaskan kecintaannya akan dunia dan jasmani. Dengan demikian, ketika ia berhasil melakukannya, ia akan merasakan kerinduan yang amat sangat terhadap-Nya, serta rela mengabdikan diri kepada-Nya. Setelah itu, dengan sendirinya, ia akan berada dalam naungan Cinta,  serta diberikan anugerah dengan menyaksikan cahaya Keagungan Tuhan.
Lembah yang Kedua, yaitu lembah Cinta (isyq). Di sini, `Attar melambangkan cinta sebagai api yang terang, yaitu mata batin yang dapat menembus bentuk-bentuk jasmani dan menyikap rahasia yang terdapat dalam ciptaan. Sedangkan, ‘Attar melambangkan pikiran (akal) sebagai asap yang mengaburkannya. Sehingga, cinta yang sejati dapat menyingkap apa yang ada di balik asap tersebut.
Berkaitan dengan hubungan antara cinta dan pikiran (akal) ini, Syah Nikmatullah Wali memberikan sumbangsihnya dalam mengartikan bahwa cinta dan pikiran (akal), adalah ibarat dua sayap yang berasal dari satu burung yang sama, yaitu yang disebut dengan jiwa. Ia berkata:

            Akal dipakai  untuk memahami
            Keadaan manusia selaku hamba-Nya
            Cinta untuk mencapai kesaksian
            Bahwa  Tuhan itu Satu[1]

Di lembah Cinta ini, ada begitu banyak cobaan serta ujian, yang dapat menyesatkan seseorang. Hanya petunjuk Tuhan lah, yang dapat menyelamatkannya dari bahaya. Namun, petunjuk tersebut hanya akan datang berdasarkan ikhtiyar dan doa yang dipanjatkan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain. Seperti halnya yang terdapat dalam kisah Syekh San’an dan gadis yunani yang beragama nasrani.
Lembah Ketiga, yaitu lembah kearifan (ma’rifah). Kearifan adalah sebuah pengetahuan yang berisi tentang Zat Yang Abadi, dengan demikian, ia akan selalu terjaga kesadarannya tentang Tuhan Yang Satu. Dengan adanya kearifan, seseorang akan dapat selalu terjaga dari adanya tipu muslihat, serta waspada terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya.
Seseorang yang telah berhasil mencapai makrifat, akan menerima cahaya sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya, serta akan mengenal kebenaran Ilahi. Orang yang telah mengenal hakekat segala sesuatu, akan memandang dunia  melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, serta tidak lagi terpaku pada  sesuatu yang tidak berguna, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya terhadap yang Hakiki.
Lembah Keempat, yaitu lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna). Di lembah ini, tidak ada lagi nafsu dan keinginan-keinginan pribadi maupun duniawi yang dapat memenuhi jiwa seseorang, karena pandangannya telah tercerahkan oleh kehadiran Ilahi.  Di sini, seseorang telah merasa tercukupi dengan adanya rahmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk  mencapai tingkat ini, seseorang harus mengganti segala keraguan yang ada dengan keteguhan iman (haqq al-yaqin).
Lembah Kelima, yaitu lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah  (Tauhid). Di lembah ini, seseorang menyadari bahwa sebenarnya hakekat wujud yang beraneka ragam itu sebenarnya satu, yaitu manifestasi Cinta Yang Satu, rahman dan rahim-Nya. Dan, segala sesuatu yang kelihatannya berbeda, terlihat bahwasanya semuanya berasal dari hakekat yang sama. Meskipun, pada awalnya ia melupakan segalanya, namun selanjutnya, ia akan menyadari bahwasanya ia selalu bersama dengan Tuhan Yang Esa.


Ralph Waldo Emerson, dalam The Celestial Love, menyatakan:

Hendaknya engkau meratapi cinta;
Di dalam bayangan, yang darinya semuanya terbentuk
Ke dalam satu bentuk, kemudian semuanya melebur……
Membimbing dunia dengan ikatan dan persyaratan;
Dimana hal-hal yang tidak sama menjadi serupa;
Di mana kebaikan dan keburukan,
Pekik kegembiraan dan rintih kesedihan,
Melebur menjadi satu.[2]

Lembah Keenam, yaitu lembah ketakjuban (Hayrat). Di lembah ini, kita akan tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang amat sagat,  yang karenanya, seolah-olah kita berada dalam suatu kebingungan.  Siang seakan menjadi malam, dan  malam seakan menjadi siang. Kesusahan dan kebahagiaan seakan sulit untuk dibedakan. Dan segala sesuatunya menjadi semakin tak jelas batasannya.
Lembah Ketujuh, yaitu lembah kefakiran (Faqir) dan (Fana). Faqir, adalah suatu kesadaran bahwasanya dia tidaklah memiliki sesuatu apapun kecuali cinta kepada-Nya.   Namun demikian, hal ini tidaklah mengindikasikan bahwasanya seorang faqir sama sekali tidak memperdulikan segala seuatu selain-Nya, melainkan, ia menandang segala sesuatunya dengan tetap merujuk kepada-Nya. Dengan adanya kefakiran,  seseorang mampu memaknai setiap kejadian yang terjadi dalam kehudupannya, dengan tidak hanya terpaku pada makna formal semata.
Dalam akhir kisah pencarian ini, ‘Attar menuliskannya sebagai berikut:         “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf  kau  mula-mula akan dicampakkan  ke dalam lembah kehinaan, kemudian baru kau akan diangkatnya  ke  puncak gunung  kemuliaan”.


MAKNA DI BALIK MANTIQ AT-TAYR

Mantiq at-tayr, merupakan sebuah perumpamaan yang menggambarkan dan menceritakan keadaan rohani dan pengalaman mistik seorang sufi, yang juga adalah sebuah proses pencarian dalam menempuh jalan tasawuf. Burung-burung, yang melakukan perjalanannya dalam mantiq at-tayr tersebut, adalah menggambarkan jiwa manusia yang merindu akan Tuhannya serta akan hakikat dirinya yang hakiki. Yang pada dasarnya, jiwa yang bersangkutan itu mampu untuk terbang mengembara menuju alam lain di luar tubuh dan fikiran manusia itu sendiri, seperti halnya burung yang dapat terbang melalui kedua sayapnya.
Menurut para sufi, jiwa manusia adalah bagaikan seekor burung yang memiliki dua sayap, yaitu akal dan cinta (kalbu). Yang pada dasarnya, jika jiwa-jiwa itu merindukan Tuhan dan hakikat dirinya sendiri, dengan sendirinya, ia akan melakukan sebuah perjalanan penerbangan dengan akal dan cinta (kalbu) yang dimilikinya.
Sedangkan burung-burung lain yang juga melakukan perjalanan tersebut, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis burung yang berbeda-beda, juga mencerminkan hakikat-hakikat manusia yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pula. Yang pada dasarnya, hal-hal tersebut seringkali mempengaruhi manusia itu sendiri dalam melakukan perjalanan menuju kebenaran yang hakiki.
Burung Hud hud, yang memimpin perjalanan kerohanian tersebut, adalah melambangkan atau menggambarkan sebuah jiwa manusia yang uncommon, yaitu seorang guru kerohanian atau sufi, yang pada dasarnya telah mencapai tingkatan makrifat yang tinggi.
Simurgh, yang menjadi obyek pencarian dalam perjalanan tersebut, adalah melambangkan hakikat diri manusia itu sendiri, yang juga melambangkan hakikat kebenaran tertinggi. Sebagaimana diceritakan dalam mantiq at tayr tersebut, Simurgh berada di puncak gunung yang tinggi, seperti halnya  hakikat diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki posisi yang tertinggi.  Dalam kisah Mantiq al-Tayr tersebut, jumlah burung yang berhasil menjumpai Simurgh berjumlah tiga puluh ekor. Si-murgh, dalam bahasa Persia berarti tiga puluh. Dengan demikian, kisah pencarian para burung ini adalah merupakan kisah penerbangan jiwa-jiwa manusia dalam mencari hakikat dirinya sendiri.
Bukit Qaf, adalah melambangkan suatu pengalaman atau pencapaian tingkat kerohanian yang tertinggi. Dalam sastra sufi, bukit digunakan untuk melambangkan pertemuan antara manusia dengan Tuhan, serta dengan hakikat dirinya sendiri.
Tujuh lembah, adalah melambangkan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi. Pada tiap lembah atau tahapan perjalanan yang ditempuh, ada banyak tantangan serta pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh para jiwa yang melakukan perjalanan kerohanian tersebut. Dan, pada setiap lembahnya, jiwa-jiwa manusia itu akan mengalami pengalaman-pengalaman yang berbeda.
Berkaitan dengan lembah terakhir  yang dilalui oleh jiwa manusia tersebut, `Attar menuliskan sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh
Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu
Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru
Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar
Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau
Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka
            Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka
            Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya
            Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia
            Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh
            Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka
            Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.
            Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung
            Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu
            Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh[3]

           

MENITI JALAN CINTA MENUJU ILAHI

Dalam sedikit ulasan mengenai Mantiq at-Tayr di atas, ‘Attar menyarankan agar, dalam kehidupan, manusia hendaknya menempuh jalan cinta. Karena cinta, adalah penawar bagi segala kesedihan, dan merupakan obat dalam dua dunia. Selain itu, cinta juga adalah merupakan penghubung antara kita dan Tuhan kita. Dan ternyata, pengalaman cinta juga dapat membantu kita agar dapat mengenal obyek yang kita cintai dengan lebih mendalam.
Sebelum memulai proses penitian jalan cinta ini, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui tentang konsep dari cinta, serta pembagian-pembagian cinta itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
Ø      Cinta Ilahi.
Rahmat atau cinta Tuhan terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Rahmat atau cinta esensial (rahman), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya, tanpa mengenal ras, bangsa, maupun agama.
2.      Rahmat atau cinta wajib (rahim), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang hanya dilimpahkan-Nya kepada orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya.
Ø      Cinta Mistikal atau Kesufian atau (cinta pada manusia), terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Cinta mistikal atau rohani, yaitu, cinta yang ditujukan kepada Tuhan. Cinta ini,  mampu membawa seorang pencinta kepada penglihatan batin yang peka, sehingga mampu menembus bentuk forma kehidupan, untuk menuju kepada yang hakiki, termasuk hakikat ke-Tuhan-an. Cinta semacam inilah, yang mampu mengepakkan sayap jiwa untuk terbang menuju Hakikat Yang Tertinggi.
2.      Cinta alami atau kodrati, yaitu, cinta yang ditujukan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Cinta ini, dapat dijadikan sebagai jalan dalam mendaki cinta mistikal atau rohani. Dalam al-Qur’an, cinta alami atau kodrati ini adalah merupakan konsep amar ma’ruf nahi munkar, atau disebut juga dengan solidaritas sosial yang bertujuan untuk membentuk lingkungan masyarakat yang diridhoi oleh Tuhan[4].
Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam cinta, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba Tuhan, juga merupakan utusan Tuhan di bumi.
Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan lebih mendalam akan Tuhan.
Salah satu ciri dari cinta sejati  dalam makna penglihatan batin, adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata batinnya. Berkaitan dengan ini, `Attar  menyatakan demikian:

            Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
            Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
            Dari kungkungan sangkarnya  sebelum ajal mereka tiba
            Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
            Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
            Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
            Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
            Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung[5]

Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta  memberikan dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat menghantarkan seseorang terhadap pengenalan hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi  berpendapat bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya menuju Yang Esa,  Rumi menulis sebagai berikut:

            Inilah Cinta: Terbang tinggi melesat  ke langit
            Setiap saaat ratusan hijab tercabik
            Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd)
            Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki

            Dalam cinta, dunia dan benda telah raib
            Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi

            Kataku, ”Moga bahagia kau, o Jiwa!
            Bertandang riang ke negeri para pencinta

            Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata
            Merasakan  alangkah lezatnya gairah dalam dada!
            Katakan, o Jiwa, dari mana nafas ini datang
            Katakan pula o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut![6]

Menurut Musliuddin Sa’di Shirazi (571 H), dalam mencintai Tuhan, kualitas cinta manusia diukur berdasarkan tingkat kedekatannya terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Cinta adalah sebuah kesetiaan yang luar biasa. Lebih lanjutnya, Sa’di menyatakan:

Orang yang menginginkan keselamatan hidupnya hendaknya tidak memasuki jalan cinta, karena berpikir tentang keselamatan seringkali membelokkan hati dari ketaatan terhadap yang dicintainya. Menjadi budak bagi diri sendiri dapat mengalihkan cinta kepada cara berpikir  yang menyesatkan. Seorang pecinta sejati, sekalipun tidak pernah memperoleh kasih sayang yang sesungguhnya, tanpa disadari ia akan mati ketika sedang berusaha meraihnya. Apabila engkau seorang pecinta, kejarlah Kekasihmu, perolehlah apa yang dapat diperoleh, yakni kebahagiaan, atau engkau akan menjumpai kematian di pintu gerbang kerinduan.[7]

Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.  Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.
Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang lainnya.  Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan. Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.
            Berkaitan dengan ini, Rumi menuliskan, dalam syairnya yang berjudul Cinta dan Tindakan Batin, sebagi berikut:

Seperti halnya kekuasaan memberi keterangan tentang cinta
Yang membuat kau menyimpulkan adanuya cinta begitulah, jika cahaya Tuhan mencapai indera
Kau tak akan menjadi hamba dari sebab ataupun akibat

Cinta akan memancarkan kilatan cahaya dalam hati
Dan membuat orang yang tercerahkan bebas dari akibat
Dia tak memerlukan lagi alamat atau isyarat cinta
Karena cinta telah mwemancarkan kilauan sinarnya kelangit kalbu[8]



KESIMPULAN

          Dari sedikit pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.
Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengelaman-pengalaman yang dialami itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.
          Dengan demikian, begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Hadi W.M, Abdul. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah
Seni dan Sastra Islam (6).  

Hadi W.M, Abdul. Cinta  Ilahi  dalam  Tasawwuf   Menurut  Fariduddin ‘Attar  dalam
‘Mantiq at-Tayr”. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam.

Hadi W.M, Abdul. Puisi-puisi Sufi Arab. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (5).

Hadi W.M, Abdul. Rumi  dan Relevansi  Sastra Sufi. Mata  Kuliah  Seni  dan  Sastra
Islam. Jakarta: 2005

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi  Islam atas Dunia  Intelektual  Barat (Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam). Risalah Gusti. Surabaya: 2003.

Hadi W.M, Abdul. Lagu seruling rumi. Matahari. Yogyakarta: 2004.

Dari internet




[1] Abdul Hadi W.M. Cinta Ilahi dalam Tasawwuf Menurut Fariduddin ‘Attar dalam ‘Mantiq at-Tayr”.  Mata  Kuliah Seni dan Sastra Islam. Hal, 2.
[2] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya: 2003. Hal, 135.
[3] Abdul Hadi W.M. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (6).  Hal 19
[4] Op. Cit.
[5] Op. Cit.
[6] Abdul Hadi W.M. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam. Jakarta: 2005.
[7] Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya. 2003.  Hal. 119.
[8] Abdul Hadi. Lagu Seruling Rumi. Yogyakarta: 2004. Hal, 37.


Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 4)





بسم الله الرحمن الر حيم



4.   Mahabbah dan Ma’rifat

Cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli tasawuf, termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridha), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridha mewakili ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintai; syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih; dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang sufi akan langsung mencapai ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan dapat menyatu dengan-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 74).


Ajaran cinta yang dikembangkan Rabi’ah merupakan pengembangan dari konsep yang diajarkan Hasan al-Bashri, dimana Hasan al-Bashri semula membawa ajaran khauf dan raja’, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Rabi’ah, yaitu ke suatu tingkat mahabbah. Hasan al-Bashri dalam mengabdi kepada Allah karena didasari rasa takut kepada neraka dan harapan akan surga. Namun Rabi’ah jauh dari kedua hal itu. Ia mencintai Allah bukan karena takut neraka, dan tidak juga mengharap surga, namun ia mencintai Allah karena Allah semata:


”Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalam neraka-Mu. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka campakkanlah aku dari dalam surga-Mu, tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.” (Syamsun Ni’am, 2001: 76)

’Aththar menyebutkan bahwa di antara ucapan-ucapan Rabi’ah tentang demikian mendalamnya cinta kepada Allah, yaitu pada suatu hari Rabi’ah ditanya, ”Apakah engkau sangat mencintai Allah Yang Maha Agung?” Rabi’ah menjawab, ”Ya aku sangat mencintai-Nya.” Lalu ia ditanya, ”Apakah engkau sangat membenci syetan sebagai musuhmu?”, Rabi’ah menjawab, ”Cintakku kepada Allah tidak menyisakan ruang di hatiku untuk membenci syetan.” Kemudian Rabi’ah melanjutkan perkataannya ”Pada suatu hari aku bermimpi bertemu Nabi Muhammad saw, dan beliau bertanya padaku, ”Wahai Rabi’ah, apakah engkau mencintaiku?” Aku berkata, ”Wahai Rasul, siapakah yang tidak mencintaimu. Tetapi cintaku kepada Allah begitu besar, hingga tidak menyisakan tempat untuk mencintai dan membenci apapun lagi.” (Margaret Smith, 2001: 113)


Dengan cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dan hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah tanpa hijab. Dengan mata yang telah dipenuhi oleh ma’rifat, para sufi akan mampu menatap penyaksian itu, dan memandang-Nya dengan asyik terpesona dalam penyatuan dengan Yang Suci. Itulah tujuan akhir dari pencarian atau pengembaraan jiwa, akhir dari jalur, tercapai sudah, tidak dengan penghancuran, tetapi kekhusyukan dan perubahan, sehingga jiwa akan diubah ke dalam penyaksian suci, dan menjadi bagian dari Allah itu sendiri, di dalam tempat dan kehidupan bersama-Nya untuk selamanya.

Alhamdulillah, semoga bermanfaat,,,

Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 3)




بسم الله الرحمن الر حيم

3.   Fakir dan zuhud

Kefakiran adalah dianggap maqam penting dalam kajian tasawuf. Kemiskinan banyak dilakukan oleh para sufi, tetapi disini kemiskinan yang dilakukan hanya demi Allah. Abu Muhammad al-Jurairi berkata: ”Fakir ialah hendaknya kamu tidak mencari sesuatu yang tidak ada pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezeki- rezeki kecuali kamu takut tidak dapat menegakkan kewajiban” (Syamsun Ni’am, 2001: 68).

Spirit kemiskinan pun dicerap oleh dunia sufi, yang begitu diidamkan Rabi’ah, semenjak ia belum menjadi seorang zahid, maupun saat ia belum menyadari maknanya.
`Aththar menceritakan bagaimana Rabi’ah pada suatu kesempatan di dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji dan tiba di Arafah, ia mendengar suara Allah berkata padanya,


”Wahai engkau yang selalu memohon, apa yang engkau inginkan dari-Ku? Jika Aku yang engkau inginkan, maka akan Aku tunjukkan sebuah kilatan kebesaran-Ku (tetapi dengan itu) engkau akan hancur luluh.” Lalu ia menjawab, ”Ya Allah Yang Maha Agung, Rabi’ah tidaklah memiliki arti untuk meraih tingkatan setinggi itu, yang aku inginkan adalah setitik kemiskinan” (Margaret Smith, 2001: 86).

Yang dimaksud kemiskinan di sini adalah menunjukkan suatu keadaan yang benar-benar kehilangan diri sendiri, sangat sulit untuk dicapai, dan tidak akan membimbing pada jalan penyatuan, kecuali apabila benar-benar sempurna, dan bahkan akan menjadikan para sufi itu subjek dari kegelapan malam dalam jiwa sebelum meraih penyatuan. Penyatuan yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang benar-benar berkemampuan meninggalkan semua atribut ’jati diri’ (Margaret Smith, 2001: 87).


Penolakan atau asketisisme (zuhud), dianggap sebagai persamaan sisi dari konsep agung kemiskinan itu. Tahap pertama zuhud ini, bagi kaum sufi, sebagai permulaan dan mewaliki kehidupan penyucian, apabila jiwa telah disucikan dari semua nafsu, dan seorang sufi telah ”suci dari jati diri sendiri bagaikan terpisahnya antara api dengan asap”, maka barulah dimulai perjalanan menuju Allah (Margaret Smith, 2001: 87).

Bersambung...

Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 2)




بسم الله الرحمن الر حيم


2.   Raja’ dan Khauf


Al-Hujwiri manganggap bahwa harapan dan rasa takut yang benar sangat penting bagi manusia di dunia, dan menganggapnya bagaikan dua pilar keimanan. Mereka yang merasa takut, akan beribadat kepada Allah seakan-akan takut terpisahkan dari-Nya, dan bagi mereka yang memiliki harapan, beribadat kepada Allah dengan penuh harap akan dapat menyatu dengan-Nya (Margaret Smith, 2001: 75).


 As-Sarraj menyatakan bahwa harapan dan rasa takut bagaikan dua sayap dimana tanpa keduanya, kerja seorang sufi tidak akan berhasil. Rasa takut adalah seperti sebuah tempat dalam kegelapan, dimana jiwa mengembara, liar, selalu mencari jalan untuk keluar. Dan di saat harapan datang untuk meneranginya, jiwa akan menuju ke suatu tempat yang menyenangkan, dan dengan demikian, rahmat akan dapat diraih. Hati terkadang merupakan budak di dalam kegelapan rasa takut dan terkadang merupakan mahkota dalam terangnya harapan. Cinta, rasa takut, dan harapan terikat bersama-sama menjadi satu. Cinta tidak akan sempurna tanpa rasa takut, rasa takut tidak akan sempurna tanpa harapan, dan harapan pun tidak akan sempurna tanpa rasa takut (Margaret Smith, 2001: 79-80).


Bagi Rabi’ah pada tahap ini dikisahkan, bahwa ia telah menjadi subyek dari rasa takut ini, dan pengaruhnya tampak padanya saat disebutkan neraka. Hal ini disebabkan karena kepercayaannya pada hari pengadilan nanti, yang pasti akan dilalui oleh orang-orang yang berdosa, suatu keputusan dimana ia dalam keadaan yang lebih lemah. Ia merasa takut apabila ia ditakdirkan harus menghadapi masa itu, dan pada suatu saat ia berdo’a bahwa ia tidak akan dihukum di neraka dan terbujuk oleh pemikiran jahat (Syamsun Ni’am, 2001: 67).


Meskipun begitu, kesimpulan dari permasalahan ini adalah bahwa bentuk yang paling agung dari rasa takut ini adalah objek itu sendiri (Allah), bukannya hukuman atau bahkan dosa, tetapi Allah sendirilah yang menjadi objek rasa takut, yaitu rasa takut apabila jiwa itu akan dicabut selamanya dari Keindahan Allah Yang Abadi.

Rabi’ah memiliki alasan bahwa takut akan hukuman atau harapan terhadap penghargaan (pahala) menjadi sama-sama tidak berharga lagi bagi seorang sufi. Dalam suatu peristiwa yang diceritakan oleh Aflaki, tampak Rabi’ah sangat berusaha untuk melepaskan kedua alasan itu, sebagai rintangan-rintangan mencapai tujuan utama seorang sufi. Lagi pula Rabi’ah berpendapat, adalah seorang hamba yang bodoh apabila dalam beribadat kepada Allah selalu dilandasi pemikiran untuk melepaskan diri dari hukuman dan untuk meraih penghargaan (pahala). Baginya hanya Allah saja yang perlu ditakuti dengan penuh ta’zim dikarenakan kesucian-Nya, dan sama bagi dirinya, harapan hanya kepada Allah semata, dalam bayang-bayang keindahan-Nya (Margaret Smith, 2001: 81).


Cukup jelas uraian ajaran Rabi’ah tentang harapan dan rasa takut ini, dimana memiliki hubungan yang sangat erat dengan cinta tanpa pamrih kepada Allah swt.

Bersambung...


Tahapan Mencapai Cinta Ilahi Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah (bagian 1)



بسم الله الرحمن الر حيم

Dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti melalui beberapa tahapan yang harus dilaluinya, tahapan-tahapan tersebut disebut maqamat. Jalan itu sangat berat dan untuk berpindah dari satu maqamat ke maqamat yang lain membutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tidak singkat. Terkadang tak jarang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu maqam. Jalan pendakian tersebut mencakup beberapa maqam, dan Mahabbah adalah maqam tertinggi. Begitu juga dengan Rabi’ah al-Adawiyah, dalam meniti perjalanan dan pengalaman spiritualnya, ia harus melalui beberapa maqam.


Adapun tahapan-tahapan yang dilalui oleh Rabi’ah untuk mencapai maqam mahabbah adalah sebagai berikut:


1.   Tobat, Sabar, dan Syukur

Tobat adalah tahapan pertama dalam menempuh tahapan-tahapan berikutnya. Tobat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Tanpa adanya tobat seseorang tidak dapat menempuh jalan menuju Allah. Tobat adalah bagian terpenting dalam kehidupan manuju Allah.
Al-Juhwiri berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang termasuk dalam tobat: pertama, tobat karena ketidaktaatannya, kedua, memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, ketiga, segera meninggalkan perbuatan dosa itu. Pendapat ini berhubungan dengan konsep pertobatan yang terdapat dalam doktrin sufi, sebagai hukuman pertama atas dosanya, lalu merasakan penyesalan terhadap dosa itu secara mendalam, akhirnya harus membimbingnya untuk memperbaiki keadaan yang semula kotor oleh dosa (Margaret Smith, 2001: 62).
Rabi’ah memiliki pengertian mendalam tentang dosa dan kebutuhan untuk bertobat dan memaafkan, dan para penulis sufi, dalam pembahasan masalah tobat lebih dari sekali menyebutkan ajaran Rabi’ah tentang masalah ini. Di dalam sebuah fragmen yang dikutip oleh Hurayfisy dimana ia melampirkan syair Rabi’ah tentang dua cinta, ia berdo’a:


Wahai kekasih hati, tak ada yang ku miliki selain Diri-Mu,
bagaimanapun, kasihanilah orang-orang berdosa
yang datang pada-Mu.
Wahai harapanku, Ketenanganku, Kebahagiaanku,
Hati ini hanya dapat mencintai-Mu. (Margaret Smith, 2001: 63)

Rabi’ah berkata bahwa Allah adalah Penyejuk di dalam dukanya, dan sebagai Yang Hanya mampu menghapuskan dirinya dari dosa. Kesedihan Rabi’ah atas dosa-dosanya seringkali diulang-ulangnya. Di dalam Siyar ash-Shalihat, penulis riwayat hidup Rabi’ah memberikan gambaran halus tentang kesedihannya yang mendalam karena dosa-dosa, mengatakan:


”Abdullah bin Isa berkata, ’Aku mengunjungi Rabi’ah, tampak seberkas cahaya di wajahnya, dan ia sedang menangis, dan seseorang menceritakan bahwa apabila dikisahkan kepadanya tentang api (menyimbolkan hukuman atas penyesalan yang tidak diterima), ia pingsan, dan aku mendengarkan tetesan air matanya di tanah bagaikan suara tetesan (air) di dalam sebuah bejana.” (Margaret Smith, 2001: 64)

Rabi’ah mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu memisahkan jiwa dengan Yang Dicintai. Keyakinan bahwa dosa adalah penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya akan membimbing pada jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang mendalam. Kondisi semacam ini tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda kesedihan dari luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini tampak pada Rabi’ah dan juga para sufi lainnya sebagai tanda kesalehan, penyesalan terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua ini akan membakar semua kesediahan terus-menerus sehingga tidak ada tempat lagi bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi’ah adalah membangkitkan rasa benci, karena hal itu akan menyebabkan terpisahkan dari Yang Dicintai (Margaret Smith, 2001: 65).

Menurut Rabi’ah tobat merupakan pemberian Allah, bukannya karena usaha dari orang yang berdosa itu – jika Allah menerima tobatmu, maka engkau akan bertobat kepada-Nya – dan pandangan ini sesuai dengan pandangan umum bahwa segala sesuatu yang baik dan sempurna datangnya dari atas, dan hanya dengan takdir Allah jualah untuk menyentuh hati orang berdosa bahwa ia akan menghindari perbuatan buruk dan bertobat (Margaret Smith, 2001: 66).
Kesabaran dihubung-hubungkan oleh para penulis sufi sebagai tahap penting di dalam kemajuankehidupan spiritul, atau mungkin sebagai kualitas penting yang harus dicapai oleh seorang yang suci.


Melalui perjalanan hidup Rabi’ah, dapat dibaca konsep ajarannya tentang sabar dan banyak anekdot yang dikisahkan dalam riwayat hidupnya. Rabi’ah adalah seorang yang memiliki kesabaran luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain pada masanya. Bila kita perhatikan awal hingga akhir, kehidupan Rabi’ah penuh dengan tantangan dan penderitaan, tidak dapat dipungkiri bahwa cobaan ini sangat menyakitkan, namun justru dalam keadaan seperti itulah hatinya mengalami tempaan.


Rabi’ah adalah sosok seorang sufi perempuan yang sangat sabar, dan teguh pendirian dalam menjalani segala cobaan dan rintangan hidup. Rabi’ah pernah berkata: ”Seandainya keutamaan kesabaran itu laksana seorang laki-laki, maka ia akan berjiwa pemurah” (Syamsun Ni’am, 2001: 59).
Bersyukur adalah kualitas pelengkap bagi tahap kesabaran, yaitu suatu sikap atas semua kebaikan Allah terhadap hamba-Nya. Sebagaimana kualitas-kualitas lainnya yang harus dicapai pada tahap-tahap berbeda di dalam jalur mistik, bersyukur terdiri dari elemen-elemen iman, perasaan dan tindak-tanduk. Iman harus sudi menerima bahwa semua kebaikan itu datangnya dari Allah dan itu adalah pemberian cuma-cuma dari-Nya. Semua pemberian itu datangnya dari Allah, dan hal ini haruslah memberikan kebahagiaan kepada sang hamba dan juga menimbulkan sikap kerendahan hati di hadapan Sang Pemberi, bahkan dalam menjalani penderitaan kita pun harus bersyukur. Perasaan bahagia dan kerendahan hati ini akan membimbing pada suatu tindak-tanduk, dan hamba penerima kebaikan itu akan melakukan segala tindakannya sesuai dengan keinginan-Nya dan menghindari semua larangan-Nya (Margaret Smith, 2001: 68-69).

Rabi’ah memiliki iman yang menganggap bahwa semua pemberian berasal dari Allah sebagai Sang Pemberi, dan menganggap bahwa penderitaan dan ketidakberuntungan itu  merupakan secercah kebaikan dan kebahagiaan. Imannya telah membimbing pada suatu kebahagiaan dalam menjalani hukuman dari Allah yang ia anggap sebagai kebaikan-Nya, dan bersikap rendah hati menerima semua yang diberikan-Nya, dan dari sikap ini membimbing pada tindakan beribadat dan bersyukur, dan keinginan yang sangat mendalam untuk memandang Sang Pemberi tersebut, dimana semua pemberian itu mendorong pada keinginan Penyatuan yang mendalam, selamanya, dengan Sang Pemberi itu (Margaret Smith, 2001: 72).


Bersambung...





MAN 'ARAFA - Hamzah Al-Fansuri




“Man ‘arafa nafsahu hadith Nabi
Faqad ‘arafa rabbahu tujuan diri
Setelah sampai mengenali diri
Maka tercapai ketenteraman hati

La ilaha illallah ucapan zahir
Bila mungkir menjadi kafir
Atas hakikat manusia lahir
Cari maknanya dibalik tabir

Wujud Qidam didalam fana
Meng’isbatkan Allah Al Baqa
Sholat da’im besar menafaatnya
Agar tercapai ketenangan jiwa"

__________
Petikan dari Syair Syeikh Hamzah Fansuri

Syair Perahu - Hamzah Al-Fansuri



Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,

membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i'tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu

Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.

Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.

Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.

Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.

Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba'id.

Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.

Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.

La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.

Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.

Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.

Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.

Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu 'azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.

Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na'am, siang dan malam.

Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.

Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.

Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
"yakin akan Allah" nama pawangnya.

"Taharat dan istinja'" nama lantainya,
"kufur dan masiat" air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.

Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
"Allahu Akbar" nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.

"Wallahu a'lam" nama rantaunya,
"iradat Allah" nama bandarnya,
"kudrat Allah" nama labuhannya,
"surga jannat an naim nama negerinya.

Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam'ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.

Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.

Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.

Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
....[1]

Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?

La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.

La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma'rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.

La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da'im dan ka'im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.

La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.

La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma'rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.

La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.

La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.

__________
Sumber: Wikisource

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate