TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

QASIDA 3



______________

Ala ‘ddini ‘l salib yakumu mawt
C’ est dans la religion de la croix que je mourrai
Adalah dalam agama penyaliban aku akan mati

Al Hallaj
___________________


QASIDA 3

Jawaban buat Shibli

Duhai penglihatanku, serpihan pandanganku,
Duhai yang menyelinap dalam inspirasiku,
Duhai totalitas yang keseluruhannya lebih aku cintai, dari semua atau dari sebagian diriku sendiri,
Mereka berkata, engkau menyantuni jiwa yang telah ditawan, laiknya dua ikatan burung,
Hasrat yang mencekam, terpaku, fana dalam kekosongan yang lain, berkeliaran tanpa tahu dimana,
Dan pikiran-pikiran juga berkeliaran seperti percik cahaya yang membekas pada semburat cahaya,
Atau seperti desah yang tertahan yang kita ucapkan mengenang kesuraman masa depan,
Dalam arus samudera pikiran, dimana ia hanyut, atas kehendaknya.


Sumber:

Diwan Al Hallaj “louis Massignon”
Diterjemahkan dari LE DIWAN D’ AL HALLAJ. Essai De Reconstitution, Edition Et Traduction, oleh LOUIS MASSIGNON,
Jurnal Asiatique, Librairie Orientaliste Paul Geuthner, Janvier, Mars 1931
Penerbit; PUTRA LANGIT, Jl.Palagan tentara pelajar no. 77 Yogyakarta
Phone: (0274) 887055, Facs: (0274) 566171
Email: putra_langit@yahoo.com
putra_langit@mailcity.com
Cetakan I, Januari 2001
____________


Qasida 2




______________

Ala ‘ddini ‘l salib yakumu mawt
C’ est dans la religion de la croix que je mourrai
Adalah dalam agama penyaliban aku akan mati

Al Hallaj
___________________

Jawaban Atas Haqiqat Iman

Dalam pemilik pengetahuan, ada panggilan dan kehendak Tuuhan,
Dalam iman, ada perjalanan yang kian mendaki,
Dalam pengetahuan, ibarat cawan, suatu saat kita tumpahkan dan disaat lain kita isi,
Dalamnya samudera, pun menyimpan ketenangan dan air yang bergolak,
Dalam waktu, menyimpan dua kemisterian, suatu saat mencelakakan, dan saat yang lain mengembirakan,
Pun hidup manusia menyimpan dua nasib, yang satu mengantarkannya pada puncak keindahan, dan disaat yang lain menghempaskan dalam kesunyian,
Jiwa akam memetik apa yang kau katakan, inilah saksi yang bijak untuk merenungi kemampuanmu, karena ketajaman pikiran adala sebuah anugerah,
Dan aku, mendaki sebuah puncak, tanpa bertumpu pada kakiku, puncak yang membumbung tinggi bagi yang lain, kecuali aku, itu adalah bahaya yang teramat besar,
Dan aku tenggelam didasar samudera, tanpa kakiku berada disana,
Hanya semangatku yang merasakannya, hanya jiwaku yang menikmati,
Karena dasarnya adalah batu kerikil yang berpasir, tidak tergapai oleh tangan kita,
Hanya kesadaran diri yang dapat merebutnya,
Aku mabuk tanpa membuka mulutku, inilah air yang telah diminum oleh mulut kita,
Karena jiwaku pada dasarnya dahaga, sekalipun tubuhku sebelum dibentuk tertipu disana,
Sesungguhnya aku adalah seorang anak yatim, dan aku mempunyai ayah yang hatiku rindukan karena kepergiannya, dan aku tidak pernah hidup dalam kesusahan,
Orang buta...!, aku melihat semangat yang tulus, aku peka, dan ungkapan-ungkapan itu milikku,
Jika aku menggenggamnya, aku dapat mengubahnya,
Pengendali dalam persahabatan, mengetahui apa yang kuketahui,
Merekalah teman-temanku, merekalah yang memiliki bakat, kebajikan yang berpadu dalam diri mereka,
Jiwa-jiwa mereka diwakili oleh masing-masingnya,
Pada mulanya manusia, lalu mereka seperti matahari, sedang waktu seperti jalan setapak yang terhalang bayangan gunung berapi.

Sumber:

Diwan Al Hallaj “louis Massignon”
Diterjemahkan dari LE DIWAN D’ AL HALLAJ. Essai De Reconstitution, Edition Et Traduction, oleh LOUIS MASSIGNON,
Jurnal Asiatique, Librairie Orientaliste Paul Geuthner, Janvier, Mars 1931
Penerbit; PUTRA LANGIT, Jl.Palagan tentara pelajar no. 77 Yogyakarta
Phone: (0274) 887055, Facs: (0274) 566171
Email: putra_langit@yahoo.com
putra_langit@mailcity.com
Cetakan I, Januari 2001
____________

Puisi-puisi (D I W A N) AL HALLAJ





_____________

Ala ‘ddini ‘l salib yakumu mawt
C’ est dans la religion de la croix que je mourrai
Adalah dalam agama penyaliban aku akan mati

Al Hallaj
__________________


Qasida 1

Munajat Kerinduan Ketika Ziarah
Di Pintu masuk Tanah Suci

Ini aku datang duhai Rahasiaku, Curahan Hatiku!,
Ini aku datang, duhai Tujuan dan Arah Hidupku!,
Aku memanggilMu..., ah tidak!, tapi Engkau memanggil pada diriMu sendiri!,
Lalu bagaimana aku akan berseru, “Hanya Engkaulah!”, sedangkan Engkau berbisik padaku, “inilah Aku”.
Duhai Engkau, inti dari keberadaanku, duhai Engkau, serpihan-serpihan hasratku,
Duhai Engkau, sumber kekuatanku, Engkaulah keutamaanku, yang senantiasa tersembunyi dalam gumamanku!,
Duhai totalitas dari seluruh totalitasku, Engkaulah pendengaran dan penglihatanku,
Duhai totalitas, persatuan dan serpihanku,
Duhai totalitas dari seluruh totalitasku, tapi totalitas, adalah sebuah misteri,
Dan inilah totalitas dari totalitasMu, aku kabur dengan apa yang hendak ku-ungkapkan!,
Duhai Engkau, tempatku bergantung, diriku tenggelam dalam ektase,
Dan Engkau datang menjadi penebus atas duka nestapaku!,
Aku menangisi hukumanku yang tidak ditampung oleh tanah kelahiranku melalui kepatuhan,
Dan musuh-musuhku mengantarkan rintihanku,
Duhai Kekasih, mendekatlah padaku, menepis kekhawatiranku,
Yang menggigil dalam hasrat yang menghujam dalam lubuk hati,
Duhai Kekasih, apa yang harus kulakukan, saat penyakitku menjemikan dokter-dokterku,
Mengajak mereka berkata, “sembuhkanlah dirimu melalui Dia”,
Tapi aku berkata, bagaimana menyembuhkan penyakit dengan penyakit?,
Karena cintaku padaMu tlah mengikis dan membakar,
Bagaimana aku ‘kan mengadu pada Raja DiRajaku?,
Sepintas aku merasakannya, dan jiwaku mengenalnya,
Tapi tak satupun yang mampu mengungkapkannya hanya dalam sekejap mata,
Ah, kemalangan jiwaku karena diriku sendiri...!,
Sayang!, akulah justru yang menjadi penyebab kemalanganku!,
Layaknya tubuh yang tenggelam, dan hanya jari-jarinya yang terapung, meminta pertolongan ditengah samudera lepas,
Tak seorangpun yang tahu apa yang menimpaku, kecuali Dia yang melebur dalam jiwaku,
Dia yang berkata, betapa malang nasib yang menimpaku, dan atas kehendakNya aku mati atau hidup kembali!,
Duhai Engkau, muara do’a dan harapanku, duhai Tuan Rumahku,
Duhai Engkau semangat hidupku, duhai Rahasia keyakinanku, dan aku menjadi bagian didalamnya,
Katakan padaku, “Aku telah menebusmu”, duhai pendengaranku!,
Duhai Engkau penglihatanku!, sampai habis masa pengasinganku..., o, betapa lama!,
Meskipun Kau bersembunyi dari dua mataku, jiwaku terjaga dalam nafasMu dari kejauhan.



Sumber:

Diwan Al Hallaj “louis Massignon”
Diterjemahkan dari LE DIWAN D’ AL HALLAJ. Essai De Reconstitution, Edition Et Traduction, oleh LOUIS MASSIGNON,
Jurnal Asiatique, Librairie Orientaliste Paul Geuthner, Janvier, Mars 1931
Penerbit; PUTRA LANGIT, Jl.Palagan tentara pelajar no. 77 Yogyakarta
Phone: (0274) 887055, Facs: (0274) 566171
Email: putra_langit@yahoo.com
putra_langit@mailcity.com
Cetakan I, Januari 2001
___________________

Di Lembah C I N T A

Tengah malam,
aku bertanya, siapa ini yang ada
di dalam rumah qalb-ku?


Dia menjawab, Inilah Aku,
yang cemerlangnya membuat matahari dan
rembulan jadi tertunduk malu.


Dia bertanya, Mengapa rumah ini penuh
dengan aneka macam lukisan?


Aku menjawab,
Ini semua adalah bayangan dari-Mu,
wahai Engkau yang wajah-Mu membuat
iri warga Chigil.
[1]

Dia bertanya, Dan apa ini:
qalb yang berdarah-darah?


Aku menjawab,
Ini adalah gambaran diriku:
hati terluka, dan kaki dalam lumpur.

Kuikat leher dari jiwaku,
dan menyeretnya kehadapan-Nya sebagai persembahan:
Inilah dia yang telah berkali-kali memunggungi Cinta,
kali ini jangalah Kau lepaskan.


Dia serahkan satu ujung tali,
ujung yang penuh kecurangan dan pengkhianatan,
Peganglah ujung yang ini,
Aku kan menghela dari ujung yang lain,
mari berharap tali ini tidak putus.


Kuraih tangan-Nya, Dia menepisku,
seraya berkata, Lepaskan!

Aku bertanya,
Mengapa Engkau bersikap
keras padaku?


Dia menjawab, Ketahuilah, sikap keras-Ku
demi tujuan yang baik bagimu,
bukan karena niat-buruk atau jahat.

Ini untuk memperingatkanmu,
barangsiapa masuk kesini dan berkata,
'Inilah Aku!'
maka Aku akan memukul dahinya;

karena ini adalah Lembah Cinta,
bukan kandang hewan.


Salahuddiin,[2]
sungguh keelokan wajah sejatimu
indahnya bagaikan sosok Tamu di tengah malam itu;

kawan-kawan gosok matamu,
dan tataplah dia dengan pandangan qalb-mu,
dengan bashirah-mu.

Catatan:
[1]  Daerah Chigil di Turkesta terkenal dengan
keelokan wajah warganya.

[2]  Salahuddiin Zarkub, salah satu sahabat Mawlana Rumi,
belakangan berkembang menjadi sosok inspirasi ruhaniyah baginya;
yaitu setelah Mawlana Rumi menerima bahwa Syamsuddin at-Tabriz
yang menghilang dan lama dirindukannya, telah wafat.


Menurut Sultan Valad, salah satu putra Rumi, tentang Salahuddin ini,

Rumi menyatakan:

Syamsuddin yang selalu kita bicarakan
telah kembali pada kita! Mengapa kita masih tertidur?
Bersalinlah kalian dengan baju baru, dia telah kembali
menunjukkan dan memamerkan keindahannya.

(Dari karya Franklin D. Lewis: Rumi, Past, Present, East and West, Oneworld Publications, 2000).
Sumber:
Rumi:
 Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1335
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam
 Mystical Poems of Rumi 1, The University of Chicagi Press, 1968.


Tuhfah ra.Sang Sufi Wanita

Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah tidak menjual. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai meninggal dunia.

Budak Yang Sufi

SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.
Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.
Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.
Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.

SAQATI BERDOA

Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.

HAJI BERSAMA

Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah
berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.
Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.
Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.

Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat

Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang  merupakan agama dan duniaku

Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya

Ada lagi syair Tuhfah ra. lainnya
Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.

Pustaka :
1. Nurani 199, 6 – 12 Oktober 2004
2. Javad Nurbakh, Wanita-wanita Sufi, Penerbit Mizan, Bandung, 1983.
3. http://oryza.blogsome.com/2006/05/22/tuhfah-sufi-wanita-dari-irak/

A Moment Of Happiness



by Mewlana Jalaluddin Rumi

A moment of happiness,
you and I sitting on the verandah,
apparently two, but one in soul, you and I.
We feel the flowing water of life here,
you and I, with the garden's beauty
and the birds singing.
The stars will be watching us,
and we will show them
what it is to be a thin crescent moon.
You and I unselfed, will be together,
indifferent to idle speculation, you and I.
The parrots of heaven will be cracking sugar
as we laugh together, you and I.
In one form upon this earth,
and in another form in a timeless sweet land.


Description of Love



by Mewlana Jalaluddin Rumi



A true lover is proved such by his pain of heart;

No sickness is there like sickness of heart.

The lover's ailment is different from all ailments;

Love is the astrolabe of God's mysteries.

A lover may hanker after this love or that love,

But at the last he is drawn to the KING of love.

However much we describe and explain love,

When we fall in love we are ashamed of our words.

Explanation by the tongue makes most things clear,

But love unexplained is clearer.

When pen hasted to write,

On reaching the subject of love it split in twain.

When the discourse touched on the matter of love,

Pen was broken and paper torn.

In explaining it Reason sticks fast, as an ass in mire;

Naught but Love itself can explain love and lovers!

None but the sun can display the sun,

If you would see it displayed, turn not away from it.

Shadows, indeed, may indicate the sun's presence,

But only the sun displays the light of life.

Shadows induce slumber, like evening talks,

But when the sun arises the "moon is split asunder."

In the world there is naught so wondrous as the sun,

But the Sun of the soul sets not and has no yesterday.

Though the material sun is unique and single,

We can conceive similar suns like to it.

But the Sun of the soul, beyond this firmament,

No like thereof is seen in concrete or abstract.

Where is there room in conception for His essence,

So that similitudes of HIM should be conceivable?

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate