Sahabat tokoh
penaklukan ini banyak memegang rahasia-rahasia Nabi. Khalifah Umar bin
Khattab ra. mengangkatnya menjadi pemerinah di Madain. Pada tahun 642 M,
dia berhasil mengalahkan pasukan Persia dalam perang Nahawand, kemudian
dia mengikuti perang penaklukan Jazirah Arab dan akhirnya meninggal di
kota Madain.
“Jika
engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan
jika engkau ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang
Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai. “
Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah kepada
Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika bertemu pertama kali di Mekah. Mengenai
pilihan itu, apakah beliau tergolong Muhajirin atau Anshar ada kisah
tersendiri bagi Hudzaifah.
Al-Yaman,
ayah Hudzaifah, adalah orang Mekah dari Bani Abbas. Karena sebuah utang
darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari Mekah ke Yastrib
(Madinah). Di sana dia meminta perlindungan kepada Bani Abd Asyhal dan
bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani
Abd Asyhal. Ia kemudian menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari
perkawinannya itu, lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka, hilanglah halangan
yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Mekah. Sejak itu dia bebas
pulang pergi antara Mekah dan Madinah. Meski demikian, dia lebih banyak
tinggal dan menetap di Madinah.
Ketika
Islam memancarkan cahanya ke seluruh Jazirah Arab, Al-Yaman termasuk
salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas yang berkeinginan menemui
Rasulullah dan menyatakan keislamannya. Ini semua terjadi sebelum Rasulullah hijrah
ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab,
yaitu garis keturunan bapak (patriach), maka Hudzaifah adalah orang
Mekah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.
Hudzaifah
Ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan
dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah,
sebagai rombongan pertama. Karena itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia
bertemu muka dengan Rasulullah .
Kerinduan Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah memenuhi
setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa
menunggu-nunggu berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan
ciri-ciri beliau. Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin
bertambah cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah.
Pada
suatu hari dia berangkat ke Mekah sengaja hendak menemui Rasulullah.
Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada beliau, “Apakah saya ini
seorang Muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”
Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut Muhajir
engkau memang seorang muhajir dan jika engkau ingin disebut Anshar,
engkau memang orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”
Hudzaifah menjawab, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!”
Setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau
bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap
peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar. Mengapa dia
tidak ikut dalam Perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh
Hudzaifah. Ia berkata, “Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam
peperangan Badar karena saat itu aku dan bapakku sedang pergi keluar
Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir Quraisy
seraya bertanya, “Hendak ke mana kalian?”
Mereka menjawab, “Ke Madinah!”
Mereka bertanya, “Kalian hendak menemui Muhammad?”
“Kami hendak pulang ke rumah kami di Madinah,” jawab kami.
Mereka tidak bersedia membebaskan kami, kecuali dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.
Mereka bertanya, “Kalian hendak menemui Muhammad?”
“Kami hendak pulang ke rumah kami di Madinah,” jawab kami.
Mereka tidak bersedia membebaskan kami, kecuali dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.
Setelah
bertemu dengan Rasulullah , kami menceritakan kepada beliau peristiwa
tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian dengan mereka.
Lalu, kami bertanya kepada beliau tentang apa yang harus kami lakukan.
Rasulullah menjawab, “Batalkan perjanjian itu, dan marilah kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”
Dalam
Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum kafir bersama dengan
ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar.
Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum
muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin.
Berikut kisahnya, pada hari terjadinya Perang Uhud, Rasulullah menugaskan
Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat
para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika
perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada
temannya, “Bagaimana pendapatmu, apalagi yang harus kita tunggu. Umur
kita tinggal seperti lamanya kita menunggu keledai minum dengan puas.
Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik bila
kita ambil pedang, lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu
Rasulullah. Mudah-mudahan Allah memberi kita rezeki menjadi syuhada
bersama-sama dengan nabi-Nya.” Keduanya lalu mengambil pedangnya dan
terjun ke medan pertempuran.
Tsabit bin Waqsy
memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di tangan kaum musyrikin.
Tetapi, Al-Yaman menjadi sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena
mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku …! Itu
bapakku …!” Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya,
sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh pedang teman-temannya sendiri.
Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdoa kepada Allah,
“Semoga Allah Taala mengampuni kalian, Dia Maha Pengasih dari yang
paling pengasih.”
Rasulullah memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Hudzaifah berkata, “Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”
Rasulullah memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Hudzaifah berkata, “Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”
Maka, dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.
Rasulullah menilai dalam pribadi
Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol. Pertama,
cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba
sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat
dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan
berdisplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang
dirahasiakannya.
Sudah
menjadi salah satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap
keistimewaan para sahabatnya dan menyalurkannya sesuai dengan bakat dan
kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni,
menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan
terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum
Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan
muslihat jahat, yang selalu dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan
para sahabat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah mempercayakan
suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, dengan
memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia
yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada
para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan mempercayakan hal
yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor
setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang
mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena
inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan Shaahibu
Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).
Suatu
ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas
yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk
mengatasinya. Karena itulah, beliau memilih orang yang cerdas, tanggap,
dan berdisiplin tinggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan
Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga
mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tidak
tertangguhkan, serta kesulitan-kesulitan yang tidak teratasi. Semakin
hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah.
Bahkan, menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar
terhadap Allah .
Namun
begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menentukan
itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik
tidak lebih baik keadaannya daripada yang dialami kaum muslimin. Karena
murka-Nya, Allah menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan
kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga
menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kuali, dan belanga,
memadamkan api, menyiramkan muka mereka dengan pasir dan menutup mata
dan hidung mereka dengan tanah.
Pada
situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah
yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat
bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Dalam detik-detik seperti
itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk
menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil putusan melalui
musyawarah.
Ketika
itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah Ibnul Yaman untuk
mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka, beliau memutuskan
untuk mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan
malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan dia bercerita, bagaimana
dia melaksanakan tugas maut tersebut.
Hudzaifah
berkata, “Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan
dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin Mekah mengepung kami sebelah
atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah bawah. Yang
kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita dan
anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap malam
yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari sendiri. Angin
bertiup sangat kencang, sehingga desirannya menimbulkan suara bising
yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta
izin pulang kepada Rasulullah, dengan alasan rumah mereka tidak
terkunci. Padahal, sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap
orang yang minta izin pulang diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada
yang dilarang atau ditahan beliau. Semuanya keluar dengan
sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan hanya tinggal 300
orang.
Rasulullah berdiri dan berjalan
memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai di dekatku, aku
sedang meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari
udara dingin yang menusuk-nusuk, selain sehelai sarung butut kepunyaan
istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang
sedang menggigil, seraya bertanya, “siapa ini!”
“Hudzaifah!” jawabku.
“Hudzaifah!” tanya Rasulullah minta kepastian. “Aku merapat ke tanah, sulit berdiri karena sangat lapar dan dingin.”
“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.
“Ada
beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan
sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan
kepadaku segera …!” kata beliau memerintah.
Aku
bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka,
Rasulullah berdoa, “Wahai Allah! lindungilah dia, dari hadapan, dari
belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”
Demi Allah! Sesudah Rasulullah selesai
berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang
menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan
perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau
memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! sekali-kali jangan melakukan
tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali
kepadaku!”
Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”
Lalu,
aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam
kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menyusup ke jantung
pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka.
Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu
Sufyan memberi komando.
Ia
berkata, “Hai, pasukan Quraisy! dengarkan aku berbicara kepada kamu
sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai
terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap
orang yang berada di samping kalian masing-masing!”
Mendengar
ucapan Abu Sufyan, aku segera memegang tangan orang yang di sampingku
seraya bertanya, “Siapa kamu?” Jawabnya, “Aku si Anu, anak si Anu!”
Sesudah
dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan
Quraisy! demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini
lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani
Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita
dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian
sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan
berangkat.”
Selesai
berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan
tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu
Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku
melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada
beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.
Aku
kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang salat
di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku,
didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku
duduk di dekatnya. Lalu, kulaporkan kepada beliau segala kejadian yang
kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah .
Hudzaifah
Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai
orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah
sekalipun yang mencoba mengorek rahasia tetap ia tidak mau
membocorkannya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khathtab r.a. ada orang
muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan
jenazah orang itu ?” Jika mereka menjawab, “Ada,” beliau turut
menyalatkannya.
Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik,”Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?”
Jawab Hudzaifah,”Ada seorang!”
“Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar.
Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”
“Seandainya kautunjukkan, tentu Khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.
Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahui
bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk
Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota
tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman kekuasaan Persia yang
menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai
keseragaman mushhaf Alquran, sesudah kitabullah itu beraneka ragam
coraknya di tangan kaum muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat
takut kepada Allah, dan sangat takut akan siksanya.
Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba,
beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam.
Hudzaifah bertanya kepada mereka,”Pukul berapa sekarang?”
Mereka menjawab, “Sudah dekat Subuh.”
Hudzaifah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.”
Ia bertanya kembali, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?”
Mereka menjawab, “Ada.”
Hudzaifah
berkata, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam
penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih
baik. Dan, jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan
menanggalkan kafan itu dari tubuhku.” Sesudah itu dia berdoa kepada
Allah, “Wahai Allah! sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir
daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka
mati daripada hidup.”
Sesudah
berdoa rohnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah
dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
No comments:
Post a Comment