TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE
Showing posts with label Khazanah Islam. Show all posts
Showing posts with label Khazanah Islam. Show all posts

KHAZANAH ISLAM: SYAIR TASAWUF DAN ETIKA POLITIK

Abdul Hadi W. M.


Syair Tasawuf


  Akhir masa peralihan Hindu ke Islam sebenarnya tidak bisa dibatas secara jelas. Hal ini disebabkan karena karya-karya dari abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya. Penyaduran dan penciptaan kembali hikayat-hikayat itu juga dilakukan secara intentif dalam bahasa-bahasa Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar dan Mandailing hingga abad ke-19 M. Tetapi pada akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai pusat baru kegiatan penulisan sastra Melayu, gelombang kedua pemikiran Islam bermula. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya.
            Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan untuk memusatkan diri pada renungan-renungan tasawuf. Terutama dalam ikhtiar menjawab masalah hubungan manusia dengan Yang Abadi. Gejala dominan kedua ialah upaya untuk merumuskan sistem kekuasaan berdasarkan cara pandang Islam. Kecenderungan kedua ini memunculkan hasrat untuk menyusun teori kenegaraan yang ideal (Taufik Abdullah 2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang berpengaruh bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara dalam abad-abad selanjutnya. Tokoh-tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya dapat dikatakan mewakili gejala dominan pertama. Sedangkan gejala dominan kedua diwakili oleh Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri. Dua tokoh yang disebut terakhir ini muncul pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis dan ilmiah.
            Ciri lain dari gelombang kedua ini ialah suburnya penulisan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf. Para penyair Melayu tidak lagi sekadar menyadur dan menggubah kembali karya-karya Arab dan Parsi, melainkan mulai benar-benar melahirkan karya yang orisional dan ekspresif. Pengaruh dari munculnya karya-karya semacam ini ialah bangkitnya sebuah kesadaran baru, khususnya kesadaran pentingnya individualitas. Karya-karya para penulis Aceh ini memperlihatkan bahwa, diakui atau tidak, Islam telah merupakan bagian dari ’diri yang sah’ dan utuh dalam sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa Nusantara. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).

Hamzah Fansuri.

Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.
            Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf dalam tariqat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya dan mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Dia juga pernah mengembara ke Iran, Afghanistan, India, Siam, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumbawa dan Kalimantan. Sebagai sufi dia menempuh jalur pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya diilhami terutama oleh karya-karya Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami. Semua nama itu merupakan sufi terkemuka Arab dan Parsi pada abad ke-13 – 15 M.
           Hamzah Fansuri menulis banyak kitab, tetapi yang dijumpai hingga kini ialah tiga risalah tasawufnya, masing-masing Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-MuntahiSyarab al-Asyiqin dianggap sebagai karyanya yang pertama dalam bahasa Melayu dan sekaligus risalah tasawuf pertama dalam bahasa Melayu (al-Attas 1970). Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian1. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dalam dua misra’ (Ali Hasymi 1975)
           Syair-syairnya punya ciri-ciri khusus yang sebagian darinya kemudian ditransformasikan menjadi konvensi puitika dan estetika sufi Melayu. Banyaknya kata-kata dan istilah Arab, khususnya dari al-Qur’an dan Hadis, dalam syair-syairnya menunjukkan bahwa pada masa hidupnya proses islamisasi kebudayaan Melayu berlangsung dahsyat. Dan sang penyair sudah memainkan peranan utama sebagai pelaku dari proses islamisasi itu. Ciri-ciri penting ssyair-syair Hamzah Fansuri ialah: 

Pertama,pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.

Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi. Di antara tamsil atau citraan konseptual yang diambil dari al-Qur’an dan dijadikan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu;qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan.

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufianyang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).

Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misal anggur atau arak adalah lambang kemabukan mistik. Simbol lain yang digunakan penyair ialah burung (untuk ruh), ikan yang menyatu dengan lautan (persatuan mistik) ; kekasih atau Mahbub (Tuhan); kapal yang berlayar ke Bandar Tauhid (perjalanan ruhani seorang beriman); bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya; Ka’bah (lambang hati seseorang yang imannya teguh) dan lain-lain. Tamsil-tamsil ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur dirubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur dirubah dengan takir dari daun pisang. Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya dan masih banyak lagi tentunya. Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

Ciri lain yang menonjol dalam pembaharuan Hamzah Fansuri dalam sastra Nusantara ialah penekanannya terhadap individualitas. Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesufian itu sendiri. Annemarie Schimmel (1981:17) mengatakan:“Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu esa”.
              Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutup untaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-nya. Dalam konvensi sastra sufi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa, yang bentuknya antara lain ialah fana’ (hapusnya nafsru rendah disebabkan menyatu dengan Kehendak Yang Abadi. Bentuk lain pembebasan jiawa ialah makrifat. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam di manakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu

Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus

(Ikat-ikatan XXVI, MS Jak. Mal. 83)

              Dalam syair “Hamzah Fansuri di negeri Melayu/Tempatnya kapur di dalam kayu...” dia menggunakan tamsil pohon barus yang merupakan penghasilan utama kota kelahirannya. Tamsil itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman fana’, seperti dikatakannya “Seperti kayu sekalian hangus”. Kadang-kadang ia menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh

(Ikat-ikatan XVIII, Ibid)


              Kadang perjalanan seorang ahli tasawuf digambarkaan sebagai pelayaran menuju Bandar Tauhid. Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan. Penyir menggunakan tamsil kenaikan di antaranya juga memperlihatkan akrabnya penyair dengan budaya dan kehidupan masyarakat Melayu. Keindahan pakaian wanita Melayu yang tinggal di rumah yang berpatam birai dan pintu-pintunya penuh dengan ukiran indah, dijadikan tamsil untuk menyampaikan gagasan tasawufnya.

Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
Itulah mahbub yang bernama adil

Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan

Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)
Olehnya itu orang terlalai

Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kaupasang
Supaya salim jalanmu datang

Rumahnya `ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai

Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kaumasuk
Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk

(Ikat-ikatan II, Ibid)

Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sufi. Tatanan tersebut dari bawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga,alam jabarut (alam ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan dirinya secara maksimal dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.

Bukhari al-Jauhari dan Taj al-Salatin

              Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya.

              Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah(Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.
Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.
Tema sentral buku ini ialah keadilan, karena kehidupan sosial keadilanlah jalan yang mampu membawa manusia menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Buku ini dibagi ke dalam 24 bab. Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja,akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di sorga. Ia adalah bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah.

             Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang Ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Adapun tanda ulil albab ialah:
(1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat;.
(2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi;
(3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.
(4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur;
(6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu;
(7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.

             Karena itu seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat seperti berikut:
(1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik;
(2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara;
(3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya;
(4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat;
(5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.

  Dalam fasal ke-5 Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar.
(1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan;
(2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat;
(3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik;
(5) Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad;
(6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan;
(7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; (
8) Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara;
(9) Tidak senang bermain perempuan; (10)Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.

Fasal ke-6 dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.

            Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik (BERSAMBUNG).


Catatan kaki:

(1) Empat manuskrip itu ialah Cod. Or. Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta atau Jak. Mal. 83 (30 ikat-ikatan). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001:198).

Raja Ali Haji: Gurindam Dua Belas







13265501711444130068



Berbagai sarana bisa digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah, termasuk dalam karya sastra. Para ulama terdahulu telah menunjukkan keteladanan yang baik dalam hal ini. Banyak ulama terdahulu yang menyisipkan pesan-pesan dakwahnya lewat karya sastra, antara lain dalam bentuk cerita roman, prosa, maupun lewat bait-bait puisi.
Raja Ali Haji adalah contoh ulama yang juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang tekun menggoreskan pesan-pesan dakwahnya lewat karya sastra. Gurindam Dua Belas adalah di antara karya besarnya yang paling monumental.
Gurindam termasuk bentuk puisi lama yang banyak terdapat dalam masyarakat Melayu Indonesia. Gurindam biasanya terdiri dari sebuah kalimat majemuk, yang dibagi menjadi dua baris yang bersajak. Tiap-tiap baris itu sebuah kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat, biasanya antara anak kalimat dengan induk kalimat. Jumlah suku kata tiap-tiap baris tidak ditentukan, demikian juga iramanya tidak tetap. Gurindam biasanya digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang benar melalui pepatah atau peribahasa.
Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji adalah gurindam yang paling terkenal dalam khasanah kesusastraan Melayu. Gurindam Dua Belas bukan berarti gurindam yang berjumlah dua belas buah. Akan tetapi, ia adalah gurindam yang berisi dua belas pasal. Di dalamnya kental memuat pesan-pesan dakwah menyangkut persoalan ibadah, perseorangan, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orangtua, tugas orang tua terhadap anak, sifat-sifat bermasyarakat, dan sebagainya. Petikan gurindamnya dapat disimak berikut ini:

Barang siapa mengenal Yang Tersebut, tahulah ia makna takut/Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang/Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa/Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat/Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.

Petikan gurindam di atas dikutip dari pasal kedua. Masih ada sebelas pasal yang semuanya kental memuat pesan-pesan dakwah.


1326550604349214872



Bangsawan Bugis

Raja Ali Haji adalah keturunan bangsawan Bugis. Ia lahir sekitar tahun 1809 di Pulau Penyengat, tidak jauh dari Tanjung Pinang (Pulau Bintan). Pulau Penyengat sendiri adalah sebuah pusat keilmuan Melayu Islam yang penting di abad ke-19.
Kakeknya bernama Raja Haji, seorang pahlawan Bugis yang tercatat pernah menjabat sebagai yamtuan muda (perdana menteri) ke-4 dalam Kesultanan Johor-Riau. Orang-orang Bugis tiba di kawasan tersebut sekitar abad ke-18. Pada saat yang bersamaan tengah terjadi perebutan kekuasaan antara para pewaris Kesultanan Johor setelah terbunuhnya Sultan Mahmud Syah II. Mereka bangga terhadap asal usul, hubungan kekerabatan, dan tetap merasa sebagai bagian integral masyarakat Melayu-Bugis.
Raja Haji adalah yamtuan muda yang berhasil menjadikan Kesultanan Johor-Riau sebagai pusat dagang dan budaya paling penting di kawasan itu. Ia wafat ketika bertempur melawan Belanda tahun 1784. Raja Haji meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad (yang merupakan ayah dari Raja Ali Haji) dan Raja Ja’far.
Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji, adalah pangeran pertama dari Riau yang menunaikan ibadah haji. Raja Ahmad sangat menyukai bidang sejarah. Salah satu karyanya berjudul Syair Perang Johor, memuat keterangan tentang perang antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad ke-17. Selain itu, Raja Ahmad juga dikenal sebagai orang pertama yang menyusun sebuah epos tentang sejarah orang Bugis di daerah Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.
Rupanya bakat menulis ayahnya itu menurun kepada Raja Ali Haji, sehingga kelak Raja Ali Haji dikenal sebagai seorang ulama sekaligus sastrawan terkemuka yang memiliki banyak karya menonjol.

Islam dan Melayu

Raja Ali Haji memiliki kontribusi, kiprah, dan sumbangsih yang cukup besar, terutama di bidang intelektual melalui sejumlah karya yang cukup menonjol. Tak aneh, karena sejak kecil, Raja Ali Haji sudah terbiasa bergumul dengan banyak sumber-sumber ilmu dan pengetahuan.
Sejak masih remaja, Raja Ali Haji sering mengikuti ayahnya melakukan lawatan ke berbagai wilayah, baik di dalam maupun ke luar negeri. Pengalaman bepergian ini secara langsung memperluas cakrawala pandang, pengetahuan, dan wawasannya. Karenanya, dalam usianya yang belum genap berusia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah dipercaya mengemban tugas-tugas kenegaraan yang tergolong penting. Hingga pada usia 32 tahun, ia bersama sepupunya, Raja Ali bin Raja Ja’far, dipercaya memerintah di daerah Lingga, mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang masih berusia muda.
Sementara itu, pengetahuannya yang sangat luas di bidang syari’ah Islam, membuat Raja Ali Haji dikenal sebagai seorang ulama mumpuni yang sering dimintai fatwanya oleh kerabat kerajaan. Karenanya, ketika Raja Ali bin Raja Ja’far diangkat menjadi yamtuan muda pada tahun 1845, Raja Ali Haji juga dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara.
Sebagai sastrawan, Raja Ali Haji berhasil menelorkan banyak karya sastra. Sekian banyak hasil karya Raja Ali Haji tampak senantiasa menunjukkan ciri khas yang kuat yang mengakar pada tradisi kesusastraan Islam dan Melayu.
Pesan-pesan dakwah senantiasa menjadi ruh dalam setiap karyanya. Dalam beberapa buah karyanya misalnya, Raja Ali Haji selalau mewanti-wanti bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan mencegah terjadinya konflik adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang telah digariskan dalam kitab suci Al-Qur’an.
Hidup di lingkaran kekuasaan, membuat Raja Ali Haji juga memiliki konsens yang tinggi pada akhlak kepemimpinan. Menurutnya, seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Tuhan tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi. Jabatannya itu harus diserahkan kepada orang lain yang lebih tepat. Adapun pemimpin yang baik, menurut Raja Ali Haji, adalah yang pantang terhadap hal-hal keduniawian dan kemungkaran. Sebaliknya, raja yang buruk adalah yang punya sifat congkak, boros, dan tidak memperhatikan sarana pendidikan.
Pada setiap pesan etik yang disampaikan, Raja Ali Haji kerap menyisipkan lukisan peristiwa nyata yang terjadi di masanya. Inilah yang juga menjadi ciri khas karyanya, yaitu intensitasnya dalam mempresentasikan  sejarah masa lalu yang disetting sesuai dengan tuntutan kondisi di zamannya.
Lewat karya-karyanya itu, membuktikan bahwa Raja Ali Haji bukan hanya sekedar seorang satrawan dalam arti sempit. Akan tetapi beliau adalah sekaligus seorang ulama yang memiliki komitmen tinggi dalam memelihara nilai-nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakatnya. Sehingga untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun 1890, segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak di bidang pembinaan umat serta penerbitan buku-buku Islami.
Dua karya sastra Raja Ali Haji yang paling menonjol adalah berjudul Hikayat Abdul Muluk dan Gurindam Dua Belas. Hikayat Abdul Muluk adalah karya sastra yang merupakan karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan (tahun 1848). Karya inilah yang menjadi cikal bakal terbitnya karya-karyanya yang lain. Sedangkan Gurindam Dua Belas adalah karya tak ternilai yang dianggap paling menonjol di antara karyanya yang lain.


13265504421134368072



Raja Ali Haji meninggal dunia pada tahun 1872 atau pada usia sekitar 63 tahun, dan dimakamkan di Pulau Penyengat, tepatnya di kompleks makam Engku Putri Raja Hamida. Makam Raja Ali Haji terletak di luar bangunan utama makam. Karyanya Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makam. Sehingga setiap pengunjung dapat membaca atau mencatat karya besarnya itu yang bernilai sastra tinggi sekaligus memuat pesan-pesan dakwah yang begitu kental.

Ini gurindam pasal yang pertama:
 
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang ma’rifat.
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.

Ini gurindam pasal yang kedua:

Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.

Ini gurindam pasal yang ketiga:

Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
niscaya dapat daripadanya faedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluariah fi’il yang tiada senunuh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat.
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi. 

Ini gurindam pasal yang keempat:
 
Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalau lalim segala anggotapun rubuh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka.
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi. 

Ini gurindam pasal yang kelima:
 
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa.
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan beiajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

lni gurindam pasal yang keenam:

Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh dimenyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi. 

Ini gurindam pasal yang ketujuh:
 
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampirkan duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
jika besar bapanya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila mendengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.

Ini gurindam pasal yang kedelapan:
 
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar daripada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syarik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebajikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.

Ini gurindam pasal yang kesembilan:

Tahu pekerjaan tak baik, tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaitulah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segala hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat.
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.

Ini gurindam pasal yang kesepuluh:

Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil
supaya tangannya jadi kafil.

Ini gurindam pasal yang kesebelas:

Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hujjah.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.

Ini gurindam pasal yang kedua belas:

Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh anayat.
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta. 


Sumber:
  1. DE TWAALF SPREUKGEDIGHTEN. (E. Netscher dalam Tijds-chrift voor lndische taal, land-en volkenkunde). 
  2. riaulingga.blogspot.com

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA (I) SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA (I)
SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M

Abdul Hadi W. M.


                Hubungan negeri Arab dan kepulauan Nusantara telah berlangsung lama, jauh sebelum lahirnya agama Islam. Kegiatan perdagangan internasional antara Timur Tengah dan Cina telah menjadikan kepulauan Nusantara memiliki posisi strategis sebagai jalur utama lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari Barat ke Timur dan sebaliknya dari Timur ke Barat. Kota-kota pelabuhan segera tumbuh di pesisir Sumatra dan Jawa sebagai tempat singgah kapal-kapal asing itu. Pada abad ke-7 dan 8 M setelah agama Islam berkembang di negeri Arab, kegiatan perdagangan internasional ini semakin marak. Kepulauan Nusantara bukan sekadar laluan pelayaran kapal dagang asing, tetapi juga tempat mengambil barang dagangan utama seperti rempah-rempah, emas dan kamfer. Para pedagang Arab yang datang ke Nusantara telah pula memeluk agama Islam dan turut pula berperan menyebarkan agama baru ini di kalangan penduduk tempatan (Arnold 1968:367).
               Tetapi sampai abad ke-13 M agama ini hanya dipeluk sebagian kecil masyarakat Nusantara. Islam baru tersebar luas setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan memainkan peranan utama dalam kegiatan politik serta perdagangan internasional di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam awal yang kuat itu ialah Samudra Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Di kerajaan-kerajaan yang terletak di Selat Malaka, jalur utama lalu lintas perdagangan internasional antara Cina dan Timur Tengah, inilah peradaban dan kebudayaan Islam untuk pertama kalinya berkembang di kepulauan Nusantara (Azyumardi Azra 1995:22-55). Sebagai negeri yang makmur pada zamannya, ketiga negeri ini tidak hanya menarik tumpuan para pedagang untuk datang berniaga dan mengambil barang niagaan, tetapi juga mengundang utusan-utusan resmi dari kerajaan-kerajaaan Islam di Timur Tengah dan Asia Barat untuk datang, sebagaimana para ulama dan cerdik cendikia dari pusat-pusat peradaban Islam. Mereka senang tinggal di situ karena mendapat sambutan hangat raja-raja Muslim Nusantara dan diberi peluang mengembangkan dakwah Islam di tempat baru itu.
               Ibn Batutah, seorang musafir Arab yang mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1336, menulis dalam kitabnya Rihlah (Paris 1893: 230) bahwa sultan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai datang ke istananya untuk membincangkan masalah agama dan penyebarannya. Cerdik cendikia dari Parsi sangat dihormati di Pasai. Karena sambutan hangat itulah banyak di antara mereka yang senang tinggal di Pasai, kawin mawin dengan wanita setempat dan diberi fasilitas membangun berbagai lembaga keislaman, terutama pendidikan. Hal yang sama berlaku di Malaka dan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya.
               Dari naskah-naskah Melayu lama yang telah diteliti, dapat diketahui bahwa cabang-cabang-ilmu agama yang dipelajari di Nusantara luas. Di antara cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu ialah (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Kesusastraan Arab dan Parsi juga merupakan bahan pelajaran yang utama. (Ismail Hamid 1983:2). Tidak mengherankan apabila pada abad ke-14 dan 15 M apresiasi dan minat kaum terpelajar Muslim Melayu terhadap kesusastraan Arab dan Parsi sudah tinggi. Dari minat dan apresiasi yang besar inilah tumbuh minat untuk melahirkan karya sastra dalam bahasa Melayu yang ketika itu telah menjadi bahasa pergaulan utama di bidang perdagangan dan intelektual.
               Karya sastra Melayu Islam terawal yang muncul di Pasai antara lain ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Bahasa yang digunakan dalam hikayat ini ialah bahasa Melayu baru yang berbeda dari bahasa zaman Sriwijaya sebelumnya, karena telah mengalami proses islamisasi yang deras. Aksara yang digunakan ialah aksara Jawi atau aksara Arab yang dimelayukan. Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi telah mantap perkembangannya pada masa itu dan luas pemakaiannya, khususnya sebagai bahasa pergaulan di bidang keagamaan dan intelektual (Collin 1992). Dalam perkembangangan selanjutnya bahasa Melayu Pasai inilah yang dijadikan bahasa penulisan kitab-kitab keagamaan dan sastra Melayu.
              Selain menulis karya-karya orisinal seperti Hikayat Raja-raja Pasai, penulis-penulis Muslim Melayu juga mulai giat menerjemahkan dan menyadur beberapa hikayat Arab dan Parsi yang digemari masyarakat pembaca. Misalnya Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) disebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M. Selain itu juga disebutkan bahwa orang Islam dan sultan sangat menyukai tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).
             Tidak kalah populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. karya Syekh al-Busiri, penyair sufi Mesir abad ke-13 M. Kasidah ini biasa dinyanyikan pada perayaan Maulid Nabi. Dalam Tuhfat al-Mujahidin, kitab sejarah karangan Zainuddin al-Ma`bari abad ke15 dikatakan bahwa dakwah Islam berjalan efektif melalui penuturan kisah Nabi dan sajak-sajak pujian yang dinyanyikan dalam perayaan Maulid (Ismail Hamid 1983:27). Tetapi disayangkan naskah-naskah yang ditulis pada masa awal hampir tidak ditemukan lagi. Yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan abad ke-16 dan 17 M, khususnya yang ditulis di Aceh Yang jelas pada zaman Islam memainkan peranan penting bukan hanya sebagai media penyebaran gagasan keagamaan, tetapi juga penyebaran gagasan intelektual dan keilmuan.

Zaman Peralihan

    Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.
               Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
               Gelombang Pertama yang disebut Taufik Abdullah dapat disebut sebagai Zaman Awal dan Peralihan dalam sejarah kesusastraan Islam di Nusantara, khususnya Melayu. Pada masa inilah penerjemahan sajajk-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu sepertiHikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam.
                Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.
                Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau dgubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2) Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin.
               Berbeda dengan Hikayat Syah Mardan, yang digubah berdasarkan cerita Hindu, adalahCerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain. Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat (ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifat atau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra danHikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.
               Sayang sekali, sebagaimana telah dikemukakan, naskah asli dari karya-karya yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M tu sudah tidak dijumpai lagi. Naskah salinannya pada umumnya dikerjakan pada abd ke-17 M. Sudah tentu baik isi maupun susunan bahasa dan gaya sastranya sudah mengalami perubahan. Untuk mengetahui ciri-ciri utama dari karya-karya zaman peralihan itu kita mesti berpaling ke Jawa, khususnya suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.
                Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalam ilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan ialah:
  1. Seperti halnya wacana keagamaan dan intelektual yang lain, karya sastradianggap sebagaisuluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
  2. Estetika penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 14 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali, Jalaluddin al-Rumi dan Avbul Karim al-Jili. Dalam metafisika sufi, alam kewujudan dibagi empat. Mengikuti hal ini realitas dan tatanan keindahan yang ditampilkan karya terdiri dari empat lapis, yaitu Keindahan Ilahi mewakili Alam Ketuhanan (alam lahut); keindahan batin mewakili Alam Keruhanian (alam jabarut); keindahan rasional dan imaginatif mewakili Alam Kejiwaan (alam malakut,disebut juga alam mitsal, artinya alam perumpamaan); dan keindahan lahir mewakili Alam Jasmani (alam nasut).
  3. Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilaI Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.
(4) Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental
      (ishq) yang dialami seorang salik (penempuh jalan ruhani) dalam perjalanan menuju Kekasihnya, Yang Satu.

Hikayat-hikayat Zaman Peralihan

      Tidak pelak bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu di Jawa dan hindunisasi kebudayaan Jawa, sastra memainkan peranan penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual. Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis dalam bentuk karya sastra, atau menyerupai karya sastra, baik prosa maupun puisi, atau campuran keduanya.
               Zaman Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu sejak berkembangnya kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilah proses islamisasi budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang muktamad Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan Islam. Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aeh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.
              Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Hikayat Nabi-nabi; (2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. (3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi; (4) Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, sufi terkemuka dan para pendiri tariqat-tariqat besar yang berkembang di Nusantara; (5) Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam; (6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan; (7) Kisah-kisah Perumpamaan Sufi; (8) Cerita Berbingkai; (9) Kisah-kisah Jenaka. Karya-karya yang termasuk dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.(BERSAMBUNG)

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate