KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA (I)
SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M
Abdul Hadi W. M.
 
              
 Hubungan negeri Arab dan kepulauan Nusantara telah berlangsung lama, 
jauh sebelum lahirnya agama Islam. Kegiatan perdagangan internasional 
antara Timur Tengah dan Cina telah menjadikan kepulauan Nusantara 
memiliki posisi strategis sebagai jalur utama lalu lintas pelayaran 
kapal-kapal dari Barat ke Timur dan sebaliknya dari Timur ke Barat. 
Kota-kota pelabuhan segera tumbuh di pesisir Sumatra dan Jawa sebagai 
tempat singgah kapal-kapal asing itu. Pada abad ke-7 dan 8 M setelah 
agama Islam berkembang di negeri Arab, kegiatan perdagangan 
internasional ini semakin marak. Kepulauan Nusantara bukan sekadar 
laluan pelayaran kapal dagang asing, tetapi juga tempat mengambil barang
 dagangan utama seperti rempah-rempah, emas dan kamfer. Para pedagang 
Arab yang datang ke Nusantara telah pula memeluk agama Islam dan turut 
pula berperan menyebarkan agama baru ini di kalangan penduduk tempatan 
(Arnold 1968:367).
  
  Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara 
dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang.
 Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar 
kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai 
bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. 
Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra 
Pasai hingga akhir abad ke-14 M.
 
 
    Tidak pelak bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu 
di Jawa dan hindunisasi kebudayaan Jawa, sastra memainkan peranan 
penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra
 saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai 
pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual.
 Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur 
lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis 
dalam bentuk karya sastra, atau menyerupai karya sastra, baik prosa 
maupun puisi, atau campuran keduanya.
SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M
Abdul Hadi W. M.
               Tetapi sampai abad ke-13 M agama
 ini hanya dipeluk sebagian kecil masyarakat Nusantara. Islam baru 
tersebar luas setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan 
memainkan peranan utama dalam kegiatan politik serta perdagangan 
internasional di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam awal yang kuat 
itu ialah Samudra Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511) dan Aceh 
Darussalam (1516-1700). Di kerajaan-kerajaan yang terletak di Selat 
Malaka, jalur utama lalu lintas perdagangan internasional antara Cina 
dan Timur Tengah, inilah peradaban dan kebudayaan Islam untuk pertama 
kalinya berkembang di kepulauan Nusantara (Azyumardi Azra 1995:22-55). 
Sebagai negeri yang makmur pada zamannya, ketiga negeri ini tidak hanya 
menarik tumpuan para pedagang untuk datang berniaga dan mengambil barang
 niagaan, tetapi juga mengundang utusan-utusan resmi dari 
kerajaan-kerajaaan Islam di Timur Tengah dan Asia Barat untuk datang, 
sebagaimana para ulama dan cerdik cendikia dari pusat-pusat peradaban 
Islam. Mereka senang tinggal di situ karena mendapat sambutan hangat 
raja-raja Muslim Nusantara dan diberi peluang mengembangkan dakwah Islam
 di tempat baru itu.
               Ibn Batutah, seorang musafir Arab yang mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1336, menulis dalam kitabnya Rihlah (Paris
 1893: 230) bahwa sultan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik 
pandai datang ke istananya untuk membincangkan masalah agama dan 
penyebarannya. Cerdik cendikia dari Parsi sangat dihormati di Pasai. 
Karena sambutan hangat itulah banyak di antara mereka yang senang 
tinggal di Pasai, kawin mawin dengan wanita setempat dan diberi 
fasilitas membangun berbagai lembaga keislaman, terutama pendidikan. Hal
 yang sama berlaku di Malaka dan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya.
              
 Dari naskah-naskah Melayu lama yang telah diteliti, dapat diketahui 
bahwa cabang-cabang-ilmu agama yang dipelajari di Nusantara luas. Di 
antara cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu ialah (1) Dasar-dasar 
Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu 
Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang
 penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq 
(logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan 
lain-lain. Kesusastraan Arab dan Parsi juga merupakan bahan pelajaran 
yang utama. (Ismail Hamid 1983:2). Tidak mengherankan apabila pada abad 
ke-14 dan 15 M apresiasi dan minat kaum terpelajar Muslim Melayu 
terhadap kesusastraan Arab dan Parsi sudah tinggi. Dari minat dan 
apresiasi yang besar inilah tumbuh minat untuk melahirkan karya sastra 
dalam bahasa Melayu yang ketika itu telah menjadi bahasa pergaulan utama
 di bidang perdagangan dan intelektual.
               Karya sastra Melayu Islam terawal yang muncul di Pasai antara lain ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis
 setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 
(Ibrahim Alfian 1999:52). Bahasa yang digunakan dalam hikayat ini ialah 
bahasa Melayu baru yang berbeda dari bahasa zaman Sriwijaya sebelumnya, 
karena telah mengalami proses islamisasi yang deras. Aksara yang 
digunakan ialah aksara Jawi atau aksara Arab yang dimelayukan. Ini 
menunjukkan bahwa bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi telah mantap 
perkembangannya pada masa itu dan luas pemakaiannya, khususnya sebagai 
bahasa pergaulan di bidang keagamaan dan intelektual (Collin 1992). 
Dalam perkembangangan selanjutnya bahasa Melayu Pasai inilah yang 
dijadikan bahasa penulisan kitab-kitab keagamaan dan sastra Melayu.
              Selain menulis karya-karya orisinal seperti Hikayat Raja-raja Pasai, penulis-penulis
 Muslim Melayu juga mulai giat menerjemahkan dan menyadur beberapa 
hikayat Arab dan Parsi yang digemari masyarakat pembaca. Misalnya Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dalam Sejarah Melayu (1607
 M) disebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada 
akhir abad ke-15 M. Selain itu juga disebutkan bahwa orang Islam dan 
sultan sangat menyukai tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan
 Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh 
Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaan
 Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 
1999:53).
             Tidak kalah populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian
 puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. karya Syekh al-Busiri, 
penyair sufi Mesir abad ke-13 M. Kasidah ini biasa dinyanyikan pada 
perayaan Maulid Nabi. Dalam Tuhfat al-Mujahidin, kitab sejarah 
karangan Zainuddin al-Ma`bari abad ke15 dikatakan bahwa dakwah Islam 
berjalan efektif melalui penuturan kisah Nabi dan sajak-sajak pujian 
yang dinyanyikan dalam perayaan Maulid (Ismail Hamid 1983:27). Tetapi 
disayangkan naskah-naskah yang ditulis pada masa awal hampir tidak 
ditemukan lagi. Yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan abad ke-16 
dan 17 M, khususnya yang ditulis di Aceh Yang jelas pada zaman Islam 
memainkan peranan penting bukan hanya sebagai media penyebaran gagasan 
keagamaan, tetapi juga penyebaran gagasan intelektual dan keilmuan.
Zaman Peralihan
               Dalam Gelombang 
Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara 
besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami 
realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik
 dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan 
tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang 
doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan 
Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang 
Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar 
hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini 
‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam 
gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini 
terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
               Gelombang Pertama 
yang disebut Taufik Abdullah dapat disebut sebagai Zaman Awal dan 
Peralihan dalam sejarah kesusastraan Islam di Nusantara, khususnya 
Melayu. Pada masa inilah penerjemahan sajajk-sajak pujian kepada Nabi 
Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu sepertiHikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan
 lain-lain. Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai 
dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha
 dengan diberi suasana dan nafas Islam.
                Ciri-ciri 
karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang 
dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya 
pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam 
dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia 
Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair 
tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. 
Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan 
dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. 
Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang 
rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan 
memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.
               
 Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau dgubah kembali pada umumnya
 adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, 
terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan 
antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang 
zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau 
kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang
 populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang 
dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk 
menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2) Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin.
               Berbeda dengan Hikayat Syah Mardan, yang digubah berdasarkan cerita Hindu, adalahCerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain. Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat (ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifat atau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’)
 di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Memang pada masa ini 
pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek 
kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf 
juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik 
dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra danHikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota
 Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad 
ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang 
membicarakan masalah etika dan pemerintahan.
               Sayang
 sekali, sebagaimana telah dikemukakan, naskah asli dari karya-karya 
yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M tu sudah tidak dijumpai lagi. 
Naskah salinannya pada umumnya dikerjakan pada abd ke-17 M. Sudah tentu 
baik isi maupun susunan bahasa dan gaya sastranya sudah mengalami 
perubahan. Untuk mengetahui ciri-ciri utama dari karya-karya zaman 
peralihan itu kita mesti berpaling ke Jawa, khususnya suluk-suluk dan 
risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan 
awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang 
wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia 
hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan 
dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya 
kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah 
belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan 
zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.
               
 Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi 
dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalam ilmu 
tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara
 suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan
 lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara 
seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya
 itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris 
oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan ialah:
- Seperti halnya wacana keagamaan dan intelektual yang lain, karya sastradianggap sebagaisuluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
 - Estetika penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 14 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali, Jalaluddin al-Rumi dan Avbul Karim al-Jili. Dalam metafisika sufi, alam kewujudan dibagi empat. Mengikuti hal ini realitas dan tatanan keindahan yang ditampilkan karya terdiri dari empat lapis, yaitu Keindahan Ilahi mewakili Alam Ketuhanan (alam lahut); keindahan batin mewakili Alam Keruhanian (alam jabarut); keindahan rasional dan imaginatif mewakili Alam Kejiwaan (alam malakut,disebut juga alam mitsal, artinya alam perumpamaan); dan keindahan lahir mewakili Alam Jasmani (alam nasut).
 - Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilaI Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.
 
(4) Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental
      (ishq) yang dialami seorang salik (penempuh jalan ruhani) dalam perjalanan menuju Kekasihnya, Yang Satu.
Hikayat-hikayat Zaman Peralihan
               Zaman 
Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu 
sejak berkembangnya kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual 
Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh 
Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilah proses islamisasi 
budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang 
muktamad Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan 
Islam. Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, 
disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan 
realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi
 masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. 
Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk 
memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi 
kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali 
hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam 
bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aeh, 
Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.
              
Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah 
kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) 
Hikayat Nabi-nabi; (2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan 
perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. (3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi; (4) 
Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, sufi terkemuka dan para pendiri 
tariqat-tariqat besar yang berkembang di Nusantara; (5) Hikayat 
Pahlawan-pahlwan Islam; (6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang 
didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah 
petualangan bercampur percintaan; (7) Kisah-kisah Perumpamaan Sufi; (8) 
Cerita Berbingkai; (9) Kisah-kisah Jenaka. Karya-karya yang termasuk 
dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, 
walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair 
atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama 
pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama 
penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau 
penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment