TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Sofyan Ats-Tsauri (97-191 H)

Nama aslinya Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al Kufi, ia seorang Al-hafidh adl Dlabith (Penghapal yang cermat). Ia lahir di Kufah pada tahun 97 H..Ayahnya Sa’id salah seorang ulama Kufah, Ia cermat dalam periwayatan hadist sehingga Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Yahya bin Ma’in menjulukinya “Amirul Mu’minin fi al-Hadits”, gelar yang sama disandang oleh Malik bin Anas.
Mula-mula ia belajar dari ayahnya sendiri, kemudian dari banyak orang-orang pandai di masa itu sehingga akhirnya ia mencapai keahlian yang tinggi di bidang Hadits dan teologi. Ia telah mendirikan sebuah madzhab fiqh yang bertahan selama dua abad
Mengenai dia, Al-Khatib al Baghdadi berkata: “Sufyan adalah salah seorang diantara para imam kaum muslimin dan salah seorang dari pemimpin agama, kepemimpinannya disepakati oleh para ulama, sehingga tidak perlu lagi pengukuhan terhadap ketelitian, hapalan”.
Sufyan at-Tsauri meriwayatkan hadist dari Al-A’masi (sulaiman bin Mihran), Abdullah bin Dinar, Ashim al-Ahwal, Ibn al-Munkadir dan lainya.
Sedangkan yang diriwayatkan darinya ialah Aburahman Auza’I, Abdurahman bin Mahdi, Mis.ar bin Kidam dan Abban bin Abdullah al-Ahmasi. Orang terakhir yang meriwayatkan darinya adalah Ali bin al-Ja’d.
Abdullah bin Mubarak berkata:” Aku telah mencatat dari 1.100 orang guru dan aku tidak pernah mencatat dari seseorang yag keutamaanya melebihi Sufyan”. Namun ada diantara ulama meriwayatkan dari Ibn Mubarak bahwa Sufyan Ats-Tsauri terkadang meriwayatkan Hadits Mudallas.
Ibnu Mubarak berkata:” Aku pernah menceritakan hadits kepada Sufyan, lalu pada kesempatan lain aku datang kepadanya ketika ia tengah men tadlis kan hadits tersebut, dan ketika ia melihatku tampak ia malu dan berkata :” Aku meriwayatkan bersumber dari anda”. Jika ini benar, untuk menyepakati antara dua perkataan Ibn al-Mubarak maka pen tadlisan yang dilakukan Sufyan itu termasuk tadlis yang tidak membuatnya tercela. Karena itu ia berkata kepada Ibn Mubarak: “Aku meriwayatkannya bersumber dari anda”. Dengan perkataan tersebut ia menghendaki bahwa sanad hadits yang samapai kepadanya tersebut dianggap tsiqah.
Ats Tsauri wafat di Basrah pada tahun 161 H


Disalin dari Biografi sufyan Ats-Tsauri dalam Thabaqaat Ibn Sa’ad 6/257, Tahdzib at Tahdzib : Ibnu Hajar Asqalani 4/111

Abu Amru Abdurrahman Al-Auza’i (Wafat 157 H)

Nama sebenarnya adalah Abu ‘amr Abdurahman bin amr Asy Syamy ad Dimasqy. Ia seorang fiqh di Syam di masanya. Dilahirkan pada tahun 88 H.
Penduduk Syam dan Maghribi bermadzhabkan beliau sebelum bermadzhab dengan Malik.
Beliau seorang Ulama Tabi’it Tabi’in, menerima hadits dari golongan Tabi’in yaitu ‘Atha’ bin Abi Rabah, Qatadah, Nafi’, az Zuhry, Yahya bin Abi Katsir dan yang laiinya.
Diantara imam imam yang meriwayatkan hadits dari padanya yaitu: Sufyan, Malik, Syu’bah, Ibn Mubarak, dan yang lainnya.
Para ulama sepakat bahwa al Auza’iy seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang hadits dan fiqh.
Abdurahman ibn Mahdy berkata,” tidak ada seorang alim tentang sunnah di Syam melainkan al Auza’iy”.
Huqal berkata,” al Auza’iy telah menjawab 1000 masalah dari pertanyaaan2 dan para ulama mengakui ketinggian ilmunya”.
Para ulama yang semasa dengan beliau mengatakan bahwa beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits dan fiqh dan seorang yang berani berterus terang dalam mengemukakan kebenaran kepada para penguasa.
Ia wafat pada tahun 157 di Beirut


Disalin dari riwayat al Auza’iy dalam Tahdzibul ‘asma karya Karya an-Nawawi no 1: 298

Imam Malik Bin Anas

Nama lengkapnya adalam Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab al Muwaththa, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai gantiAl Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits hadits yang terdapat dalam al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’I, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
An Nasa’I berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”. (Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Ia wafat pada tahun 179 H

Disalin dari Biografi Malik bin Anas ad Dibaj al Madzhab 17:30, Tahdzib at Tahdzib 10/5 karya Ibnu Hajar asqalani.

Kuat Kaya

“Dia itu KUAT MISKIN, tapi nggak KUAT KAYA…”
Semenjak masih miskin, Fu Lan memang tinggi gengsinya. Walaupun lapar, tak mau dikasihani. Sesudah kaya, dia royal sekali. Gemar menghamburkan uang untuk dibagi-bagikan kepada orang. Saya ingatkan agar hati-hati dan pakai perhitungan strategis dalam pengeluaran, dia tak perduli.
“Bagaimana nanti saja”, katanya.
Lu Fan sebaliknya. Seorang kiyai mengeluhkan tabiat Lu Fan kepada saya,
“Bakhil sekali!” kata Pak Kiyai, “Sudah berapa lama saya jadi pendukung setianya? Tak sepeser pun ia pernah menyedekahi saya!”
Saya ketawa.
“Dia itu KUAT KAYA, ‘Yi”, saya membela, “pandai menyimpan kekayaan dan mengeluarkannya hanya untuk keperluan strategis saja. Kalau dia tidak menyedekahi ‘njenengan, berarti ‘njenengan tidak strategis!”

sumber : http://teronggosong.com/

Calon Wali

Gus Mus dan Gus Cholil
Gus Mus dan Gus Cholil
Sebelum mondok di Krapyak, Yogya, Gus Mus dan Gus Kholil muda sempat mondok di Lirboyo, Kediri. Pada waktu itu Lirboyo terkenal gudangnya ilmu hikmah dan kanuragan. Maka dua santri kakak-beradik ini pun tak ketinggalan, getolmesu diri, tirakat, menekuni gemblengan untuk mempelajari berbagai ilmu kejadugan.
Sampailah akhirnya kesempatan pulang kampung di waktu liburan. Sebagai orang-orang “dhugdheng alu gembreng”, dua bersaudara ini pulang ke Rembang dengan bersengaja mengenakan pakaian dan perhiasan yang menegaskan kejadugan mereka:
  1. Rambut gondrong sampai ke punggung pertanda tak mempan dicukur
  2. Baju kutung dan celana komprang sebatas dengkul, semua serba hitam, khas pendekar
  3. Ikat kepala batik dan terompah kayu yang tebalnya hampir sehasta yang mungkin mereka kira mirip kepunyaan Sunan Kalijaga; dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bergaya super-pendekar yang membuat jerih siapa pun disekitarnya. Memandang langsung kepada mereka pun orang tak berani, takut dikira nantang.
Tak dinyana, begitu sampai di rumah, Mbah Bisri, ayahanda mereka marah besar!
Segala pakaian dan perhiasan kependekaran mereka dilucuti dan dibakar. Karena tak ada yang mampu mencukur rambut mereka —benar-benar jadug rupanya, Mbah Bisri sendiri yang turun tangan membabat habis rambut mereka. Pendek kata mereka divonis harus berhenti main jadug-jadugan!
Kenapa Mbah Bisri melakukan semua itu?
“AKU SAJA CUMA KIYAI KOK KALIAN MAU JADI WALI!”
Kakak-beradik itu akhirnya dipindahkan mondoknya ke Krapyak, Yogya.

sumber : http://teronggosong.com/

Wasiat

Kyai Abdullah Salam
Kyai Abdullah Salam
Menjelang wafat, Kyai Abdussalam menyuruh orang memanggil putera keduanya, Gus Abdullah, agar menghadap.
“Gus Mahfudh juga?” orang yang disuruh menanyakan putera pertama beliau, apakah perlu dipanggil juga.
Mbah Salam menggeleng,
“Nggak usah. Mahfudh sudah cukup”.
Ketika Gus Abdullah menghadap, Mbah Salam pun hanya bicara singkat saja,
“Kowe ojo golek kepenak”. Kamu jangan mencari kenyamanan.
Kemudian beliau wafat.
Orang bertanya-tanya, mengapa Gus Mahfudh tidak mendapat wasiat seperti adiknya. Apakah berarti Gus Mahfudh boleh mencari kenyamanan? Atau dianggap benar-benar sudah tahu bahwa kenyamanan tak boleh dicari?
Belakangan baru dipahami kewaskitaan Mbah Salam. Kyai Mahfudh, sang putera sulung, mengangkat senjata menghadapi NICA dan gugur dalam sebuah pertempuran di Salatiga. Hingga kini tak diketahui dimana kuburnya. Seorang putera beliau, Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdussalam, pun harus menghabiskan seluruh hidupnya dalam tungkus-lumus yang jauh dari nyaman dalam khidmah kepada Nahdlatul Ulama, hingga akhir hayatnya.
Adapun sang putera kedua, Kyai Abdullah Salam, mati-matian menggigit wasiat ayahnya itu sekuat geraham. Mbah Dullah tidak mau membangun pondok demi memblokir keinginginan mendapatkan santri. Jangan dikata mengambil santri untuk menjadi khadam rumah tangganya, itu pantangan!
“Jangan sekali-kali kamu membiayai santri seolah-olah kamu dermawan, tapi mengambil manfaat tenaganya kamu pekerjakan di rumahmu”, Mbah Dullah mewanti-wanti keponakannya, Kyai Mu’adz Thohir, “itu nista!”
Kyai Mu’adz cuma bisa melongo. Teringat betapa kaprahnya kyai dimana-mana mengambil khadam dari antara santri-santrinya.
“Daripada begitu, masih mendingan kau suruh nyaimu jualan nasi!” Mbah Dullah melanjutkan wanti-wantinya.
“Jualan nasi, maksudnya gimana, Pakdhe?” Kyai Mu’adz tak paham.
“Lha nyai terima kos-kosan makan santri-santri itu ‘kan jualan nasi namanya!”

sumber: http://teronggosong.com/

Do’a Politik

Kyai Bisri Mustofa Pidato
Kyai Bisri Mustofa Pidato
Pada jaman Orde Baru dulu, bicara tak bisa terlalu bebas. Apalagi bicara politik. Apalagi kepada kumpulan massa yang besar.
Maka pengajian umum hanya bisa digelar bila ada ijin dari Pemerintah. Sedangkan untuk memperoleh ijin itu prosedurnya panjang dan “menakutkan”. Tak kurang dari 20 tanda tangan harus bisa didapatkan oleh panitia dari pejabat-pejabat yang berwenang di semua tingkatan dan semua sektor pemerintahan, baik sipil maupun militer –yang termasuk didalamnya adalah polisi. Dari RT ke RW ke Lurah ke Polsek ke Koramil ke Camat ke Polres ke Kejaksaan Negeri… dan seterusnya.
Saat pengajian digelar pun selalu ada petugas intelejen dari kepolisian yang menunggui. Petugas itu berwenang penuh membiarkan acara terus berlangsung atau menghentikannya kapan pun ia suka, atas nama stabilitas.
Kyai Bisri Mustofa sudah hadir di arena sebuah pengajian sebagai pembicara yang diundang untuk memberikan mau’idhoh hasanah. Tapi panitia bingung dan susah hati tak keruan karena intel polisi tiba-tiba melarang mereka memberikan panggung kepada Kyai Bisri.
Tampak jelas air mata yang menitik di wajah panitia ketika mewadulkan hal itu kepada beliau. Kyai Bisri malah acuh tak acuh saja.
“Coba tanya polisinya, kalau berdoa saja boleh enggak?” kata beliau.
Panitia menurut dengan hati gundah. Dan tak juga merasa lega ketika polisi meluluskan permintaannya. Jauh-jauh didatangkan, kalau cuma berdoa tanpa ngaji jelas bikin kecewa.
Tapi apa boleh buat, pengajian dilangsungkan tanpa mata acara mau’idhoh hasanah. Dan Kyai Bisri diundang ke panggung untuk langsung memimpin doa.
“Al Faaatihah!” Kyai Bisri memulai seperti lazimnya doa, hadirin membaca dengan hati gundah-gulana. Kyai Bisri pun meneruskan dengan hamdalah, sholawat dan salam, diiringi amin-amin hadirin. Yang kurang lazim adalah bahwa kalimat-kalimat doa selanjutnya tidak lagi pakai bahasa Arab, tapi bahasa daerah.
“Dhuh Gusti Pengeran Kulo, Panjenengan Maha mengetahui. Kami semua berkumpul di tempat ini, mengharap barokah seorang hambaMu yang Kau kasihi. Guru kami. Pengasuh jiwa kami. Ulama pejuang. Pahlawan negeri ini. Yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk membela, menjaga dan membangun bangsanya…
Dhuh Gusti Tuhan kami, Panjenengan Maha Mengetahui. Tak terhitung banyaknya kyai dan santri telah berjuang. Mempersembahkan jiwa-raga demi bangsa dan negara. Berapa banyak diantara mereka telah gugur berkalang tanah? Menjadi korban keganasan penjajah? Meninggalkan kami semua yang sedih dan kehilangan.
Tapi Panjenengan Maha Tahu, Ya Allah, kami tidak menyesal. Kami tidak menyesal mereka tinggalkan. Kami tidak menyesal walaupun saudari-saudari kami menjadi janda. Keponakan-keponakan kami menjadi yatim. Sama sekali. Gugurnya mereka tidak kami sesali. Walaupun itu karena suwuk kebal yang tidak manjur…” (hadirin berusaha menahan tawa)…”Kami menangis bukan karena sedih yang berkepanjangan. Kami menangis penuh kebanggaan. Dan pengharapan akan berkah pahala perjuangan mereka untuk kami semua. Dan Bangsa ini. Bangsa dan Negara yang kami cintai…”
“… Bukalah hati para pemimpin kami. Ingatkan mereka akan cita-cita kemerdekaan. Akan impian bebasnya rakyat dari penindasan. Akn keadilan dan kemakmuran…”
“…Mohon Kau beri petunjuk pula kepada Pak Polisi yang mengawasi pengajian ini…” (tawa hadirin terpaksa meledak)… “Cerdaskanlah akalnya. Lembutkanlah hatinya. Agar mampu membedakan, mana yang mengancam negara, mana yang membangun rakyatnya…”
Demikianlah, doa berlangsung panjang sekali. Malah lebih panjang dari mau’idhoh hasanah yang biasanya. Hadirin beramin-amin sebisanya. Kadang ingat kadang lupa. Karena diaduk-aduk perasaannya oleh kalimat-kalimat doa. Kadang bangkit semangatnya berkobar-kobar. Kadang dibikin terharu sampai mata berkaca-kaca. Kadang tak kuat lagi menahan tawa.
Usai seluruh acara, panitia mengelu-elukan Kyai Bisri dengan sumringah dan riang-gembira. Pak Polisi tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin sedang menitikkan air mata.

sumber: http://teronggosong.com/

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate