TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Mencari Dunia

politisi-pencari-dunia
Kejujuran memanglah penting. Apalagi saat menghubungkan diri dengan Tuhan.
Karena prasangka baik masyarakat bahwa Mbah Syahid Kemadu memiliki derajat luhur di sisi Allah, maka tiap hari beliau didatangi tamu-tamu yang beristighotsah (minta didoakan) untuk macam-macam hajat. Ada urusan kesehatan, urusan dagang, perjodohan, dan segala hajat hidup lainnya. Yang agak jarang adalah dari jenis mereka yang sedang mencari jabatan. Mungkin mereka jerih sendiri, karena beranggapan Mbah Syahid tak suka diistighotsahi soal jabatan.
Pernah seorang calon kepala desa sowan minta didoakan agar terpilih.
“Niatmu apa?” Mbah Syahid bertanya.
“Saya ingin berjuang, Mbah”, jawab si calur (calon lurah), “saya ingin agar masyarakat desa saya nanti lebih saleh, lebih taat beribadah dan syi’ar agama lebih semarak. Masjid dan madrasah akan saya renovasi. Rutinan Yasin, Tahlil dan Barzanji digiatkan…”, bla bla bla calur berusaha meyakinkan Mbah Syahid bahwa tujuannya mulia dan layak didukung dengan doa yang semantab-mantabnya.
Siapa nyana, Mbah Syahid justru memerah wajahnya, bangkit dari kursi dan masuk ke ruang dalam tanpa berkata apa-apa. Ditunggu seharian, beliau tak keluar-keluar lagi, hingga si calur putus asa dan pulang dengan hati galau.
Agaknya cerita si calur itu lantas beredar dari mulut ke mulut dan pada gilirannya menciutkan nyali kaum pemburu jabatan.
Yang tak banyak didengar orang adalah pengalaman Pak Mastur (bukan nama sebenarnya), seorang calur lainnya. Ketika Mbah Syahid menanyakan niatnya, Pak Mastur menjawab lugu,
“Bengkok lurah di desa saya itu luas sekali, Mbah. Makanya jadi rebutan. Yah… siapa tahu saya berjodoh…”
Mbah Syahid tersenyum bijak,
“Nanti kalau jadi lurah beneran jangan pelit ya! Orang-orang yang lemah itu ditolong. Cari sangu akherat sebanyak-banyaknya”.
Belakangan Pak Mastur menjadi lurah favorit warga desanya.
Di lain kesempatan, seorang politisi partai Islam mampir ke kediaman Mbah Syahid sepulang kampanye. Sang politisi adalah tokoh besar yang dimuliakan orang, bahkan sudah dipanggil kyai pula. Mbah Syahid pun memberikan penghormatan sesuai dengan kedudukannya,
“Habis dari mana ini?”
“Ini lho, Mbah…”, politisi meluncurkan pesonanya yang khas, “…mencari akherat kok sulitnya bukan main…”
Tapi Mbah Syahid tidak kelihatan terkesan.
“Ah, masih lebih sulit mencari dunia kok”, kata beliau. Politisi tercekat. Merasa kalau sudah salah bicara.
“Coba bayangkan susahnya penjual daun”, Mbah Syahid melanjutkan, “pagi-pagi berangkat ke hutan. Memanjat pohon jati. Menyenggeti daun-daunnya. Daun-daun yang jatuh pun melayang sembarangan, sehingga harus berjalan kesana-kemari untuk mengumpulkannya. Ditumpuki, dibawa ke pasar. Sampai di pasar belum tentu laku pula…”
Hingga hampir satu jam sesudah itu, sampai tiba saatnya pamit, politisi tak berani berkata apa-apa lagi.

sumber : http://teronggosong.com/

Keutamaan Membaca Kitab Dalail Khairat


Sultan Awliya Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani qs

Bismillahir Rahmaanir Rahim

Saya selalu membaca Dalail al-Khairat, dan saya telah membacanya selama 70 tahun. Tetapi saat itu masih belum terbuka seperti ketika sekarang ini saya membacanya. Ajaib, semoga Allah senantiasa mensucikan rahasia Hazrat Imam Jazuli (ra), Masya Allah dia bagaikan naga bagi spiritual. Imam Jazuli qs, beliau adalah seseorang yang dibentuk dengan cinta yang luar biasa kepada Nabi Muhammad (saw).


Tetapi lihatlah dizaman ini, manusia kehilangan rasa hormat dan kehilangan rasa cinta kepada Nabi Muhammad (saw), oleh sebab itu mereka terjatuh kedalam berbagai masalah. Jika mereka memiliki rasa hormat dan cinta kepada Nabi (saw) maka berbagai masalah dan penderitaan tak akan pernah menyentuh dan mengenai mereka, baik didunia ini maupun di akhirat kelak.

Rasa Hormat dan Cinta kepada Rasulullah (saw) akan melindungi kalian didunia ini dan di akhirat kelak dan mereka akan dikaruniakan tingkatan spiritual yang tinggi didunia dan di akhirat. Tetapi manusia saat ini telah kehilangan anugerah berharga ini. Mereka lebih memilih membaca Surat Kabar, menonton TV dan Film yang tidak memberikan mereka keuntungan apapun.

Oleh karena itu hari ini banyak manusia mengalami kesedihan dan terjatuh kedalam penderitaan yang luar bisa berat dengan berbagai musibah, sehingga mereka mengatakan lebih baik aku mati, aku sudah tidak tahan hidup untuk merasakan penderitaan yang telah mencapai puncaknya ini. Semoga Allah (swt) tidak menggolongkan kita semua menjadi golongan orang-orang yang seperti ini. Allahu Akbar.

Hikmah dan Rahasia Dalail Khairat tidak pernah terbuka sedemikian besar seperti saat ini ketika aku membacanya. Sungguh ajaib, ajaib. Dan mereka mengira kitab Dalail Khairat ini hanya seperti buku-buku biasa. Hazrat Imam Jazuli (ra) ketika menulis Kitab ini mendapatkan inspirasi Ilahiah, maka lihatlah betapa ajaibnya susunan kalimat didalam Kitab Dalail Khoyrot ini. Oleh karena itu seluruh guru-guru (Masyaikh Naqshbandi) memerintahkan kita untuk membaca kitab Dalail Khoyrot ini.

Maka bacalah Dalail Khairat dan selamatkan dirimu. Lihatlah betapa indahnya Kitab Dalail Khairat, Aman Yaa Rabbi. Kita masih belum dapat melihat keseluruhan hikmah didalamnya. Ketika kita membaca Dalail Khairat kita tidak dapat melihatnya, dan kita tidak mengetahui apakah arti dari setiap kata-katanya. Tetapi mereka yang mengetahuinya mereka sangat menikmatinya dengan berbagai rasa yang sangat indah. Sangat ajaib. Apakah engkau membaca Kitab Dalail Khairat? (Yaa Mawlana).

Bacalah dan perhatikanlah, betapa indah dan ajaibnya kitab ini. Hajjah Aminah qs (almarhumah istri Mawlana Syaikh Nazim qs) telah menulis biografi tentang Hazrat Imam Jazuli (ra) dengan sangat indahnya. Dan tebal buku tersebut yang dikomentari oleh Kara Daud hampir setebal seperti ini (30-40 cm) dalam bahasa Turki. Tetapi sesungguhnya lebih banyak lagi yang termuat didalamnya, Allahu Akbar. Sungguh kita telah membuang banyak waktu kita untuk hal yang sia-sia tanpa menyadarinya.

Kita berlomba-lomba dan berjuang menghabiskan waktu kita untuk sesuatu yang tidak berguna dan sia-sia. Aman Yaa Robbi, Taubat Yaa Robbi. Lihatlah, rahasia ini semua terbuka dibulan Muharram yang Mulia. Ini telah terbuka, telah terbuka. Sungguh aku ingin bertemu seorang suci seperti Hazrat Imam Jazuli (ra) dan berada didalam majelis sucinya, memujinya, takzim kepadanya dengan mendengarkannya. Tetapi bagaimana orang seperti kami ini dapat mencapainya? Manusia seperti saya yang hanya bagaikan sampah didunia ini.

Orang-orang Suci para Wali Allah (Awliya) mereka semua membaca Dalail Khairat. Siapapun yang tidak membaca Dalail Khairat sesungguhnya mereka tidak memiliki cinta, tidak memilki gairah dan semangat yang besar untuk mencintai Nabi (saw) dan tidak sempurna dalam keimanannya. Hati mereka kering, bagaikan seonggok daging kering. Oleh karena itu bacalah Dalail Khairat. Jika seseorang membaca Dalalil Khairat, maka tidak akan ada masalah, kesedihan dan penderitaan yang menimpa dirinya. Ini sebuah kepastian, tidak akan ada masalah berat yang akan menimpa dirinya.

Bagi mereka yang telah mengetahui bagaimana cara membaca Dalail Khairat, maka mereka harus membacanya, dan mereka yang belum mengetahuinya mereka harus mendengarkan di majelisnya bersama-sama.

Wa min Allah at Tawfiq. Fatihah

sumber : Zawiyah Haqqul Mubin

Abu Yazid al-Bustami


Dalam Konsep FanaBaqa’ dan Ittihad-nya
Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu terma penting dan menarik dalam Islam. Istilah “tasawuf” (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, sarat dengan beraneka ragam arti. Banyak pendapat tentang arti dan maknanya. Ada yang berpendapat, kata Tasawuf berasal dari shafa yang berarti kesucian. Ada yang pendapat lain yang mengatakan, kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci.[1]
Berbicara tentang tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang biasanya dipanggil dengan sufi. Tokoh-tokoh tasawuf masing-masing memiliki gagasan dan ide-ide yang bermacam-macam. Ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma’rifah (Ghazali), ada pula yang mengajarkan wihdah al-Wujud (Ibnu ‘Arabi) dan lain-lain.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al-Bustami dengan ajarannyafana dan baqa’ serta ittihad. Sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad, fana dan baqa’ dalam tasawuf, Abu Yazid al-Bustami adalah salah satu tokoh yang memberikan warna baru tasawuf dengan statemen-statemenya yang berani tapi menuai kontaversi dari berbagai pihak.[2]
Ittihad sebagai ajaran tasawuf beliau mempunyai arti bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Fana artinya hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Baqa’ artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat pengiring proses fana dalam proses untuk mencapai ma’rifah.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.[3]  Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan.[4] Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya. [5]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhis setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku. Dalam menjalani kehidupanzuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali. [6]
Abu Yazid Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sultan Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di silsilah dalam thariqah Sadziliyah, Thariqah Suhrawardiyah dan beberapa thariqah lain.
Syatahat Abu Yazid Al-Bustami
Pengertian Syatahat
Secara kebahasan perkatan syathahat[7] berasal dari kata kerja syathaha yang berarti taharraka, yakni gerak atau tergerak.
Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang  bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya.
Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
Menurut Prof DR Abdurrahman Badawi, ada beberapa kondisi emosi dan spiritual para sufi yang mendorongsyathahat:
1. emosi dan spiritual yang sangat begejolak.
2. pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.
3. Sufi yang mengalami syathahat dalam keadaan sakr (mabuk).
4. di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.
5. Semuanya berjalan dalam keadaan Sufi tidak menyadari perasaannya[8]
Adapun pengalaman syathahat seperti yang dialami oleh Abu Yazid al-Busthami yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang nyeleneh (syathhiyyat atau syathahat) yaitu subhani (tak berarti lain kecualisubhanallah) karena ia telah mengalami keluruhan diri kemanusiaannya (fana) dan baqa. Dan contoh darisyathahat adalah seperti yang dialami olehnya.
Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berhasil mengumpulkan celotehan mistis (syathahat al-shafiyyah) versi Abu Yazid al-Basthami, di antaranya ‘Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim Muhammad Abbas.Celotehan mistisnya hampir senada dengan al-Hallaj. Karena itu, keduanya dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung ide pantheistik dan menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami berceloteh, Mahasuci diriku, maha agung diriku! Qasim Muhammad Abbas dalam buku, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, mengatakan bahwa, Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan.[9] Ia mengatakan bahwa, Apa pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat dijelaskan dengan penuh keberanian. Seeprti ia mengatakan ”maha suci diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa besar keagunganku” .  Dan paling menonjol lagi ”aku adalah Tuhan yang paling tinggi”. Sekarangsubhani, Yang Agung jadilah aku, terkesan menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim.[10]
Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir, menyadari betul bahwa ujaran aforisma sufistik (syath) tidak bisa didekati secara gegabah dan literalis. Bahasa aforisma tidak muncul dari bahasa yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia adalah anti-tesa dari berpikir identitas. Namun ia adalah bahasa yang hadir meski sejenak untuk mewakili bahasa pengalaman spiritual, yang pada tataran yang lebih dalam, tidak bisa diwakili sepenuhnya. Menjangkau fenomena atau cakrawala yang selalu menjauh, tapi ia hadir di dalam dan bersama diri kita. Karena itu, Abdul al-Wahab al-Syarani menyikapi bahasa aforisma al-Bastami dan para sufi yang lain dengan sebuah takwil. Al-Syarani relatif berhasil dengan takwilnya membuktikan bahwa ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari koredor dan nilai-nilai Syariah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Salah satu takwilnya adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany ”maha suci diriku”[11]
Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah berkata: subhanallah  (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: apakah diriku ada aib (cacat) dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya? Abu Yazid berkata: tidak, wahai Tuhan. Al-Haq berkata: maka sucikanlah dirimu sendiri. Abu Yazid berkata: diriku telah menerima latihan spiritual (riadlah) sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: (maha suci diriku).
Abu Yazid al-Bastami mengucapkan  (maha suci diriku) dalam konteks pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan caat sebagaimana lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.
Berikut penulis kutipkan sebagian pendapat al-Basthami, yang telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliya’; Makhluk adalah subyek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak memiliki keadaan, karena sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan esensi dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya pun musnah dalam jejak orang lain.
Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan cerminku. Dan kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri. Aku adalah aku, dan tidak lebih, sehingga kehadiran ‘Aku dan Tuhan’ hanya akan merusakkan kesatuan (keesaan) Tuhan. Karena itu cukup dengan aku saja, maka al-Haq yang tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi cerminku, karena dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana.[12]
Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami
1. Fana dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniyayang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya : “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[13] Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : “Permulan adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah.(Tetap dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.Akhirnya beliau berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”.
Kata-kata yang demikian dinamai oleh syatahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.[14] Pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya; Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Tuhan menjawab: “Tinggalkanlah dirimu dan datanglah”. Peninggalan Abu Yazid adalah menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitarnya untuk dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses ini disebut juga dengan at-Tajrid atau al-fana’ bittauhid.
Ucapan-ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana’ antara lain : “Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayait(u).
Kehancuran (fana’) dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma’rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.[15]
Di samping itu, Abu Yazid pernah berkata “Pada  suatu  ketika  aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,  makhluk-Ku  ingin  melihat engkau.  Aku  menjawab,  kekasih-Ku,  aku  tak ingin melihat mereka.  Tetapi  jika  itu  kehendak-Mu,  aku  tak   berdaya menentang-Mu.  Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,  mereka  akan  berkata,  telah  kami lihat  Engkau.  Tetapi  yang  mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[16]
Dalam  literatur  tasawuf  disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal  ini  juga  dialami  Abu  Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog  pun  terputus,  kata  menjadi satu,  bahkan  seluruhnya  menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab  melalui  diri-Nya  “Hai Aku.”  Ia berkata  kepadaku,  “Engkaulah  Yang  Satu.”  Aku menjawab, “Akulah  Yang  Satu.”  Ia  berkata  lagi,  “Engkau adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah Aku.”
Yang  penting  diperhatikan  dalam  ungkapan  diatas  adalah kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi).   Kata-kata  bihi  -melalui  diri-Nya-  menggambarkan bersatunya Abu Yazid  dengan  Tuhan,  rohnya  telah  melebur dalam  diri  Tuhan.  Ia  tidak  ada  lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai Aku Yang  Satu”  bukan  Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam  arti  serupa  inilah  harus  diartikan kata-kata yang diucapkan lidah  sufi  ketika  berada  dalam  ittihad  yaitu kata-kata  yang  pada  lahirnya  mengandung  pengakuan  sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu  Yazid,  seusai  sembahyang subuh,  mengeluarkan  kata-kata,  “Maha  Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah.  Tiada  Allah  selainAku, maka sembahlah Aku.”[17]
Dalam  istilah  sufi,  kata-kata  tersebut  memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia  mengakui dirinya  Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada  permulaan  makalah  ini,  agar dapat  dekat  kepada  Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga  dari  syubhat.  Maka  dosa  terbesar tersebut  diatas  akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka  dalam  pengertian  sufi, kata-kata  diatas  betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah  yang  mengaku  diri-Nya  Allah  melalui lidah  Abu  Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, “Pergilah, tidak ada di rumah ini selain  Allah  Yang  Maha  Kuasa.  Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah.” Yang  mengucapkan  kata-kata  itu  memang  lidah  Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan  Abu  Yazid  bahwa  ia adalah  Tuhan.  Itu  adalah  kata-kata  Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pahamfana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[18]
 2.  Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[19]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.[20]   Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.[21]
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihaddengan Tuhan.[22] Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.[23]
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami. Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.[24]
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur sedangkan baqa’ berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.[25]
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.[26]
Jadi fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi,ketika ia tentang diri dan lingkunganya lenyap. Sedangkan baqo`adalah keadaan spiritual seorang sufi ketika hijab antara diriny dengan Allah tersingkap.dandisini terjadi apa yang di namakan dengan mukasyafah (menyaksikan keagungan Allah), musyahadah (mengenalnya secara langsung), ma`rifah (terpesona oleh keindahan wajah Allah hingga merasa kekal bersamanya). Fana` dan baqa` merupakan ahwal bukan maqam jadi datang dan pergi semata karena pemberian Allah.
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut :
“Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.”[27]
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.[28]
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[29] Padahal Abu Yazid tidaklah seorang musrik atau kafir, akan tetapi ia adalah seorang wali Allah.
Penutup
Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu, Abu Yazid Al Bustami seorang tokoh sufi yang sangat zuhud dan dekat kepada Allah, yang mampu mengklai kedekatannya dengan Allah dengan statemen yang menyetarakan dirinya dengan Allah. Pokok-pokok ajaran tasawufnya adalah fana dan baqa’. Fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Selai itu adalah Ittihad. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.
Dalam memahami konsep tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.
Demikianlah seorang Abu Yazid al-Bustami menggagas konsep tasawufnya. Walaupun bagi sebagian kalangan dikatakan berlebihan, namun apa yang telah ia capai seperti kesucian dan pengabdian yang tinggi kepada Allah, hendaknya dijadikan cerminan bagi umat Islam untuk tetap menjaga kesucian, dan memperjuangkan kedekatan kepada Allah.

[1]Tentang makna dan arti kata tasawuf, bisa kita dapatkan dalam literature tasawuf Mu’tabar diantaranya adalah Karangan Syekh Abdurrahman As-Sulami yang berjudul al-Muqaddimah fi at-Tawawwuf. Lihat Syekh Abdurrahman As-Sulami, al-Muqaddimah fi at-Tawawwuf, (Beirut: Dar al-Jail) 1999.
[2]Qasim Muhammad Abbas, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 4
[3] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128.
[4] Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya” , ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Lihat, Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128
[5] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 129
[6] M.M. syarif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966, vol.1, hlm. 342.
[7] Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang  bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Lihat Badawi, Abdurrahman,Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 24
[8] Badawi, Abdurrahman, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 25
[9] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 43
[10] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 41
[11] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 44
[12] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 45
[13] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960, hlm. 147
[14] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993, hlm. 94 – 95.
[15] Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, jakarta: PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 58
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 59
[18] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 132.
[19] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 79.
[20] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 82
[21] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[22] van Hoeve, Enseklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 263
[23] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 87
[24] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 51
[25] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 50
[26] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal.52
[27] Enseklopedi Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama, 1993, hlm. 263.
[28] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 57
[29] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit, hlm. 135.


sumber : http://mhannase.wordpress.com/2013/08/23/ajaran-tasawwuf-abu-yazid-al-bustami/

DIJUAL TANAH STRATEGIS LENGKAP DENGAN IJIN USAHA DI JONGKE

Dijual tanah sangat strategis mangku jalan utama, sangat prospek untuk pengembangan usaha baik rumah makan, cafe (lengkap dengan ijin usaha) maupun pengembangan perumahan. Lokasi ini sangat dekat dengan cafe kopi njongke dengan akses kemana – mana sangat mudah dan lokasi ini sangat berpeluang untuk unit usaha apapun.

LT: 1788 m2 LD: 18 m SHMP

Alamat: Jl Prawiro sudiyono, jongke Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta (selatan kopi Njongke)


Harga: 4 jt/m2 (nego)

Gambaran lokasi: lokasi tanah sangat strategis mangku jalan utama dengan lingkungan sangat prospek sekali, lingkungan unit usaha baik cafe, kos – kosan, perumahan maupun gudang. Akses mobil sangat mudah dengan segala jenis kendaraan sangat mudah sampai lokasi, akses kekota yogyakarta hanya 10 menit, kepusat pendidikan 5 menit, kepusat perbelanjaan baik Mall JCM & SCH hanya 5 menit, kepusat pemerintahan kota sleman 5 menit. Lokasi tanah menghadap ke barat dengan lebar depan sangat ideal sekali dan keuntungan lokasi tanah ini sudah memiliki IJIN USAHA. Lokasi tanah ini masih sangat potensi untuk dikembangkan baik kekanan maupun kekiri dari obyek yang ada saat ini.


Info lebih lanjut Call / WA:

0812-1784-5004


Follow sosmed kami

FB: Omah properti

Funpage: Omah properti Jogja

IG: Omah properti

IG: Catatan kaki adieb

Youtube: Catatan kaki adieb












Kisah Abu Darda

Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.

Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan.
Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu, Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.

“Assalamu’alaiki, ya amatallah,” (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
“Wa’alaikassalam, ya akha Abi Darda’”(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
“Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.
“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.

Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakan saya, hai Ibnu Rawahah.” Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.
“Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.

“Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,” jawab Ummu Darda.
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia pergi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.

Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.

Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan mereka.” Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.

Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebntar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”

Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang laki-laki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci-maki mereka. Abu Darda datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang telah terjadi?
Jawab mereka, “Orang ini jatuh ke dalam dosa besar.”
Kata Abu Darda, “Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu!”
Kata Abu Darda, “Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya.”
Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”
Jawab Abu Darda, “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya.” Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan berkata kepadanya, “Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”
Jawab Abu Darda, “Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan, janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersabda, “Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah Subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala.”
Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lintas. Abu Darda mengahmpiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan dan di pasar-pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.

Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,”Mengapa Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara. Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadis apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Alquran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”

Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”

Sumber: kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate