Walaupun Saudah binti Zum’ah
 tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia
 tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan 
yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di 
jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. 
Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi 
wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. 
menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena 
memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat 
Rasulullab adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, 
perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya 
kepada Allah dan Rasul-Nya.
A. Dia adalah Seorang Janda
Telah
 kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat 
oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. 
tengah mengalami rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah 
orang-orang Quraisy untuk rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada 
tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan 
silih berganti.
Ketika
 itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke 
Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh 
hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat 
Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka 
memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga 
kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap 
sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.
Dalam
 keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ 
Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan 
kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau 
menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau
 menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah 
perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang 
mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, 
Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam 
kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang ikut berjuang 
dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri 
Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat
 beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti
 Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita 
yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia 
yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, 
sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah. Melalui 
kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami 
kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya 
akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan
 Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin 
Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu
 akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.
Kemudian
 Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang 
akan rnengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan 
seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang 
memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat 
sibuk dalam menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa apa yang 
diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, 
“Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau 
menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika 
yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti 
Zum’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah, yang sejak 
keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, 
sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wassalm. memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa 
orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk 
memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa 
Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah
 Khadijah wafat.
Jika
 kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan 
Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan 
menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah 
seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga 
tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah 
memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia 
termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan 
hidup.
B. Nasab dan Keislamannya
Saudah
 binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin 
bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan 
Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal 
memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah 
dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan 
tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, 
suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah 
Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu 
Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya,
 Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang 
dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat 
memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang 
muslimah.
C. Hijrah ke Habbasyah
Keislaman
 Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka 
berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat
 mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa 
keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan 
Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara 
kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar mereka 
tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke 
Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu 
hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. 
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin
 yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan 
pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan
 dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di
 Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah 
walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka
 menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk 
melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang 
tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang 
kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di 
Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut 
dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy
 yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah 
dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum 
Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan
 tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak 
kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah 
perjalanan menuju Mekah.
Betapa
 sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal 
dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung 
halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan 
orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal 
suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam 
jihad di jalan Allah.
D. Rahmat Allah
Saudah
 binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan 
ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa 
mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya 
janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah 
membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan 
tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam 
kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke 
rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang. 
Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya. 
Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam
 dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika
 Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia 
menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat 
kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita 
yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu 
menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, 
Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang 
akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan
 kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri 
Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba 
pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa 
gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan 
nikmat yahg sebesar ini?
Rasulullah
 mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan 
berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, 
terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya. 
Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. 
Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta 
Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zum’ah bin Qais mengetahui siapa yang 
akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu 
langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang ke 
rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan 
perkawinan itu terlaksana dengan baik.
E. Berada di Rumah Rasulullah
Saudah
 mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan 
kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum 
dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah 
pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah
 memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah,
 sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat 
sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan 
posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan 
kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu 
cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang 
dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. 
Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan 
suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa
 bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. 
Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah.
 Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. 
Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati 
Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, 
sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan 
Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. 
Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah 
kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah 
dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat
 Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas,
 sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut 
Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan 
madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga 
menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat 
meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan 
duniawi.
F. Hijrahnya ke Madinah
Pertama
 kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa 
keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang 
membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum 
dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang 
kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju 
negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada 
Rasulullah.
Setelah
 masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah
 di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi
 tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti 
kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib 
terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan 
Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau hendak 
membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu kehidupan Rasulullah 
tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan 
pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, 
barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau 
membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
G. Sikap Hidupnya
Sejarah
 banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya 
senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering 
membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat 
mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat 
melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk 
memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap 
keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling 
besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah 
berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul 
bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, karena dia memiliki keistimewaan 
yang tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita 
yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama 
Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah 
merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk 
memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah 
semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku 
mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan 
istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku 
sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum 
wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan 
niatnya. Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik
 agar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. 
Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga 
akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. 
Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan 
pernikahannya dengan Saudah.
Saudah
 mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum 
berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan 
menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, 
dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini
 banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum 
muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. 
Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang 
yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun 
mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula 
Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu 
pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya 
bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah
 menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah 
lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. 
Beberapa saat setelah haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wassalm. sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau yang
 lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak 
pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai beliau
 wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan 
mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian 
besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan 
keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk 
kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu 
menjenguknya karena dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada
 masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk 
beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa 
dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat 
yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih 
mendekari kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah
 pun Saudah sudah termasuk tua.
H. Sifat dan Keutamaannya
Hal
 istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam
 menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk 
kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan 
keluarganya sendiri. Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena 
perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang 
berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat
 mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya 
menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah 
orang tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi 
istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan 
ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah. Jelasnya, 
kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya 
tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah 
lainnya.
Saudah
 pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian
 riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, 
baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu 
pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan
 yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. 
Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri 
hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah 
Saudah binti Zum’ah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di 
sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Tambahan kisah lainnya:
Dia
 adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
 wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya 
bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah 
Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum
 menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah 
menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan 
kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang 
lain.
Ketika
 Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan
 meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah 
dan menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah 
pada bulan Ramadhan.
Saudah
 adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran 
candanya, sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i 
bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa 
Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika 
ruku’ punggungmu menyentuh hidungmu dengan keras, maka aku pegang 
hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. 
Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa 
Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika
 Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat 
hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, 
bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin 
dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi
 istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan tetap 
menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai Rasulullah
 Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat 
Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz
 atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya 
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih 
baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah
 berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa 
Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum 
berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika 
berjalan, sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku 
sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah berkata: Aku
 tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin sekali 
menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan 
gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. (
 Shahih Muslim 2/1085).
Di
 antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat 
kepada Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa 
Sallam bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji 
bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di 
rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa 
sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai 
dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah
 berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu 
malam untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya 
tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada 
saat itu. Saat itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah 
kami tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka
 Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu 
di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang makan malam, di tangannya 
ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya berkata kepadanya: 
Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku 
dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu, maka saat itu
 turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan 
kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim).
Saudah
 terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu 
wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya 
(Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam 
al-Ishobah 7/721).
Saudah
 termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 
yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang 
terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah
 meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah.
 Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga 
Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Sumber
 : Sirah nabawiyah Ibnu Hisyam, Siyar a’lamin Nubala oleh Adz-Dzahabi, 
Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar, Al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil barr, Thabaqah 
Qubra oleh ibnu Sa’ad
No comments:
Post a Comment