TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Rabi'ah al-'Adawiyah


Mengenal Allah dengan Cinta

Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).
     Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
        Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
      Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. 
        Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.
  • Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
  • Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
  • Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
  • Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
       Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.
      Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

       Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya
      Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
         Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).
       Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin al-Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
          Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
       Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”
     Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
      Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
      Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari. Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
        Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
       Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
        Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.” Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.
      Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”
       Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
        Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.
        Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
     Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”
        Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
  • “Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
  • “Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
  • “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
  • “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
       Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

      Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.
      Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.
        Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
      Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”

Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah

        Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.
        Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:
“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
        Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.”
    Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.
       Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
      Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.” 

Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah

      Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
      Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut: 

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku. 

     Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
      Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu: 

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

        Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
        Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku. 

       Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan: 

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

      Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.
      Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928). 

Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya

        Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
      Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
       Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
      Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.
      Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”
      Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA (I) SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA (I)
SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M

Abdul Hadi W. M.


                Hubungan negeri Arab dan kepulauan Nusantara telah berlangsung lama, jauh sebelum lahirnya agama Islam. Kegiatan perdagangan internasional antara Timur Tengah dan Cina telah menjadikan kepulauan Nusantara memiliki posisi strategis sebagai jalur utama lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari Barat ke Timur dan sebaliknya dari Timur ke Barat. Kota-kota pelabuhan segera tumbuh di pesisir Sumatra dan Jawa sebagai tempat singgah kapal-kapal asing itu. Pada abad ke-7 dan 8 M setelah agama Islam berkembang di negeri Arab, kegiatan perdagangan internasional ini semakin marak. Kepulauan Nusantara bukan sekadar laluan pelayaran kapal dagang asing, tetapi juga tempat mengambil barang dagangan utama seperti rempah-rempah, emas dan kamfer. Para pedagang Arab yang datang ke Nusantara telah pula memeluk agama Islam dan turut pula berperan menyebarkan agama baru ini di kalangan penduduk tempatan (Arnold 1968:367).
               Tetapi sampai abad ke-13 M agama ini hanya dipeluk sebagian kecil masyarakat Nusantara. Islam baru tersebar luas setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan memainkan peranan utama dalam kegiatan politik serta perdagangan internasional di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam awal yang kuat itu ialah Samudra Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Di kerajaan-kerajaan yang terletak di Selat Malaka, jalur utama lalu lintas perdagangan internasional antara Cina dan Timur Tengah, inilah peradaban dan kebudayaan Islam untuk pertama kalinya berkembang di kepulauan Nusantara (Azyumardi Azra 1995:22-55). Sebagai negeri yang makmur pada zamannya, ketiga negeri ini tidak hanya menarik tumpuan para pedagang untuk datang berniaga dan mengambil barang niagaan, tetapi juga mengundang utusan-utusan resmi dari kerajaan-kerajaaan Islam di Timur Tengah dan Asia Barat untuk datang, sebagaimana para ulama dan cerdik cendikia dari pusat-pusat peradaban Islam. Mereka senang tinggal di situ karena mendapat sambutan hangat raja-raja Muslim Nusantara dan diberi peluang mengembangkan dakwah Islam di tempat baru itu.
               Ibn Batutah, seorang musafir Arab yang mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1336, menulis dalam kitabnya Rihlah (Paris 1893: 230) bahwa sultan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai datang ke istananya untuk membincangkan masalah agama dan penyebarannya. Cerdik cendikia dari Parsi sangat dihormati di Pasai. Karena sambutan hangat itulah banyak di antara mereka yang senang tinggal di Pasai, kawin mawin dengan wanita setempat dan diberi fasilitas membangun berbagai lembaga keislaman, terutama pendidikan. Hal yang sama berlaku di Malaka dan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya.
               Dari naskah-naskah Melayu lama yang telah diteliti, dapat diketahui bahwa cabang-cabang-ilmu agama yang dipelajari di Nusantara luas. Di antara cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu ialah (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Kesusastraan Arab dan Parsi juga merupakan bahan pelajaran yang utama. (Ismail Hamid 1983:2). Tidak mengherankan apabila pada abad ke-14 dan 15 M apresiasi dan minat kaum terpelajar Muslim Melayu terhadap kesusastraan Arab dan Parsi sudah tinggi. Dari minat dan apresiasi yang besar inilah tumbuh minat untuk melahirkan karya sastra dalam bahasa Melayu yang ketika itu telah menjadi bahasa pergaulan utama di bidang perdagangan dan intelektual.
               Karya sastra Melayu Islam terawal yang muncul di Pasai antara lain ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Bahasa yang digunakan dalam hikayat ini ialah bahasa Melayu baru yang berbeda dari bahasa zaman Sriwijaya sebelumnya, karena telah mengalami proses islamisasi yang deras. Aksara yang digunakan ialah aksara Jawi atau aksara Arab yang dimelayukan. Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi telah mantap perkembangannya pada masa itu dan luas pemakaiannya, khususnya sebagai bahasa pergaulan di bidang keagamaan dan intelektual (Collin 1992). Dalam perkembangangan selanjutnya bahasa Melayu Pasai inilah yang dijadikan bahasa penulisan kitab-kitab keagamaan dan sastra Melayu.
              Selain menulis karya-karya orisinal seperti Hikayat Raja-raja Pasai, penulis-penulis Muslim Melayu juga mulai giat menerjemahkan dan menyadur beberapa hikayat Arab dan Parsi yang digemari masyarakat pembaca. Misalnya Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) disebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M. Selain itu juga disebutkan bahwa orang Islam dan sultan sangat menyukai tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).
             Tidak kalah populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. karya Syekh al-Busiri, penyair sufi Mesir abad ke-13 M. Kasidah ini biasa dinyanyikan pada perayaan Maulid Nabi. Dalam Tuhfat al-Mujahidin, kitab sejarah karangan Zainuddin al-Ma`bari abad ke15 dikatakan bahwa dakwah Islam berjalan efektif melalui penuturan kisah Nabi dan sajak-sajak pujian yang dinyanyikan dalam perayaan Maulid (Ismail Hamid 1983:27). Tetapi disayangkan naskah-naskah yang ditulis pada masa awal hampir tidak ditemukan lagi. Yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan abad ke-16 dan 17 M, khususnya yang ditulis di Aceh Yang jelas pada zaman Islam memainkan peranan penting bukan hanya sebagai media penyebaran gagasan keagamaan, tetapi juga penyebaran gagasan intelektual dan keilmuan.

Zaman Peralihan

    Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.
               Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
               Gelombang Pertama yang disebut Taufik Abdullah dapat disebut sebagai Zaman Awal dan Peralihan dalam sejarah kesusastraan Islam di Nusantara, khususnya Melayu. Pada masa inilah penerjemahan sajajk-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu sepertiHikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam.
                Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.
                Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau dgubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2) Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin.
               Berbeda dengan Hikayat Syah Mardan, yang digubah berdasarkan cerita Hindu, adalahCerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain. Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat (ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifat atau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra danHikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.
               Sayang sekali, sebagaimana telah dikemukakan, naskah asli dari karya-karya yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M tu sudah tidak dijumpai lagi. Naskah salinannya pada umumnya dikerjakan pada abd ke-17 M. Sudah tentu baik isi maupun susunan bahasa dan gaya sastranya sudah mengalami perubahan. Untuk mengetahui ciri-ciri utama dari karya-karya zaman peralihan itu kita mesti berpaling ke Jawa, khususnya suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.
                Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalam ilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan ialah:
  1. Seperti halnya wacana keagamaan dan intelektual yang lain, karya sastradianggap sebagaisuluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
  2. Estetika penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 14 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali, Jalaluddin al-Rumi dan Avbul Karim al-Jili. Dalam metafisika sufi, alam kewujudan dibagi empat. Mengikuti hal ini realitas dan tatanan keindahan yang ditampilkan karya terdiri dari empat lapis, yaitu Keindahan Ilahi mewakili Alam Ketuhanan (alam lahut); keindahan batin mewakili Alam Keruhanian (alam jabarut); keindahan rasional dan imaginatif mewakili Alam Kejiwaan (alam malakut,disebut juga alam mitsal, artinya alam perumpamaan); dan keindahan lahir mewakili Alam Jasmani (alam nasut).
  3. Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilaI Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.
(4) Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental
      (ishq) yang dialami seorang salik (penempuh jalan ruhani) dalam perjalanan menuju Kekasihnya, Yang Satu.

Hikayat-hikayat Zaman Peralihan

      Tidak pelak bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu di Jawa dan hindunisasi kebudayaan Jawa, sastra memainkan peranan penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual. Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis dalam bentuk karya sastra, atau menyerupai karya sastra, baik prosa maupun puisi, atau campuran keduanya.
               Zaman Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu sejak berkembangnya kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilah proses islamisasi budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang muktamad Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan Islam. Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aeh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.
              Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Hikayat Nabi-nabi; (2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. (3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi; (4) Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, sufi terkemuka dan para pendiri tariqat-tariqat besar yang berkembang di Nusantara; (5) Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam; (6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan; (7) Kisah-kisah Perumpamaan Sufi; (8) Cerita Berbingkai; (9) Kisah-kisah Jenaka. Karya-karya yang termasuk dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.(BERSAMBUNG)

KHAZANAH ISLAM (2): HIKAYAT-HIKAYAT MELAYU

KHAZANAH ISLAM (2):
HIKAYAT-HIKAYAT MELAYU

Abdul Hadi W. M.

Klasifikasi Sastra Pada Zaman Islam
Seperti telah dikemukakan sastra yang berkembang pada zaman Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Hikayat Nabi-nabi. Hikayat jenis ini lazim disebut Hikayat Anbiya’ atau
                Surat Anbiya’. Termasuk ke dalamnya ialah kisah tentang Nabi Adam, Idris, Nuh, Saleh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, Yusuf, Syuaib, Musa, Daud, Sulaiman, Ayub, Yahya dan Isa a.s. Di samping itu terdapat kisah nabi-nabi secara secara perorangan. Yang paling populer di antaranya ialahHikayat Nabi YusufHikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Raja Jumunah (dan Nabi Isa),Hikayat Zakaria, Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Nabi Allah Ayub, Hikayat Nabi Musa Bermunajat, dan lain-lain. Nabi-nabi ini sering muncul sebagai tokoh dalam kisah lain. Misalnya Nabi Sulaiman a.s. dimunculkan sebagai tokoh bayangan dalam kisah binatang (fabel) seperti Cerita Pelanduk Jenaka.
Versi Melayu dari kisah para nabi itu digubah berdasarkan sumber Arab dan Parsi seperti Kitab al-Mubtada wa Qisas al-Anbiya’ (Buku tentang Kejadian Alam dan Cerita Para Nabi) karangan Wahb ibn Munabba (w. 730 M), Ara`is al-Majalis: Qisas al-`Anbiya’ (Para Pengantin dalam Majlis: Kisah Para Nabi) karangan Tha`labi (abad ke-10 M), dan Qisas al-`Anbya’ karangan Ibn Khalaf dari Nisyapur, Iran (Ismail Hamid 1983:19). Di Perpustakaan Nasional Jakarta terdapat dua belas versi dari hikayat ini. Di antaranya yang digubah oleh Ahmad bin Muhammad al-Syilabisi (dari Sulawesi), Encik Husein dari Bugis dan Muhammad Syam dari Lingga, Riau. Pada pendahuluan kitab ini dipaparkan kisah permulaan kejadian alam semesta yang diawali dengan kejadian Nur Muhammad. Sejarah kejadian manusia, menurut penulis kitab ini, tidak dimulai dari munculnya Adam, tetapi dari kejadian Nur Muhammad di alam ketuhanan.

(2) Kisah-kisah berkenaan dengan riwayat dan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w.

                  Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Rasulullah, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, Hikayat Putri Salamah (yang mendapat pelajaran dari Nabi, Hikayat Nabi dengan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi dan Iblis Melalui kisah-kisah ini pengarang menyampaikan ajaran Islam. Dalam Hikayat Putri Salamahmisalnya Nabi mengajarkan bagaimana tugas seorang istri dalam Islam.
Dalam Hikayat Nur Muhamad atau Hikayat Kejadian Nur Muhamad dikisahkan bahwa sebelum menciptakan segala sesuatu di dalam semesta Tuhan menjadikan Nur Muhamad terlebih dahulu sebagai asas kejadian. Nur Muhamad, yang artinya ialah cahaya yang tepuji, merupakan konsep sufi tentang unsur ruhani segala ciptaan, khususnya manusia, yang digambarkan sebagai cahaya terpuji yang berkilau-kilauan. Konsep ini dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhamad, yang akhlaq dan pengetahuannya terpuji serta menerangi alam semesta.
              Sebutan Nur Muhamad diperkenalkan mula-mula pada abad ke-9 oleh Ibn Ishaq, penulis riwayat Nabi Muhamad paling awal. Pada abad ke-10 M konsep itu dipopulerkan oleh sufi terkemuka Sahl al-Tustari. Konsep nur dirujuk pada hadis qudsi dan surah al-Nur al-Qur’an. Dalam versi Melayu hikayat ini sering dimasukkan sebagai pendahuluan karya bercorak sejarah seperti Bustan al-Salatinkarangan Nuruddin al-Raniri, Hikayat Anbiya’ dan Tambo Minangkabau.Versi terkenal dari hikayat ini ialah gubahan Ahmad Syamsudin dari Aceh pada tahun 1646 M dengan judul Tarikh Mukhtasar(Ringkasan Sejarah), yang disadur dari naskah Parsi Rawdat al-Anbah (Syurga Para Kekasih) karangan Husaini pada tahun 1495 M. Salinan terbaru ialah karangan Ki Agus Haji Khatib Thaha dari Palembang yang ditulis pada tahun 1856. Dalam bentuk puisi, hikayat ini muncul dalam syair-syair tasawuf karangan Hamzah Fansuri pada abad ke-16 M.
Hikayat berkenaan dengan Nabi Muhamad yang juga tidak kalah penting ialah Hikayat Seribu Masalahyang memaparkan masalah eskatologi Islam, yang diuraikan melalui berbagai perumpamaan. Salah satu versi terkenal ialah yang ditulis di Aceh pada akhir abad ke-17 M berdasarkan versi Arab Masa`il Abdullah bin Salam li Nabiyyin (Pertanyaan-pertanyaan Abdullah bin Salam kepada Junjungan Nabi kita). Rngkasan ceritanya adalah sebagai berikut: Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib (Madinah), seorang pemimpin Yahudi bernama Abdullah bin Salam menyatakan akan memeluk agama Islam bersana 700 pengikutnya apabila Nabi dapat menjawab berbagai pertanyaan. Abdullah bin Salam kemudian menanyakan soal-soal di sekitar kejadian alam, kehidupan di akhirat, syurga dan neraka, pahala dan siksaan. Nabi menjawab semua persoalan itu dengan memuaskan (Edwar Djamaris 1982).

(3) Kisah Para Sahabat.

               Menceritakan kehidupan dan perjuangan para sahabat Nabi Muhamad yang muncul sebagai tokoh penting Islam setelah Nabi. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Abu Bakar, Hikayat Amir al-Mu`minin Umar, Hikayat Sayidina Ali, Hikayat Usman bin Affan, Hikayat Abu Syamah, Hikayat Abu Bakar dan Rahib Yahudi,Hikayat Ali Kawin, Hikayat Raja Handak, Hikayat Hasan dan Husein, Hikayat Salman al-Farsi, Hikayat Tamim al-Dari dan lain-lain. Hikayat para sahabat ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Misalnya Hikayat Abu Bakar yang menceritakan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam yang jarang diketahui umum. “Diceritakan setelah Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah, seorang tokoh bernama Marwan dipecat dari jabatannya karena didapatkan menyebarkan fitnah. Setelah beliau wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Dalam masa pemerintahannya terjadi peperangan hebat antara tentara Islam di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib melawan tentara Khusraw dari kekiasaran/ kemaharajaan Parsi di bawah pimpinan Rustam. Dalam peperangan tersebut kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Putri Maharaja Khusraw Syahrbanu kawin dengan Husein bin Ali dan Nurbayan kawin dengan Muhamad bin Abu Bakar”.
Hikayat Abu Syamah menceritakan keadilan khalifah Umar bin Khattab.

               “Diceritakan Abu Syamah putra Umar bin Khattab sakit parah sekembalinya dari medan perang di Khalwan. Setelah sembuh dari sakitnya ia berjalan-jalan mengitari kota Madinah untuk menghirup udara. Seorang Yahudi yang mengetahui keadaan Abu Syamah menemuinya dan menawarkan obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Abu Syamah menerima tawaran itu dan pergi ke rumah orang Yahudi itu. Di rumah orang Yahudi itu dia diberi minuman keras yang dikatakan sebagai obat, sehingga ia mabuk. Dalam keadaan mabuk Abu Syamah menggauli anak gadis orang Yahudi itu sehingga hamil. Orang Yahudi mengadu kepada Umar tentang perbuatan anaknya. Abu Syamah dihukum rajam sampai mati”.

(4) Hikayat Para Wali.

               Di antaranya yang masyhur ialah Hikayat Rabiah al-Adawiyah, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Kadir Jailani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syekh Naqsabandi dan lain-lain.

(5) Hikayat Pahlawan atau Epos.

               Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Malik Saiful Lizan, Hikayat Saif bin Dhi Yazan, Hikayat Semaundan lain-lain. Para pahlawan Islam ini diperkenalkan agar sejarah perjuangan kaum Muslimin di negeri Arab dan Parsi tidak asing dan menjadi bagian dari sejarah kaum Muslimin secara keseluruhan. TokohHikayat Iskandar Zulkarnain didasarkan atas legenda Iskandar Agung dari Macedonia yang telah menaklukkan banyak negeri dari Balkan hingga India. Penulis Muslim menghubungkan kisah raja ini dengan kisah Iskandar Zulkarnain yang terdapat dalam al-Qur’an. Winstedt (1938) mengemukakan bahwa sastrawan Arab yang mencampurkan legenda Iskandar Agung dan Iskandar Zulkarnain ialah Umara. Versi Arab dari kisah ini ialah karangan Mubasyir (1503), tetapi versi Melayu digubah berdasarkan hikayat yang ada dalam sastra Parsi, yaitu Iskandar-namah karangan Nizami al-Ganjawi, penulis Iran abad ke-12 M. Di samping Hikayat Iskandar Zulkarnain, dua hikayat lain yang populer ialahHikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah. Hikayat Amir Hamzah sangat populer di kalangan masyarakat Muslim hingga awal abad ke-20 Berbagai versinya dijumpai dalam sastra Melayu, Jawa, Madura, Sunda dan lain-lain. Versi cerita ini seperti yang dikenal hingga sekarang memang berasal dari sastra Parsi, bahkan versinya dalam bahasa Arab juga disalin dan disadur dari naskah Parsi. Versi-versi yang tertulis dalam bahasa Parsi antara lain Dastani Amir Hamzah, Qissah Amir Hamzah dan Asmar Hamzah. Sumber ilham cerita ialah Hamzab bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad s.a. w., lahir pada tahun 569 M. Pada awalnya Hamzah menentang ajaran Islam, tetapi kemudian menjadi penganut yang taat dan gigih memperjuangkan kebenaran risalah agama ini. Dalam Perang Uhud melawan pasukan Quraysh, Hamzah mati syahid. Kisah kepahlawanannya hidup terus dalam jiwa kaum Muslimin dan banyak kisah ditulis mengenai dirinya. Tetapi kemudian di Parsi kisahnya dicampur aduk dengan pahlawan lain yang juga bernama Hamzah bin Abdullah, yang hidup pada zaman Abbasiyah. Ketokohan Hamzah bin Abdullah sangat diagungkan oleh orang Parsi, yang berjuang menentang pemerintahan Abbasiyah di Baghdad (Ismail Hamid 1983:76-7).

                Sinopsis cerita: ”Setelah Amir Hamzah masuk Islam, keberaniannya segera diketahui oleh kaum Muslimin. Beliau dipilih menjadi kepala pasukan tentara untuk menaklukkan Yaman. Maharaja Nusyirwan dari negeri Parsi mendengar berita kepahlawanan Amir Hamzah ini. Dia diundang ke istananya di Madain. Di sana Smir Hamzah jatuh cinta kepada putri Muhrnigar. Bakhtik, wazir maharaja Nusyirwan sangat benci pada orang Arab. Dia merancang pembunuhan terhadap Amir Hamzah, yaitu dengan memberi syarat bahwa Amir Hamzah dapat menikahi sang putri apabila sanggup pergi ke Mesir, Rum dan Yunani untuk mengumpulkan upeti. Amir Hamzah menyanggupi syarat tersebut. Dia berangkat ke Mesir. Namun malang, di sana dia ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi karena kelihaiannya, Amir Hamzah bisa melarikan diri dari penjara, kemudian mengembara ke berbagai negeri, terutama Asia Tengah. Setelah pulang dari pengembaraan, oleh maharaja Nusyirwan dia diperbolehkan menikah dengan putri Muhrnigar. Bakhtik tetap benci pada Amir Hamzah dan berusaha mengalahkannya. Mata Amir Hamzah dibuat buta. Tetapi Nabi Khaidir berhasil memulihkan penglihatan Amir Hamzah. Pada akhir cerita Bakhtik dibunuh oleh tokoh bernama Umar Umayyah. Setelah peristiwa itu Amir Hamzah memimpin pasukan memerangi raja-raja kafir dan menyebarkan agama Islam. Tetapi malang sekali, Amir Hamzah akhirnya gugur ketika berperang dengan Raja Lahad.”
                 Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Meskipun hikayat ini ditulis berdasarkan sumber Arab, tetapi dikembangkan menjadi sebuah hikayat oleh penulis-penulis Parsi pada abad ke-14 M. Dasar ceritanya ialah legenda yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniya, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam Tujuh (Ismailiya), Imam Lima (Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniya menganggap bahwa jabatan imamah berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanaf dan yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.
                 Dalam sastra Melayu hikayat ini telah dikenal sejak akhir abad ke-15 M dan digubah besrdasarkan sumber Parsi yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 (Brakel 1975:5). Ringkasan ceritanya sebagai berikut: ”Ketika Ali dipilih menjadi khalifah ke-4 setelah terbunuhnya Usman bin Affan, Mu’awiya -- keponakan Usman yang menjabat sebagai gubernur Damaskus – menentang keputusan itu. Dia merancang untuk membunuh Ali. Perang berkobar antara pengikut Ali dan Mu’awiya. Keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Bahkan dalam pertempuran yang menentukan pasukan Ali berada di atas angin. Tetapi melalui cara yang licik, Mu’awiya menawarkan perundingan. Dalam perundingan diputuskan untuk mengadakan tahkim, yaitu melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh beberapa hakim yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Tahkim memutuskan Mu’awiya berhak menjabat khalifa dan sejak itu resmilah Dinasti Umayya memerintah kekhalifatan Islam. Pemerintahan Umayyah berlangsung antara tahun 662 hingga 749 M. Tidak lama setelah itu Ali dibunuh di Kufa dan para pengikutnya terus melancarkan berbagai pembrontakan terhadap Umayya. Pada masa pemerintahan Yazid, pengganti Mu’awiya, timbul pula pembrontakan yang menewaskan Hasan dan Husein. Muhammad Hanafiya bangkit dan mengumpulkan pasukan, kemudian melancarkan peperangan menentang Yazid. Dalam sebuah pertempuran yang menentukan Yazid terbunuh secara mengerikan, yaitu jatuh ke dalam danau yang penuh kobaran api. Setelah itu Muhammad Hanafiya menobatkan putra Husainn, Zainal Abidin menjabat sebagai imam. Ketika itu dia mendengar kabar bahwa bahwa tentara musuh sedang berhimpun dalam sebuah gua. Dia pun pergi ke tempat itu untuk memerangi mereka. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia mendengar suara ghaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk ke dalam gua. Tetapi dia tidak menghiraukan seruan itu. Dia terus saja membunuh musuh-musuhnya. Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar lagi dari dalamnya.”

(6) Hikayat Petualangan campur percintaan.

                  Hikayat Petulangan campur Percintaan   sebagian besar termasuk ke dalam jenis pelipur lara. Namun demikian unsur didaktiknya cukup dominan. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Jauhar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Umar Umayah, Hikayat Raja Khaibar,Hikayat Ahmad Muhamad, Hikayat Siti Hasnah, Hikayat Siti Zubaidah Perang Dengan Cina dan lain-lain. Sebagian dari hikayat-hikayat ini dikembangkan dari kisah-kisah yang terdapat dari cerita berbingkai dan sebagian lagi dikembangkan menjadi alegori sufi. Pada umumnya cerita dalam kisah-kisah ini bermain di wlayah Tiimur Tengah, Asia Barat, Parsi dan India. Nama tempat yang memang ada dalam sejarah seperti Baghdad, Madain dan Turkistan. Tetapi juga terdapat juga nama-nama rekaan bercorak Arab dan Parsi seperti Syarqastan, Sanjatan, Malik al-Ghuyur dan lain sebagainya.
                 Melengkapi hikayat bercorak Parsi muncul pula hikayat-hikayat yang mengandung baik unsur Hindu maupun Islam seperti Hikayat Jaya Langkara, Hikayat Gul Bakawali, Hikayat Si Miskin, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Berma Syahdan, Hikayah Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Tokoh-tokoh dalam hikayat ini adalah pahlawan tempatan dan lingkungan terjadinya cerita juga di bumi Melayu, kecuali Hikayat Gul Bakawali. Meskipun digubah dari cerita yang sudah ada pada zaman Hindu, namun unsur Islam dari hikayat ini sangat jelas. Misalnya seperti terlihat pada Hikayat Indraputra. Dalam hikayat ini unsur Islam tampak pada hal-hal seperti berikut. (1) Diceritakan ketika berusia tujuh tahun Inderaputra sudah fasih membaca al-Qur’an; (2) Beberapa naskah hikayat ini dimulai dengan Basmallah; (3) Dalam pengembarannya Inderaputra selalu mengingat keagungan Allah s.w.t., bahkan selalu berdoa dan berzikir; (4) Ia hanya beristri empat orang; (5) Ayahnya Raja Bikrama salat dan berdoa di masjid ketika mengetahui bahwa anaknya hilang (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad 1993:160).

(7) Hikayat Perumpamaan atau Alegori Sufi.

                 Sebagian dari alegori sufi digubah berdasarkan hikayat yang termasuk dalam kategori roman, seperti misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Dalam sastra Jawa contoh terbaik ialah Cerita Dewa Ruci. Adapun alegori yang disadur dari sumber sastra Parsi ialahHikayat Burung Pingai, Hikayat Perkataan Alif dan lain-lain. Yang terkenal ialah Hikayat Burung Pingaiyang disadur dari Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar, penyair sufi Parsi abad ke-12 yang masyhur. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini..
                 Dalam Mantiq al-Tayr diceritakan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang kacau sebab tidak memiliki pemimpin atau raja. Burung Hudhud tampil ke depan bahwa raja para burung sekarang ini berada di puncak gunung Kaf, namanyaSimurgh. Jika kerajaan burung ingin kembali pulih, kata Hudhud, burung-burung harus terbang bersama-sama mencari raja diraja mereka. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu: (1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah`Isyq atau Cinta; (3) Lembah Makrifat; (4) Lembah Istihna atau kepuasan; (5) Lembah Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana’, baqa’ dan faqir. Pada mulanya burung-burung enggan melakukan perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Burung Bulbul sudah terlanjur lengket cintanya pada bunga mawar, sehingga menganggap perjalanan itu tidak perlu dilakukan. Elang sudah merasa puas dengan kedudukannya sebagai raja budak duniawi. Kutilang merasa lemah dan tidak berdaya. Merak sudah merasa enak tinggal di taman yang indah. Hudhud tidak putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan. Baru setelah itu burung-burung itu bersedia melakukan penerbangan yang jauh dan sukar. Ternyata yang sampai di tujuan hanya 30 ekor burung. Dalam bahasa Parsi tiga puluh artinya Si-murgh.Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur 1972).
              Dalam tradisi sastra sufi, burung digunakan sebagai tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan merindukan Tuhan, asal usul keruhaniannya. Si-murgh bukan saja lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan – yang walaupun kelihatannya jauh letaknya, namun sebenarnya lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwaHikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubah suai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran `Attar tentang Simurgh. Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah Fansuri menulis syair-syair menggunakan lambang burung, seperti terlihat dalam ”Syair Tayr al`Uryan Unggas Sultani”.
              Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut: ”Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Di depan mereka Nabi Sulaiman bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai rahasia dan hakikat kehidupan? Nuri menjwab, melalui jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh (sebagaimana tujuh lembah keruhanian dalam Mantiq al-Tayr). Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan buta dan tuli. Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masing-masing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengutip Hadis qudsi, ’Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya’. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji kearifan burung Nuri” (Ibid 141).
              Demikian penggantian tokoh Hudhud dengan burung Nuri mempunyai alasan. Kata nur dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidakhadiran Hudhud dalam versi Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam al-Qur’an 27:20-28 (Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman.

(8) Cerita Berbingkai.

            Cerita semacam ini sangat digemari pembaca, sehingga versi dari masing-masing cerita banyak sekali dijumpai dalam sastra Melayu. Sebagian merupakan kisah binatang (fabel), sebagian lagi tidak termasuk fabel. Yang termasuk fabel ialah Hikayat Khalilah dan Dimnah dan Hikayat Bayan Budiman.Yang tidak termasuk fabel ialah Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bibi Sabariah dan lain-lain. Selain sebagai sarana pengajaran, hikayat-hikayat ini berperan sebagai pelipur lara. Cerita berbingkai dan fabel memang berasal dari kesusastraan Sanskerta. Melalui kesusastraan Parsi kisah-kisah semacam itu sampai ke dalam buaian peradaban Islam dan dikembangkan lebih jauh hingga mencapai bentuknya yang lebih sempurna dan mempesona. Para sastrawan Muslim juga meningkatkan bobot cerita-cerita ini, dengan memberinya kandungan moral serta pesan kemanusiaan dan keruhanian yang universal. Yang paling populer dari hikayat-hikayat tersebut ialah Hikayat Seribu Satu Malam, yang diterjemahkan atau disadur dari salah satu naskah Arab abad ke-14 M. Judul asli hikayat ini ialah Alfa Layla wa Layla, dan di Eropah dikenal denan judulArabian Nights. Dari kisah-kisah yang terdapat di dalamnya digubah pula cerita-cerita lepas sepertiHikayat Ali Baba, Hikayat Putri Johar Manikam, Hikayat Aladin dengan Lampu Ajaib, Hikayat Sinbad Pelaut dan lain-lain. Versi paling awal dari Hikayat Seribu Satu Malam dalam bahasa Melayu ialah salinan awal abad ke-18 M. Pada tahun 1895 untuk kesekian kalinya hikayat ini diterjemahkan kembali dari salah satu versi Arab abad ke-15 oleh Datuk Mahakurnia Alang Ahmad dari Perak (Ismail Hamid 1983:123).

(9) Kisah Jenaka.

                Kisah jenaka yang populer ialah serial Hikayat Abu Nawas dan Hikayat Umar Umayya.Berdasarkan model ini kemudian muncul kisah-kisah jenaka dengan menggunakan tokoh tempatan seperti Pak Belalang (Melayu), Si Kabayan (Sunda), Modin Karok (Madura) dan lain-lain. Termasuk kisah jenaka dan sekaligus fabel ialah Kisah Pelanduk Jenaka.(BERSAMBUNG)

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate