Sejak
lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah di Nusantara yang
aksentuasi
keislamannya paling menonjol. Pencitraan ini muncul karena banyak
faktor, a) hubungan dagang dan diplomatik antara kerajaan-kerajaan di
wilayah Melayu (misalnya Sriwijaya, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam)
dengan Timur Tengah dan Eropa yang sudah berlangsung lama; terlebih
ketika kerajaan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam mendapatkan pengakuan
dari Kerajaan Turki Utsmani dan mendapatkan restu "kekhalifahan" dan
"kesultanan" dari Syarif-Syarif di Haramayn, b) kerajaan Islam di
Nusantara yang paling dekat ke Haramayn (Makkah dan Madinah) berada di
Aceh, yakni Samudera Pasai dan Aceh Darussalam, yang kemudian menjadi
gerbang masuknya Islam ke wilayah Nusantara lainnya, termasuk ke Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dll. c) Banyaknya ulama dan intelektual Muslim
lainnya yang singgah ke wilayah ini, termasuk hidupnya dialog-dialog
(polemik) intelektual keislaman, yang pada gilirannya mengharumkan nama
Aceh sebagai bumi kaum Muslim, yang corak ke-Islaman--nya, diklaim,
melebihi keislaman wilayah lainnya; d) Posisi strategis dari Aceh,
terutama karena keberadaan beberapa pelabuhan besar, termasuk Malaka,
yang memungkinkan daerah ini menjadi salah satu wilayah strategis yang
memainkan peran signifikan dalam bidang politik, ekonomi,
intelektualisme, dan Islamisasi Melayu dan Nusantara.
Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, dan Samsuddin Sumatrani. Ulama terakhir, yakni Syamsuddin Sumatrani, adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, dan Samsuddin Sumatrani. Ulama terakhir, yakni Syamsuddin Sumatrani, adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan
tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan
penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber
mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai
mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab
Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci.
Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya
cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut
spektrum pemikirannya.
Mengenai
asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal
sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan
penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di
kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup
ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut
Syamsuddin Pasai.
Menurut
para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai
mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah
orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri
dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka
kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama
bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.
Berbicara
tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri
Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak
Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni
sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara
beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru
berlangsung pada tahun 1524.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.
Mengenai
hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy
cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri.
Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin
Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri.
Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun
hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri
memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia
diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan
Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham
wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan
literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para
pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.
Pada
kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan
Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai
penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian
mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah
seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru
pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian,
paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di
Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
- Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
- Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
- Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
- Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
- Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
- Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
- Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
- Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
- Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari
hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang
pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak
menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi,
masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang
paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi
al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi
dan para pengikutnya.
Di
antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah
Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan
corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud
kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan
selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh
jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa
tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.
Sementara
bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid
tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki)
kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan
(al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak
ada wujud kecuali Allah. Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman
wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin
al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme.
Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam
menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain
Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi.
Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat
prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya
bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi
kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan
adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).
Jadi
para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka
menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara
martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin
Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang
benar.
Bagi
Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud
berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan.
Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena
diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya
dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari
segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada
(maujud).
Dengan
demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan
dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh
martabatnya. Tulisnya:
I’lam,
ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat;
pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah,
keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam
ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka
ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah
itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah
bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu
bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa,
maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat
(hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia.
Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala,
maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat
al-makhluk.
Atas
uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan
ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah,
maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat
berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya
adalah wujud aktual makhluk.
Dengan
demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa
(kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang
dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga
martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari
semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga
martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat
berikutnya. Wallahu A’lam.
Sumber:
No comments:
Post a Comment