Zainab adalah putri 
tertua Rasulullah .. Rasulullah telah menikahkannya dengan sepupu 
beliau, yaitu Abul ‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, 
atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul ‘Ash 
adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari 
pernikahannya dengan Abul ‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan 
Umamah. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa 
dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib. setelah wafatnya 
Fatimah.
Setelah 
berumah tangga, Zainab tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. 
Hingga pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab 
mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu 
karunia dengan diangkatnya, ayahnya, Muhammad . menjadi Nabi akhir 
jaman. Zainab mendengarkan keterangan tentang Islam dari ibunya, 
Khadijah.. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan menerima hidayah 
Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun ia belum 
menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.
Sedangkan 
Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah 
berhala. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering 
meninggalkan Zainab untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar 
tentang pengakuan Muhammad sebagai Nabi .. Namun, ia tidak mengetahui 
bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk Islam. Pada tahun ke-6 setelah 
hijrah Nabi . ke Madinah.
Abul ‘Ash 
bin Rabi’ pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk 
berdagang. Ketika Rasulullah . mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang 
sedang kembali dari Syria, beliau mengirim Zaid bin Haritsah ra. bersama
 313 pasukan muslimin untuk menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka 
menghadang kafilah ini di dekat Al-is di Badar pada bulan jumadil Awal. 
Mereka menangkap kafilah itu dan barang-barang yang dibawanya serta 
menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul ‘Ash bin Rabi’. 
Ketika penduduk Mekkah datang unluk menebus para tawanan, maka saudara 
laki-laki Abul ‘Ash, yaitu Amar bin Rabi’, telah datang untuk menebus 
dirinya. Ketika itu, Zainab istri Abul ‘Ash masih tinggal di Mekkah. la 
pun telah mendengar berita serangan kaum muslimin atas kafilah-kafilah 
Quraisy termasuk berita tertawannya Abul ‘Ash.
Berita ini 
sangat meiiyedihkannya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari 
batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar 
adalah sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan
 kalung itu kepada Zainab ketika ia akan menikah dengan Abul ‘Ash bin 
Rabi’. Dan kali ini, Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas 
suaminya, Abul ‘Ash. Kalung itu sampai di tangan Rasulullah . Ketika 
beliau . melihat kalung itu, beliau segera mengenalinya. Dan kalung itu 
mengingatkan beliau kepada istrinya yang sangat ia sayangi, Khadijah. 
Beliau berkata, ‘Seorang Mukmin adatah penolong bagi orang Mukmin 
lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang 
yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan untuk 
niembebaskan Abul ‘Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu 
kepadanya, maka lakukaniah.’ Mereka menjawab, ‘Baik, ya Rasulullah ‘ 
Maka mereka segera membebaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan kalung itu 
kepada Zainab.
Kemudian Rasulullah . menyuruh Abul ‘Ash agar berjanji untuk 
membiarkan Zainab bergabung bersama Rasulullah . Dia pun berjanji dan 
memenuhi janjinya itu. Ketika Rasulullah . pulang ke rumahnya, Zainab 
datang menemuinya dan meminta untuk mengembalikan kepada Abul ‘Ash apa 
yang pernah diambil darinya. Beliau mengabulkannya. Pada kesempatan itu,
 Beliau pun telah melarang Zainab agar tidak mendatangi Abul ‘Ash, 
karena dia tidak halal bagi Zainab selama dia masih kafir. lalu Abul 
‘Ash kembali ke Mekkah dan menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian 
dia masuk Islam dan kembali kepada Rasulutiah  sebagai 
seorang Muslim. Dia berhijrah pada bulan Muharram, 7 Hijriyah. Maka 
Rasulullah . pun mengembalikan Zainab kepadanya, berdasarkan 
pernikahannya yang pertama
Zainab 
wafat pada tahun 8 Hijriyah. Orang-orang yang memandikan jenazahnya 
ketika itu, antara lain ialah; Ummu Aiman, Saudah binti Zam’ah, Ummu 
Athiyah dan Ummu Salamah.. Rasulullah . berpesan kepada mereka yang akan
 memandikan jenazahnya ketika itu, ‘Basuhiah dia dalarn jumlah yang 
ganjil, 3 atau 5 kali atau iebih jika kalian merasa lebih baik begitu. 
Mulailah dari sisi kanan dan anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan 
air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur barus pada air siraman yang 
terakhir. Jika kalian sudah selesai beritahukaniah kepadaku.’ Ketika 
itu, rambut jenazah dikepang meniadi tiga kepangan, di samping dan di 
depan lalu dikebelakangkan. Setelah selesai dari memandikan jenazah, 
Ummu Athiyah memberitahukan kepada Nabi . Lalu Nabi  memberikan selimutnya dan berkata, ‘Kafanilah dia dengan kain ini.’
Cerita cinta
Cinta tak
 cukup untuk menyatukan dua manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak 
kan mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan 
mempertemukan kembali yang telah terpisahkan sekian lama.
Tersebutlah
 kisah tentang putri pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, 
seorang wanita bangan Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin 
‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyyah radhiallahu ‘anhu, saat ayahnya 
memasuki usia tiga puluh tahun. Dia bernama Zainab radhiallahu ‘anha 
bintu Muhammad bin ‘Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semasa 
hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda,
 Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi 
Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, 
saudari perempuan Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiallahu ‘anha 
menghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan 
itu, lahir Umamah dan ‘Ali, dua putra-putri Abul ‘Ash.
Tatkala 
cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka hati Zainab 
radhiallahu ‘anha untuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ 
masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan 
yang berbeda…
Orang-orang
 musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul 
‘Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, 
Zainab radhiallahu ‘anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi 
hijrah.
Ramadhan 
tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran 
itu, terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh 
puluh orang dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin 
Ar-Rabi’.
Penduduk 
Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di 
antara harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiallahu ‘anha 
untuk kebebasan suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha 
yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri yang 
dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, “Apabila kalian 
bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan 
harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun 
menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!”
Kemudian mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu.
Ketika itu,
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk 
berjanji agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju 
Madinah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid
 bin Haritsah radhiallahu ‘anhu bersama salah seorang Anshar sembari 
berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan 
Zainab, lalu bawalah dia kemari.”
Berpisahlah
 Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan 
Islam, meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang 
peristiwa Fathu Makkah, Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama 
rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah 
menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus 
tujuhpuluh orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu. 
Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang 
dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil meloloskan
 diri.
Ketika 
gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, 
Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta 
perlindungan.
Subuh tiba.
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri 
menunaikan Shalat Shubuh. Saat itu, Zainab radhiallahu ‘anha berseru 
dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah 
memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”
Usai 
shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap pada para 
shahabat sembari bertanya, “Kalian mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, 
wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, 
“Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang
 baru saja kalian dengar.”
Kemudian 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, 
“Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia 
mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiallahu ‘anha
 menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya.”
Setelah itu
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pasukan Zaid bin 
Haritsah radhiallahu ‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul 
‘Ash termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah
 mengambil hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. 
Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu 
kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak 
atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan 
kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh 
harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang 
sedikit pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan 
mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu
 dia bertanya, “Apakah masih ada di antara kalian yang belum mengambil 
kembali hartanya?” Mereka menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan 
yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi 
janji.” Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi 
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku 
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak 
ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir 
kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah 
Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku 
masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu 
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.
Enam tahun 
bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama 
pun menjelang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan 
putri tercintanya, Zainab radhiallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash 
bin Ar- Rabi’ radhiallahu ‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa 
menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka …
Namun, 
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah 
pertemuan itu, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
kembali ke hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, 
meninggalkan kekasihnya untuk selamanya.
Di antara 
para shahabiyyah yang memandikan jenazahnya, ada Ummu ‘Athiyyah 
Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya 
jenazah Zainab radhiallahu ‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu
 ‘alaihi wa sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai 
itu, rambut Zainab radhiallahu ‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. 
Jenazahnya dibungkus dengan kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam. Putri pemimpin para nabi itu telah pergi…
Sumber
 bacaan: •Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr 
(4/1701-1704,1853-1854), •Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d 
(8/30-35), •Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh Muhammad bin 
‘Abdil Wahhab (hal. 110-117), •Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya 
Ibrahim Al-‘Ali (hal. 192), •Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam 
Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah 
bintu ‘Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah
No comments:
Post a Comment