Beliau ini
adalah seorang sahabat yang masuk Islam dari sejak dini. Semasa Jahiliah
beliau ini telah melarang minum khamar dan beliau tidak pernah ikut
menyembah berhala oleh sebab itu beliau terkenal orang takwa. Dia selalu
mengajak fakir miskin agar integrasi dengan orang kaya. Beliau ini
mengikuti penaklukan Baitulmakdis bersama khalifah Umar bin Khatab.
Rasulullah pernah bersabda tentang beliau “semoga Allah
memberikan rahmat-Nya kepada Abu Zar, yang hidup menyendiri, mati
menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula”
Meski
tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling
giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan
harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk
harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.
Di
masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan
penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam
banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah
yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim
sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang
miskin.
Kepada
Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar
menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti
Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan
uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah
hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.
Dukungannya
kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada
kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia
tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan
zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji
Rasulullah . Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil
memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang
hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan
Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap
dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.
Abu
Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang
mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang
melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu
dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh
dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu,
jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.
Namun
begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan
batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia
melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun
diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah
sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara
laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.
Di
tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait
dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian
harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun
diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat
Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran
Rasulullah dengan ajaran Islam.
Abu
Dzar segera menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yang sejalan dengan
sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu,
ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih
merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini
menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja
terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah , tidak melerai dan mengingatkan
warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut
balas jika mereka membunuhnya.
Sejak
itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam.
Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan
Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya,
namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk
Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan
harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai
tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum
Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.
Suatu
kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur
perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya.
Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun,
usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel,
Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah
segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar
mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal
di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak
menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta
Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil
di jalur jalan kafilah Irak Madinah.
Di
kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32
Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui
jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini
bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera
berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang
sarjana Islam terkemuka masa itu.
—ooOoo–
No comments:
Post a Comment