TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

DIJUAL TANAH STRATEGIS TEPI JALAN DR RADJIMIN SLEMAN


Dijual tanah pekarangan sangat strategis terletak ditepi jalan utama sleman, lokasi tanah ini hook antara jalan utama dan masuk jalan ke perumahan / perkampungan. Lokasi ini sangat cocok untuk pengembangan usaha seperti pembangunan Perkantoran, ruko ataupun dealer kendaraan.
LT: 524 m2 LD: 16 m SHMP
Alamat: Jl dr Radjimin, Pangukan Sleman Yogyakarta (Timur kantor BPN Sleman)

Harga: 4,7 jt/m2 (nego)
Gambaran lokasi: lokasi tanah strategis ini di tepi jalan utama sleman dengan akses kemana – mana sangat dekat dan lokasi tanah ini berada dilingkungan sangat strategis baik untuk pengembangan usaha maupun rumah hunian. Tanah ini terletak di sebelah timur perkantoran pemerintahan kabupaten sleman seperti BPN dll, lingkungan sekitar tanah adalah pusat bisnis baik Minimarket, kuliner, pusat perbelanjaan dll. Akses lokasi sangat dekat dengan pusat pemerintahan kota sleman, sangat dekat dengan pusat perbelanjaan baik tradisional (pasar sleman) maupun modern ( Sleman city hall ), lokasi tanah ini juga sangat dekat dengan pusat pendidikan. Lokasi tanah ini hook antara jalan utama dan jalan masuk ke komplek perumahan terbesar di area sleman. Lokasi tanah ini sangat cocok untuk investasi jangka panjang baik pembangunan ruko maupun perkantoran.






           Info lebih lanjut Call / WA:
            0823-2860-5070 //  0812-1784-5004
            Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
          *Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net

DIJUAL KOS PUTRI EKSKLUSIF DI UTARA HOTEL HYATT YOGYAKARTA


Dijual kos cewek EKSKLUSIF dengan fasilitas sangat lengkap baik fasilitas didalam kamar maupun di area kos tersebut. Lokasi kos ini sangat strategis, akses kemana – mana sangat dekat dan kos cewek eksklusif ini sangat menguntungkan untuk investasi jangka panjang.
LT: 215 m2 LB: 365 m2 SHM & IMB 2lantai lengkap.
KT: 16 KM: 17 ( 1 km luar). Fasilitas kos – kosan ( Kamar tinggal masuk, Full ac, Wifi, CCTV dan Parkir kendaraan luas.
Harga sewa perkamar:
- Lantai 1 (500 rb/bln) fasilitas: kamar lengkap dan kipas angin
- Lantai 2 (850 rb/bln) fasilitas: kamar tingkang nempati dan Full Ac
Alamat: Jl Palagan km 7, gang Riwolo Sariharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta (Utara hyatt).










Harga: 2,6 M (nego)
Gambaran lokasi: lokasi ini terletak di utara Hotel hyatt dengan lingkungan rumah kavlingan dan akses kendaraans sangat mudah sampai lokasi kos cewek eksekutif tersebut. Bangunan 2 lantai dengan bentuk letter U dan semua kendaraan terfokus parkir ditengah area kamar. Kos eksklusif ini dilengkapi fasilitas yang sangat lengkap seperti CCTV, Wifi, Kamar mandi dalam, closed duduk dan full ac dikamar atas dan kamar bawah full kipas angin. Akses ke pusat pendidikan sangat dekat baik kampus UGM, UII, UTY dll, sangat dekat kepusat perbelanjaan, sangat dekat ke pusat bisnis di jalan palagan. Kos eksklusif ini sangat cocok untuk investasi jangka panjang, investasi masa pensiun.

Info lebih lanjut Call / WA:
0878-3103-3434 & 082328605070
Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
*Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net


Akhlaq Menurut Al-Ghazali dalam Kitab Ihya` `Ulum Ad-din


Imam al-Ghazali
mendefinisikan ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin adalah suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya[1]. Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut  akal dan syara` maka haeah tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila haeah tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Pengertian lain adalah keadaan batin yang menjadi  sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Dari pengertian akhlaq tersebut, ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu stabilitas dan tindakan spontan. Stabilitas artinya bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut bersifat permanen dan berkelanjutan. Adapun bersifat spontan artinya bahwa perbuatan itu muncul dengan mudah dan tanpa paksaaan. Kedua hal akhlaq inilah yang menentukan akhlaq seseorang, sehingga ia mempunyai akhlaq terpuji atau sebaliknya. Dengan demikian, akhlaq bagi al-Ghazali adalah mengacu pada keadaan batin manusia (ash-shurat al-bathina)[2]
Selanjutnya, menurut al-Ghazali, dalam diri seorang yang berakhlaq baik, empat kekuatan (nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan) yang ada tetap baik, moderat, dan saling mengharmoniskan. Kekuatan nafsu yang sehat, tunduk kepada akal dan syariah, dan dengan cara seperti itu, sifat menahan diri ('iffah) dapat tercapai.
Kekuatan amarah yang sehat, ketika muncul dan meredanya, mematuhi perintah akal dan syariah, dan melalui cara itu, sifat keberanian (syaja'ah) akan muncul. Sifat pengetahuan yang baik ialah yang dapat membedakan antara pernyataan yang benar dengan yang salah, antara kepercayaan yang benar dengan yang keliru, dan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk. Melalui cara kerja pengetahuan yang demikian, maka kebijakan (hikmah) akan timbul dalam jiwa. Keadilan yang sehat dapat mengendalikan kekuatan nafsu dan amarah dengan mengikuti keputusan akal dan syariah, oleh karena itu
maka akan muncullah sifat adil ('adl) dalam diri manusia[3].

Hakikat Akhlaq Al-Ghazali
Akhlaq menurut al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma'rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi'il), yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay'a rasikha fi-n-nafs). Akhlaq menurut al-Ghazali adalah "suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sudah melekat kuat, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik, maka ini disebut akhlaq yang baik. Jika amal-amal yang tercelalah yang muncul dari keadaan itu, maka itu dinamakan akhlaq yang buruk"[4].
Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.

Konsep Fadilah (keutamaan) dan Al Adl (adil)
Fadilah (keutamaan) dapat diartikan sebagai rasionalitas yang baik (terpuji) menurut akal dan syara'. Dan ukuran baik itu adalah al-wast (jalan tengah), seperti halnya mensifati sesuatu diantara dua perkara dan pertengahannya adalah fadilah. Maka dapat dikatakan sesuatu yang baik/terpuji menurut akal dan syara' disebut fadilah atau al wast dan kedua ujungnya adalah dua perkara yang jelek. Maka hal itu dapat disebut juga adil karena seseorang tidak akan mengerti makna fadilah kecuali disandarkan kepada makna adil. Adil menurut pandangan islam adalah keberhasilan semua manusia atas hasil perbuatannya, dan kemungkinan manusia bertanggung jawab  melakukannya.
Sedangkan fadilah adalah sesuatu pemberian manusia kepada yang lainnya dari hasil perbuatannya atau terkadang sebagian kebiasaan perbuatannya. Menurut Imam Ghazali fadilah sendiri adalah az-ziyadah (tambahan), ketika kita menyertakan dua perkara dan menghususkan salah satunya maka yang kedua adalah dikatakan `tambahannya', dan fadilah menurut islam adalah berpegang pada konsep adil.
Dalam pandangan Ghazali manusia terdiri dari empat rukun jiwa yaitu quwwah al-ghadaab (kekuatan kebencian), quwwah as-syahwah (kekuatan syahwat), quwwah al-hikmah (kekuatan hikmah) dan quwwah al-adl (kekuatan adil). Oleh karena itu seseorang yang bagus kekuatan kebenciannya dan mampu meng-adil-kannya (mengambil jalan tengah/mengimbanginya) maka dapat disebut pemberani (as-syaja'ah), lalu seseorang yang bagus kekuatan syahwatnya dan mampu meng-adil-kannya maka dapat menimbulkan sifat pemaaaf (al `afwah), maka ketika kekuatan benci lepas dari al-adl maka disebut tahawwara (roboh/ceroboh dan terburu nafsu), ketika kekuatan syahwat lepas dari al-adl maka disebut syarahan (rakus/lahap) dan apabila hikmah (wisdom) digunakan kepada tujuan yang tidak baik maka disebut khobisan (tercela).
Oleh karena itu pokok dan ushul ahlak adalah empat perkara yaitu al-hikmah, as-sajaah, al-`afwah dan al-adl. Apabila telah terkumpul empat tadi maka akan menghasilkan akhlak yang baik. Yaitu quwwatul al-ilm, quwwatu al-ghadab, quwwatu as-syahwah dan quwwatu al-adl.
Pertama, quwwatu al-ilm (kekuatan ilmu) akan bisa membedakan antara yang jujur dan bohong, antara yang hak dan bathil dalam akidah dan antara yang bagus dan jelek. Apabila kekuatan ini bagus dan selamat maka akan menghasilakan hikmah (wisdom), dan  hikmah adalah inti dari akhlak terpuji seperti firman Allah SWT, yang artinya:
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak (Al-Baqoroh A.269)
Kedua, apabila quwwatu al-ghadab (kekuatan benci) dapat menjadi baik maka akan menjadi hikmah pula[5]. Ketiga, begitu pula quwwatu as-syahwah (kekuatan syahwat) apabila baik maka akan terselamatkan dibawah petunjuk hikmah yakni dibawah  petunjuk akal dan syara' seperti nasehat petunjuk. Keempat, quwwatu al-adl yaitu kemampuan (al-iradah). Dan apabila telah melakukan hal itu dan mampu mengambil jalan tengahnya (I'tidal) maka dapat disebut khusnul khalqi mutlaqon (akhlak baik secara mutlak). Namun apabila hanya dapat melakukan sebagian dari ushul akhlak tersebut maka disebut khusnul kholqi bil-idafah ila dzalikal ma'na (akhlak yang yang baik namun hanya penisbatan saja kepada makna akhlak baik tersebut).
Menurut penilaian al-Ghazali, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara keduanya kikir dan boros. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas.
Mengingat bahwa posisi “tengah-tengah” yang hakiki berkaitan dengan segala sesuatunya, merupakan hal yang amat samara-samar, bahkan lebih halus dari pada rambut dan lebih tajam dari pedang, maka tak diragukan lagi bahwa siapa saja yang dapat berdiri mantap (ber-istiqomah) diatas jalan lurus ini di dunia, niscaya akan dapat melintasi shirath mustaqim yang seperti itu kelak di akhirat[6].
Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan ukuran kesederhanaan pada masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat Negara berkembang. Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat miskin.

Jalan menuju keutamaaan (fadilah):
Adapun jalan untuk menghasilkan dan sampai pada fadilah dalam suluk (tindakan) kemanusiaan seperti yang telah disebutkan oleh Iman al-Ghazali yaitu riyadah nafsiyyah (melatih diri) dan ibadah. Tidak dapat disebut ibadah jikalau tanpa adanya riyadah nafsiyah sehingga merupakan pelaksanaan Ibadan serta ragbah (keinginan) dan mahabbah (kecintaan). Karena yang dimaksud dengan ibadah adalah yang membekas dalam hati. Dan tanpa ibadah, riyadah tidak akan membekas dalam hati. Maka riyadah dan mujahadah beserta ibadah merupakan kehalusan dan kejernihan hati beserta mudah dalam melakukan perbuatan yang utama.
Akhlak menurut beliau tidak dapat di-tasawur-kan perubahannya  karena tobi' (watak) tidak akan berubah. Beliau mengambil dalil dari dua perkara, pertama akhlak adalah gambaran bathin seperti halnya akhlak adalah gambaran dhohir. Maka akhlak yang dhohir (bentuk tubuh) tidak dapat dirubah oleh manusia, seperti seorang yang pendek maka tidak bisa merubah dirinya menjadi tinggi dan sebaliknya dan seorang yang jelek tidak bisa merubah dirinya menjadi cantik atau ganteng.
Begitupula kejelekan bathin berjalan pada tempatnya. Ada yang mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah mengalahkan dan menumpas syahwat dan rasa benci. Dan kita telah mencoba dengan mujahadah dan tahu bahwa syahwat dan rasa benci itu adalah sudah menjadi watak yang tidak bisa dipisahkan dari anak adam. Sebagian orang yang jiwanya telah dikuasi oleh kemalasan, merasa berat sekali untuk memrangi bahwa nafsu dan melaksanakan latihan-latihan mental khusus (mujahadah dan riyadhah) serta menyibukan diri dengan pensucian jiwa dan peningkatan akhlaq[7].
Oleh karena itu bisa kita mengatakan apabila akhlak tidak dapat  dirubah maka tidak ada artinya sebuah nasehat dan mauidoh apalagi ketika Rosulullah bersabda "Perbaguslah akhlakmu", bagaimana kita memungkiri sebagai manusia anak adam untuk merubah akhlak hewan menjadi akhlak manusia, dan itu merupakan perubahan akhlak. Oleh sebab itu kita tidak bisa memaknai akhlak hanya menurut agama atau akal saja.

Tujuan akhir akhlak
Imam al-Ghazali menerangkan "Dan tujuan akhir dari akhlak yaitu memutuskan diri kita dari cinta kepada dunia, dan menancapkan dalam diri kita cinta kepada Allah SWT. Maka tidak ada lagi sesuatu yang dicintai selain berjumpa dengan dzat ilahi rabbi, dan tidak menggunakan semua hartanya kecuali karenanya. Dan rasa bencinya, syahwatnya yang sudah menetap dalam dirinya tidak semena-mena digunakan kecali karena untuk menuju kepadaNya. Dan itulah apabila akhlak ditimbang melalui timbangan syara' dan akal". Maka kesenagan dan kebahagian jiwa dan kenikmatan ruh adalah tujuan tertinggi dari akhlak menurut Imam Ghazali. Yaitu cinta kepada Allah dan tidak mencintai dunia, dan tidak ada sesuatu yang dicintai kecuali bertemu denganNya. Dan bertemu dengan dzat ilahirabbi adalah kebahagian jiwa. Ini semua berdasarkan penilaian syara' dan akal [8].
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Imam Ghazali merupakan seorang filosof dalam penuturannya mengenai etika secara ijmal (umum). Karena beliau mencoba menempatkan kebahagian jiwa manusia seperti tujuan akhir dan kesempurnaan dari akhlak. Dan beliau juga berpegang kepada dua landasan dalam masalah batasan fadilah dan wasilah untuk mencapai fadilah yaitu syara' dan akal.
Namun pengertian kebahagiaan jiwa telah banyak dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama
itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai kebaikan mutlak. Kebaikan Umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan jiwa. Dengan demikian antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai dentitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung pada orang yang berusaha memperolehnya 
Kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari oleh orang-orang terdahulu dan modern dan kebahagiaan hanya dapat dijangkau jika pengetahuan (ilm) dikaitkan dengan perbuatan (amal). Pengetahuan menghendaki standar (mi`yar) yang membedakan adari aktifitas lainnya, sedangkan perbuatan mengehendaki kreteria (mizan) yang akan menentukan taqlid pasif dan memililiki tujuan yang pasti, sehingga suatu perbuatan dapat menghasilkan kebahagiaan dan membedakannya dari perbuatan yang membawa kesengsaraan[9].
Menurut al-Ghazali, dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa kesenangan ukhrowi itu tidak palsu, kesempurnaannya tidak pernah berkurang sepanjang waktu. Sekalipun demikian ada juga sebagian orang yang tidak mencarinya dengan alasan bahwa kesenangan ukhrowi merupakan kesenangan intlektual semata. Seperti sebagaian lain menolak keabadian hidup sesudah mati seperti para atheis dan hedonis[10].
___________________________________

[1] Al-Ghozali, Mengobati penyakit Hati tarjamah Ihya``Ulum Ad-Din, dalam Tahdzib al-Akhlaq wa Mu`alajat Amradh Al-Qulub, (Bandung: Karisma, 2000), hlm 31.
[2] Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu. M. Abul Quasem dan Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam, terj. J. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 82.
[3] M. Abul Quasem, Ibid, hlm. 83.
[4] M. Abul Quasem, Ibid, hlm. 81-82.
[5] Kekuatan emosi akan menjadi baik apabila tetap berada didalam batas yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang memuncak atau mereda. Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 33.
[6] Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 71.
[7] Al-Ghozali, Mengobati Penyakit Hati, hlm 39
[8] Imam Ghazali menerangkan : "Apabila kecenderungan jiwa kepada hikmah dan cinta kepada Allah, ma'rifat kepadanya dan beribadah kepadanya seperti kecenderungan kepada makan dan minum. Maka itu sangat tepat sekali dengan fitrah hati yaitu berkaitan dengan Tuhan. Karena sesungguhnya makanan hati adalah hikmah, ma'rifat dan cinta kepada Allah SWT".
[9] Al-Ghozali, Mizanul Amal 2, (Cairo: 1342 H),
[10] Madjid Fakhri, Etika dalam Islam, (Jogjakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm 126.

______________________________

Sumber:

http://atullaina.blogspot.com

Abdurahman bin Mahdy (wafat 198 H)

Nama sebenarnya adalah Abu Sa’id Abdurahman ibn Mahdy bin Hasan bin Abdurahman al-‘Ambari al-Bashry, Ia dilahirkan pada tahun 135 H, Seorang imam hadist yang menjadi peganggan umat di masanya.
Ia menerima hadits dari Khalid bin Dinar, Malik bin Makhul, Malik bin anas, Sufyan ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah dan dari yang lainnya.
Diantara yang menerima hadist darinya adalah Ibnu Wahab, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Ibnu Madiny, Ishaq bin Rahawaih, Abu Ubaid al Qasim, Ibn Salam dan lainnya.
Para ulama mengakui ketinggian ilmu beliau dalam hal hadist, Ahmad bin Hanbal berkata,” Ibn Mahdi diciptakann Allah untuk memahami hadits”. Ali bin al-Madany berkata,” Saya belum pernah melihat orang Alim dari pada Ibn Mahdy”.
Beliau sendiri pernah berkata,” Tidak boleh seseorang dikatakan telah menjadi Imam dalam bidang hadist sehingga orang tersebut mengetahui mana mana hadist hadist shahih dan mengetahui makhraj makhraj ilmu”.
Ia wafat pada tahun 198 H

Disalin dari Biografi Abdurahman bin Mahdy dalam dalam Tahdzibul Asma an Nawawi 11/304, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalanii VI/279

Wakie’ bin al-Jarrah (wafat 197 H)

Nama sebenarnya adalah Abu Sufyan Wakie’ bin al Jarrah bin Malikh bin ‘Adiy, Ia dilahirkan pada tahun 127 H, Ia seorang ulama dari tabi’it tabi’in dan seorang hafidh ahli hadist yang besar, Imam dari ulama ulama Kufah dalam bidang hadist dan lainnya.
Ia menerima hadits dari al-a’Masy Hisyam bin Urwah, Abdullah bin Aun, atsTsaury, ibnu Uyainah dan yang lainnya.
Para ulama hadits mengakui ketinggian ilmunya Waki’ dalam bidang hadits dan kuat hapalannya. Ahmad bin Hanbal berkata,” Telah diceritakan kepadaku oleh orang yang belum pernah mata anda melihatnya yang seperlunya, yaitu Wakie’ ibn al-Jarrah”.
Ahmad berkata pula,” Belum pernah saya melihat seorang ulama tentang hal ilmu, hapalan sanad adalah Wakie’, dia menghapal hadist, mendalami fiqih dan ijtihad, dan dia tidak pernah mencela seseorang”.
Ibnu Ma’in berkata,” Belum pernah aku melihat orang yang meriwayatkan hadist semata mata karena Allah selain daripada Wakie’”.
Ibnu Amar berkata,” Tidak ada di Kufah orang yang lebih alim dari pada Waki’ dan lebih hapal, dia dimasanya sama dengan al-Auza’iy.”.
Ia wafat pada tahun 197 H.

Disalin dari Biografi Wakie’ bin al-Jarrah dalam dalam Tahdzibul Asma an Nawawi 11/123, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalanii 11/144

TEMPAT USAHA RESTO STRATEGIS DI CONDONG CATUR YOGYAKARTA


Dijual tempat usaha resto sangat strategis dan prospek untuk investasi jangka panjang, lokasi resto ini dilengkapi beberapa alat yang sudah siap pakai dengan perlengkapan kitchen. Akses lokasi sangat mudah dan dekat dengan HARTONO MALL.


LT: 586 m2 LB: 500 m2 SHM & IMB (surat usaha lengkap)
KM: 2 ( laki & Perempuan)
Lay out lokasi:
Area Ruang depan RESTO KONSEP LOUNCH dengan luasan 250 m2 dilengkapi kitchen lengkap dengan meja kasir.
Area Ruang belakang Ruang BAR lengkap dengan Area DJ serta alat pendukung yang sangat lengkap baik meja, ligthting, sound sistem dll.



Alamat: Jl rajawali Condong catur Depok Sleman Yogyakarta

Harga: 5,5 M (nego)
Gambaran lokasi: lokasi ini terletak di tepi jalan raya kelas 2, akses kemana – mana sangat dekat dan lingkungan resto ini sangat prospek dan berkembang. Lingkungan sekitar banyak perumahan elit diarea condong catur, lingkungan bisnis yang sangat berkembang, akses sangat dekat dengan Hartono Mall, Sangat dekat dengan pusat pendidikan Baik UGM, UII, UPN, Dll. Perkembangan area lokasi sangat pesat baik untuk dunia bisnis maupun hunian, Bahkan lingkungan condong catur sudah terkenal lingkungan kuliner dan Cafe nya. Lokasi resto ini sangat cocok untuk investasi jangka panjang dan sangat memungkinkan dikembangkan menjadi pusat Kuliner nusantara yang membawa karakter jogjakartanya, baik dari segi makanan dan service nya.





Info lebih lanjut Call / WA:
0878-3103-3434.

Call Marketing Omahproperti:
087739783168 & 082328605070
Silahkan cek kelengkapan gambar di album FB: omah properti Jogjakarta
*Kelengkapan data ada dikantor Omah Properti / www.omahproperti.net

Konsep Manusia dalam al-Qur’an



Muqaddimah

Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.

Konsep manusia dalam al-Qur’an

Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,[1]menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.[2]
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.[3]
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. [4]
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh.[5] Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an

Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.[6]
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain[7] menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.[8]

Penutup

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

Daftar Pustaka

Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002
Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989
——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[1] Penciptaan/keberadaan manusia menurut al-Qu’an ini dapat dkategorikan menjadi tiga fase. Pertama,kemunculan Adam manusia pertama. Penciptaan Adam sebagai manusia, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ia diciptakan dari semacam tanah liat. Dan atas kehendak Allah maka jadilah Adam dalam rupa manusia. Manusia pertama ini, hadir tanpa ibu dan bapak. Kemudian, kedua, diciptakannya manusia kedua yaitu Hawa, yang disebutkan bahwa ia berasal dari tulang rusuk kiri Adam. Manusia kedua ini hadir tanpa ibu. Ketiga, fase inilah yang menjadi gambaran umum manusia. Yaitu hadir dengan adanya bapak dan ibunya.
[2] Turunnya Adam menurut Alamah Kamal Faqih Imami sedikit banyak diilustrasikan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 11-25. Alamah Kamal Faqih Imami, Tafsir Nurul Qur’an, terj. R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, jilid I, 2003, hal 156-171. Di dalam kitab tafsirnya ini, beliau juga menafsirkan turunnya Adam dan Hawa adalah sekenario Allah semata. Hal ini karena pada dasarnya Bapak Adam dan Ibu Hawa (manusia) memang diciptakan untuk menghuni bumi—menjadi khalifah di bumi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan: “Ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” Ini menjelaskan bahwa Allah sejak awal telah menetapkan bahwa manusialah yang akan menghuni bumi.
[3] Mengenai sujudnya Malaikat pada Adam ini, Alamah kamal Faqih Imani menafsirkan sebagai sebuah sujud yang tidak dimaksudkan untuk beribadah layaknya sujudnya para Malaikat pada Allah. Tetapi sujud ini adalah sujud sebagai sebuah representasi penghormatan para Malaikat pada Adam. Ibid. Hal. 166.
[4] Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7 mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat. Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan dalam manusia.” K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000. hal.204.
[5] Ruh atau jiwa di sini jangan diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan lainnya
[6] Banyak kalangan dari umat Islampun masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Apakah Adam yang dimaksud di sini adalah benar-benar manusia pertama, ataukah ada Adam-Adam lain sebelumnya? Ini disandarkan pada alasan bahwa jika Adam ini adalah manusia pertama, rentang waktu kehidupan manusia pertama ini dengan manusia masa kini masihlah terlalu singkat yaitu sekitar lima belas ribu tahun. Satu masa yang dapat dikatakan sedikit dibandingkan umur bumi sendiri yang dikatakan sampai milyaran tahun. Dengan argumen inilah beberapa kalangan muslimin menyatakan bahwa ada Adam-Adam lain selain yang disebutan al-Qur’an. Dan mengenai keberadaan Adam di surga, itu juga tidak surga dalam artian sebenarnya menurut kalangan ini. Surga di sini menurut mereka adalah satu tempat di bumi ini yang karena keindahannya dan kemudahannya dalam meraih sesuatu digambarkan seperti surga. Tentu pendapat inipun mendapat sanggahan, dengan argumen bahwa Adam yang disebutkan al-Qur’an ini memang benar-benar manusia pertama yang menghuni bumi, dan ia benar-benar diturunkan Allah dari surga, lagi-lagi itu karena kemaha Kuasaan Allah SWT, dan apa yang tidak mungkin bagi Allah. Kalau menciptakan alam saja mampu, kenapa harus diragukan ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, tentu bagi Allah itu bukan hal yang sulit. Perdebatan yang menarik, dan memang sepertinya tak akan pernah selesai. Begitu menariknya makhluk yang bernama manusia ini! (Penjelasan matakuliah ulumul Qur’an, Pak Subandi)
[7] Harun Yahya misalnya yang berjuang mati-matian untuk mengcover teori evolusi Darwin.
[8] Ada satu hal lagi berkaitan dengan dua pendapat di atas, yang mencoba menjembatani perdebatan sengit itu. Meskipun tidak nampak begitu berhasil, dan malah menjadi satu golongan tersendiri yang nampak mendukung teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa dari beberapa aspek apa yang dikatakan oleh Darwin memang benar adanya. Bahwa manusia memang berevolusi. Namun, sayangnya Darwin terlalu materialis dalam melihat evolusi manusia, sehingga permata dalam diri manusia, jiwa, terabaikan dinegasikan Darwin begitu saja. Dan pedapat para tokoh sufi seperti Mulla Shadra, yang sering kali ditekankan Dr. Haidar Bagir dalam tiap kali perbicangannya menyatakan bahwa manusia memang berevolusi, bukan sekedar fisik saja, jiwanyapun berevolusi mencari kesejatian diri, menuju Tuhan. Dan dalil al-Qur’an tentang Adam dan Hawa yang sering ditafsirkan manusia pertama yang diturunkan dari Surga hanyalah simbolitas saja.




Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate