Imam al-Ghazali mendefinisikan ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin adalah suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya[1]. Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut akal dan syara` maka haeah tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila haeah tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Pengertian lain adalah keadaan batin yang menjadi  sumber lahirnya suatu
 perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa 
menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai 
orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa 
sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk 
secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Dari pengertian akhlaq tersebut, ada dua syarat yang harus terpenuhi, 
yaitu stabilitas dan tindakan spontan. Stabilitas artinya bahwa 
perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut bersifat permanen 
dan berkelanjutan. Adapun bersifat spontan artinya bahwa perbuatan itu 
muncul dengan mudah dan tanpa paksaaan. Kedua hal akhlaq inilah yang 
menentukan akhlaq seseorang, sehingga ia mempunyai akhlaq terpuji atau 
sebaliknya. Dengan demikian, akhlaq bagi al-Ghazali adalah mengacu pada 
keadaan batin manusia (ash-shurat al-bathina)[2]
Selanjutnya, menurut al-Ghazali, dalam diri seorang yang berakhlaq baik,
 empat kekuatan (nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan) yang ada 
tetap baik, moderat, dan saling mengharmoniskan. Kekuatan nafsu yang 
sehat, tunduk kepada akal dan syariah, dan dengan cara seperti itu, 
sifat menahan diri ('iffah) dapat tercapai.
Kekuatan amarah yang sehat, ketika muncul dan meredanya, mematuhi 
perintah akal dan syariah, dan melalui cara itu, sifat keberanian (syaja'ah)
 akan muncul. Sifat pengetahuan yang baik ialah yang dapat membedakan 
antara pernyataan yang benar dengan yang salah, antara kepercayaan yang 
benar dengan yang keliru, dan antara perbuatan yang baik dengan yang 
buruk. Melalui cara kerja pengetahuan yang demikian, maka kebijakan (hikmah)
 akan timbul dalam jiwa. Keadilan yang sehat dapat mengendalikan 
kekuatan nafsu dan amarah dengan mengikuti keputusan akal dan syariah, 
oleh karena itu 
maka akan muncullah sifat adil ('adl) dalam diri manusia[3].
maka akan muncullah sifat adil ('adl) dalam diri manusia[3].
Hakikat Akhlaq Al-Ghazali
Akhlaq menurut al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma'rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi'il), yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay'a rasikha fi-n-nafs).
 Akhlaq menurut al-Ghazali adalah "suatu kemantapan jiwa yang 
menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus 
direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sudah melekat kuat, 
sehingga menghasilkan amal-amal yang baik, maka ini disebut akhlaq yang 
baik. Jika amal-amal yang tercelalah yang muncul dari keadaan itu, maka 
itu dinamakan akhlaq yang buruk"[4].
Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga 
dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak 
Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara 
nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut 
al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai 
kebaikan dan kepatutan.
Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan 
santun atau etika orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan 
kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan 
melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Akhlak universal berlaku 
untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman 
manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak 
kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan 
sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.
Konsep Fadilah (keutamaan) dan Al Adl (adil)
Fadilah (keutamaan) dapat diartikan sebagai rasionalitas yang baik 
(terpuji) menurut akal dan syara'. Dan ukuran baik itu adalah al-wast 
(jalan tengah), seperti halnya mensifati sesuatu diantara dua perkara 
dan pertengahannya adalah fadilah. Maka dapat dikatakan sesuatu yang 
baik/terpuji menurut akal dan syara' disebut fadilah atau al wast dan 
kedua ujungnya adalah dua perkara yang jelek. Maka hal itu dapat disebut
 juga adil karena seseorang tidak akan mengerti makna fadilah kecuali 
disandarkan kepada makna adil. Adil menurut pandangan islam adalah 
keberhasilan semua manusia atas hasil perbuatannya, dan kemungkinan 
manusia bertanggung jawab  melakukannya.
Sedangkan fadilah adalah sesuatu pemberian manusia kepada yang lainnya 
dari hasil perbuatannya atau terkadang sebagian kebiasaan perbuatannya. 
Menurut Imam Ghazali fadilah sendiri adalah az-ziyadah (tambahan), 
ketika kita menyertakan dua perkara dan menghususkan salah satunya maka 
yang kedua adalah dikatakan `tambahannya', dan fadilah menurut islam 
adalah berpegang pada konsep adil.
Dalam pandangan Ghazali manusia terdiri dari empat rukun jiwa yaitu quwwah al-ghadaab (kekuatan kebencian), quwwah as-syahwah (kekuatan syahwat), quwwah al-hikmah (kekuatan hikmah) dan quwwah al-adl (kekuatan
 adil). Oleh karena itu seseorang yang bagus kekuatan kebenciannya dan 
mampu meng-adil-kannya (mengambil jalan tengah/mengimbanginya) maka 
dapat disebut pemberani (as-syaja'ah), lalu seseorang yang bagus kekuatan syahwatnya dan mampu meng-adil-kannya maka dapat menimbulkan sifat pemaaaf (al `afwah), maka ketika kekuatan benci lepas dari al-adl maka disebut tahawwara (roboh/ceroboh
 dan terburu nafsu), ketika kekuatan syahwat lepas dari al-adl maka 
disebut syarahan (rakus/lahap) dan apabila hikmah (wisdom) digunakan 
kepada tujuan yang tidak baik maka disebut khobisan (tercela).
Oleh karena itu pokok dan ushul ahlak adalah empat perkara yaitu al-hikmah, as-sajaah, al-`afwah dan al-adl. Apabila telah terkumpul empat tadi maka akan menghasilkan akhlak yang baik. Yaitu quwwatul al-ilm, quwwatu al-ghadab, quwwatu as-syahwah dan quwwatu al-adl.
Pertama, quwwatu al-ilm (kekuatan ilmu) akan bisa membedakan antara yang
 jujur dan bohong, antara yang hak dan bathil dalam akidah dan antara 
yang bagus dan jelek. Apabila kekuatan ini bagus dan selamat maka akan 
menghasilakan hikmah (wisdom), dan  hikmah adalah inti dari akhlak 
terpuji seperti firman Allah SWT, yang artinya:
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak (Al-Baqoroh A.269)
Kedua, apabila quwwatu al-ghadab (kekuatan benci) dapat menjadi baik maka akan menjadi hikmah pula[5].
 Ketiga, begitu pula quwwatu as-syahwah (kekuatan syahwat) apabila baik 
maka akan terselamatkan dibawah petunjuk hikmah yakni dibawah  petunjuk 
akal dan syara' seperti nasehat petunjuk. Keempat, quwwatu al-adl yaitu 
kemampuan (al-iradah). Dan apabila telah melakukan hal itu dan mampu 
mengambil jalan tengahnya (I'tidal) maka dapat disebut khusnul khalqi 
mutlaqon (akhlak baik secara mutlak). Namun apabila hanya dapat 
melakukan sebagian dari ushul akhlak tersebut maka disebut khusnul 
kholqi bil-idafah ila dzalikal ma'na (akhlak yang yang baik namun hanya 
penisbatan saja kepada makna akhlak baik tersebut).
Menurut penilaian al-Ghazali, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini 
sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak 
dijumpai ayat-ayat al-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti 
tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus 
bersifat di antara keduanya kikir dan boros. Doktrin jalan tengah ini 
juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa 
dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik-menarik antara 
kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas.
Mengingat bahwa posisi “tengah-tengah” yang hakiki berkaitan dengan 
segala sesuatunya, merupakan hal yang amat samara-samar, bahkan lebih 
halus dari pada rambut dan lebih tajam dari pedang, maka tak diragukan 
lagi bahwa siapa saja yang dapat berdiri mantap (ber-istiqomah) diatas 
jalan lurus ini di dunia, niscaya akan dapat melintasi shirath mustaqim 
yang seperti itu kelak di akhirat[6].
Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti 
perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, 
pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. 
Ukuran akhlak selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim 
kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang 
materi untuk masyarakat kalangan mahasiswa misalnya tidak dapat 
disamakan dengan ukuran kesederhanaan pada masyarakat dosen. Demikian 
pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan 
berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat Negara berkembang. 
Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada 
masyarakat miskin.
Jalan menuju keutamaaan (fadilah):
Adapun jalan untuk menghasilkan dan sampai pada fadilah dalam suluk 
(tindakan) kemanusiaan seperti yang telah disebutkan oleh Iman 
al-Ghazali yaitu riyadah nafsiyyah (melatih diri) dan ibadah. Tidak 
dapat disebut ibadah jikalau tanpa adanya riyadah nafsiyah sehingga 
merupakan pelaksanaan Ibadan serta ragbah (keinginan) dan mahabbah 
(kecintaan). Karena yang dimaksud dengan ibadah adalah yang membekas 
dalam hati. Dan tanpa ibadah, riyadah tidak akan membekas dalam hati. 
Maka riyadah dan mujahadah beserta ibadah merupakan kehalusan dan 
kejernihan hati beserta mudah dalam melakukan perbuatan yang utama.
Akhlak menurut beliau tidak dapat di-tasawur-kan perubahannya  karena 
tobi' (watak) tidak akan berubah. Beliau mengambil dalil dari dua 
perkara, pertama akhlak adalah gambaran bathin seperti halnya akhlak 
adalah gambaran dhohir. Maka akhlak yang dhohir (bentuk tubuh) tidak 
dapat dirubah oleh manusia, seperti seorang yang pendek maka tidak bisa 
merubah dirinya menjadi tinggi dan sebaliknya dan seorang yang jelek 
tidak bisa merubah dirinya menjadi cantik atau ganteng.
Begitupula kejelekan bathin berjalan pada tempatnya. Ada yang mengatakan
 bahwa akhlak yang baik adalah mengalahkan dan menumpas syahwat dan rasa
 benci. Dan kita telah mencoba dengan mujahadah dan tahu bahwa syahwat 
dan rasa benci itu adalah sudah menjadi watak yang tidak bisa dipisahkan
 dari anak adam. Sebagian orang yang jiwanya telah dikuasi oleh 
kemalasan, merasa berat sekali untuk memrangi bahwa nafsu dan 
melaksanakan latihan-latihan mental khusus (mujahadah dan riyadhah) 
serta menyibukan diri dengan pensucian jiwa dan peningkatan akhlaq[7].
Oleh karena itu bisa kita mengatakan apabila akhlak tidak dapat  dirubah
 maka tidak ada artinya sebuah nasehat dan mauidoh apalagi ketika 
Rosulullah bersabda "Perbaguslah akhlakmu", bagaimana kita memungkiri 
sebagai manusia anak adam untuk merubah akhlak hewan menjadi akhlak 
manusia, dan itu merupakan perubahan akhlak. Oleh sebab itu kita tidak 
bisa memaknai akhlak hanya menurut agama atau akal saja.
Tujuan akhir akhlak
Imam al-Ghazali menerangkan "Dan tujuan akhir dari akhlak yaitu 
memutuskan diri kita dari cinta kepada dunia, dan menancapkan dalam diri
 kita cinta kepada Allah SWT. Maka tidak ada lagi sesuatu yang dicintai 
selain berjumpa dengan dzat ilahi rabbi, dan tidak menggunakan semua 
hartanya kecuali karenanya. Dan rasa bencinya, syahwatnya yang sudah 
menetap dalam dirinya tidak semena-mena digunakan kecali karena untuk 
menuju kepadaNya. Dan itulah apabila akhlak ditimbang melalui timbangan 
syara' dan akal". Maka kesenagan dan kebahagian jiwa dan kenikmatan ruh 
adalah tujuan tertinggi dari akhlak menurut Imam Ghazali. Yaitu cinta 
kepada Allah dan tidak mencintai dunia, dan tidak ada sesuatu yang 
dicintai kecuali bertemu denganNya. Dan bertemu dengan dzat ilahirabbi 
adalah kebahagian jiwa. Ini semua berdasarkan penilaian syara' dan akal [8].
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Imam Ghazali merupakan seorang 
filosof dalam penuturannya mengenai etika secara ijmal (umum). Karena 
beliau mencoba menempatkan kebahagian jiwa manusia seperti tujuan akhir 
dan kesempurnaan dari akhlak. Dan beliau juga berpegang kepada dua 
landasan dalam masalah batasan fadilah dan wasilah untuk mencapai 
fadilah yaitu syara' dan akal.
Namun pengertian kebahagiaan jiwa telah banyak dibicarakan oleh 
pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu pandangan
 pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang 
dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih hidup atau 
selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama
itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua
 yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat 
dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan
 badan. Hanya saja kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. 
Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang 
sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai kebaikan 
mutlak. Kebaikan Umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam 
kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan 
bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah 
yang dinamakan kebahagiaan jiwa. Dengan demikian antara kebaikan dan 
kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai dentitas tertentu yang 
berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung
 pada orang yang berusaha memperolehnya 
Kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari oleh orang-orang terdahulu dan 
modern dan kebahagiaan hanya dapat dijangkau jika pengetahuan (ilm) dikaitkan dengan perbuatan (amal). Pengetahuan menghendaki standar (mi`yar) yang membedakan adari aktifitas lainnya, sedangkan perbuatan mengehendaki kreteria (mizan)
 yang akan menentukan taqlid pasif dan memililiki tujuan yang pasti, 
sehingga suatu perbuatan dapat menghasilkan kebahagiaan dan 
membedakannya dari perbuatan yang membawa kesengsaraan[9].
Menurut al-Ghazali, dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa 
kesenangan ukhrowi itu tidak palsu, kesempurnaannya tidak pernah 
berkurang sepanjang waktu. Sekalipun demikian ada juga sebagian orang 
yang tidak mencarinya dengan alasan bahwa kesenangan ukhrowi merupakan 
kesenangan intlektual semata. Seperti sebagaian lain menolak keabadian 
hidup sesudah mati seperti para atheis dan hedonis[10].
___________________________________
[1] Al-Ghozali, Mengobati penyakit Hati tarjamah Ihya``Ulum Ad-Din, dalam Tahdzib al-Akhlaq wa Mu`alajat Amradh Al-Qulub, (Bandung: Karisma, 2000), hlm 31.
[2] Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan 
seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. 
Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah 
dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Lurus (al-Shirât 
al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus 
dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk 
mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa 
petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan 
dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui 
penggabungan akal dan wahyu. M. Abul Quasem dan Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam, terj. J. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 82.
[3] M. Abul Quasem, Ibid, hlm. 83.
[4] M. Abul Quasem, Ibid, hlm. 81-82.
[5] Kekuatan emosi akan menjadi baik apabila tetap berada didalam batas 
yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang 
memuncak atau mereda. Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 33.
[6] Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 71.
[7] Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 39
[8] Imam Ghazali menerangkan : "Apabila kecenderungan jiwa kepada hikmah
 dan cinta kepada Allah, ma'rifat kepadanya dan beribadah kepadanya 
seperti kecenderungan kepada makan dan minum. Maka itu sangat tepat 
sekali dengan fitrah hati yaitu berkaitan dengan Tuhan. Karena 
sesungguhnya makanan hati adalah hikmah, ma'rifat dan cinta kepada Allah
 SWT".
[9] Al-Ghozali, Mizanul Amal 2, (Cairo: 1342 H),
[10] Madjid Fakhri, Etika dalam Islam, (Jogjakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm 126.
______________________________
Sumber:
http://atullaina.blogspot.com
______________________________
Sumber:
http://atullaina.blogspot.com