Wasiat

Kyai Abdullah Salam
Kyai Abdullah Salam
Menjelang wafat, Kyai Abdussalam menyuruh orang memanggil putera keduanya, Gus Abdullah, agar menghadap.
“Gus Mahfudh juga?” orang yang disuruh menanyakan putera pertama beliau, apakah perlu dipanggil juga.
Mbah Salam menggeleng,
“Nggak usah. Mahfudh sudah cukup”.
Ketika Gus Abdullah menghadap, Mbah Salam pun hanya bicara singkat saja,
“Kowe ojo golek kepenak”. Kamu jangan mencari kenyamanan.
Kemudian beliau wafat.
Orang bertanya-tanya, mengapa Gus Mahfudh tidak mendapat wasiat seperti adiknya. Apakah berarti Gus Mahfudh boleh mencari kenyamanan? Atau dianggap benar-benar sudah tahu bahwa kenyamanan tak boleh dicari?
Belakangan baru dipahami kewaskitaan Mbah Salam. Kyai Mahfudh, sang putera sulung, mengangkat senjata menghadapi NICA dan gugur dalam sebuah pertempuran di Salatiga. Hingga kini tak diketahui dimana kuburnya. Seorang putera beliau, Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdussalam, pun harus menghabiskan seluruh hidupnya dalam tungkus-lumus yang jauh dari nyaman dalam khidmah kepada Nahdlatul Ulama, hingga akhir hayatnya.
Adapun sang putera kedua, Kyai Abdullah Salam, mati-matian menggigit wasiat ayahnya itu sekuat geraham. Mbah Dullah tidak mau membangun pondok demi memblokir keinginginan mendapatkan santri. Jangan dikata mengambil santri untuk menjadi khadam rumah tangganya, itu pantangan!
“Jangan sekali-kali kamu membiayai santri seolah-olah kamu dermawan, tapi mengambil manfaat tenaganya kamu pekerjakan di rumahmu”, Mbah Dullah mewanti-wanti keponakannya, Kyai Mu’adz Thohir, “itu nista!”
Kyai Mu’adz cuma bisa melongo. Teringat betapa kaprahnya kyai dimana-mana mengambil khadam dari antara santri-santrinya.
“Daripada begitu, masih mendingan kau suruh nyaimu jualan nasi!” Mbah Dullah melanjutkan wanti-wantinya.
“Jualan nasi, maksudnya gimana, Pakdhe?” Kyai Mu’adz tak paham.
“Lha nyai terima kos-kosan makan santri-santri itu ‘kan jualan nasi namanya!”

sumber: http://teronggosong.com/

No comments:

Post a Comment