‘Umair
 Bin Sa’ad Al Anshary, telah merasa hidup yatim dan miskin sejak ia 
masih kecil. Bapaknya meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan 
yang mencukupi. Tetapi untunglah ibunya segera kawin kembali dengan 
seorang laki-laki kaya dari suku Aus, Al Julas bin Suwaid. Maka ‘Umair 
ditanggung oleh Julas dan dikumpulkannya ke dalam keluarganya. Sejak itu
 ‘Umair menemukan jasa-jasa baik Julas, pemeliharaan yang bagus, 
keindahan belas-kasih, sehingga ‘Umair dapat melupakan bahwa ia telah 
yatim.
 
Umair menyayangi Julas sebagai layaknya sayang seorang anak kepada 
bapak. Begitu pula Julas, sangat menyintai ‘Umair sebagai lazimnya cinta
 bapak kepada anak. Setiap usia ‘Umair bertambah dan menjadi remaja, 
bertambah pula kasih sayang dan simpati Julas kepadanya, karena 
pembawaannya yang cerdas dan perbuatan mulia yang selalu 
diperlihatkannya, kehalusan budi pekerti, amanah dan jujur yang 
senantiasa diperagakannya.
 
Umair bin Sa’ad masuk Islam dalam usia yang sangat muda, kira-kira 
sepuluh tahun lebih sedikit. Ketika itu Iman telah mantap dalam hatinya 
yang masih segar, lembut dan polos. Karena itu Iman melekat pada dirinya
 dengan kokoh. Dan Islam mendapatkan jiwanya yang bersih dan halus, 
bagaikan mendapatkan tanah subur. Dalam usia seperti itu ‘Umair tidak 
pernah ketinggalan shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ibunya 
senantiasa diliputi kegembiraan setiap melihat anaknya pergi atau pulang
 dari masjid, kadang-kadang bersama-sama suaminya dan kadang-kadang 
anaknya seorang diri.
 
Kehidupan ‘Umair bin Sa’ad di waktu kecil berjalan lancar, senang dan 
tenang, tidak ada yang mengeruhkan dan mengotori. Sehingga tiba masanya 
Allah menghendaki untuk mengembangkan jiwa anak kecil yang akan 
meningkat remaja ini dengan suatu latihan berat, dan mengujinya dengan 
ujian yang jarang dilalui anak-anak sebaya dia.
 
Tahun kesembilan hijriyah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. 
mengumumkan hendak: memerangi tentara Rum di Tabuk (Tabuk, suatu tempat 
dalam wilayah pcmerintahan Syam. Di sana pernah terjadi peperangan yang 
sangat terkenal antara kaum muslimin dengan tentara Rum). Beliau 
memerintahkan kaum muslimin supaya bersiap-siap menghadapi peperangan 
tersebut. Biasanya bila Rasulullah hendak pergi berperang, beliau tidak 
pernah mengumumkan sasaran yang akan dituju, kecuali pada peperangan 
Tabuk. Rasulullah menjelaskan kepada kaum muslimin sasaran yang dituju, 
karena akan menempuh perjalanan jauh dan sulit, serta kekuatan musuh 
berlipat ganda, supaya kaum muslimin mengerti tugas mereka mempersiapkan
 diri menghadapi peperangan tersebut. Di samping itu musim panas telah 
mulai dengan suhu yang menyengat. Buah-buahan sudah berbuah dan mulai 
masak. Awan bagus. Setiap orang cenderung hendak berlambat-lambat dan 
bermalas-malasan. Namun kaum muslimin yang setia dan patuh 
memperkenankan seruan Nabi mereka, mempersiapkan segala sesuatunya untuk
 perang dengan cepat dan cermat.
 
Lain lagi golongan munafik. Mereka sengaja mengulur-ulur waktu. 
Memandang enteng setiap hal yang penting-penting; membangkitkan 
keragu-raguan; bahkan mencela kebijaksanaan Rasulullah Shallallahu 
alaihi wassalam. dan mengucapkan kata-kata beracun di majelis-majelis 
khusus mereka, yang menimbulkan kekafiran.
 
Beberapa hari sebelum keberangkatan pasukan tentara muslimin ke medan 
perang Tabuk, Umair bin Sa’ad yang baru meningkat remaja pulang ke 
rumahnya sesudah shalat di masjid. Jiwanya sangat tergugah menyaksikan 
pengorbanan yang sangat gemilang, tulus dan ikhlas, dari sego-longan 
kaum muslimin, yang dilihat dan didengarnya dengan mata kepala dan 
telinganya sendiri. Dia menyaksikan para wanita muhajirat dan anshar, 
dengan spontan menyambut seruan Rasulullah. Mereka tanggalkan perhiasan 
mereka seketika itu juga, lalu diserahkannya kepada Rasulullah untuk 
biaya perang fi sabilillah. Dia menyaksikan dengan mata sendiri. ‘Utsman
 bin ‘Affan datang membawa pundi-pundi berisi ribuan dinar emas, lalu 
diserahkannya kepada Rasulullah. ‘Abdur Rahman bin ‘Auf datang pula 
membawa dua ratus Uqiyah (1 Uqiyah = 1/2 tahil) emas dan diserahkannya 
kepada Nabi yang mulia. Bahkan dia melihat seorang laki-laki menjual 
tempat tidur untuk membeli sebuah pedang yang akan dibawa dan dipakainya
 berperang fi sabilillah.
Umair
 merasa bangga melihat kepatuhan dan pengorbanan yang amat 
mengesankannya itu. Sebaliknya dia amat heran melihat orang-orang yang 
bersikap acuh tak acuh melakukan persiapan untuk berangkat bersama-sama 
Rasulullah, dan mengundur-ngundur waktu menyerahkan sumbangan kepada 
beliau, padahal orang itu mampu dan cukup kaya melakukannya segerai 
mungkin. Karena itu jiwanya tergerak hendak membangkitkan semangat 
orang-orang yang lalai dan acuh tak acuh ini. Maka diceritakannya kepada
 mereka segala peristiwa yang dilihat dan di-dengarnya mengenai 
sumbangan dan pengorbanan golongan orang-orang mu’min yang patuh dan 
setia kepada Rasulullah, terutama cerita mengenai orang-orang yang 
datang kepada Rasulullah dengan beriba-iba memohon supaya mereka 
diterima menjadi anggota pasukan yang akan turut berperang. Tetapi 
Rasulullah menolak permohonan mereka, karena mereka tidak mempunyai kuda
 atau unta kendaraan sendiri. Lalu orang-orang itu pulang sambil 
menangis sedih, karena tidak mempunyai kendaraan untuk mencapai 
cita-cita mereka hendak turut berjihad dan membuktikan keinginannya 
memperoleh syahid.
 
Tetapi tatkala kaum munafik yang sengaja berlalai-lalai dan acuh tak 
acuh ini mendengar cerita ‘Umair yang dikiranya akan membangkitkan 
semangat juang dan pengorbanan mereka, malah sebaliknya ‘Umair menerima 
jawaban berupa kata-kata yang sungguh-sungguh membingungkan pemuda cilik
 yang mu’min ini. Mereka berkata, “Seandainya apa yang dikatakan 
Muhammad tentang kenabian itu benar adanya, tentulah kami lebih buruk 
daripada keledai.”
 
‘Umair sungguh bingung mendengar ucapan itu. Dia tidak menyangka sedikit
 juapun kata-kata seperti itu justru keluar dari mulut orang dewasa yang
 cerdas, Julas bin Suwaid, bapak tiri yang mengasuh dan membesarkannya 
selama ini; kata-kata yang nyata-nyata mengeluarkan orang yang 
mengucapkannya dari Iman dan Islam, beralih menjadi kafir seketika itu 
juga, melalui pintu utama yang paling lebar.
 
Sementara kebingungan, anak itu juga memikirkan tindakan apa yang harus 
dilakukannya. Dia mengambil kesimpulan, bahwa Julas diam, tidak turut 
mengambil bagian dalam kegiatan persiapan perang, adalah suatu 
pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya; jelas membahayakan Islam, 
dan termasuk taktik kaum munafik yang ditiup-tiupkannya sesama mereka. 
Sedangkan melaporkan dan menyiarkan ucapan Julas, berarti mendurhakai 
orang yang selama ini telah dianggapnya sebagai bapak kandungnya 
sendiri. Berarti pula membalas air susu dengan tuba. Demikian analisa 
‘Umair.
Anak kecil itu merasa dia harus berani mengambil keputusan segera; melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya atau diam seribu bahasa. Dia memilih melapor. Lalu dia berkata kepada Julas, “Demi Allah, hai Pak Julas! Tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih saya cintai selain dari Muhammad Rasulullah. Bahkan dia lebih saya cintai dari Bapak sendiri. Bapak memang sangat berjasa kepada saya, karena telah turun tangan membahagiakan saya. Tetapi Bapak telah mengucapkan kata-kata yang jika saya laporkan pasti akan memalukan Bapak. Sebaliknya jika saya diamkan berarti saya mengkhianati amanah yang akan mencelakakan diri serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad hendak melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah, dan Bapak akan menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri.
Anak kecil itu merasa dia harus berani mengambil keputusan segera; melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya atau diam seribu bahasa. Dia memilih melapor. Lalu dia berkata kepada Julas, “Demi Allah, hai Pak Julas! Tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih saya cintai selain dari Muhammad Rasulullah. Bahkan dia lebih saya cintai dari Bapak sendiri. Bapak memang sangat berjasa kepada saya, karena telah turun tangan membahagiakan saya. Tetapi Bapak telah mengucapkan kata-kata yang jika saya laporkan pasti akan memalukan Bapak. Sebaliknya jika saya diamkan berarti saya mengkhianati amanah yang akan mencelakakan diri serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad hendak melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah, dan Bapak akan menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri.
 
‘Umair bin Sa’ad yang masih anak-anak pergi ke masjid, lalu 
dilaporkannya kepada Rasulullah kata-kata yang didengarnya sendiri dari 
bapak tirinya, Julas bin Suwaid. Rasulullah meminta ‘Umair supaya 
tinggal lebih dahulu dekat beliau. Sementara itu beliau menyuruh seorang
 sahabat memanggil Julas. Tidak berapa lama kemudian Julas pun datang. 
Rasulullah memanggilnya supaya duduk di hadapan beliau.
 Beliau bertanya, “Betulkah Anda mengucapkan kata-kata seperti yang saya dengar dari ‘Umair bin Sa’ad?”
 Jawab Julas, “Anak itu dusta, ya Rasulullah saya tidak pernah mengucapkan kata-kata demikian!”
Para sahabat memandang Julas dan ‘Umair bergantian, seolah-olah mereka ingin membaca di wajah keduanya apa sesungguhnya yang tersirat dalam hati mereka berdua. Lalu para sahabat berbisik-bisik sesama mereka, “Anak ini sungguh durhaka. Dia jahat terhadap orang yang telah berjasa besar mengasuh dan membesarkannya.”
Para sahabat memandang Julas dan ‘Umair bergantian, seolah-olah mereka ingin membaca di wajah keduanya apa sesungguhnya yang tersirat dalam hati mereka berdua. Lalu para sahabat berbisik-bisik sesama mereka, “Anak ini sungguh durhaka. Dia jahat terhadap orang yang telah berjasa besar mengasuh dan membesarkannya.”
 
Kata yang lain, “Tidak! Dia anak yang ta’at kepada Allah. Wajahnya 
cantik dan elok memancarkan cahaya iman, menunjukkan dia benar.”
Rasulullah menoleh kepada ‘Umair. Kelihatan oleh beliau wajah anak itu merah padam. Air matanya jatuh berderai di pipinya. Kata ‘Umair mendo’a, “Wahai Allah! Turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu, bahwa aku benar.”
Rasulullah menoleh kepada ‘Umair. Kelihatan oleh beliau wajah anak itu merah padam. Air matanya jatuh berderai di pipinya. Kata ‘Umair mendo’a, “Wahai Allah! Turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu, bahwa aku benar.”
 
Kata Julas memperkuat pengakuannya, “Ya Rasululah sesungguhnya apa yang 
saya katakan kepada Anda tadi itulah yang benar. Jika Anda menghendaki, 
saya berani bersumpah di hadapan Anda. “Saya bersumpah dengan nama 
Allah, bahwa sesungguhnya saya tidak pernah mengucapkan kata-kata 
seperti yang dilaporkan ‘Umair kepada Anda.”
 
Setelah Julas selesai mengucapkan sumpah, seluruh mata yang hadir 
memandang kepada ‘Umair bin Sa’ad, sehingga Rasulullah Shallallahu 
alaihi wassalam. diam sambil memicingkan mata, menunjukkan wahyu sedang 
turun. Para sahabat memaklumi hal itu. Mereka pun diam tidak berbunyi 
sedikit juapun. Tidak ada yang berkata-kata dan bergerak. Semua mata 
tertuju kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
 
Melihat Rasulullah kedatangan wahyu, Julas menjadi ketakutan. Dia 
menyesal dan menengok kepada ‘Umair. Situasi seperti itu berlangsung 
sampai wahyu selesai turun. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
 membacakan ayat yang baru diterima beliau:
 
“Mereka bersumpah dengan (menyebut nama Allah, bahwa mereka tidak 
mengatakannya. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan 
kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah memeluk Islam, dan mereka 
memutuskan apa yang tidak dapat. mereka jalankan (untuk membunuh Nabi 
Shallallahu alaihi wassalam., menghancurkan Islam dan kaum muslimin). 
Mereka mencela (Allah dan Rasul-Nya) tidak lain hanyalah karena Allah 
telah mencukupi mereka dengan karunia-Nya. Tetapi jika mereka tobat, 
itulah yang paling baik bagi mereka, dan jika mereka membelakang, 
niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia 
dan akhirat, dan mereka tidak mempunyai pelindung dan pembantu di muka 
bumi.”(Taubah,9:74)
 
Julas gemetar mendengar ayat yang sangat menakutkannya itu. Dia hampir 
tak dapat bicara karena terkejut. Kemudian dia berpaling kepada 
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. seraya berkata, “Saya tobat, ya 
Rasulullah . . . , saya tobat . . . ‘Umairlah yang benar, ya Rasulullah.
 Sayalah yang dusta. Sudilah Anda memohonkan kepada Allah, semoga Dia 
menerima tobat saya. Saya bersedia menebus kesalahan saya, ya 
Rasulullah!”
 
Rasulullah menghadapkan mukanya kepada ‘Umair bin Sa’ad yang tiba-tiba 
bercucuran air mata gembira membasahi mukanya yang berseri oleh cahaya 
Iman. Lalu Rasulullah gembira mengulurkan tangannya yang mulia menarik 
telinga ‘Umair dengan lembut seraya berkata, “Telingamu cukup nyaring, 
nak! Allah membenarkan apa yang engkau dengar.”
 
Julas telah kembali ke dalam Islam dan menjadi muslim yang baik. Para 
sahabat telah sama mengetahui bagaimana besarnya jasa baik Julas 
mengasuh dan membesarkan ‘Umair selaku anak tiri. Dia bertanggung jawab 
penuh sebagai layaknya bapak kandung ‘Umair. Setiap kali orang menyebut 
nama ‘Umair di hadapannya, dia berkata dengan tulus, “Semoga Allah 
membalasi ‘Umair dengan segala kebajikan, karena dia telah membebaskan 
saya dari kekafiran dan dari api neraka.”
Kisah yang kita ceritakan ini, belum merupakan gambaran puncak dari kehidupan ‘Umair, melainkan baru merupakan gambaran kehidupannya waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya yang lebih gemilang dan indah di waktu mudanya.
Kisah yang kita ceritakan ini, belum merupakan gambaran puncak dari kehidupan ‘Umair, melainkan baru merupakan gambaran kehidupannya waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya yang lebih gemilang dan indah di waktu mudanya.
 
Barusan telah kita lihat dengan jelas bentuk kehidupan sahabat yang 
mulia, ‘Umair bin Sa’ad, waktu dia masih kanak-kanak. Sekarang marilah 
kita lihat bentuk kehidupannya yang cemerlang saat dia telah diewasa. 
Anda akan menyaksikan kehidupannya tahap kedua ini tidak kurang 
gemilangnya dari tahap pertama, agung dan megah.
 
Penduduk Himsh sangat kritis terhadap para pembesar mereka, sehingga 
mereka sering mengadu kepada khalifah. Setiap pembesar yang baru datang 
memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Dicatatnya segala kesalahan 
pembesar itu, lalu dilaporkannya kepada khalifah, dan minta diganti 
dengan yang lebih baik.
 
Karena itu Khalifah Umar mencari seorang yang tidak bercacat, dan yang 
namanya belum pernah rusak untuk menjadi Gubernur di sana. Lalu beliau 
sebar pembantu-pembantunya melihat-lihat orang yang paling tepat. Maka 
tidak diperolehnya orang yang lebih baik, selain dari Umair bin Sa’ad. 
Tetapi sayang, ‘Umair ketika itu sedang bertugas memimpin pasukannya 
berperang fi sabilillah di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia berhasil 
membebaskan beberapa kota, menghancurkan beberapa benteng, mendudukkan 
beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya.
Saat seperti itulah Amirul Mu’minin memanggilnya kembali ke Madinah, untuk memangku jabatan
Saat seperti itulah Amirul Mu’minin memanggilnya kembali ke Madinah, untuk memangku jabatan
Gubernur
 di Himsh. khalifah ‘Umar memerintahkannya supaya segera berangkat ke 
Himsh. ‘Umair menerima perintah tersebut dengan hati enggan, karena 
baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah.
 
Setibanya di Himsh, dipanggilnya orang banyak berkumpul ke masjid untuk 
shalat berjama’ah. Selesai shalat dia berpidato. Mula-mula dia memuji 
Allah dan mengucapkan salawat untuk Nabi. Kemudian dia berkata:
 
“Hai, manusia! Sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kokoh, 
dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan, dan pintunya 
ialah kebenaran (al haq). Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh,
 maka pertahanan agama ini akan sirna. Islam akan senantiasa kuat selama
 kekuasaan tegak dengan kokoh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti
 dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan 
melaksanakan yang hak.”
 Selesai berpidato, dia langsung bertugas sesuai dengan khiththah yang telah digariskannya dalam pidatonya yang singkat itu.
 
‘Umair bin Sa’ad bertugas sebagai Gubernur di Himsh hanya setahun penuh.
 Selama itu tak sepucuk pun dia menulis surat kepada Amirul Mu’minin. 
Dan tidak satu dinar atau satu dirham pun dia menyetorkan pajak ke 
Baitul Maal Muslimin (Perbendaharaan Negara) di Madinah. Karena itu 
timbul curiga di hati Khalifah Umar. Dia sangat kuatir kalau-kalau 
pemerintahan yang dipimpin ‘Umair mengalami bencana (menyelewengkan uang
 negara) karena tidak ada orang yang ma’shum (terpilihara dari dosa) 
selain Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Lalu beliau perintahkan 
sekretaris negara menulis surat kepada Gubernur ‘Umair.
 
Kata Khalifah Umar, “Tulis surat kepada ‘Umair, katakan kepadanya: “Bila
 surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkan Himsh dan segera datang 
menghadap Amirul Mu’minin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda 
pungut dari kaum muslimin!”
 
Selesai surat tersebut dibaca oleh Gubernur ‘Umair, maka diambilnya 
kantong perbekalan dan diisinya tempat air untuk persediaan air wudhu’ 
dalam perjalanan. Lalu dia berangkat meninggalkan Himsh, para pembesar 
dan rakyat yang dipimpinnya. Dia pergi mengayun langkah menuju Madinah 
dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Madinah, keadaannya pucat 
(karena kurang makan dalam perjalanan), tubuhnya kurus kering dan lemah,
 rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampak sangat letih karena
 perjalanan yang begitu jauh.
 
‘Umair segera masuk menghadap Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab. 
Khalifah Umar terkejut melihat keadaan ‘Umair, lalu bertanya, “Bagaimana
 keadaan Anda, hai ‘Umair?”
Jawab ‘Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat dan ‘afiat. Alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.”
Jawab ‘Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat dan ‘afiat. Alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.”
 Tanya Khalifah Umar, “Dunia manakah yang Anda bawa?” (Khalifah menduga, dia membawa uang setoran pajak untuk Baitul Maal).
Jawab ‘Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudhu’, untuk membasahi kepala dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang Iain-lain tidak saya perlukan.”
Tanya Khalifah, “Apakah Anda datang berjalan kaki?”
Jawab, “Betul, ya Amirul Mu’minin!”
Tanya, “Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?”
Jawab, “Tidak! Mereka tidak memberi saya, dan saya tidak pula memintanya dari mereka.”
Tanya, “Mana setoran yang Anda bawa untuk Baitul Maal?”
Jawab, “Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Maal.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab, “Sejak saya mulai tiba di Himsh, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan, dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.”
Khalifah ‘Umar berkata kepada jurutulis, ”Perpanjang masa jabatan ‘Umair sebagai Gubernur Hismh!”
Kata ‘Umair, “Ma’af, Khalifah! Saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai sa’at ini, saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah anda, ya Amirul Mu’minin.”
Kemudian ‘Umair minta izin untuk pergi ke sebuah di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Lalu Khalifah mengizinkannya.
Jawab ‘Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudhu’, untuk membasahi kepala dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang Iain-lain tidak saya perlukan.”
Tanya Khalifah, “Apakah Anda datang berjalan kaki?”
Jawab, “Betul, ya Amirul Mu’minin!”
Tanya, “Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?”
Jawab, “Tidak! Mereka tidak memberi saya, dan saya tidak pula memintanya dari mereka.”
Tanya, “Mana setoran yang Anda bawa untuk Baitul Maal?”
Jawab, “Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Maal.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab, “Sejak saya mulai tiba di Himsh, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan, dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.”
Khalifah ‘Umar berkata kepada jurutulis, ”Perpanjang masa jabatan ‘Umair sebagai Gubernur Hismh!”
Kata ‘Umair, “Ma’af, Khalifah! Saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai sa’at ini, saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah anda, ya Amirul Mu’minin.”
Kemudian ‘Umair minta izin untuk pergi ke sebuah di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Lalu Khalifah mengizinkannya.
 
Belum begitu lama ‘Umair tinggal di dusun tersebut, Khalifah ‘Umar ingin
 mengetahui keadaan sahabatnya itu, bagaimana kehidupannya dan apa yang 
diusahakannya. Lalu diperintahkannya Al Harits, seorang kepercayaan 
Khalifah, “Pergilah engkau menemui ‘Umair, tinggallah di rumahnya selama
 tiga hari sebagai tamu. Bila engkau lihat keadaannya bahagia penuh 
ni’mat, kembalilah sebagaimana engkau datang. Dan jika engkau lihat 
keadaannya melarat, berikan uang ini kepadanya!”
Khalifah ‘Umar memberikan sebuah pundi berisi seratus dinar kepada Al Harits.
Al Harits pergi ke dusun tempat Umair tinggal. Dia bertanya-tanya ke sana-sini di mana rumah ‘Umair. Setelah bertemu, Al Harits mengucapkan salam, ”Assalamu’alaika wa rahmatullah.”
Jawab ‘Umair, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Anda datang dari mana?”
Jawab Harits, “Dari Madinah!”
Tanya ‘Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal anda?”
Jawab Harits, “Baik-baik saja.”
Tanya, “Bagaimana kabar Amirul Mu’minin?”
Jawab, “Alhamdulillah, baik.”
Tanya, “Adakah ditegakkannya hukum?”
Jawab, “Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dera anaknya sendiri sampai mati, karena bersalah melakukan perbuatan keji.”
Kata ‘Umair, “Wahai Allah, tolonglah ‘Umar. Saya tahu sungguh, dia sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al Harits menjadi tamu ‘Umair selama tiga malam. Tiap malam Harits hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga, seroang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda telah menyusahkan ‘Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih mementingkan Anda, walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika Anda tidak keberatan, sebaiknyalah Anda pindah ke rumah saya menjadi tamu saya.”
Khalifah ‘Umar memberikan sebuah pundi berisi seratus dinar kepada Al Harits.
Al Harits pergi ke dusun tempat Umair tinggal. Dia bertanya-tanya ke sana-sini di mana rumah ‘Umair. Setelah bertemu, Al Harits mengucapkan salam, ”Assalamu’alaika wa rahmatullah.”
Jawab ‘Umair, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Anda datang dari mana?”
Jawab Harits, “Dari Madinah!”
Tanya ‘Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal anda?”
Jawab Harits, “Baik-baik saja.”
Tanya, “Bagaimana kabar Amirul Mu’minin?”
Jawab, “Alhamdulillah, baik.”
Tanya, “Adakah ditegakkannya hukum?”
Jawab, “Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dera anaknya sendiri sampai mati, karena bersalah melakukan perbuatan keji.”
Kata ‘Umair, “Wahai Allah, tolonglah ‘Umar. Saya tahu sungguh, dia sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al Harits menjadi tamu ‘Umair selama tiga malam. Tiap malam Harits hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga, seroang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda telah menyusahkan ‘Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih mementingkan Anda, walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika Anda tidak keberatan, sebaiknyalah Anda pindah ke rumah saya menjadi tamu saya.”
 Al Harits mengeluarkan pundi-pundi uang dinar, lalu diberikannya kepada ‘Umair.
Tanya ‘Umair, “Apa ini?”
Jawab Harits, ”Amirul Mu’minin mengirimkannya untuk Anda!”
Kata ‘Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau. Sampaikan salamku, dan katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan uang itu.”
Isteri ‘Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan Harits berteriak, “Terima saja, hai ‘Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau dapat membelanjakannya.
Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di sini banyak orang-orang yang butuh.”
Mendengar ucapan isteri ‘Umair, Harits meletakkan uang itu di hadapan ‘Umair, kemudian dia pergi. ‘Umair memungut uang itu lalu dimasukkannya ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur sampai tengah malam sebelum uang itu habis dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sangat diutamakannya memberikan kepada ank-anak yatim yang orang tuanya tewas sebagai syuhada’ di medan perang fi sabilillah.
Al Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah, Khalifah ‘Umar bertanya, “Bagaimana keadaan ‘Umair?”
Jawab Harits, “Sangat menyedihkan, ya Amirul Mu minin.”
Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu kepadanya?”
Jawab, “Ya, sudah ku berikan.”
Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?”
Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, uang itu mungkin hanya tinggal satu dirham saja lagi untuknya.”
Khalifah ‘Umar menulis surat kepada ‘Umair, katanya, “Bila surat ini selesai Anda baca, maka janganlah Anda letakkan sebelum datang menghadap saya.”
‘Umar bin Sa’ad datang ke Madinah memenuhi panggilan khalifah. Sampai di Madinah dia Iangsung menghadap Amirul Mu’minin. Khalifah ‘Umar mengucapkan selamat datang dan memberikan alas duduk yang dipakainya kepada ‘Umair, sebagai penghormatan.
Tanya khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu, hai ‘Umair?”
Jawab ‘Umair, “Apa maksud Anda menanyakan, sesudah uang itu Anda berikan kepadaku?”
Jawab khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau menceritakannya.”
Jawab ‘Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya sendiri, dan akan saya manfa’atkan nanti pada suatu hari, ketika harta dan anak-anak tidak bermanfa’at lagi, yaitu hari kiamat.”
Mendengar jawaban ‘Umair, Khalifah ‘Umar menangis sehingga air matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, bahwa sesungguhnya Anda tergolong orang-orang yang mementingkan orang-orang lain sekalipun diri Anda sendiri melarat.”
Kemudian khalifah menyuruh seseorang mengambil satu wasq (Satu Wasq, kira-kira enam puluh sha’ (gantang), atau kira-kiia seberat beban seekor unta) pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikan-nya kepada ‘Umair.
Kata ‘Umair, “Kami tidak membutuhkan makanan, ya Amirul Mu’minin. Saya ada meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluarga saya. Mudah-mudahan itu cukup untuk makan kami sampai Allah Ta’ala memberi lagi rezki untuk kami. Tetapi pakaian ini saya terima untuk isteri saya, karena pakaiannya sudah terlalu usang, sehingga dia hampir telanjang.”
Tidak lama sesudah pertemuan ‘Umair dengan khalifah, maka Allah mengizinkan ‘Umair untuk bertemu dengan Nabi yang sangat dicintai dan dirindukannya, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah,
Tanya ‘Umair, “Apa ini?”
Jawab Harits, ”Amirul Mu’minin mengirimkannya untuk Anda!”
Kata ‘Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau. Sampaikan salamku, dan katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan uang itu.”
Isteri ‘Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan Harits berteriak, “Terima saja, hai ‘Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau dapat membelanjakannya.
Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di sini banyak orang-orang yang butuh.”
Mendengar ucapan isteri ‘Umair, Harits meletakkan uang itu di hadapan ‘Umair, kemudian dia pergi. ‘Umair memungut uang itu lalu dimasukkannya ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur sampai tengah malam sebelum uang itu habis dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sangat diutamakannya memberikan kepada ank-anak yatim yang orang tuanya tewas sebagai syuhada’ di medan perang fi sabilillah.
Al Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah, Khalifah ‘Umar bertanya, “Bagaimana keadaan ‘Umair?”
Jawab Harits, “Sangat menyedihkan, ya Amirul Mu minin.”
Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu kepadanya?”
Jawab, “Ya, sudah ku berikan.”
Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?”
Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, uang itu mungkin hanya tinggal satu dirham saja lagi untuknya.”
Khalifah ‘Umar menulis surat kepada ‘Umair, katanya, “Bila surat ini selesai Anda baca, maka janganlah Anda letakkan sebelum datang menghadap saya.”
‘Umar bin Sa’ad datang ke Madinah memenuhi panggilan khalifah. Sampai di Madinah dia Iangsung menghadap Amirul Mu’minin. Khalifah ‘Umar mengucapkan selamat datang dan memberikan alas duduk yang dipakainya kepada ‘Umair, sebagai penghormatan.
Tanya khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu, hai ‘Umair?”
Jawab ‘Umair, “Apa maksud Anda menanyakan, sesudah uang itu Anda berikan kepadaku?”
Jawab khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau menceritakannya.”
Jawab ‘Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya sendiri, dan akan saya manfa’atkan nanti pada suatu hari, ketika harta dan anak-anak tidak bermanfa’at lagi, yaitu hari kiamat.”
Mendengar jawaban ‘Umair, Khalifah ‘Umar menangis sehingga air matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, bahwa sesungguhnya Anda tergolong orang-orang yang mementingkan orang-orang lain sekalipun diri Anda sendiri melarat.”
Kemudian khalifah menyuruh seseorang mengambil satu wasq (Satu Wasq, kira-kira enam puluh sha’ (gantang), atau kira-kiia seberat beban seekor unta) pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikan-nya kepada ‘Umair.
Kata ‘Umair, “Kami tidak membutuhkan makanan, ya Amirul Mu’minin. Saya ada meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluarga saya. Mudah-mudahan itu cukup untuk makan kami sampai Allah Ta’ala memberi lagi rezki untuk kami. Tetapi pakaian ini saya terima untuk isteri saya, karena pakaiannya sudah terlalu usang, sehingga dia hampir telanjang.”
Tidak lama sesudah pertemuan ‘Umair dengan khalifah, maka Allah mengizinkan ‘Umair untuk bertemu dengan Nabi yang sangat dicintai dan dirindukannya, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah,
Rasulullah,
 ‘Umair pergi menempuh jalan akhirat, mempertaruhkan jiwa raganya dengan
 langkah-langkah yang senantiasa mantap. Dia tidak membawa beban berat 
di punggung, berupa kemewahan dunia. Tetapi dia pergi dengan cahaya 
Allah yang selalu membimbingnya, wara’ dan taqwa.
Ketika Khalifah ‘Umar mendengar kematian ‘Umair, bukan main main sedihnya, sehingga dia mengurut dada karena menyesal. Kata khalifah, “Saya membutuhkan orang-orang seperti ‘Umair bin Sa’ad, untuk membantu saya melola masyarakat kaum muslimin.”
Sumber: Kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat BasyKetika Khalifah ‘Umar mendengar kematian ‘Umair, bukan main main sedihnya, sehingga dia mengurut dada karena menyesal. Kata khalifah, “Saya membutuhkan orang-orang seperti ‘Umair bin Sa’ad, untuk membantu saya melola masyarakat kaum muslimin.”
No comments:
Post a Comment