TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

MENGENAL DAN MENIMBANG TAFSĪR ISYĀRĪ


Tafsir Sufi lebih identik dengan tafsir Isyari, yaitu takwil al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian ulūl ‘ilm atau ‘Ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu menemukan rahasia yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagian ulama ada yang menolak penerapan tafsīr Isyārī dan sebagian yang lain menerimanya dengan syarat-syarat, antara lain tidak mengabaikan syari’at, tidak bertolak belakang dengan makna lahir, dan makna yang dipahami harus diperkuat dengan dalil berupa nash atau ditopang oleh makna lahir yang ada pada ayat lain yang menunjukkan kebenarannya, dan bukan makna yang berlawanan.

Abstrak; Salah satu aspek yang sering terlupakan dan terabaikan dalam metode dan teknik penafsiran al-Qur’an adalah aspek batin yang terkandung dalam setiap firman Allah dalam al-Qur’an. Bahkan kehadiran aspek ini ke dalam ranah penafsirkan mengundang segudang kontrofersi. Polemik pun dihembuskan oleh pihak-pihak yang saling berhadapan, yakni kalangan pembela dan pengingkarnya. Dengan demikian, eksistensi dari tafsīr isyārī masih berada dalam timbangan dan patut untuk diperbincangkan. Justru karena itulah, tulisan ini akan menimbang kembali keberadaan tafsir ini dengan mengemukakan pendapat-pendapat para ulama yang kompeten di bidangnya, dengan harapan semoga setelah melalui pertimbangan ulang, kehadiran tafsir ini akan lebih bisa di terima di kalangan mufassirīn kontemporer.
Kata Kunci ; Metodologi, tafsir, isyārī, dan lahir-batin.

Dalam pembahasan ilmu tafsir dikenal metode penafsiran al-Qur’an. Yang dimaksud metode penafsiran al-Qur’an adalah seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pembahasan secara ilmiah mengenai metode-metode penefsiran al-Qur’an ini dibahas dalam metodologi tafsir.1

Secara garis besar, terdapat empat macam metodologi tafsir yang disepakati:
(konvensional),yaituijmālī(global),2 tahlīlī (analitis)3 muqāran (perbandingan)4 dan maudhū’ī (tematik).5
Dalam dunia tafsir, setidaknya dikenal tiga mazhab tafsir (yang populer dan disepakati) – walaupun masih ada beberapa mazhab lagi yang tidak disepakati -- , yaitu Sunni, Mu’tazili dan Syi’i.6
Agak sulit bagi kita untuk menentukan apakah sebuah karya tafsir itu tergolong ke dalam jenis tafsīr bi al-ma’tsūr ataukah tafsīr bi al-ra’y,7 disebabkan belum adanya standar yang paten mengenai hal tersebut. Demikian pula hal-hal yang terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam sebuah penafsiran. Pada dasarnya, pendekatan yang digunakan dalam sebuah karya tafsir dapat diketahui dari disiplin ilmu yang dipakai sebagai pisau analisis untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Maka sebagian ulama ada yang menggolongkannya ke dalam tafsir Kalāmī, karena terdapat nuansa kalam di dalamnya, atau boleh jadi digolongkan tafsir Adabī Ijtimā’ī, kalau mau mempertahankan term konvensional, karena tafsir ini merespon kehidupan bermasyarakat. Bahkan juga, sebuah karya tafsir bisa digolongkan pada tafsir Sufi, atau sering diidentikkan oleh sebagian ulama dengan tafsir Isyārī, walaupun masih ada juga jenisnya yang lain, yaitu Nażarī. Oleh karena keberadaan tafsir Isyārī yang masih dirasa asing di kalangan kita, maka dalam makalah ini penulis akan berupaya memaparkan aspek-aspek penafsiran dari tafsir Isyari berikut karakteristik dari tafsir tersebut.

Pengertian Tafsir Isyārī

Secara leksikal, kata tafsīr (Bahasa Arab) merupakan bentuk masdar dari fassara (fi’il mādhī), yang akar katanya terdiri dari fa’, sin, dan ra’. Pada dasarnya, kata yang tersusun dari akar kata semacam itu memiliki makna menerangkan sesuatu atau menjelaskannya.8 Sedangkan bentuk masdar-nya berarti keterangan atau penjelasan.9
Adapun kata isyārī (B. Arab), jika ditinjau dari bentuknya merupakan verbal noun (masdar) yang kemudian mendapat tambahan ya’ al-nisbah di akhir kata. Secara leksikal kata tersebut berasal dari asyarayasyiru – isyāratan, yang bermakna al-dalīl (tanda, indikasi, dan petunjuk), juga bisa bermakna menunjukkan dengan tangan atau dengan akal, mengeluarkan sesuatu dari lubang, mengambil sesuatu, dan menampakkan sesuatu.10
Berdasarkan telaah makna-makna lafaz di atas, maka sederetan makna tersebut berimplikasi pada pengertian lafaz isyārī yang memiliki kecenderungan upaya untuk untuk menunjukkan sesuatu yang tersembunyi agar bisa diketahui secara jelas, atau lebih menonjolkan makna yang tersirat daripada makna tersurat. Kata tersebut bisa dijumpai dalam al-Qur’an hanya sekali,11 yaitu dalam Surah Maryam ayat 29.

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا آَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ آَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيا()

Artinya:maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?"

Telaah kebahasaan sebagaimana di atas juga mengindikasikan adanya pemahaman tentang sesuatu yang menunjukkan untuk memperoleh kejelasan, yakni dari asalnya tidak tahu bisa menjadi tahu, dari yang tidak tampak menjadi tampak, dari yang tersembunyi atau samar bisa menjadi terlihat, dari yang abstrak menjadi konkret, dan dari yang terpendam menjadi di luar (berada pada permukaan). Dengan demikian,
Secara etimologi, tafsir Isyāri memiliki makna tafsir yang mengungkapkan makna atau maksud yang terpendam atau tersembunyi dalam lafaz atau ayat al-Qur’an dengan kedalaman berpikir bahkan dengan zauq (perasaan hati) yang extravagansa.
Secara terminologi, tafsir Isyāri, menurut al-Shābūnī, adalah takwil al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian ulū al-‘ilm atau ‘ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu menemukan rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Qur’an. Atau bahkan bagian makna-makna yang detail itu tertuang dalam hati mereka lantaran ilham ilahi, yang mana hal itu memungkinkan mereka untuk mempertemukan makna tersebut dengan makna lahirnya. 12
Menurut sebagian ulama, ilmu sebagaimana dimaksudkan di atas bukanlah seperti “ ‘ilm al-kasbī” yang bisa didapat dengan cara membaca, mengingat dan menghafal, akan tetapi hal itu lebih merupakan “ilmu laduni”, yakni ilmu pemberian yang boleh dikata sebagai pancaran dari ketajaman takwa, istiqomah dan kebajikan.13 Menurut al-Zahabī, tafsir isyārī adalah hasil riyādhah rūhiyah seorang sufi sehingga bisa menyingkap rahasia-rahasia dan i’tibar dalam wujud isyarat yang suci yang muncul dengan sendirinya di dalam hatinya sebagai ungkapan dari terkuaknya rahasia ayat-ayat karena makrifat kepada Allah.14

Latar Belakang Lahirnya Tafsir Isyari

Telah diketahui bahwa Nabi Muhammad saw. dapat memahami al-Qur’an itu secara global (ijmālī) maupun secara terperinci (tafshīlī) karena terdapat jaminan dari Allah sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang kuantitas tafsir dari Nabi. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seluruh al-Qur’an termasuk semua kata-kata oleh Nabi telah dijelaskan kepada para sahabat,15 sedang yang lainnya berpendapat bahwa Nabi hanya menjelaskan sedikit saja dari makna al-Qur’an itu kepada para sahabat. Pendukung pendapat kedua ini adalah Khuwaibī dan al-Suyūthī.16
Selanjutnya berkembang periode tafsīr bi al-ma’tsūr atau tafsīr bi al-riwāyah yang berakhir dengan dihapuskannya isnad-isnad dan orang yang mengutip tanpa
menyebutkan urutan sanad-sanad tersebut. Di samping itu juga berakhirnya tafsir rasional (bi al-aqlī / bi al-ra’y) yang karena dominasi kecenderungan perorangan dan mazhab-mazhab teologi atau lainnya.17 Di antaranya termasuk pula tafsir golongan “mutashawwifah” yang dipengaruhi oleh “syathahat-syathahat sufiyah”. Tafsir yang paling terkenal dalam hal ini ialah yang disandarkan kepada Ibnu ‘Arabī (w. 638 H).
Dengan membaca tafsir mutashawwifah dekat kiranya tafsir yang dinamakan “tafsīr Isyārī” yaitu tafsir yang mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan jalan berusaha mengumpulkan antara yang “żahir” dengan “khafi”. Di antara tafsir yang demikian itu ialah Tafsīr al-Alūsī (w. 1270 H) yang dinamakan dengan Ruh al-Ma’ānī. Pengarangnya mengemukakan tafsir yang żahir bagi suatu ayat, kemudian yang diistimbathkan dengan jalan isyarat, tetapi ada yang menyebutkan semata-mata tafsir bi al-ra’y.18
Para sufi dalam mengamalkan ajaran-ajarannya itu mengikuti dua macam orientasi :

(1) Orientasi teoritis (ittijah al-Nażarī) yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi, dan

(2) Orientasi praktis (ittijah al-‘Amalī) yang didasarkan atas kegiatan zuhud (asketisime), takāsyuf (mengungkap isi hati) dan hanyut dalam kegiatan ibadat kepada Allah.
19
Dalam hal ini tampak jelas pengaruh-pengaruh tasawuf teoritis yang didasarkan atas pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan justifikasinya dari dalam al-Qur’an. Selain itu juga tampak pengaruh-pengaruh tasawuf praktis yang dipusatkan pada latihan ruhani oleh para pengikutnya sampai mencapai suatu tingkat yang dikenal sebagai “kasyaf”, di mana isyarat-isyarat suci dari alam gaib konon tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan “Rabbanī”
ke dalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan makna al-Qur’an.20
Kalau kita kembali kepada sejarah tasawuf yang mula-mula timbul memanglah zahid-zahid. Di zaman Nabi telah ada juga sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari hidup duniawi, banyak berpuasa di siang hari dan bershalat serta membaca al-Qur’an di malam hari, seperti ‘Abdullah bin ‘Umar. Selain dia, disebut pula nama-nama Abū al-Darda’, Abū Zār al-Ghifārī, Bahlul Ibnu Zu’aib dan Kahmas al-Hilālī. Zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf adalah al-Hasan al-Bashrī. Ia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 728 M.21

Karakteristik Tafsīr Isyārī dan Pandangan Ulama terhadapnya.


Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap kandungan ayat tersebut untuk selanjutnya bisa dihayati dan diamalkan serta berujung pada kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Langkah-langkah tersebut mengisyaratkan betapa luas dan dalamnya ilmu-ilmu Allah, sehingga sebagian kecil saja yang bisa disingkap dan dikuasai oleh hamba-hamba-Nya. Dengan menguasai ilmu-ilmu Allah, maka seseorang akan sampai pada kesempurnaan iman dan makrifat kepada-Nya.
Kalangan ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr Isyārī. Sebagian mereka ada yang mengakuinya dan sebagian yang lain menolaknya. Pada satu sisi, mereka memandang bahwa menguasai tafsīr Isyārī merupakan bagian dari irfan, dan pada sisi yang lain mereka memandangnya sebagai kesesatan dan penyimpangan dari syari’at.22

Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an bersifat interpretable. Berangkat dari tesis tersebut, bermunculanlah ragam penafsiran dan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian mereka meninjaunya dari aspek żahir, sedangkan sebagian yang lain meninjaunya dari aspek batin dengan ketajaman mata hatinya setelah terlebih dahulu melalui pemaknaan pada tataran żahirnya.23
Berkenaan dengan makna lahir dan batin, al-Suyūthī memberikan beberapa hal yang seharusnya diperpegangi; pertama, bahwa yang dimaksud żahir adalah lafaznya dan yang batin adalah takwilnya. Kedua, żahir ayat adalah makna-makna ayat yang tampak bagi mufassir, sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung serta berhasil disingkap oleh mereka dengan ketajaman sinar keimanan meraka. Ketiga, di antara yang termasuk żahirnya adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an, sedangkan batinnya adalah nasehat-masehat, hikmah, dan mau’iżah yang dapat dipetik dari hal tersebut.24
Dengan demikian, makna żahir bukanlah satu-satunya makna yang dikehendaki, demikian pula sebaliknya. Antara makna lahir dan batin seharusnya saling melengkapi, tidak ada yang diunggulkan dan apalagi direndahkan antara satu dengan lainnya. Menurut al-Qusyairī, kata hati merupakan penentu, sedangkan proses penalaran akal merupakan kinerjanya. Hati seorang mukmin ibarat medan magnit yang dipenuhi dengan berbagai rahasia. Pikiran kita memproses aspek lafaz dan hati kita yang bisa merasakannya. Bahasa hati dan akal , menurutnya, ibarat buah apel. Manisnya buah apel cuma akan bisa dirasakan oleh mereka yang pernah memakannya. Memakannya itu kinerja akal dan merasakannya adalah hasil
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an bersifat interpretable. Berangkat dari tesis tersebut, bermunculanlah ragam penafsiran dan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian mereka meninjaunya dari aspek żahir, sedangkan sebagian yang lain meninjaunya dari aspek batin dengan ketajaman mata hatinya setelah terlebih dahulu melalui pemaknaan pada tataran żahirnya.23
Berkenaan dengan makna lahir dan batin, al-Suyūthī memberikan beberapa hal yang seharusnya diperpegangi; pertama, bahwa yang dimaksud żahir adalah lafaznya dan yang batin adalah takwilnya. Kedua, żahir ayat adalah makna-makna ayat yang tampak bagi mufassir, sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung serta berhasil disingkap oleh mereka dengan ketajaman sinar keimanan meraka. Ketiga, di antara yang termasuk żahirnya adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an, sedangkan batinnya adalah nasehat-masehat, hikmah, dan mau’iżah yang dapat dipetik dari hal tersebut.24
Dengan demikian, makna żahir bukanlah satu-satunya makna yang dikehendaki, demikian pula sebaliknya. Antara makna lahir dan batin seharusnya saling melengkapi, tidak ada yang diunggulkan dan apalagi direndahkan antara satu dengan lainnya. Menurut al-Qusyairī, kata hati merupakan penentu, sedangkan proses penalaran akal merupakan kinerjanya. Hati seorang mukmin ibarat medan magnit yang dipenuhi dengan berbagai rahasia. Pikiran kita memproses aspek lafaz dan hati kita yang bisa merasakannya. Bahasa hati dan akal , menurutnya, ibarat buah apel. Manisnya buah apel cuma akan bisa dirasakan oleh mereka yang pernah memakannya. Memakannya itu kinerja akal dan merasakannya adalah hasil
penangkapan hati. Oleh karena itu, kedalaman makna ayat-ayat al-Qur’an hanya bisa dijangkau dengan kebersihan dan kesucian hati.25
Ibn al-Shalah, sebagaimana dikutip oleh al-Suyūthī, memberikan komentar bahwa dia pernah mendengar dari Abū al-Hasan al-Wahidī yang mengatakan bahwa Abū ‘Abd al-Rahman al-Silmī telah menyusun beberapa hakekat tentang tafsir. Menurut Ibn al-Salah, beriktikad bahwa apa yang telah disusunnya itu adalah tafsir merupakan sebuah kesalahan, apalagi jika hal itu dikatakan sebagai syarah dari kalimat al-Qur’an. Tindakan semacam itu sudah mengarah pada jalan yang ditempuh kalangan Bathiniyah yang sesat. Sedangkan menurut al-Nasafī, memalingkan al-Qur’an dari yang żahir kepada makna-makna batin merupakan tindakan batil, dan bisa jadi mulhid (orang yang lahirnya tampak Islam tapi batinnya kufur). Penilaian semacam itu juga dilontarkan oleh al-Taftazanī, bahwa kalangan Bathiniyah sudah menjelma menjadi golongan Mulahidah.26
Menurut al-Suyūthī sendiri bahwa sesungguhnya penerapan tafsīr Isyārī bukanlah merupakan penghindaran dari atau lari dari makna lahir. Justru mereka menetapkan makna lahir sesuai dengan yang dikehendaki lahirnya, kemudian bersamaan dengan itu mereka juga memahaminya dengan ketajaman mata hatinya, setelah memperoleh limpahan sinar makrifat dari Allah.27
Allah, dengan iradah-Nya, bisa saja memberikan setumpuk hikmah dan pemahaman kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Hal tersebut sebagaimana telah terbukti diberikan kepada para nabi, seperti nabi Daud dan Sulaiman a.s., sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur’an, surah al-Anbiya’: 79 :

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَآُلا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ یُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَآُنَّا
( فَاعِلِينَ( 79

Artinya: maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya”.

Demikian juga, penerapan tafsīr Isyārī diperagakan sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dikisahkan, bahwa pada waktu setelah beberapa saat turun surat al-Nashr, ‘Umar bin Khaththab berkumpul dengan para sahabat, yang di dalamnya juga terdapat Ibn ‘Abbas yang ketika itu masih bocah (belia). Di antara yang kumpul tadi tidak ada yang menaruh hormat kepadanya, karena dia masih bocah, kecuali ‘Umar. Kemudian ‘Umar minta pendapat kepada seluruh yang hadir perihal firman Allah dalam surah al-Nashr :

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ( 1)وَرَأَیْتَ النَّاسَ یَدْخُلُونَ فِي دِینِ اللَّهِ أَفْوَاجًا( 2)فَسَبِّحْ بِحَمْدِ
( رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ آَانَ تَوَّابًا( 3

Artinya:” Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”.

Sebagian dari mereka ada yang memberikan komentar bahwa dengan turunnya surah tadi kita diperintahkan untuk selalu memuji (tasbih) dan mohon ampun (istighfar) kepada-Nya. Sedang sebagian lainnya cuma diam pertanda setuju. Setelah itu mereka disentakkan oleh sikap ‘Umar yang dengan penuh hormat juga meminta pendapat pada Ibn ‘Abbas. Ketika dia ditanya apakah sependapat dengan mereka, spontanitas dia menjawab, “tidak”. Kemudian dia mengemukakan pandangannya bahwa turunnya surah itu pertanda ajal Rasulullah telah dekat. Lantas ‘Umar memberikan tanggapan bahwa dia sebenarnya menangkap isyarah seperti itu. Tidak lama berselang dari turunnya surah al-Nashr, Rasulullah dipanggil ke hadirat Ilahi.28
Menurut Syaikh ‘Abd al-‘Ażīm al-Zarqanī, dalam menerapkan tafsīr Isyārī tidak dibenarkan mengabaikan keterikatan kita dengan syari’at, demikian juga dengan kaidah-kaidah kebahasaan dalam memahami nash-nash.29
Sebagian ulama mengemukakan syarat-syarat tertentu bagi diterimanya penafsiran tafsīr Isyārī. Di antaranya adalah; pertama, makna yang dikemukakan benar menurut pengertian lahir yang diakui secara kebahasaan. Kedua, makna yang dipahami harus diperkuat dengan dalil berupa nash atau ditopang oleh makna lahir yang ada pada ayat lain yang menunjukkan kebenarannya, dan bukan makna yang berlawanan.30
Penerapan tafsīr Isyārī juga bisa dicontohkan dengan penafsiran al-Tastarī dalam menafsirkan firman Allah dalam surah al-Baqarah : 22;

( فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ( 22

Artinya:” …karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”.

Menurutnya, lafaz “andādan” bermakna “adhdadan” (lawan-lawan), sedang lawan yang paling besar adalah nafsu ammarah yang sering menjerumuskan manusia, karena hanya memandang keinginan-keinginan nafsu tanpa mengindahkan petunjuk dari Allah. Jadi, jika segala keinginan nafsu diperturutkan, maka kapasitasnya menyamai sesembahan, walaupun tidak secara konkret menganggapnya demikian.31

Dalam hal ini, al-Tastarī setidaknya mendasarkan tafsirannya terhadap dua alasan. Pertama, pada satu segi, lafaz andādan bisa dimaknakan secara i’tibārī dengan nafsu ammarah, sedangkan kedua, pada segi yang lainnya, meskipun ayat tersebut ditujukan kepada kaum musyrikin, namun di dalamnya terdapat pelajaran dan i’tibar (hikmah) bagi kita. Alasan pertama diperkuat oleh firman Allah, surah al-Taubah: 31;

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْیَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
( إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا یُشْرِآُونَ( 31

Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

Menurut sebagian mufassir, ayat tersebut secara tersirat maupun tersurat menunjukkan keadaan orang yang memperturutkan hawa nafsunya.32
Alasan kedua diperkuat dengan komentar ‘Umar sewaktu menegur orang-orang yang bermewah-mewahan seraya mengemukakan firman Allah, surah al-Ahqaf: 20;

وَیَوْمَ یُعْرَضُ الَّذِینَ آَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا
فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا آُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا آُنْتُ مْ
( تَفْسُقُونَ( 20

Artinya: Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".

Ternyata, ‘Umar mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari ayat itu, walaupun sebenarnya dia mengerti bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan perilaku orang-orang kafir. Menurutnya, segala kemewahan dan bersenang-senang di dunia akan menghilangkan kenikmatan yang ada di akhirat.33
Mengenai tafsīr Isyārī yang fasid (rusak) dapat dicontohkan dengan penafsiran lafaz Fir’aun dalam surah Thāhā: 24;

( اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى( 24

Artinya:” Pergilah kepada Fir`aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".

Menurut mereka, kata “Fir’aun” itu mengisyaratkan kata hatinya, maksudnya yang durhaka itu kata hati, bukan Fir’aun (orang).34

________________________________________

1Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 1-3.
2Yang dimaksud dengan metode ijmālī (global) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, menggunakan bahasa populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika pembahasannya menurut susunan ayat-ayat dalam mush-haf. Lihat penjelasan selanjutnya dalam ‘Abd al-Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawdhū’ī, (Cet. II; Mesir: Mathba’ah al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1977), h. 43-44; dan Zahīr bin ‘Awwadh al-‘Almā’ī, Dirāsāt fī al-Tafsīr al-Mawdhū’ī, (t.t: t.p., 1405 H.), h. 17-18.
3 Metode penafsiran tahlīlī adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan penafsir. M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i”, dalam Bustami A. Gani (ed.), Beberapa Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1986), h. 37.
4 Metode penafsiran muqaran adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi berbeda dalam satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat dengan hadis atau pula membandingkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-Farmawī, al-Bidāyah , h. 45.
5 Metode tafsir tematik adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan. Penjelasan secara rinci mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam ‘Ali Hasan Al-‘Aridh, Tarīkh ‘Ilm al-Tafsīr wa Manāhij al-Mufassirīn, diindoneesiakan oleh Ahmad Akrom dengan judul Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 78-95; dan M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992), h. 111-116.
6 Corak penafsiran dari sebuah kitab tafsir yang berafiliasi ke mazhab sunni biasanya menitikberatkan kepada penggunaan nash , baik berupa ayat Al-Qur’an maupun hadis nabi, sebagai sumber utama dari penafsirannya, atau masih berada dalam konteks nash, walaupun di dalamnya peran akal masih bisa dijumpai, dengan kata lain tidak sampai menafikan akal. Jika ditemukan suatu pertentangan atau kontradiksi antara nash dengan akal dalam suatu kasus tertentu, maka dalam hal ini dimenangkan nash.
Corak penafsiran suatu kitab tafsir yang berafiliasi ke aliran Mu’tazilah pada dasarnya tafsiran-tafsirannya lebih menitikberatkan kepada pemakaian akal dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an, dan hanya sedikit memasukkan peran wahyu di dalamnya. Ketergantungan mereka kepada akal cukup tinggi. Jika mereka menemukan pertentangan antara pemahaman wahyu dan akal dalam satu kasus tertentu, maka dalam hal ini mereka memilih memenangkan akal. Inilah perbedaan penafsiran yang paling kentara -- walaupun masih terdapat juga perbedaan-perbedaan lainnya, seperti dalam penafsiran ayat-ayat tentang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan -- antara kaum Sunni dan Mu’tazilah.
Sebuah kitab tafsir yang memiliki kecondongan ke aliran Syi’ah, pada umumnya mempunyai corak penafsiran ke arah eksoterik (inner meaning) atau makna batin dari sebuah ayat atau ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka juga disebut kaum batini. Dalam penafsirannya, mereka selalu mencari makna-makna batin dari suatu ayat dan sering mengabaikan makna lahir, dengan harapan mendapatkan isyarah-isyarah yang terkandung di dalamnya. Ciri lainnya dari corak penafsiran ini adalah pemilihan riwayat yang mereka terima. Mereka hanya memilih riwayat dari jalur Ahl al-Bait , atau yang dianggap tsiqah oleh mereka dan tidak bertentangan dengan Ahl al-Bait. Husain Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I, (Kairo: Dār al-Kutub al-Hadīts, 1976), h. 36.
7 Penjelasan secara konprehensif mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Husain Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 16-50.
8 Lihat penjelasan selengkapnya dalam Ibn Fāris Abī al-Husain Ahmad bin Zakariyyā,Mu’jām Maqāyis al-Lugah, juz IV, (Cet. I; Bairut: Dār al-Jail, 1991), h. 504.
9 Ahmad al-Syirbasyī, Qish-sh at al-Tafsīr, (Kairo: Dār al-Qalam, 1962
10 Penjelasan lebih lanjut tentang hal itu dapat dilihat dalam Ibn Manzūr Jamāl ad-Dīn Muhammad bin Mukarram al-Anshārī, Lisān al-Arab, juz VI, (Mesir: Dār al-Misriyyah, t.th.), h. 106.
11 Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur’an al-Karīm, (Bairut: Dār al-Fikr, 1987), h. 496.
12 Penjelasan selanjutnya mengenai hal itu dapat dilihat dalam Syekh Muhammad ‘Alī al-Sābūnī, al-Tibyān fi Ulūm al al-Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta : Pustaka Amani, 1988), hal. 237.
13 Hal tersebut sebagai tafsiran dari Q.S. al-Baqarah: 282 dan al-Kahfi: 65.
14 Lihat Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz III, h. 18.
15 Lihat Muhammad Husein al-Zhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, terjemahan Hamim Ilyas dan Mahnun Husein, (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h.3.
16 Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an, juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, t.t), h. 179.
17 Lihat penafsiran Ibn ‘Arabī dalam menafsirkan ayat 55, surat al-Nisa’, dalam Tafsīr al-Syaikh al-akbar, juz I, (t.d.), h. 152. Lihat puLa M. Hasbi ash-shidieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.200 dan 225.
18 Abī al-Fadhl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Baghdādī, Rūh al-Ma’ānī fī al-Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm wa al-Sab’u al-Matsānī, juz I, (Bairut: Dār al-Fikr li al-􀂅aba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī’, 1994 M/1414 H.), h. 8.
19 Lihat Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 5.

20 Ibid., h. 18.
21 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Cet. IV; Jakarta: UI-Press, 1986), h. 74.
22 Lihat al-Sābūnī, al-Tibyān, h. 18.23 Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam al-Imām al-Qusyairī, Lathāif al-Isyārāt Tafsīr Sūfī Kāmil li al-Qur’an al-Karīm, juz I, (Kairo: Mushthafā al-Babī al-Halabī, 1951), h. 4.
24 Lihat al-Suyūthī, al-Itqān, juz II, h. 184.
25 Al-Qusyairī, Lathāif, h. 4-5.
26 Al-Suyūthī, al-Itqan, h. 184.
27 Ibid., h. 185.
28 Lihat Abī ‘Abdillah Muhammad bin Ismā’il al-Bukhārī, Matn al-Bukhāri Masykūl bi Hasyiyah al-Sindī, juz I (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.th.), h. 222.
29 Muhammad ‘Abd al-‘Ażīm al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfan fī ‘Ulūm al-Qur’an, juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 81
30 Abū Ishāq asy-Syāthibī Ibrāhim bin Mūsā al-Khasmī al-Gharnati al-Māliki, Al-Muwāfaqāt fi Ushūl asy-Syarī’ah, jilid II, juz III, diedit oleh Abdullah Darraz (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 295.
31 Lihat tafsiran selengkapnya dalam al-Tastarī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm, juz I, (t.dt.), h. 14.. Lihat pula ‘Abd ar-Rahman bin al-Kamāl Jalāl ad-Dīn as-Suyūti, Tafsīr Durr al-Manshūr fi Tafsīr al-Ma’tsūr, juz I (Cet. I; Bairut: Dār al-Fikr, 1983), h. 87-88, juga ‘Alā’ ad-Dīn ‘Alī bin
Muhammad bin ibrāhim al-Bagdādī, Tafsīr al-Khāzin: Lubāb al-Ta’wīll fī Ma’ānī al-Tanzīl, jilid I, (Cet. I; Bairut: Dār al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 32.
32 Lihat misalnya Wahbah al-Zuhailī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhāj, jilid XXVI, (Cet. I; Bairut: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, 1991), h. 48. Juga Hamdan Ghassan, tahqīq: Jamīl Ghazī, ‘Abdullah ‘Ulwan, dan Wahbi Sulaiman al-Ghawan, Tafsīr min Nasmat al-Qur’an Kalimatan wa Bayān, (Damsyik: Dār al-Salām li al-Thaba’ah wa al-Tauzī’ wa al-Tarjamah, t.th.), h. 536.

Karya tafsir yang bernuansa Isyārī cukup banyak, antara lain 1) Karya Abī al-Fadhl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Baghdādī, Rūh al-Ma’ānī fī al-Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm wa al-Sab’u al-Matsānī, 2) ‘Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah Muhyi al-Dīn Ibn ‘Arabī, Tafsīr al-Syaikh al-akbar, 3) Abū Muhammad Sahl ibn ‘Abdillah al-Tastarī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm, 4) al-Imam al-Qusyairī, Lathāif al-Isyārat Tafsīr Sūfī Kāmil li al-Qur’an al-Karīm, 5) Abū ‘Abd al-Rahman Muhammad bin al-Husain bin Mūsā al-Azdī al-Silmī, Haqāiq al-Tafsīr, dan 6) Abū Muhammad Ruzihan bin Abī al-Nashr al-Baqilī al-Syirazī, ‘Arāis al-Bayān fi Haqāiq al-Tafsīr.
33 Simak komentar mengenai tafsiran ayat tersebut dalam as-Sayyid Muhammad bin Husain at-Tabātabā’i, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur’an, jilid IX, (Cet. I; Bairut: Muassasah al-‘Ilm li al-Matbū’ah, 1991), h. 245.
34 Lihat tafsiran selengkapnya dalam al-Shabuni, al-Tibyan, h. 249.
14


____________________________________

Sumber:


"MENIMBANG TAFSĪR ISYĀRĪ "
M. Zayin Chudlori (Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya)









Puisi-Puisi indah Sang Mistikus Cinta

                                           Letak Kebenaran 

                            Kebenaran sepenuhnya bersemayam didalam Hakekat,

                            Tapi orang dungu mencarinya didalam kenampakan



                                                 Disebabkan Ridho_Nya

                                        Jika saja bukan karena keridhoan-Mu,

                        Apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang seperti debu ini

                                                       dengan cinta-Mu?


                                               Rahasia Yang Terungkap

                           Apapun yang kau dengar dan katakan (tentang cinta),

                                                  itu semua hanyalah kulit.

                                         Sebab, inti dari cinta adalah sebuah

                                              rahasia yang tak terungkapkan.


                                               Hati Bersih Melihat Tuhan

                                        Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat

                                              dalam persemayaman hatinya.

                                 Dan penglihatan itu bergantung dari seberapakah

                                               ia menggosok hati tersebut.

                                      Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap,

                                         maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat

                                                    semakin nyata baginya.






HARGA PROMO!!!!!!! RUMAH MINIMALIS SIAP BANGUN DI AHNAF REGENCY


Tersedia beberapa unit RUMAH SIAP BANGUN dengan desain yang sangat minimalis modern dalam komplek perumahan dan lingkungan sangat asri, sejuk dan nyaman. Perumahan AHNAF REGENCY terletak di sebelah timur Kampus UNRIYO dengan akses kemana – mana sangat mudah. KHUSUS BULAN INI BULAN PROMO DAN HANYA BULAN INI.

Spesifikasi kavling:
1.       Kavling A: Type 95/146 tersedia 3 unit
Kavling A: Type 115/193 Tersedia 1 unit
Kavling A: Type 95/144
Kavling A: Type 95/143
Kavling A: Type 95/142
Kavling A: Type 95/141

2.     Kavling B: Type 95/149 Tersedia 4 unit
Kavling B: Type 115/199
                
Fasilitas:
1.       Security 24 jam nonstop
2.       Listrik 2200 watt
3.       Sumur & Pompa
4.       Fasum luas

Alamat: AHNAF REGENCY
Jl Ponpes Sunan Ampel, Banjeng Maguwoharjo Sleman Yogyakarta (Timur kampus UNRIYO)

Harga: 1,343,850 PROMO BULAN INI HANYA 1,1 M.

Gambaran lokasi: lokasi perumahan AHNAF REGENCY terletak di sisi timur kampus UNRIYO dengan akses sangat mudah ke mana – mana, baik ke pusat Pendidikan (Kampus UNRIYO, Budi mulia, ke pusat perbelanjaan Baik tradisional (Pasar stand) maupun modern (Lottemart, Hartono Mall), kepusat kesehatan (RS Hermina) dan sangat dekat ke bandara Adi sucipto. Lokasi perumahan juga sangat dekat dengan Stadion Maguwoharjo dan Jogja Bay. Rumah siap bangun di AHNAF REGENCY ini mengunakan konsep Hunian asri yang sangat dekat dengan berbagai sarana dan fasilitas yang dibutuhkan oleh keluarga BAHAGIA.












Info lebih lanjut Call / WA:
0812-1784-5004 //  0823-2860-5070
Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
*Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net

DIJUAL TANAH STRATEGIS BONUS KOLAM RENANG DI CONDONG CATUR SLEMAN


Dijual tanah sangat strategis dengan bonus rumah pavilium dan kolam renang. Lokasi sangat strategis sangat dekat dengan terminal condong catur, Taman kuliner dan lingkungan sangat elit. sangat recomendasi untuk pengembangan kos – kosan ataupun guesthouse.
LT: 1195 m2 LD: 16 m. SHMP Bentuk tanah ( L )
Alamat: Jl Pandeansari, Condong Catur Depok Sleman Yogyakarta. (Belakang SD Budi Mulia).















Harga: 12 jt/m2 (nego)
Gambaran lokasi: lokasi tanah ini sangat strategis sangat cocok untuk pengembangan hotel, penginapan, kos – kosan, Guesthouse dll. Dalam lokasi tanah ini terdapat beberapa rumah pavilium yang saat ini masih diaktifkan untuk kos – kosan. Dilokasi tanah ini juga terdapat Kolam renang yang sangat bersih dan sejuk. Lokasi ini dijual dengan harga tanah saja. Akses lokasi sangat mudah, akses kepusat pendidikan sangat dekat baik UGM,UII,UPN,AMIKOM, lokasi ini sangat dekat dengan SD Budi Mulia. Lokasi sangat dekat dengan Pusat perbelanjaan Hartono mall, pasar tradisional di condongcatur, lokasi ini juga sangat dekat dengan pusat bisnis baik di condong catur, Ringroad condong catur. Lokasi ini sangat dekat aksesnya dengan Ringroad dan terminal condong catur, lingkungan lokasi tanah ini sangat strategis, nyaman, aman dan Sejuk.

Info lebih lanjut Call / WA:
0812-1784-5004 // 082328605070
Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
*Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net

DIJUAL TANAH STRATEGIS TEPI JALAN DR RADJIMIN SLEMAN


Dijual tanah pekarangan sangat strategis terletak ditepi jalan utama sleman, lokasi tanah ini hook antara jalan utama dan masuk jalan ke perumahan / perkampungan. Lokasi ini sangat cocok untuk pengembangan usaha seperti pembangunan Perkantoran, ruko ataupun dealer kendaraan.
LT: 524 m2 LD: 16 m SHMP
Alamat: Jl dr Radjimin, Pangukan Sleman Yogyakarta (Timur kantor BPN Sleman)

Harga: 4,7 jt/m2 (nego)
Gambaran lokasi: lokasi tanah strategis ini di tepi jalan utama sleman dengan akses kemana – mana sangat dekat dan lokasi tanah ini berada dilingkungan sangat strategis baik untuk pengembangan usaha maupun rumah hunian. Tanah ini terletak di sebelah timur perkantoran pemerintahan kabupaten sleman seperti BPN dll, lingkungan sekitar tanah adalah pusat bisnis baik Minimarket, kuliner, pusat perbelanjaan dll. Akses lokasi sangat dekat dengan pusat pemerintahan kota sleman, sangat dekat dengan pusat perbelanjaan baik tradisional (pasar sleman) maupun modern ( Sleman city hall ), lokasi tanah ini juga sangat dekat dengan pusat pendidikan. Lokasi tanah ini hook antara jalan utama dan jalan masuk ke komplek perumahan terbesar di area sleman. Lokasi tanah ini sangat cocok untuk investasi jangka panjang baik pembangunan ruko maupun perkantoran.






           Info lebih lanjut Call / WA:
            0823-2860-5070 //  0812-1784-5004
            Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
          *Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net

DIJUAL KOS PUTRI EKSKLUSIF DI UTARA HOTEL HYATT YOGYAKARTA


Dijual kos cewek EKSKLUSIF dengan fasilitas sangat lengkap baik fasilitas didalam kamar maupun di area kos tersebut. Lokasi kos ini sangat strategis, akses kemana – mana sangat dekat dan kos cewek eksklusif ini sangat menguntungkan untuk investasi jangka panjang.
LT: 215 m2 LB: 365 m2 SHM & IMB 2lantai lengkap.
KT: 16 KM: 17 ( 1 km luar). Fasilitas kos – kosan ( Kamar tinggal masuk, Full ac, Wifi, CCTV dan Parkir kendaraan luas.
Harga sewa perkamar:
- Lantai 1 (500 rb/bln) fasilitas: kamar lengkap dan kipas angin
- Lantai 2 (850 rb/bln) fasilitas: kamar tingkang nempati dan Full Ac
Alamat: Jl Palagan km 7, gang Riwolo Sariharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta (Utara hyatt).










Harga: 2,6 M (nego)
Gambaran lokasi: lokasi ini terletak di utara Hotel hyatt dengan lingkungan rumah kavlingan dan akses kendaraans sangat mudah sampai lokasi kos cewek eksekutif tersebut. Bangunan 2 lantai dengan bentuk letter U dan semua kendaraan terfokus parkir ditengah area kamar. Kos eksklusif ini dilengkapi fasilitas yang sangat lengkap seperti CCTV, Wifi, Kamar mandi dalam, closed duduk dan full ac dikamar atas dan kamar bawah full kipas angin. Akses ke pusat pendidikan sangat dekat baik kampus UGM, UII, UTY dll, sangat dekat kepusat perbelanjaan, sangat dekat ke pusat bisnis di jalan palagan. Kos eksklusif ini sangat cocok untuk investasi jangka panjang, investasi masa pensiun.

Info lebih lanjut Call / WA:
0878-3103-3434 & 082328605070
Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
*Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net


Akhlaq Menurut Al-Ghazali dalam Kitab Ihya` `Ulum Ad-din


Imam al-Ghazali
mendefinisikan ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin adalah suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya[1]. Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut  akal dan syara` maka haeah tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila haeah tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Pengertian lain adalah keadaan batin yang menjadi  sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Dari pengertian akhlaq tersebut, ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu stabilitas dan tindakan spontan. Stabilitas artinya bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut bersifat permanen dan berkelanjutan. Adapun bersifat spontan artinya bahwa perbuatan itu muncul dengan mudah dan tanpa paksaaan. Kedua hal akhlaq inilah yang menentukan akhlaq seseorang, sehingga ia mempunyai akhlaq terpuji atau sebaliknya. Dengan demikian, akhlaq bagi al-Ghazali adalah mengacu pada keadaan batin manusia (ash-shurat al-bathina)[2]
Selanjutnya, menurut al-Ghazali, dalam diri seorang yang berakhlaq baik, empat kekuatan (nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan) yang ada tetap baik, moderat, dan saling mengharmoniskan. Kekuatan nafsu yang sehat, tunduk kepada akal dan syariah, dan dengan cara seperti itu, sifat menahan diri ('iffah) dapat tercapai.
Kekuatan amarah yang sehat, ketika muncul dan meredanya, mematuhi perintah akal dan syariah, dan melalui cara itu, sifat keberanian (syaja'ah) akan muncul. Sifat pengetahuan yang baik ialah yang dapat membedakan antara pernyataan yang benar dengan yang salah, antara kepercayaan yang benar dengan yang keliru, dan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk. Melalui cara kerja pengetahuan yang demikian, maka kebijakan (hikmah) akan timbul dalam jiwa. Keadilan yang sehat dapat mengendalikan kekuatan nafsu dan amarah dengan mengikuti keputusan akal dan syariah, oleh karena itu
maka akan muncullah sifat adil ('adl) dalam diri manusia[3].

Hakikat Akhlaq Al-Ghazali
Akhlaq menurut al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma'rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi'il), yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay'a rasikha fi-n-nafs). Akhlaq menurut al-Ghazali adalah "suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sudah melekat kuat, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik, maka ini disebut akhlaq yang baik. Jika amal-amal yang tercelalah yang muncul dari keadaan itu, maka itu dinamakan akhlaq yang buruk"[4].
Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.

Konsep Fadilah (keutamaan) dan Al Adl (adil)
Fadilah (keutamaan) dapat diartikan sebagai rasionalitas yang baik (terpuji) menurut akal dan syara'. Dan ukuran baik itu adalah al-wast (jalan tengah), seperti halnya mensifati sesuatu diantara dua perkara dan pertengahannya adalah fadilah. Maka dapat dikatakan sesuatu yang baik/terpuji menurut akal dan syara' disebut fadilah atau al wast dan kedua ujungnya adalah dua perkara yang jelek. Maka hal itu dapat disebut juga adil karena seseorang tidak akan mengerti makna fadilah kecuali disandarkan kepada makna adil. Adil menurut pandangan islam adalah keberhasilan semua manusia atas hasil perbuatannya, dan kemungkinan manusia bertanggung jawab  melakukannya.
Sedangkan fadilah adalah sesuatu pemberian manusia kepada yang lainnya dari hasil perbuatannya atau terkadang sebagian kebiasaan perbuatannya. Menurut Imam Ghazali fadilah sendiri adalah az-ziyadah (tambahan), ketika kita menyertakan dua perkara dan menghususkan salah satunya maka yang kedua adalah dikatakan `tambahannya', dan fadilah menurut islam adalah berpegang pada konsep adil.
Dalam pandangan Ghazali manusia terdiri dari empat rukun jiwa yaitu quwwah al-ghadaab (kekuatan kebencian), quwwah as-syahwah (kekuatan syahwat), quwwah al-hikmah (kekuatan hikmah) dan quwwah al-adl (kekuatan adil). Oleh karena itu seseorang yang bagus kekuatan kebenciannya dan mampu meng-adil-kannya (mengambil jalan tengah/mengimbanginya) maka dapat disebut pemberani (as-syaja'ah), lalu seseorang yang bagus kekuatan syahwatnya dan mampu meng-adil-kannya maka dapat menimbulkan sifat pemaaaf (al `afwah), maka ketika kekuatan benci lepas dari al-adl maka disebut tahawwara (roboh/ceroboh dan terburu nafsu), ketika kekuatan syahwat lepas dari al-adl maka disebut syarahan (rakus/lahap) dan apabila hikmah (wisdom) digunakan kepada tujuan yang tidak baik maka disebut khobisan (tercela).
Oleh karena itu pokok dan ushul ahlak adalah empat perkara yaitu al-hikmah, as-sajaah, al-`afwah dan al-adl. Apabila telah terkumpul empat tadi maka akan menghasilkan akhlak yang baik. Yaitu quwwatul al-ilm, quwwatu al-ghadab, quwwatu as-syahwah dan quwwatu al-adl.
Pertama, quwwatu al-ilm (kekuatan ilmu) akan bisa membedakan antara yang jujur dan bohong, antara yang hak dan bathil dalam akidah dan antara yang bagus dan jelek. Apabila kekuatan ini bagus dan selamat maka akan menghasilakan hikmah (wisdom), dan  hikmah adalah inti dari akhlak terpuji seperti firman Allah SWT, yang artinya:
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak (Al-Baqoroh A.269)
Kedua, apabila quwwatu al-ghadab (kekuatan benci) dapat menjadi baik maka akan menjadi hikmah pula[5]. Ketiga, begitu pula quwwatu as-syahwah (kekuatan syahwat) apabila baik maka akan terselamatkan dibawah petunjuk hikmah yakni dibawah  petunjuk akal dan syara' seperti nasehat petunjuk. Keempat, quwwatu al-adl yaitu kemampuan (al-iradah). Dan apabila telah melakukan hal itu dan mampu mengambil jalan tengahnya (I'tidal) maka dapat disebut khusnul khalqi mutlaqon (akhlak baik secara mutlak). Namun apabila hanya dapat melakukan sebagian dari ushul akhlak tersebut maka disebut khusnul kholqi bil-idafah ila dzalikal ma'na (akhlak yang yang baik namun hanya penisbatan saja kepada makna akhlak baik tersebut).
Menurut penilaian al-Ghazali, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara keduanya kikir dan boros. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas.
Mengingat bahwa posisi “tengah-tengah” yang hakiki berkaitan dengan segala sesuatunya, merupakan hal yang amat samara-samar, bahkan lebih halus dari pada rambut dan lebih tajam dari pedang, maka tak diragukan lagi bahwa siapa saja yang dapat berdiri mantap (ber-istiqomah) diatas jalan lurus ini di dunia, niscaya akan dapat melintasi shirath mustaqim yang seperti itu kelak di akhirat[6].
Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan ukuran kesederhanaan pada masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat Negara berkembang. Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat miskin.

Jalan menuju keutamaaan (fadilah):
Adapun jalan untuk menghasilkan dan sampai pada fadilah dalam suluk (tindakan) kemanusiaan seperti yang telah disebutkan oleh Iman al-Ghazali yaitu riyadah nafsiyyah (melatih diri) dan ibadah. Tidak dapat disebut ibadah jikalau tanpa adanya riyadah nafsiyah sehingga merupakan pelaksanaan Ibadan serta ragbah (keinginan) dan mahabbah (kecintaan). Karena yang dimaksud dengan ibadah adalah yang membekas dalam hati. Dan tanpa ibadah, riyadah tidak akan membekas dalam hati. Maka riyadah dan mujahadah beserta ibadah merupakan kehalusan dan kejernihan hati beserta mudah dalam melakukan perbuatan yang utama.
Akhlak menurut beliau tidak dapat di-tasawur-kan perubahannya  karena tobi' (watak) tidak akan berubah. Beliau mengambil dalil dari dua perkara, pertama akhlak adalah gambaran bathin seperti halnya akhlak adalah gambaran dhohir. Maka akhlak yang dhohir (bentuk tubuh) tidak dapat dirubah oleh manusia, seperti seorang yang pendek maka tidak bisa merubah dirinya menjadi tinggi dan sebaliknya dan seorang yang jelek tidak bisa merubah dirinya menjadi cantik atau ganteng.
Begitupula kejelekan bathin berjalan pada tempatnya. Ada yang mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah mengalahkan dan menumpas syahwat dan rasa benci. Dan kita telah mencoba dengan mujahadah dan tahu bahwa syahwat dan rasa benci itu adalah sudah menjadi watak yang tidak bisa dipisahkan dari anak adam. Sebagian orang yang jiwanya telah dikuasi oleh kemalasan, merasa berat sekali untuk memrangi bahwa nafsu dan melaksanakan latihan-latihan mental khusus (mujahadah dan riyadhah) serta menyibukan diri dengan pensucian jiwa dan peningkatan akhlaq[7].
Oleh karena itu bisa kita mengatakan apabila akhlak tidak dapat  dirubah maka tidak ada artinya sebuah nasehat dan mauidoh apalagi ketika Rosulullah bersabda "Perbaguslah akhlakmu", bagaimana kita memungkiri sebagai manusia anak adam untuk merubah akhlak hewan menjadi akhlak manusia, dan itu merupakan perubahan akhlak. Oleh sebab itu kita tidak bisa memaknai akhlak hanya menurut agama atau akal saja.

Tujuan akhir akhlak
Imam al-Ghazali menerangkan "Dan tujuan akhir dari akhlak yaitu memutuskan diri kita dari cinta kepada dunia, dan menancapkan dalam diri kita cinta kepada Allah SWT. Maka tidak ada lagi sesuatu yang dicintai selain berjumpa dengan dzat ilahi rabbi, dan tidak menggunakan semua hartanya kecuali karenanya. Dan rasa bencinya, syahwatnya yang sudah menetap dalam dirinya tidak semena-mena digunakan kecali karena untuk menuju kepadaNya. Dan itulah apabila akhlak ditimbang melalui timbangan syara' dan akal". Maka kesenagan dan kebahagian jiwa dan kenikmatan ruh adalah tujuan tertinggi dari akhlak menurut Imam Ghazali. Yaitu cinta kepada Allah dan tidak mencintai dunia, dan tidak ada sesuatu yang dicintai kecuali bertemu denganNya. Dan bertemu dengan dzat ilahirabbi adalah kebahagian jiwa. Ini semua berdasarkan penilaian syara' dan akal [8].
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Imam Ghazali merupakan seorang filosof dalam penuturannya mengenai etika secara ijmal (umum). Karena beliau mencoba menempatkan kebahagian jiwa manusia seperti tujuan akhir dan kesempurnaan dari akhlak. Dan beliau juga berpegang kepada dua landasan dalam masalah batasan fadilah dan wasilah untuk mencapai fadilah yaitu syara' dan akal.
Namun pengertian kebahagiaan jiwa telah banyak dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama
itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai kebaikan mutlak. Kebaikan Umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan jiwa. Dengan demikian antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai dentitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung pada orang yang berusaha memperolehnya 
Kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari oleh orang-orang terdahulu dan modern dan kebahagiaan hanya dapat dijangkau jika pengetahuan (ilm) dikaitkan dengan perbuatan (amal). Pengetahuan menghendaki standar (mi`yar) yang membedakan adari aktifitas lainnya, sedangkan perbuatan mengehendaki kreteria (mizan) yang akan menentukan taqlid pasif dan memililiki tujuan yang pasti, sehingga suatu perbuatan dapat menghasilkan kebahagiaan dan membedakannya dari perbuatan yang membawa kesengsaraan[9].
Menurut al-Ghazali, dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa kesenangan ukhrowi itu tidak palsu, kesempurnaannya tidak pernah berkurang sepanjang waktu. Sekalipun demikian ada juga sebagian orang yang tidak mencarinya dengan alasan bahwa kesenangan ukhrowi merupakan kesenangan intlektual semata. Seperti sebagaian lain menolak keabadian hidup sesudah mati seperti para atheis dan hedonis[10].
___________________________________

[1] Al-Ghozali, Mengobati penyakit Hati tarjamah Ihya``Ulum Ad-Din, dalam Tahdzib al-Akhlaq wa Mu`alajat Amradh Al-Qulub, (Bandung: Karisma, 2000), hlm 31.
[2] Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu. M. Abul Quasem dan Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam, terj. J. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 82.
[3] M. Abul Quasem, Ibid, hlm. 83.
[4] M. Abul Quasem, Ibid, hlm. 81-82.
[5] Kekuatan emosi akan menjadi baik apabila tetap berada didalam batas yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang memuncak atau mereda. Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 33.
[6] Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 71.
[7] Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 39
[8] Imam Ghazali menerangkan : "Apabila kecenderungan jiwa kepada hikmah dan cinta kepada Allah, ma'rifat kepadanya dan beribadah kepadanya seperti kecenderungan kepada makan dan minum. Maka itu sangat tepat sekali dengan fitrah hati yaitu berkaitan dengan Tuhan. Karena sesungguhnya makanan hati adalah hikmah, ma'rifat dan cinta kepada Allah SWT".
[9] Al-Ghozali, Mizanul Amal 2, (Cairo: 1342 H),
[10] Madjid Fakhri, Etika dalam Islam, (Jogjakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm 126.

______________________________

Sumber:

http://atullaina.blogspot.com

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate