Berbagai
 sarana bisa digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah, termasuk dalam 
karya sastra. Para ulama terdahulu telah menunjukkan keteladanan yang 
baik dalam hal ini. Banyak ulama terdahulu yang menyisipkan pesan-pesan 
dakwahnya lewat karya sastra, antara lain dalam bentuk cerita roman, 
prosa, maupun lewat bait-bait puisi. 
Raja
 Ali Haji adalah contoh ulama yang juga dikenal sebagai seorang 
sastrawan yang tekun menggoreskan pesan-pesan dakwahnya lewat karya 
sastra. Gurindam Dua Belas adalah di antara karya besarnya yang paling monumental. 
Gurindam
 termasuk bentuk puisi lama yang banyak terdapat dalam masyarakat Melayu
 Indonesia. Gurindam biasanya terdiri dari sebuah kalimat majemuk, yang 
dibagi menjadi dua baris yang bersajak. Tiap-tiap baris itu sebuah 
kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat, biasanya antara anak 
kalimat dengan induk kalimat. Jumlah suku kata tiap-tiap baris tidak 
ditentukan, demikian juga iramanya tidak tetap. Gurindam biasanya 
digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang benar melalui pepatah atau 
peribahasa. 
Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji adalah gurindam yang paling terkenal dalam khasanah kesusastraan Melayu. Gurindam Dua Belas
 bukan berarti gurindam yang berjumlah dua belas buah. Akan tetapi, ia 
adalah gurindam yang berisi dua belas pasal. Di dalamnya kental memuat 
pesan-pesan dakwah menyangkut persoalan ibadah, perseorangan, kewajiban 
raja, kewajiban anak terhadap orangtua, tugas orang tua terhadap anak, 
sifat-sifat bermasyarakat, dan sebagainya. Petikan gurindamnya dapat 
disimak berikut ini:
 Barang siapa mengenal Yang Tersebut, tahulah ia makna takut/Barang 
siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang/Barang siapa
 meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa/Barang siapa 
meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat/Barang siapa 
meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji. 
Petikan gurindam di atas dikutip dari pasal kedua. Masih ada sebelas pasal yang semuanya kental memuat pesan-pesan dakwah.
Bangsawan Bugis
Raja
 Ali Haji adalah keturunan bangsawan Bugis. Ia lahir sekitar tahun 1809 
di Pulau Penyengat, tidak jauh dari Tanjung Pinang (Pulau Bintan). Pulau
 Penyengat sendiri adalah sebuah pusat keilmuan Melayu Islam yang 
penting di abad ke-19.
Kakeknya
 bernama Raja Haji, seorang pahlawan Bugis yang tercatat pernah menjabat
 sebagai yamtuan muda (perdana menteri) ke-4 dalam Kesultanan 
Johor-Riau. Orang-orang Bugis tiba di kawasan tersebut sekitar abad 
ke-18. Pada saat yang bersamaan tengah terjadi perebutan kekuasaan 
antara para pewaris Kesultanan Johor setelah terbunuhnya Sultan Mahmud 
Syah II. Mereka bangga terhadap asal usul, hubungan kekerabatan, dan 
tetap merasa sebagai bagian integral masyarakat Melayu-Bugis.
Raja
 Haji adalah yamtuan muda yang berhasil menjadikan Kesultanan Johor-Riau
 sebagai pusat dagang dan budaya paling penting di kawasan itu. Ia wafat
 ketika bertempur melawan Belanda tahun 1784. Raja Haji meninggalkan dua
 putra, yaitu Raja Ahmad (yang merupakan ayah dari Raja Ali Haji) dan 
Raja Ja’far. 
Raja
 Ahmad, ayah Raja Ali Haji, adalah pangeran pertama dari Riau yang 
menunaikan ibadah haji. Raja Ahmad sangat menyukai bidang sejarah. Salah
 satu karyanya berjudul Syair Perang Johor, memuat keterangan 
tentang perang antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad 
ke-17. Selain itu, Raja Ahmad juga dikenal sebagai orang pertama yang 
menyusun sebuah epos tentang sejarah orang Bugis di daerah Melayu dan 
hubungannya dengan raja-raja Melayu. 
Rupanya
 bakat menulis ayahnya itu menurun kepada Raja Ali Haji, sehingga kelak 
Raja Ali Haji dikenal sebagai seorang ulama sekaligus sastrawan 
terkemuka yang memiliki banyak karya menonjol. 
Islam dan Melayu
Raja
 Ali Haji memiliki kontribusi, kiprah, dan sumbangsih yang cukup besar, 
terutama di bidang intelektual melalui sejumlah karya yang cukup 
menonjol. Tak aneh, karena sejak kecil, Raja Ali Haji sudah terbiasa 
bergumul dengan banyak sumber-sumber ilmu dan pengetahuan.
Sejak
 masih remaja, Raja Ali Haji sering mengikuti ayahnya melakukan lawatan 
ke berbagai wilayah, baik di dalam maupun ke luar negeri. Pengalaman 
bepergian ini secara langsung memperluas cakrawala pandang, pengetahuan,
 dan wawasannya. Karenanya, dalam usianya yang belum genap berusia 20 
tahun, Raja Ali Haji sudah dipercaya mengemban tugas-tugas kenegaraan 
yang tergolong penting. Hingga pada usia 32 tahun, ia bersama sepupunya,
 Raja Ali bin Raja Ja’far, dipercaya memerintah di daerah Lingga, 
mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang masih berusia muda.
Sementara
 itu, pengetahuannya yang sangat luas di bidang syari’ah Islam, membuat 
Raja Ali Haji dikenal sebagai seorang ulama mumpuni yang sering dimintai
 fatwanya oleh kerabat kerajaan. Karenanya, ketika Raja Ali bin Raja 
Ja’far diangkat menjadi yamtuan muda pada tahun 1845, Raja Ali Haji juga
 dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara.
Sebagai
 sastrawan, Raja Ali Haji berhasil menelorkan banyak karya sastra. 
Sekian banyak hasil karya Raja Ali Haji tampak senantiasa menunjukkan 
ciri khas yang kuat yang mengakar pada tradisi kesusastraan Islam dan 
Melayu. 
Pesan-pesan
 dakwah senantiasa menjadi ruh dalam setiap karyanya. Dalam beberapa 
buah karyanya misalnya, Raja Ali Haji selalau mewanti-wanti bahwa 
satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan mencegah terjadinya 
konflik adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang telah digariskan 
dalam kitab suci Al-Qur’an.
Hidup
 di lingkaran kekuasaan, membuat Raja Ali Haji juga memiliki konsens 
yang tinggi pada akhlak kepemimpinan. Menurutnya, seorang raja yang 
melalaikan tugasnya dan mendurhakai Tuhan tidak dapat diterima sebagai 
penguasa lagi. Jabatannya itu harus diserahkan kepada orang lain yang 
lebih tepat. Adapun pemimpin yang baik, menurut Raja Ali Haji, adalah 
yang pantang terhadap hal-hal keduniawian dan kemungkaran. Sebaliknya, 
raja yang buruk adalah yang punya sifat congkak, boros, dan tidak 
memperhatikan sarana pendidikan.
Pada
 setiap pesan etik yang disampaikan, Raja Ali Haji kerap menyisipkan 
lukisan peristiwa nyata yang terjadi di masanya. Inilah yang juga 
menjadi ciri khas karyanya, yaitu intensitasnya dalam mempresentasikan  
sejarah masa lalu yang disetting sesuai dengan tuntutan kondisi di 
zamannya.
Lewat
 karya-karyanya itu, membuktikan bahwa Raja Ali Haji bukan hanya sekedar
 seorang satrawan dalam arti sempit. Akan tetapi beliau adalah sekaligus
 seorang ulama yang memiliki komitmen tinggi dalam memelihara 
nilai-nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakatnya. 
Sehingga untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun 1890, 
segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak di bidang pembinaan umat serta penerbitan buku-buku Islami. 
Dua karya sastra Raja Ali Haji yang paling menonjol adalah berjudul Hikayat Abdul Muluk dan Gurindam Dua Belas. Hikayat Abdul Muluk
 adalah karya sastra yang merupakan karya sastrawan Riau yang pertama 
kali diterbitkan (tahun 1848). Karya inilah yang menjadi cikal bakal 
terbitnya karya-karyanya yang lain. Sedangkan Gurindam Dua Belas adalah karya tak ternilai yang dianggap paling menonjol di antara karyanya yang lain.
Raja Ali Haji meninggal dunia pada tahun 1872 atau pada usia sekitar 63 tahun, dan dimakamkan di Pulau Penyengat, tepatnya di kompleks makam Engku Putri Raja Hamida. Makam Raja Ali Haji terletak di luar bangunan utama makam. Karyanya Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makam. Sehingga setiap pengunjung dapat membaca atau mencatat karya besarnya itu yang bernilai sastra tinggi sekaligus memuat pesan-pesan dakwah yang begitu kental.
Ini
gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan
nama. 
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang ma’rifat. 
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. 
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang
bahri. 
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya. 
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat. 
Ini
gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut. 
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang. 
Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua termasa. 
Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat. 
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.
Ini
gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita. 
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping. 
Apabila terpelihara lidah,
niscaya dapat daripadanya faedah. 
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan
tangan,
daripada segala berat dan ringan. 
Apabila perut terlalu penuh,
keluariah fi’il yang tiada senunuh. 
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang
semangat. 
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa
rugi. 
Ini
gurindam pasal yang keempat:
 
Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalau lalim segala anggotapun rubuh. 
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak
panah. 
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang
tergelincir. 
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala. 
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong. 
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka. 
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah. 
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar. 
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur. 
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang
berperi. 
Ini
gurindam pasal yang kelima:
 
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa. 
Jika hendak mengenal orang yang
berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia. 
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia. 
Jika hendak mengenal orang yang
berilmu,
bertanya dan beiajar tiadalah jemu. 
Jika hendak mengenal orang yang
berakal,
di dalam dunia mengambil bekal. 
Jika hendak mengenal orang yang baik
perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan
orang ramai. 
lni
gurindam pasal yang keenam:
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat. 
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru. 
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh dimenyerahkan diri. 
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan. 
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi. 
Ini
gurindam pasal yang ketujuh:
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta. 
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampirkan duka. 
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat. 
Apabila anak tidak dilatih,
jika besar bapanya letih. 
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang. 
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur. 
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar. 
Apabila mendengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah
cemburuan. 
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut. 
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar. 
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.
Ini
gurindam pasal yang kedelapan:
 
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya. 
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya. 
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya. 
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar daripada orang datangnya khabar. 
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syarik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebajikan diri diamkan. 
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.
Ini
gurindam pasal yang kesembilan:
Tahu pekerjaan tak baik, tetapi
dikerjakan,
bukannya manusia yaitulah syaitan. 
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa. 
Kepada segala hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja. 
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda. 
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan. 
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat. 
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru. 
Ini
gurindam pasal yang kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka. 
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat. 
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai. 
Dengan isteri dan gundik janganlah
alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa. 
Dengan kawan hendaklah adil
supaya tangannya jadi kafil. 
Ini
gurindam pasal yang kesebelas:
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa. 
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela. 
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat. 
Hendak marah,
dahulukan hujjah. 
Hendak dimulai,
jangan melalui. 
Hendak ramai,
murahkan perangai.
Ini
gurindam pasal yang kedua belas:
Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri. 
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja. 
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh anayat. 
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu. 
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai. 
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti. 
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta. 
Sumber:
- DE TWAALF SPREUKGEDIGHTEN. (E. Netscher dalam Tijds-chrift voor lndische taal, land-en volkenkunde).
 - riaulingga.blogspot.com
 
Untuk lampiran foto mungkin sebaiknya dicari lagi referensi, krn sering terjadi kekelirun foto ini dg keterangan, Raja Ali Haji pengarang Gurindam 12 padahal foto Raja Ali Haji bin Raja Muhammad Tengku Nong 🙏
ReplyDelete