Jakfar bin Abu Thalib 
bin Abdul Muthalib bin Hasyim ini masuk Islam dari sejak dini dan sempat
 mengikuti hijrah ke Abessinia, malah sempat mempublikasikan Islam di 
daerah itu. Dalam perang Muktah beliau diserahi menjadi pemegang bendera
 Islam, setelah tangan kanannya terpotong dia memegang bendera dengan 
tangan kiri, namun tangan kirinya juga terpotong lagi, sehingga dia 
memegang bendera itu dengan dadanya. Berbagai cobaan ditahankannya dalam
 mengemban tugas ini, akhirnya beliau mati syahid di mana dalam tubuhnya
 terdapat sekitar 90 goretan dan tembakan.
Di
 kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan 
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sehingga seringkali orang salah 
menerka. Mereka itu adalah: 
1.   Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sekaligus sebagai saudara sesusuannya. 
2.        Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi Shallallahu alaihi wassalam. 
3.        Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim, kakek Syafi’i  
4.        Ja’far bin Abi Thalib, yaitu saudara Ali bin Abi Thalib. 
5.        Hasan
 bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. 
Beliau ini paling mirip dengan Nabi Shallallahu alaihi wassalam. di 
antara mereka berlima. 
Marilah
 sekarang kita melihat sisi kehidupan Ja’far bin Abi Thalib. Abi Thalib 
termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang dalam 
masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia 
pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman 
mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di 
saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian 
untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas 
dan Muhammad bin Abdullah. 
Muhammad
 berkata kepada Abbas, “Wahai paman, saudara paman (yaitu Abu Thalib) 
memiliki tanggungan yang sangat banyak. Sebagaimana yang paman saksikan,
 seluruh masyarakat kini sedang ditimpa musibah berupa kemarau panjang 
dan paceklik yang mengakibatkan banyak orang kelaparan. Marilah kita 
pergi ke rumah Abu Thalib, saudara paman. Kita ambil alih sebagian 
tanggungannya untuk meringankan beban keluarganya. Aku mengambil anaknya
 seorang, dan paman mengambil pula anaknya yang lain. Agaknya dengan 
begitu, cukup besar artinya untuk meringankan bebannya.”
Abbas berkata, “Usulmu sangat bagus. Engkau betul-betul membangunkanku untuk kebajikan. Marilah kita pergi.”
Mereka
 pun pergi ke rumah Abu Thalib. Lalu berkata, “Kami datang hendak 
meringankan beban Anda yang berat. Izinkanlah kami membawa sebagaian 
anak-anakmu tinggal bersama kami sampai masa sulit yang mencekam seluruh
 masyarakat ini reda kembali.”
Abu Thalib berkata, “Boleh saja, asal kalian tidak membawa Aqil.” Aqil adalah anak laki-laki Abu Thalib yang tertua.
Muhammad
 bin Abdullah mengambil Ali bin Abi Thalib lalu digabungkannya dalam 
keluarganya. Sedangkan Abbas membawa Ja’far bin Abi Thalib dan 
digabungkannya pula dalam keluarganya. Ali tetap tinggal bersama 
Muhammad bin Abdullah sampai Allah mengutusnya menjadi rasul dengan 
agama yang hak. Dan, Ali tercatat sebagai pemuda yang pertama-tama masuk
 Islam.
Sementara
 Ja’far tinggal bersama paman Abbas hingga ia dewasa, lalu dia masuk 
Islam, dan tidak memerlukan bantuan Abbas lagi. Ja’far dan istrinya, 
Asma’ bin Umais, menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam sejak dari 
awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Shiddiq  sebelum
 Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. masuk ke rumah Al-Arqam. 
Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula 
dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum 
muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Tetapi, suami istri ini bersabar
 menerima segala cobaan yang menimpanya, karena mereka tahu jalan ke 
surga bertabur duri dengan segala macam kesulitan dan kepedihan. Tetapi 
yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya 
untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan 
ibadah. Karena itu, kaum Quraisy senantiasa mengamati gerak-gerik 
keduanya. Maka, Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya memohon izin 
kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. untuk hijrah ke Habasyah 
bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Dengan sedih hati Rasulullah 
Shallallahu alaihi wassalam. mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan 
amat berat meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu
 kecil dan waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena
 mereka mengucapkan kata-kata “Rabbunallaah” (Rab kami hanyalah Allah). 
Namun, mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum 
Quraisy.
Kendaraan kaum muhajirin yang pertama-tama berangkat ke Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib  Mereka
 merasa lega di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang adil dan 
saleh. Sejak mereka masuk Islam itulah, mereka baru merasa aman, dapat 
menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan 
ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.
Namun,
 tidak berapa lama setelah kaum Quraisy mengetahui rombongan kaum 
muslimin yang hijrah ke Habasayah dan mendapat perlindungan raja 
Najasyi, dapat melaksanakan dinnya dengan tenang dan aman, kaum Quraisy 
pun terkejut dan khawatir. Mereka kemudian berunding untuk membunuh kaum
 muhajirin itu atau meminta mereka agar dimasukan penjara. Untuk itu 
marilah kita dengarkan Ummu Salamah (salah seorang muhajirat) 
menceritakan kisah nyata yang dilihat dan didengarnya sendiri.
Ummu
 Salamah berkata, “Manakala kami tiba di Habasyah, kami disambut dan 
bertemu dengan tetangga yang baik. Kami dapat melaksanakan agama kami 
dengan aman, dan beribadah kepada Allah tanpa mendapatkan siksaan atau 
gangguan yang tidak diinginkan.
Ketika
 kaum Quraisy mendengar berita tentang keadaan kami lebih baik, mereka 
segera berunding untuk mengacaukan kami. Lalu mereka mengutus dua orang 
diplomat ulung kepada Raja Najasyi, yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin 
Rabiah dengan membawa persembahan sejumlah hadiah besar untuk Najasyi 
pribadi, dan untuk para pemuka agama (pendeta) mereka berupa 
barang-barang mewah dan antik dari Hijaz. Namun, mereka memutuskan untuk
 tidak memberikan kepada raja terlebih dahulu sebelum memberikannya 
kepada para pendeta.
Tatkala kedua utusan itu tiba di Habasyah, mereka terlebih dahulu 
menemui pemuka agama yang terdekat dengan Najasyi dan memberikan hadiah 
untuk mereka. Kedua utusan itu berkata, “Telah datang ke negeri Anda, 
orang-orang bodoh kami. Mereka mengingkari agama nenek moyang dan 
memecah belah persatuan bangsa. Bila nanti kami berbicara dengan baginda
 raja, kami harap tuan-tuan dapat menolong kami supaya baginda raja sudi
 menyerahkan mereka kepada kami, tanpa menanyakan masalah agama, karena 
pemimpin rombongan mereka sangat pandai berbiara dan mengerti tentang 
agama yang mereka yakini.”
“Baiklah,” jawab pendeta itu.
Ummu
 Salamah meneruskan ceritanya, “Namun, apa yang mereka khawatirkan 
justru itulah yang terjadi. Raja Najasyi memangil salah seorang kami 
untuk didengar keterangannya.”
Kedua utusan Quraisy menghadap Raja Najasyi dengan membawa persembahan bermacam-macam dan hadiah yang tak ternilai harganya. Baginda raja memuji dan mengagumi persembahan mereka.
Utusan
 Quraisy berkata, “Wahai paduka raja telah datang ke negara paduka 
orang-orang jahat bangsa kami. Mereka datang dengan membawa agama yang 
tidak pernah kami kenal dan juga belum pernah paduka kenal. Mereka 
keluar dari agama nenek moyang kami, tetapi tidak pula masuk ke dalam 
agama paduka. Kami diutus oleh bapak-bapak dan segenap famili untuk 
menjemput dan membawa mereka kembali pulang, mereka sangat pandai 
mengada-ada dan membuat fitnah.
Najasy
 melihat kepada para pendeta yang berada di sampingnya. Lalu mereka 
berkata, “Apa yang disampaikan kedua utusan itu memang benar, wahai 
paduka. Orang yang sebangsa dengan kaum pelarian itu lebih mengeri dan 
tahu tentang kejahatan mereka. Karena itu sebaiknyalah kaum pelarian itu
 dikembalikan saja kepada mereka. Terserah kepada mereka apa yang akan 
diperbuat sesudah itu.”
Baginda raja marah mendengar jawaban dari para pendeta. “Tidak…! Demi Allah…! tidak seorang pun dari mereka akan saya serahkan sebelum saya memanggil mereka dan meminta keterangannya tentang tuduhan yang diberikan kepada mereka. Jika benar mereka orang jahat sebagaimana yang dituduhkan, maka mereka akan saya serahkan. Tetapi, jika tuduhan itu palsu, mereka akan saya lindungi dan akan saya jadikan tetanggaku yang baik selama mereka menghendaki,” ucap Najasyi.
Selanjutnya,
 kata Ummu Salamah, “Najasyi memangil kami untuk menghadap kepadanya. 
Sebelum menghadap, terlebih dahulu kami bermusyawarah. Sebagian kami 
berkata, “Kita dipanggil menghadap baginda raja untuk diminta 
keterangannya tentang agama kita. Karena itu, kita tentukan saja seorang
 juru bicara untuk menjelaskan kepada beliau. Pilihan mereka jatuh 
kepada Ja’far bin Abi Thalib dan yang lainnya tidak diijinkan untuk 
berbicara.”
Sesudah
 membuat keputusan, kami pergi menghadap baginda Raja Najasyi. Di dalam 
majlis raja telah hadir para pendeta pemuka agama. Mereka duduk di kanan
 kiri baginda. Masing-masing memakai pakaian kebesarannya, lengkap 
dengan jubah, kopiah dan memegang sebuah kitab di tangan mereka. Di 
samping para pendeta, kami melihat pula Amr bin Ash dan Abdullah bin 
Rabiah.
Setelah
 duduk dengan tenang di dalam majlis, baginda raja menoleh kepada kami 
dan berkata, “Agama apakah yang tuan-tuan anut, sehingga tuan-tuan 
keluar dari agama bangsa tuan-tuan, tetapi tidak pula masuk ke dalam 
agama kami atau agama-agama lain yang telah ada?”
Najasyi berkata kepada Ja’far, “Dapatkah Anda membacakan salah satu ayat yang diajarkan Allah kepada nabi Anda?”
Ja’far menjawab, “Ya, tentu.”
Najasyi berkata, “Coba bacakan kepada saya.”
Ja’far
 membaca surat Maryam 1-4, yang artinya, “Kaaf Haa Yaa’ ‘Ain Shaad. 
Mengingat rahmat Rabmu kepada hamba-Nya Zakariya. Ketika ia berseru 
kepada Rabnya dengan suara perlahan-lahan. Dia berdo’a, “Wahai Rabku, 
sesungguhnya tulangku sudah lemah, dan kepalaku sudah beruban, dan aku 
belum pernah beruntung (bila) memohon kepada Engkau, wahai Rabku.”
Baru
 saja Ja’far selesai membacakan ayat-ayat permulaan surat tesebut, 
Najasyi menangis sehingga jenggotnya basah oleh air mata. Begitu pula 
para pastor turut menangis sehingga kitab di tangan mereka basah demi 
mendengar kalam Allah tersebut.
Najasyi
 berkata kepada kami, “Sesungguhnya agama yang dibawa nabi tuan-tuan dan
 agama yang dibawa Nabi Isa berasal dari satu sumber.”
Kemudian
 dia berpaling kepada Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah seraya 
berkata, “Pergilah kalian, demi Allah, saya tidak akan menyerahkan 
mereka kepada kalian selama-lamanya.”
Ummu
 Salamah selanjutnya berkata, “Ketika kami keluar dari majlis Najasyi, 
Amr bin Ash mengancam kami. Dia berkata kepada temannya, Abdullah bin 
Rabiah, “Demi Allah, besok akan saya datangi baginda raja. Akan saya 
katakan kepada baginda ucapan orang-orang ini yang pasti akan membuat 
hati baginda raja marah dan benci kepada mereka. Akan saya sebutkan 
kepada baginda secara tuntas kebusukan-kebusukan hati orang-orang ini.”
“Ah, jangan! Bukankah mereka ini karib kerabat kita juga, sekalipun 
mereka berselisih paham dengan kita,” kata Abdullah bin Rabiah.
Amr
 bin Ash berkata, “Biar saja, demi Allah, akan saya ceritakan kepada 
baginda besok. Demi Allah, akan saya ceritakan kepada baginda, bahwa 
orang-orang ini mengatakan Isa bin Maryam adalah hamba sahaya.”
Keesokan
 harinya Amr bin Ash menghadap Raja Najasyi dan berkta, “Wahai paduka 
raja, orang-orang yang paduka lindungi memandang rendah Isa bin Maryam. 
Cobalah paduka panggil lagi dan bertanya kepada mereka.”
Kemudian
 menunjuk kembali Ja’far bin Abi Thalib menjadi juru bicara. Ketika 
dipanggil baginda raja, kami pun datang menghadap. Kami dapati para 
pastor telah hadir seperti kemarin. Di samping mereka terlihat pula Amr 
bin Ash dan kawannya. Segera kami duduk di hadapan baginda, lalu ia 
bertanya kepada kami, “Bagaimana pendapat tuan-tuan tentang Isa bin 
Maryam?”
Ja’far berkata, “Kami mempercayainya sebagaimana diajarkan nabi kami.”
Najasyi berkata, “Bagaimana ajaran nabi tuan-tuan mengenai beliau.”
Ja’far
 menjawab, “Beliau bersabda, “Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah dan 
Rasul-Nya, ruh-Nya, dan firman-Nya yang ditujukan kepada Maryam yang 
senantiasa perawan suci.”
Mendengar
 jawaban Ja’far itu, Najasyi menepukkan tangannya ke lantai seraya 
berkata, “Demi Allah tidak berbeda seujung rambut pun ajaran Isa bin 
Maryam dengan ajaran nabi tuan-tuan.”
Para
 pastor bernafas panjang, sebagai protes terhadap ucapan Najasyi. Lalu 
Najasyi berkata kepada para pendeta, “Sekalipun kalian mencemooh, 
pergilah kalian! Kalian percaya terhadap orang-orang yang telah menyogok
 dan mendatangkan malapetaka pada kalian. Demi Allah, saya tidak suka 
menerima emas walaupun sebesar gunung, tetapi mencelakai salah seorang 
kamu dengan suatu kejahatan. Kemudian Najasyi menengok kepada Amr bin 
Ash dan kawannya seraya berkata, “Kembalikan semua hadiah-hadiah yang 
dipersembahkan kedua orang ini, saya tidak butuh persembahan mereka.”
Ummu
 Salamah melanjutkan ceritanya, “Amr bin Ash dan kawannya keluar dengan 
hati berkeping-keping dan sangat kecewa. Dia kalah total, mendapat 
kegagalan dan kekecewaan yang memalukan. Dan kami dibolehkan tetap 
tinggal di sisi Najasyi, di negeri yang baik dan penduduk yang berhati 
mulia pula.”
Ja’far
 bin Abi Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam 
perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.
Pada
 tahun ke tujuh hijrah, kedua suami isteri itu meninggalkan Habasyah dan
 hijrah ke Yatsrib. Kebetulan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. 
baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan 
Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, “Aku tidak tahu 
mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar 
atau karena kedatangan Ja’far?”
Begitu
 pula kaum muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga 
bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ja’far sangat penyantun dan banyak 
membela golongan duafa, sehinga dia digelari Abil Masakin (bapak 
orang-orang miskin).
Belum
 begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan 
hijriah Rasululalh Shallallahu alaihi wassalam. menyiapkan pasukan 
tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid 
bin Haritsah menjadi komandan pasukan.
Rasululalh
 Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, “Jika Zaid tewas atau cidera, 
komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau 
cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah 
bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih 
pemimpin/komandan di antara mereka. “
Setelah
 pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah 
Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan 
mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, 
berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga 
terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, 
Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang 
dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu
 kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran 
segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada
 ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya yang
 kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar 
tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat 
disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan
 tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju 
ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan 
memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat
 mengepung dan mengeroyoknya. Sementara dia bersenandung menyanyikan 
sajak nan indah 
Wahai … surga nan nikmat sudah mendekat
Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum … Rum….
Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga
Tugasku … menggempurmu ….
Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum … Rum….
Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga
Tugasku … menggempurmu ….
Ja’far
 berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang 
mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan 
hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga 
buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan 
kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan 
putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan 
yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya 
tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin 
Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abi Thalib. 
Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya 
dia gugur pula sebagai syuhada’, menyusul kedua sahabatnya yang telah 
syahid lebih dahulu.
Rasulullah
 Shallallahu alaihi wassalam. sangat sedih mendapat berita ketiga 
panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far bin Abi 
Thalib anak pamannya. Didapatinya Asma’, isteri Ja’far, sedang 
bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, 
merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.
Asma’
 bercerita, “Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau 
diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani 
menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. 
Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.
Beliau berkata, “Mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”
Maka
 kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah Shallallahu 
alaihi wassalam. Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan 
beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau 
menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh 
haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, “Ya
 Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan 
Ja’far dan kedua sahabatnya?”
Beliau
 menjawab, “Ya …, mereka telah syahid hari ini.” Mendengar jawaban 
beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi 
setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku 
di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di 
kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air matanya, “Wahai 
Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya … wahai Allah, gantilah Ja’far 
bagi isterinya.” Kemudian kata beliau selanjutnya, “Aku melihat sungguh 
Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan 
bertanda di kakinya.” Wallahua’lam. 
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
No comments:
Post a Comment