Siapa yang kenal Mbah Jauhari Pamotan? Di Rembang dan sekitarnya, beliau tidak termasuk kyai yang masyhur. Menghabiskan umur untuk menunggui beberapa gelintir santri di pesantren kecilnya dan menyabari madrasah diniyyah yang gara-gara kejahatan sisdiknas murid-muridnya jadi cenderung malas masuk. Tak terlalu sering beliau diundang ke pengajian-pengajian umum. Itu pun biasanya hanya diminta memimpin tahlil dan doa, bukannya ceramah.
Walaupun akrab dengan ayahku, beliau tidak masuk dalam orbit kehidupan rutinku yang cenderung kosmopolit. Hanya kadang-kadang saja kami bertemu di tempat pengajian atau hajatan. Begitu renggangnya jarak pergaulan — dan kebangetan malasku akan silaturrahmi — sampai-sampai nama beliau saja timbul-tenggelam di ingatanku.
Pagi tadi tiba-tiba beliau muncul di ruang tamuku. Bahwa aku menyambutnya dengansemanak, itu soal latihan. Tapi hatiku kurang terlibat karena hubungan yang kurang akrab.
“Paling-paling mau ngundang pengajian”, pikirku.
Tapi dugaanku salah. Setelah berulang kali — nyaris seperti budak mohon ampun kepada tuannya — minta maaf karena telah mengganggu waktu istirahatku, beliau malah menceritakan kisah hidupnya sendiri.
“Dulu saya pernah mengerahkan modal habis-habisan untuk beternak ayam”, katanya, “lalu saya sowan Mbah Dullah Salam — Kyai Abdullah Salam Kajen — untuk mohon pangestu…”, beliau membuat jeda sesaat, “…tapi salah saya, waktu itu saya maturdengan hati yang mengandung kemaki (puas diri, besar kepala)… yah… namanya kemaki itu memang tidak baik ya…”
“Mohon pangestu, Mbah”, beliau mengisahkan ungkapannya saat bertemu Mbah Dullah, “saya ini sedang mulai beternak ayam. Itu kan pekerjaan yang enak, Mbah. Tak perlu berdandan rapi. Cukup sarungan gedodar-gedodor sambil mengajar santri-santri, sudah bisa dilakoni”.
Di hadapan Mbah Dullah ada sebotol kecil minyak angin yang kemudian diraih oleh empunya dan diendus-enduskan ke hidung sambil dihisap dalam-dalam beberapa kali.
“Yah… baguslah itu…”, kata Mbah Dullah, “Tapi gimana ya, ‘Ri… anak-anak kecil begitu nggak ada bapak-ibunya kok rasanya kasihan juga ya…”
Mbah Jauhari kurang mengerti maksud kata-kata Mbah Dullah dan kurang memperhatikannya.
Baru belakangan beliau menyadari ketika ayam-ayamnya tumpas oleh penyakit. Beliau bangkrut hingga harus menjual sawah untuk menutup hutang.
“Rupanya yang dimaksud Mbah Dullah dengan ‘anak-anak kecil’ itu kuthuk-kuthukyang saya tetaskan tanpa babon dan jago…”, Mbah Jauhari menerawang.
Sesudah itu Mbah Jauhari kerja serabutan, dagang ini-itu sehingga harus kerap-kali pergi ke kota-kota besar yang jauh. Tapi pada kesempatan sowan berikutnya, Mbah Dullah memarahinya,
“Tidak usah kelayapan begitu! Di rumah saja nungguin santri. Nanti kan Gusti Allah Sendiri yang mencukupi!”
Mbah Jauhari pun menurut. Menghentikan wira-wiri dan menyabar-nyabarkan diri menunggui santri.
“Yah… alhamdulillah cukup… yah… secukup-cukupnya orang desa…”, katanya, sedikit pun tanpa nada penyesalan.
Kemudian beliau mengijazahkan amalan dari Mbah Hambali Kajen agar santri-santri kerasan dan dari Mbah Manshur Lasem agar anak-anak dikaruniai futuh ilmu. Hatiku serasa diaduk-aduk rasa haru. Semua yang beliau tuturkan itu menyinari remang jalan yang selama bertahun-tahun ini kurayapi dengan gamang.
Tapi aku cukup berpengalaman dengan kekasih-kekasih Tuhan. Mereka biasanya kurang suka kalau kita terlalu memperlihatkan husnudhdhon kita kepada mereka. Maka aku membiarkan Mbah Jauhari pamit dan melepas kepergiannya dengan biasa-biasa saja.
Yahya Cholil Staquf
Pernah menjadi Juru Bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat ini sebagai Katib Syuriah PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.
No comments:
Post a Comment