Abdullah
bin Umar bin Syuraikh, seorang sahabat asal Quraisy ini termasuk
peserta hijrah ke Madinah rombongan pertama. Beliau sampai di Madinah
sebelum kedatangan Rasulullah Shalalahu ‘alaihi Wassalam. Beliau
meninggal dalam perang Qadisiah membawahi sebuah brigade.
‘Abdullah
bin Ummi Maktum, orang mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan
keluarga dengan Rasululah Shalalahu ‘alaihi Wassalam. Yaitu anak paman
Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwanullah ‘Alaiha. Bapaknya
Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar “Umi
Maktum” karena anaknya ‘Abdullah lahir dalam keadaan buta total.
‘Abdullah
bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di
Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu
tidak diragukan lagi dia tidak termasuk kelompok yang pertama-tama masuk
Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung
segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu. Dia turut
menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan kawannya seagama,
berupa penganiayaan dan berbagai macam tindakan kekerasan lainnya.
Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum
menyerah? Tidak……! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan
dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan Kitabullah. Dia
semakin rajin memepelajari syariat Islam dan sering mendatangi majelis
Rasulullah.
Begitu
rajin dia mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal
Al-Qur’an, sehingga setiap waktu senggang selalu disinya, dan setiap
kesempatan yang baik selalu disebutnya. Bahkan dia sangat rewel. Karena
rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari
Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain lain juga.
Pada
masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan
pemimpin-pemimpin Quraisy, mengharapkan semoga mereka masuk Islam. Pada
suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin
Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid
bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid.
Rasulullah
berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau
sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan
terhadap para sahabat beliau.
Sementara
beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi
maktum datang mengganggu minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an.
Kata ‘Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!”
Rasul
yang mulia terlengah memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau
agak acuh kepada interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi ‘Abdullah
dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut.
Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah
bertambah lancar.
Selesai
berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi
tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit
seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau:
“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).
“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).
Enam
belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati
Rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi maktum, yang
senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus
dibaca sampai hari kiamat.
Sejak
hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi
‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk
beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya.
Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa; bukankah
tegoran dari langit itu sangat keras!
Tatkala
tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin
berat dan menjadi jadi, Allah Ta’ala mengizinkan kaum muslimin dan
Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin Ummi maktum bergegas meninggalkan tumpah
darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama sama Mus’ab bin Umar
sahabat-sahabat Rasul yang pertama tama tiba di Madinah, setibanya di
Yatsrib (Madinah), ‘Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan
ayat-ayat Al-Qur’an dan mengajarkan pengajaran Isalam.
Setelah
Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum
serta Bilal bin rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua
bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari semalam, mengajak
orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan.
Apabila Bilal adzan, maka ‘Abdullah qamat. Dan bila ‘Abdullah adzan,
maka Bilal qamat.
Dalam
bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam
membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan ‘Abdullah adzan ketika fajar
menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar
menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk
memuliakan ‘Abdullah bin Ummi maktum, beberapa kali Rasulullah
mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila
meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau
kepada ‘Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota
Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin
Quraisy.
Setelah
perang Badr, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mengangkat derajat
kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan
derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi
berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin
bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah
bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut
karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah!
Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”
Kemudian
dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah
menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat
(udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut
berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendehan hati. Katanya,
“Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang udzur
sepertiku!” Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya.
Zaid
bin Tsabit, sekertaris Rasulullah yang bertugasmenuliskan wahyu
menceritakan, “ku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam,
sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah
merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika
itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda,
“Tulislah, hai Zaid!”
Lalu
aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut
berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…..” (QS. 4
: 95).
Ibnu
Ummi berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bagaimana dengan
orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?”
Selesai
pertanyaan ‘Abdullah, Rasulullah berdiam dan paha beliau menekan
pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah
beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang
telah engkau tulis!”
Aku
membaca , “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut
berperang).” lalu kata beliau. Tulis! “Kecuali bagi orang-orang yang
tidak mampu.” Maka turunlah pengecualian yang diharap harapkan Ibnu Ummi
Maktum.
Meskipun
Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang udzur seperti
dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta
orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat
untuk turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya,
karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang
itu memikul pula pekerjaan besar. Maka karena itu dia sangat gandrung
untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.
Katanya,
“Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan
memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak
akan lari.” Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar bin Khaththab
memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk
menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan
pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. ‘Umar memerintahkan
kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada
seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang
mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan
hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”
Maka
berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi
panggilan Khalifah ‘Umar. Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit
buta, ‘Abdullah bin Ummi maktum. Khalifah ‘Umar mengangkat Sa’ad bin
Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah
memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.
Setelah
pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. ‘Abdullah bin Ummi maktum
memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai
pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa
mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.
Pada
hari ke tiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang
belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan
perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah
direbutnya. Maka pndahlah kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan
kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah
bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
Kemenangan
yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada.
Diantara mereka yang syahid itu terdapat ‘ Abdullah bin Ummi Maktum yang
buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah
syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
No comments:
Post a Comment