Nama 
lengkapnya adalah Adi bin Hatim bin Abdullah bin Saad bin Hasyraj 
At-Thai, dijuluki dengan Abu Wahab dan Abu Tarif. Sahabat yang masuk 
Islam pada tahun 9 H ini terkenal sebagai orator yang sangat pandai. 
Beliau adalah kepala suku Thai baik pada masa jahiliah maupun masa 
Islam. Dia mempunyai jasa besar dalam menumpas kaum murtad dan ikut 
serta dalam penaklukan Irak. Beliau berdomisili di Kota Kufah dan wafat 
di sana.
Sejumlah
 raja Arab mulai menerima Islam sesudah mereka menentang keras. Mereka 
tunduk dan patuh kepada Rasulullah . Dari riwayat keislaman, tersebutlah
 kisah ‘Adi bin Hatim at-Tha’i yang pemurah. ‘Adi mewarisi kepemimpinan 
ayahnya sebagai penguasa suku at-Tha’i. Kaum Tha’i mengeluarkan 
seperempat harta mereka sebagai pajak kepada ‘Adi, untuk imbalan bagi 
kepemimpinannya.
 
Ketika
 Rasulullah mendakwahkan Islam, berangsur bangsa Arab mulai mendekat 
kepada beliau, suku demi suku. Tetapi, ‘Adi justru melihat pengaruh 
Rasulullah merupakan ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. 
Karena itu, dia memusuhi Rasulullah meski dia sendiri belum mengenal 
pribadi Nabi yang mulia itu. 
Hampir
 dua puluh tahun dia memusuhi Islam. Sampai pada suatu hari hatinya 
menerima dakwah Rasul. Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri. Dia 
menceritakannya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi 
berkata: Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku 
terhadap Rasulullah  ketika mendengar berita tentang beliau
 dan kegiatan dakwahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal
 dengan kaumku di daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka 
seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja
 Arab yang lain. 
Ketika
 pengaruh Rasulullah bertambah besar dan tentaranya bertambah banyak, 
aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta
 betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di dekatku. Bila 
kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di 
negeri ini, beritahukan kepadaku segera!” 
Hingga
 suatu pagi, sahayaku datang menghadap. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang
 akan Tuan-ku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri 
ini, maka lakukanlah sekarang!”
Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya, “Itulah bendera tentara Muhammad.”
Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya, “Itulah bendera tentara Muhammad.”
Aku
 perintahkan sahayaku untuk menyiapkan onta tadi. Seketika itu juga aku 
memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang 
aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang-orang seagama dengan 
kami dan tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua 
keluargaku.
Setelah
 melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada keluargaku yang 
tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, 
beserta penduduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk 
menjemputnya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan 
rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana. Saudara perempuanku aku 
biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku. Ketika berada di
 Syam, aku mendapat berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri 
kami. Saudara perempuanku tertangkap dan menjadi tawanan, kemudian 
dibawa ke Yatsrib bersama beberapa penduduk lainnya. 
Di
 sana mereka ditempatkan dalam penjara dekat pintu masjid. Ketika 
Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah 
binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia 
yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” Rasul bertanya, “Siapa yang 
menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “‘Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab,
 “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah
 pergi. Besok pagi Rasulullah lewat dekat saudaraku. Saudaraku berkata 
pula seperti kemarin kepada beliau. Kemudian beliau menjawab seperti 
yang kemarin pula. 
Hari
 ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau. Seorang 
laki-laki memberi isyarat kepada saudaraku supaya menyapa beliau. 
Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah!
 Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, 
limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” 
Rasulullah
 menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin 
pergi ke Syam menemui keluargaku.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau 
jangan buru-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat
 dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang 
yang dipercaya, beritahukan kepada saya.” 
Setelah
 Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi 
isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan bahwa orang itu 
adalah Ali bin Abi Thalib. 
Saudaraku
 tinggal di sana sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya 
untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu 
kepada Rasulullah. Katanya, “Ya Rasulullah! Telah datang serombongan 
kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.” Rasulullah 
memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. 
Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut. 
Kami
 selau mencari-cari berita tentang saudaraku dan menunggu kedatangannya.
 Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan tentang Muhammad dengan 
segala kebaikannya terhadap saudaraku. Demi Allah! Pada suatu hari 
ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul 
seorang wanita dalam hawdaj (sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata, 
“Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku 
yang ditunggu-tunggu. 
Setelah
 turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda 
tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. 
Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda 
tinggalkan.” Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begitu!” Aku 
berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan 
pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita 
cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama 
Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah, sebaiknya 
temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya 
beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di 
sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.” 
Maka,
 aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui 
Rasulullah . Tanpa iman dan kitab, aku mendengar berita bahwa beliau 
pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk 
Islam di hadapan saya.” Sampai di Yastrib, aku langsung masuk ke majelis
 Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam 
kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, 
“‘Adi bin Hatim!” Rasulullah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng 
tanganku lalu dibawa ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba 
seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, 
menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara tentang kesulitan 
hidupnya. Beliau mendengarkan bicara wanita itu sampai selesai. Aku pun 
tegak menunggu.
Aku
 berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” 
Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku 
sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal 
kulit yang diisi sabut kurma, lalu diberikan kepadaku. Beliau berkata, 
“Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku 
berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda 
lebih pantas.” 
Aku
 menuruti kata beliau lalu duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, 
karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata 
dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, 
beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai ‘Adi! Sudahkah Anda 
membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan 
Shabiah?” Jawabku, “Sudah.” 
Beliau
 bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat seperempat 
penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” 
Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad sesungguhnya 
rasul Allah. Kemudian, beliau berkata, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan 
masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum Muslim, 
mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di 
kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah.
 Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena kaum Muslim sedikit 
jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama 
lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah 
mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada
 Allah.” 
“Atau
 mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para
 sultan terdiri dari orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi
 Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum 
Muslim dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.” 
Aku
 bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan
 Kisra bin Hurmuz.” Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah 
syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi Muslim.
‘Adi
 bin Hatim dikaruniai Allah usia panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua 
perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal 
lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan 
seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut 
kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah 
tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang 
perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi 
Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula. 
Allah
 pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa 
ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. 
Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum Muslim. Saat itu setiap
 orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat.
 Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum 
Muslim hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan
 tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah 
meridhainya.  
Pada
 tahun kesembilan hijriyah, beberapa raja Arab mulai mendekat kepada 
Islam sesudah mereka lari dari Islam. Hati mereka lembut menerima iman 
setelah menentang keras. Mereka menyerah, tunduk dan patuh kepada 
Rasulullah  sesudah enggan. Tersebutlah kisah “Adi bin Hatim at-Tha’i” yang pemurah seperti bapaknya.
‘Adi
 mewarisi kepemimpnan dari bapaknya. Karena itu, suku at-Tha’i 
mengangkatnya jadi penguasa suku tersebut. Kaum Tha’i mengeluarkan 
seperempat harta mereka sebagai pajak yang diserahkannya kepada Adi, 
sebagai imbalan bagi kepemimpinannya memimpin suku tersebut.
Tatkala Rasulullah  memproklamirkan da’wah Islam, bangsa Arab mendekat kepada Rasulullah suku demi suku. ‘Adi melihat pengaruh Rasulullah  sebagai suatu ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah  dengan sikap keras. Padahal dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi  yang mulia itu. Dia benci kepada Rasulullah  sebelum
 bertemu dengan orangnya. Hampir dua puluh tahun lamanya dia memusuhi 
Islam, sampai pada suatu hari hatinya lapang menerima da’wah yang hak 
itu.
Islamnya
 ‘Adi mempunyai kisah tersendiri yang tak dapat dilupakannya. Karena 
itu, marilah kita simak, dia menceritakan kisahnya sendiri, kisah yang 
menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata:
Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah  ketika
 aku mendengar berita tentang beliau dan kegiatan da’wahnya. Aku seorang
 pemimpin yang dihormati. Aku tinggal dengan kaumku dalam daerah 
kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan 
mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain. Karena itu 
ketika aku mendengar da’wah Rasulullah , aku membencinya. Ketika 
pengaruh dan kekuatan Rasulullah  b ertambah besar dan 
tentaranya bertambah banyak yang tersebar di Timur dan Barat negeri 
Arab, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! 
Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di 
dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan
 kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Maka,
 pada suatu pagi sahayaku datang menghadap kepadaku. Katanya, “Wahai 
Tuanku! Apa yang akan Tuanku perbuat jika tentara berkuda Muhammad 
datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!” Tanyaku, “Mengapa?” 
Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung. Lalu aku 
bertanya, bendera apa itu. Jawabnya, itulah bendera tentara Muhammad “.
Kemudian,
 aku perintahkan kepada sahayaku, “siapkan onta yang kuperintahkan 
kepadamu, bawa kemari.”Aku bangkit, ketika itu juga aku memanggil istri 
dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang kami anggap aman, 
(Syam). Di sana kami bergabung dengan orang- orang seagama dengan kami 
dan bertempat tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan 
semua keluargaku. Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada
 di antara keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di
 negeri kami, Nejed, beserta pendduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan 
lain bagiku untuk mendapatkannya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus 
berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana di 
tengah-tengah penduduk yang seagama denganku. Saudara perempuanku aku 
biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku.
Sementara,
 ketika aku berada di Syam, aku mendapatkan berita, tentara berkuda 
Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap beserta 
sejumlah wanita menjadi tawanan, kemudian mereka dibawa ke Yatsrib. Di 
sana mereka ditempatkan dalam sebuah penjara dekat pintu masjid. Ketika 
Rasulullah  lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! 
Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan 
kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”Rasul bertanya, 
“Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “Adi bin Hatim!” 
Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata
 begitu, Rasulullah pergi meninggalkannya. Besok pagi Rasulullah lewat 
pula dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada 
beliau. Dan beliau menjawab seperti kemarin pula. Hari ketiga Rasulullah
 lewat, saudaraku lupa menyapa beliau dan tidak berkata-kata kepadanya. 
Seorang laki-laki memberi isyarat kepadaku supaya menyapa beliau. 
Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah!
 Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, 
limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah
 menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin 
pergi ke Syam menemui keluargaku di sana.” Rasulullah  berkata,
 “Tetapi, engkau jangan terburu- buru pergi ke sana, sebelum engkau 
dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila 
engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah
 Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi 
isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan orang kepadanya, 
orang itu adalah Ali bin Abu Thalib.
Saudaraku
 tinggal di Madinah sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya 
untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu 
kepada Rasulullah. Katanya, ‘Ya Rasulullah! Telah datang serombongan 
kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku. Rasulullah 
memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. 
Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kata
 ‘Adi, selanjutnya, “Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku 
itu dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang 
diberitakan kepada kami tentang Muhammad dengan segala kebaikan beliau 
terhadap saudaraku, di samping rasa tinggiku dari beliau.
Demi
 Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan 
keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj(sekedup) menuju
 ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu 
betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah
 turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda 
tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. 
Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda 
tinggalkan.”
Aku
 menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begiutu!” Aku berhasil 
menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya. 
Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan 
pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” 
Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah sebaiknya Anda temui dia 
segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya 
beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di 
sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
‘Adi
 berkata, “Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah 
menemui Rasulullah . Tanpa Iman dan Kitab, aku mendengar berita bahwa 
beliau pernah berkata, “Sesunguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim 
masuk Islam di hadapan saya.” Aku masuk ke majlis Nabi , ketika beliau 
berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku 
beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim !”
Rasululah  berdiri
 menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawanya ke rumahnya. 
Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah)
 sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua 
itu berbicara dengan beliau mengatakan kesulitan hidupnya. Beliau 
berhenti mendengarkan bicara wanita itu sampaui selesai. Dan aku pun 
tegak menunggumu.
Aku
 berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” 
Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku 
sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal 
kulit yang diisi dengan sabut kurma, lalu diberikannya kepadaku. Beliau 
berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu 
aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, 
“Anda lebih pantas.” Aku menuruti kata beliau. Lalu aku duduk di atas 
bantal. Nabi  duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal 
lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini 
bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya 
berkata, “Hai Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda 
anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.” Beliau bertanya 
lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat Anda seperempat 
penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” 
Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad ini 
sesungguhnya Nabi dan rasul Allah. kemudian, beliau berkata pula, “Hai 
‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat 
tentang kaum muslimin, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta 
akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang 
yang mau menerima sedekah.
Atau
 barangkali Anda hai ‘Adi enggan masuk agama ini karena kaum muslimin 
sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak
 lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari 
Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun 
selain kepada Allah.
Atau
 mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para
 Sultan terdiri dari orang-orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak 
lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) 
direbut kaum muslimin dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik
 mereka.
Aku
 bertanya kagum, “Kekayaan kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan
 Kisra bin Hurmuz.” ‘Adi berkata, “Maka seketika itu juga aku 
mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi 
muslim.”
‘Adi
 bin Hatim dikaruniai Allah usia yang panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua
 perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal 
lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan 
seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut 
kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah 
tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang 
perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi 
Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah
 pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa 
ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. 
Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum muslimin. Ketika itu 
setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima 
zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena 
kaum muslimin hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan 
Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga 
Allah meridhainya.
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
No comments:
Post a Comment