Rabi’ah bin Ka’ab 
bercerita tentang riwayat hidupnya dalam Islam. Katanya, “Dalam usia 
muda jiwaku sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hati kecilku sudah penuh
 berisi pengertian dan pemahaman tentang Islam. Pertama kali aku 
berjumpa dengan Rasulullah , aku langsung jatuh cinta kepada beliau 
dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat tertarik kepadanya, sehingga aku 
berpaling kepada beliau seorang dari yang lain. 
Pada
 suatu hari hati kecilku berkata, “Hai Rabi’ah! Mengapa engkau tidak 
berusaha untuk berkhidmat menjadi pelayan kepada Rasulullah ? Cobalah 
usahakan. Jika beliau menyukaimu engkau pasti akan bahagia berada di 
samping beliau dalam mencintainya dan akan beroleh keuntungan di dunia 
dan akhirat.” 
Berkat desakan hati, aku segera mendatangi Rasulullah dengan penuh harapan semoga beliau menerimaku untuk berkhidmat kepadanya. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Beliau menyukai dan menerimaku menjadi pelayannya. Sejak hari itu aku senantiasa di samping beliau, selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Aku ikut kemana beliau pergi dan selalu siap dalam lingkungan tempat beliau berada. Bila beliau mengedipkan mata ke arahku, aku segera berada di hadapannya. Bila beliau membutuhkan sesuatu, aku sudah siap sedia melayaninya.
Berkat desakan hati, aku segera mendatangi Rasulullah dengan penuh harapan semoga beliau menerimaku untuk berkhidmat kepadanya. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Beliau menyukai dan menerimaku menjadi pelayannya. Sejak hari itu aku senantiasa di samping beliau, selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Aku ikut kemana beliau pergi dan selalu siap dalam lingkungan tempat beliau berada. Bila beliau mengedipkan mata ke arahku, aku segera berada di hadapannya. Bila beliau membutuhkan sesuatu, aku sudah siap sedia melayaninya.
Aku
 melayani beliau sepanjang hari sampai habis waktu Isya’ yang terakhir. 
Ketika beliau pulang ke rumahnya hendak tidur, barulah aku berpisah 
dengannya. Tetapi, hatiku selalu berkata, “Hendak ke mana engkau hai 
Rabi’ah? Mungkin Rasulullah membutuhkanmu tengah malam.” Karena itu aku 
duduk di muka pintu beliau dan tidak pergi jauh dari bendul rumahnya. 
Tengah
 malam beliau bangun untuk shalat. Sering kali aku mendengar beliau 
membaca surat Al-Fatihah. Beliau senantiasa membacanya berulang-ulang 
sejak dari pertengahan malam ke atas. Setelah mataku mengantuk benar, 
barulah aku pergi tidur. Sering pula aku mendengar beliau membaca, 
“Sami’allaahu liman hamidah.” Kadang-kadang beliau membacanya ulang 
dengan tempo yang lebih lama daripada jarak ulangan membaca Al-Fatihah. 
Sudah
 menjadi kebiasaan Rasulullah , jika seorang berbuat baik kepadanya, 
beliau lebih suka membalasnya dengan yang paling baik. Begitulah, beliau
 membalas pula pelayananku kepadanya dengan yang paling baik. Pada suatu
 hari beliau memanggilku seraya berkata, “Hai Rabi’ah bin Ka’ab!” 
“Saya,
 ya Rasulullah!” jawabku sambil bersiap-siap menerima perintah beliau. 
“Katakanlah permintaanmu kepadaku, nanti kupenuhi,” kata beliau. 
Aku
 diam seketika sambil berpikir. Sesudah itu aku berkata, “Ya Rasulallah,
 berilah aku sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan 
kuminta. Setelah itu akan kuberitahukan kepada Anda.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab Rasulullah.
Aku
 seorang pemuda miskin, tidak berkeluarga, tidak punya harta dan tidak 
punya rumah tinggal di shuffatul masjid (emper masjid), bersama-sama 
dengan kawan senasib, yaitu orang-orang fakir kaum muslimin. Masyarakat 
menyebut kami “dhuyuful Islam” (tamu-tamu) Islam. Bila seorang muslim 
memberi sedekah kepada Rasulullah, sedekah itu diberikan beliau kepada 
kami seluruhnya. Bila ada yang memberikan hadiah kepada beliau, 
diambilnya sedikit dan lebihnya diberikan beliau kepada kami.
Nafsuku
 mendorong supaya aku meminta kekayaan dunia kepada beliau, agar aku 
terbebas dari kefakiran seperti orang-orang lain yang menjadi kaya, 
punya harta, istri, dan anak. Tetapi, hati kecilku berkata, “Celaka 
engkau, hai Rabi’ah bin Ka’ab! Dunia akan hilang lenyap dan rezkimu di 
dunia sudah dijamin Allah, pasti ada. Padahal, Rasulullah  yang
 berada dekat Rabnya, permintaannya tak pernah ditolak. Mintalah supaya 
beliau mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu.” 
Hatiku
 mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian aku 
datang kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, “Apa permintaanmu, wahai
 Rabi’ah?” 
Jawabku, “Ya Rasulullah! aku memohon semoga Anda sudi mendoakan kepada Allah Taala agar aku teman Anda di surga.” 
Agak lama juga Rasulullah  terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, “Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?” 
Jawabku, “Tidak, ya Rasulullah! rasanya tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaan tersebut bagiku.”
“Kalau begitu bantulah saya dengan dirimu sendiri. Banyak-banyaklah kamu sujud,” kata
Rasulullah.
 Sejak itu aku bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan
 menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntunganku melayani beliau 
di dunia. 
Tidak berapa lama kemudian Rasulullah  memanggilku, katanya, “Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi’ah?” 
Jawabku,
 “Aku tidak ingin ada sesuatau yang menggangguku dalam berkhidmat kepada
 Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, aku tidak mempunyai apa-apa untuk 
mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup atau tegaknya rumah tangga. 
Rasulullah
 diam saja mendengar jawabanku. Tidak lama kemudian beliau memanggilku 
kali yang kedua. Kata beliau, “Apakah engkau tidak hendak menikah, ya 
Rabi’ah?” 
Aku
 menjawab seperti jawaban yang pertama. Tetapi setelah aku duduk 
sendiri, aku menyesal. Aku berkata kepada diri sendiri, “Celaka engkau 
hai Rabi’ah! Mengapa engkau menjawab begitu? Bukankah Rasulullah lebih 
tahu apa yang baik bagimu mengenai agama maupun dunia, dan beliau lebih 
tahu daripada kamu tentang dirimu sendiri? Demi Allah jika Rasulullah 
memanggilku lagi dan bertanya masalah kawin, akan kujawab, ya.” 
Memang tidak berapa lama kemudian Rasululah  menanyakan
 kembali, “Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi’ah?” Jawabku, 
“Tentu, ya Rasulullah! Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, 
keadaanku seperti yang Anda maklumi.” Kata Rasululah , “Temuilah 
keluarga Fulan. Katakan kepada mereka Rasulullah menyuruh kalian supaya 
menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau.”
Dengan
 malu-malu aku datang ke rumah mereka. Lalu kukatakan, “Rasulullah 
mengutusku ke sini, kalian mengawinkan denganku anak perempuan kalian si
 Fulanah.” Jawabku, “Ya, si Fulanah?”
Kata
 mereka, “Marahaban, bi Rasulilah, wa marhaban bi rasuli Rasulillah!” 
(Selamat datang ya Rasulullah dan dan selamat datang utusan Rasulullah. 
Demi Allah! Utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah 
hajatnya terpenuhi!” Lalu, mereka nikahkan aku dengan anak gadisnya. 
Sesudah itu aku datang menemui Rasulullah . Kataku, “Ya Rasulullah! aku 
telah kembali dari rumah keluarga yang baik. Mereka mempercayaiku, 
menghormatiku, dan menikahkan anak gadisnya denganku. Tetapi, bagaimana 
aku harus membayar mahar mas kawinnya?” 
Rasulullah
 memanggil Buraidah ibnu al-Kasib, seorang sayyid di antara beberapa 
sayyid dalam kaumku, Bani Aslam. Kata beliau, “Hai, Buraidah! kumpulkan 
emas seberat biji kurma, untuk Rabi’ah bin Ka’ab!”
Mereka segera melaksanakan perintah Rasulullah  tersebut.
 Emas sudah terkumpul untukku. Kata Rasulullah kepadaku, “Berikan emas 
ini kepada mereka. Katakan, “Ini mahar kawin anak perempuan kalian.”
Aku
 pergi mendapatkan mereka, lalu kuberikan emas itu sebagaimana dikatakan
 Rasulullah. Mereka sangat senang dan berkata, “Bagus, banyak sekali!” 
Aku
 kembali menemui Rasulullah . Kataku, “Belum pernah kutemui suatu kaum 
yang sebaik itu. Mereka senang sekali menerima emas yang aku berikan. 
Walaupun sedikit, mereka mengatakan, “Bagus, banyak sekali!” Sekarang, 
bagaimana pula caranya aku mengadakan kenduri, sebagai pesta 
perkawinanku? Dari mana aku akan mendapatkan biaya, ya Rasulullah?” 
Rasulullah berkata kepada Buraidah, “Kumpulkan uang seharga seekor kibasy, beli kibasy yang besar dan gemuk!”
Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Temui Aisyah Minta kepadanya gandum seberapa ada padanya.”
Aku
 datang menemui ”Aisyah Ummul Mukminin. Kataku, “Ya, Ummul Mukminin! 
Rasulullah menyuruhku minta gandum seberapa yang ada pada ibu.” ”Aisyah 
menggantangi gandum yang tersedia itu di rumahnya. Katanya, “Inilah yang
 ada pada kami, hanya ada tujuh gantang. Demi Allah! tidak ada lagi 
selain ini, bawalah!” 
Aku
 pergi ke rumah istriku membawa kibasy dan gandum. Kata mereka, “Biarlah
 kami yang memasak gandum. Tetapi kibasy, sebaiknya Anda serahkan kepada
 kawan-kawan Anda memasaknya.” 
Aku
 dan beberapa orang suku Aslam mengambil kibasy tersebut, lalu kami 
sembelih dan kuliti, sesudah itu kami masak bersama-sama. Kini sudah 
tersedia roti dan daging untuk kenduri perkawinanku, beliau datang 
memenuhi undanganku. Alhamdulillah. 
Kemudian,
 Rasulullah menghadiahkan sebidang kebun kepadaku, berbatasan dengan 
kebun Abu Bakar Shidiq. Dunia kini memasuki kehidupanku. Sehingga, aku 
sempat berselisih dengan sahabat senior Abu Bakar Shidiq, mengenai 
sebatang pohon kurma. Kataku kurma itu berada dalam kebunku, jadi 
milikku. Kata Abu bakar, tidak, kurma itu berada dalam kebunnya dan 
menjadi miliknya. Aku tetap ngotot dan membantahnya, sehingga dia 
mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah dia sadar atas 
keterlanjurannya mengucapkan kata-kata tersebut, dia menyesal dan 
berkata kepadaku, “Hai Rabi’ah! Ucapkan pula kata-kata seperti yang saya
 lontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash) bagiku!”
Jawabku,
 “Tidak! Aku tidak akan mengucapkannya!” Kata Abu Bakar, “Saya adukan 
kamu kepada Rasulullah, kalau engkau tidak mau mengucapkannya!” Lalu dia
 pergi menemui Rasulullah . Aku mengikutinya dari belakang. 
Kaumku
 Bani Aslam mencela sikapku. Kata mereka, “Bukankah dia yang memakimu 
terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang mengadukanmu kepada Rasulullah?”
 
Jawabku
 kepada mereka, “Celaka kalian! Tidak tahukah kalian siapa dia? Itulah 
“Ash-Shidiq”, sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum muslimin. 
Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini. 
Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak membantuku dalam 
masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam kemarahannya dia 
datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena 
kemarahan Abu Bakar. Karena kemarahan beliau berdua, Allah akan marah 
pula, akhirnya si Rabi’ah yang celaka?” 
Mendengar
 kata-kataku mereka pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah , lalu 
diceritakannya kepada beliau apa yang terjadi antarku dengannya, sesuai 
dengan fakta. Rasulullah mengangkat kepala seraya berkata padaku, “Apa 
yang terjadi antaramu dengan Shiddiq?” 
Jawabku,
 “Ya Rasulullah! Beliau menghendakiku mengucapkan kata-kata makian 
kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku. Tetapi, aku tidak mau 
mengatakannya.” 
Kata
 Rasulullah, “Bagus!” Jangan ucapkan kata-kata itu. Tetapi, katakanlah, 
“Ghaffarallaahu li abi bakar.” (Semoga Allah mengampuni Abu Bakar). 
Abu
 bakar pergi dengan air mata berlinang, sambil berucap, “Jazaakallaahu 
khairan, ya Rabi’ah bin Ka’ab.” (Semoga Allah membalas engkau dengan 
kebajikan, hai Rabi’ah bin Ka’ab). 
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
No comments:
Post a Comment