TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Teologi Transendental Mulla Sadra


Oleh: Mohammad Adlany

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak  yang tak terlihat (baca: Tuhan).
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.
Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.   
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

Perspektif Teologis Mulla Sadra

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.   
Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya.  
Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban makrifat Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan tiga unsur, yakni wahyu sebagai teks suci Tuhan, pemikiran filsafat, dan teologi (ilmu kalam).   
Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri   dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri.
Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis - setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.
Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud "awal" dan "esa" adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya.
Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, "hakikat adalah Tuhan", dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa "hakikat" itu adalah kesesuaian ilmu dengan " realitas sesuatu", maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarankannya sebagai seorang filosof, Tuhan  sebagai "Sebab Tertinggi" untuk semua realitas eksistensi, "Sebab" seperti itu sama dengan konsep "Tunggal"nya Plato atau "Akal Ilahi"nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan "alam ide" ('âlam mutsul)(1), dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai "Tujuan Akhir" alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari "alam ketiadaan". Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas.
Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: "Sesuatu yang mencipta alam ini", mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (baca: Tuhan) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain.
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa "keberwujudan" merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang "tercipta" tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas - yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki.
Oleh karena itu, tolok ukur "keberwujudan" mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena "berpijak" kepada wujud. Tanpa "keberpijakan" ini kuiditas mustahil tercipta.
Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi.  
Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada.
Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen (mumkinul wujud, makhluk). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah "Wajibul Wujud" atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai "pemberi wujud" ini harus berujung pada "Pemberi Wujud" yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan "kuiditas" dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari "alam ketiadaan" atau hadits(2) (lawan dari qadim, azali).
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak "memancarkan" wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen "sebelum" dan "sesudah" penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan "keabadian" wujudnya bergantung kepada Tuhan.
Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat(3). Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut.   
Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan.
Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam.
Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wajibul Wujud atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wajibul Wujud. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada "alam luar" niscaya Wajibul Wujud, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa "saksikan" secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada. 
Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, "Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (baca: burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wajibul Wujud dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, "Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk kaum tertentu". Dan setelah itu Tuhan berfirman, "Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya."
Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.  
Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan "kemestian rasionalitas"  menetapkan wujud Tuhan  dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud.  
Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (al-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya al-Syifa(4) dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa'âl (active intellect)(5).
Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh "sesuatu yang lain". Dia berkata, "Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial "meminta"  ketiadaan. Bukan Cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang "meminta" ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)". Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai "sumber" kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam.
Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin(6). Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (al-imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut.
Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wajibul Wujud (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari "Wajibul Wujud" adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah "wujud" hubungan atau bergantung dimana dalam "perwujudan" dan kesempurnaan "wujud"nya bergantung secara mutlak kepada Wajibul Wujud(7).  
Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wajibul Wujud) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wajibul Wujud sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wajibul Wujud tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wajibul Wujud. Jadi, "wujud" kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wajibul Wujud, tapi Dia meliputi "wujud" kontingen secara hakiki.   
Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wajibul Wujud dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wajibul Wujud adalah murni wujud dan suci dari kuiditas.   
Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran:

Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina;

Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.
Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wajibul Wujud dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wajibul Wujud.
Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis. Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi.
Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wajibul Wujud dan bukan milik "wujud" kontingen; karena kalau milik "wujud" kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya. Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wajibul Wujud yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud.
Mulla Sadra dalam kitab Masyâ'ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, "Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya"(8). Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wajibul Wujud senantiasa menjadi Wajibul Wujud dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan.
Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, "kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama"? tetapi berbunyi, "kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung"? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an.
Gagasan Tentang Tuhan
Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang "keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wajibul Wujud merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan  tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi(9) merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.
Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud dan prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak (Tuhan).
Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud Tuhan tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.
Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga zat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya.
Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat "mencakupi" dan "meliputi".
Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya zat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari kaum urafa dan para filosof muta'aliyah.
Kesatuan Wujud
Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam.  Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.
Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.
Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan "kuantitas terpisah" (kam al-munfashil) dari golongan aksiden, dan aksiden itu termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (nonmateri) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud  mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.
Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, "Para filosof Muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi" realitas wujud-Nya."(10)

Keazalian dan Keabadian Tuhan

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya.
Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi.
Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.
Di sini Al-Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak.
Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana).
Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada.
Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.

Nama dan Sifat Tuhan

Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan.
Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan "urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan".
Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan "yang sedikit" itu bukan hanya tak "dilarang" atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan "yang sedikit" tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.
Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, "Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik". Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna "keberadaan, eksistensi" dan "kesatuan" yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.
Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta'aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah yang hakiki bukan kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri (wujud murni) yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada zat Tuhan.
Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.
Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia.
Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan "keluasan wujudnya" masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada.
Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.
Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma'rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma'rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan.
Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy'ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu'tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.
Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, "Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek, dan ilmu.
Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.
Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti "menunggu".
Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan   
Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Pemberi Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat.
Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Al-Murid, Al-Karim dan Al-Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada "bahan baku" atau "materi awal" sebelumnya dimana Tuhan menggunakan "bahan baku" tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan "materi awal" tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya.
Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada "materi awal" tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu.
Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan.
Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Al-Hakim).
Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Al-Khaliq), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk.
Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, "keburukan" ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas.
Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas.      
Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain.
Awal Dan Akhir Penciptaan Alam
Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang nonmateri (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam "sezaman" dengan ke-qadim-an Tuhan?
Mulla Sadra berpegang pada konsep "manifestasi" dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filosof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan.
Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani(11) yakni wujudnya didahului oleh "ketiadaan" dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan.
Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak "persamaan dan keserupaan" dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya.   
Tuhan "bertajalli dan bermanifestasi" pertama kali di alam nonmateri tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal(12) lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi.
Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta'aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.

Catatan Kaki :

1. Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki "bentuk non materi"nya di alam Ilahi, "bentuk non materi" itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..
2. Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul "Tuhan dalam filsafat".
3. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.
4. Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.
5. Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa'âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi "mencipta" jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini.  
6. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.
7. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid  6, bab penegasan tauhid.
8. Mulla Sadra, al-Masyâ'ir, hal. 69.
9.Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki.
10. Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.
11. Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada - dalam waktu - dan sekarang baru tercipta dan hadir  - juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.  
12. Alam yang berada diantara alam akal dan alam materi.
Sumber: Islamalternatif.net

TARIQAT NAQSHBANDIYAH



Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia.


Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).


Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.


== PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH ==

BELIAU adalah Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih dan seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih. Ia menerima limpahan Faidhz dari Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menerusi Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang telah 200 tahun mendahuluinya secara Uwaisiyah.
Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”
Suara itu menakutkanku hingga menyebabkan aku lari keluar dari rumah. Aku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Aku membasuh pakaianku lalu mendirikan Sholat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah aku alami, dengan merasakan seolah-olah aku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan aku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.
Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?”
Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi.”
Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi.”
Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini.”
Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan.”
Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku.”
Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan.”
Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci.” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta.”
Beliau telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara iaitu:
Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas iaitu:
Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.
Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya.
Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia mensucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH.
Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani.
Semoga Allah Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Fakalan Kepada Kita. Amin.

KEKHUSUSAN TARIQAT NAQSHBANDIYAH

HADHRAT Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin Naqshbandiyah telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa Tariqat yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain.”
Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan Tariqah Naqshbandiyah dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum beliau menerima Silsilah Naqshbandiyah beliau telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Beliau telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah Tariqat Naqshbandiyah dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.
“Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”
Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya.”
Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.
Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.
Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim.
Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam Tariqat Naqshbandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain.
Kerana itulah Para Akabirin Naqshbandiyah Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”.
Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang.”
Yakni barangsiapa yang menuruti Tariqat kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya.
Di dalam Tariqat Naqshbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat:
“Bahawa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.

PERKEMBANGAN TARIQAT NAQSHBANDIYAH

ADAPUN gelaran nama Naqshbandiyah ini mula masyhur di zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeda-beda menurut zaman.
Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.

Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.

Kemudian di zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan prinsip asas Tariqat yaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.

Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.

Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini pada awalnya dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.
Kemudian Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih.
Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya beliau dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah beliau menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan beliau telah membawanya ke negara Timur Tengah.
Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih pada awalnya memperkenalkan amalan Suluk yaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini kemudian dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.
Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membedakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeda, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.

Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani.


Tariqat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin. 
Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan secara terpaksa maupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh.


Kebanyakan jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun berbeda dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan pendekatan Tariqat Ruhani yaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs.


Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin. Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Seorang Penyair Sufi pernah berkata,

Al –‘Ajzu ‘An Darakil Idraki Idraku, Wal Waqfu Fi Turuqil Akhyari Isyraku.
Seseorang yang berasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu Syirik.

Riwayat Tariqah

TARIQAT atau Tariqah merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam.
Ilmu Tariqat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam.
Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengaruniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.
Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan beliau hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh.
Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah dimana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan.
Tariqat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4 hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.

Ijazah seorang Syekh dalam silsilah tarekat

Dalam tasawuf, seperti dalam setiap disiplin Islam yang serius seperti fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau 'syekh' dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan begitu pada, dalam rantai master terus kembali kepada Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam) yang adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid - baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi - untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang (murshid ma'dhun) untuk generasi murid penerus.
Silsila tersebut transmisi dari garis lurus dari master adalah salah satu kriteria yang membedakan jalan sufi yang benar 'berhubungan' (tarekat muttasila), dari jalan 'diputus' tidak otentik atau, (tarekat munqati'a). Pemimpin jalan yang diputus bisa mengklaim sebagai syekh berdasarkan izin yang diberikan oleh Syeikh dalam keadaan diverifikasi pribadi atau lainnya, atau oleh seorang tokoh yang telah meningal dunia ini, seperti salah satu dari orang soleh atau Nabi sendiri (sallallahu `alaihi wa sallam), atau dalam mimpi, dan sebagainya. Praktek ini hanya "menghangatkan hati" (biha yusta'nasu) tetapi tidak memenuhi kondisi tasawuf yang seorang Syekh harus memiliki otorisasi ijazah yang jelas menghubungkan dia dengan Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam), salah satu yang bisa diverifikasi oleh orang lain daripada dirinya sendiri. Banyak kebohongan diberitahu oleh orang-orang, dan tanpa otorisasi atau ijazah yang bisa diverifikasi oleh publik, tarekat akan dikompromikan oleh mereka.

Silsilah Tariqah

SETIAP hari sewaktu terbit dan sebelum terbenam matahari, bacalah "A'uzubillahi Minash-Syaitanir Rajim", lalu membaca "Bismillahir Rahmanir Rahim" dan "Surah Al-Fatihah" sekali dan "Surah Al-Ikhlas" sebanyak 3 kali beserta "Bismillahir Rahmanir Rahim", kemudian dihadiahkan pahala bacaan tersebut kepada sekalian Ruhaniyah Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah seperti berikut: "Ya Allah, telah ku hadiahkan seumpama pahala bacaan Fatihah dan Qul Huwa Allah kepada sekelian Arwah Muqaddasah Masyaikh Akabirin Silsilah 'Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah." Seterusnya membaca Syajarah Tayyibah ini pada setiap waktu  tersebut.

Bismillahir Rahmaanir Rahiim
  • 1. Syafi'ul Muznibin Rahmatan lil 'Alamin Hadhrat Muhammad Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam.
  • 2. Khalifah Rasulullah Hadhrat Abu Bakar Siddiq Radhiyallahu 'Anhu.
  • 3. Sahibi Rasulullah Hadhrat Salman Farisi Radhiyallahu 'Anhu.
  • 4. Hadhrat Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar Radhiyallahu 'Anhum.
  • 5. Hadhrat Imam Ja'afar Sadiq Radhiyallahu 'Anhu.
  • 6. Hadhrat Khwajah Abu Yazid Bistami Rahmatullah 'alaihi.
  • 7. Hadhrat Khwajah Abul Hassan Kharqani Rahmatullah 'alaihi.
  • 8. Hadhrat Khwajah Abu 'Ali Faramadi Rahmatullah 'alaihi.
  • 9. Hadhrat Khwajah Yusof Hamdani Rahmatullah 'alaihi.
  • 10. Hadhrat Khwajah 'Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah 'alaihi.
  • 11. Hadhrat Khwajah 'Arif Riwagari Rahmatullah 'alaihi.
  • 12. Hadhrat Khwajah Mahmud Anjir Faghnawi Rahmatullah 'alaihi.
  • 13. Hadhrat Khwajah 'Azizan 'Ali Ramitani Rahmatullah 'alaihi.
  • 14. Hadhrat Khwajah Muhammad Baba Sammasi Rahmatullah 'alaih.
  • 15. Hadhrat Khwajah Sayyid Amir Kullal Rahmatullah 'alaihi.
  • 16. Hadhrat Khwajah Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah 'alaihi.
  • 17. Hadhrat Khwajah 'Alauddin 'Attar Rahmatullah 'alaihi.
  • 18. Hadhrat Khwajah Ya'qub Carkhi Rahmatullah 'alaihi.
  • 19. Hadhrat Khwajah 'Ubaidullah Ahrar Rahmatullah 'alaihi.
  • 20. Hadhrat Khwajah Muhammad Zahid Rahmatullah 'alaihi.
  • 21. Hadhrat Khwajah Darwish Muhammad Rahmatullah 'alaihi.
  • 22. Hadhrat Maulana Khwajah Amkangi Rahmatullah 'alaihi.
  • 23. Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah 'alaihi.
  • 24. Hadhrat Khwajah Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah 'alaihi.
  • 25. Hadhrat Khwajah Muhammad Ma'sum Rahmatullah 'alaihi.
  • 26. Hadhrat Khwajah Syeikh Saifuddin Rahmatullah 'alaihi.
  • 27. Hadhrat Khwajah Sayyid Nur Muhammad Budayuni Rahmatullah 'alaihi.
  • 28. Hadhrat Khwajah Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah 'alaihi.
  • 29. Hadhrat Maulana Khwajah Shah ‘Abdullah Ghulam 'Ali Dehlawi Rahmatullah 'alaihi.
  • 30. Hadhrat Khwajah Shah Abu Sa’id Rahmatullah 'alaihi.
  • 31. Hadhrat Khwajah Shah Ahmad Sa'id Rahmatullah 'alaihi.
  • 32. Hadhrat Khwajah Haji Dost Muhammad Qandahari Rahmatullah 'alaihi.
  • 33. Hadhrat Khwajah Haji Muhammad 'Utsman Rahmatullah 'alaihi.
  • 34. Hadhrat Khwajah Haji Muhammad Sirajuddin Rahmatullah 'alaihi.
  • 35. Hadhrat Khwajah Maulana Abu Sa'ad Ahmad Khan Rahmatullah 'alaihi.
  • 36. Hadhrat Khwajah Maulana Muhammad 'Abdullah Rahmatullah 'alaihi.
  • 37. Hadhrat Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Mudda Zilluhul 'Ali.
  • 38. Hadhrat Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi 'Ufiyallahu 'Anhu Wali Walidaihi.
  • 39. Bar Faqir Haqir, Khak Paey Buzurgan, La Syai Miskin ........................……………………..'Ufiya 'Anhu Par, Raham Farma Wa Muhabbat Wa Ma'rifat Wa Jam'iyat Zahiri Wa Batini Wa 'Afiyati Darain Wa Bahrahi Kamil Az Fuyudzi Wa Barkati In Buzurgan Rozi Ma Kun. Robbana Tawaffana Muslimin, Wa Alhiqna Bissolihin.
Kepada hamba yang faqir dan hina yang di bawah telapak kaki Para Masyaikh yang tiada apa-apa lagi miskin ……............................….………………… semoga di ampunkan, Rahmatilah kami dan kurniakanlah Kasih Sayang dan Makrifat serta Jam'iyat Zahir dan Batin serta ‘Afiyat di Dunia dan Akhirat dan Lautan Kesempurnaan dari Limpahan Faidhz dan keberkatan Para Masyaikh ini.
Ya Tuhan kami, matikanlah kami sebagai Muslim dan sertakanlah kami bersama Para Salihin.

AJARAN ASAS NAQSHBANDIYAH

TARIQAT Naqshbandiyah mempunyai prinsip asasnya yang tersendiri yang telah diasaskan oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Maulana Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih. Ia telah meletakkan lapan prinsip asas ini sebagai dasar Tariqat Naqshbandiyah. Prinsip-prinsip ini dinyatakannya dalam sebutan bahasa Parsi dan mengandungi pengertian dan pangajaran yang amat tinggi nilainya. Adapun prinsip-prinsipnya adalah seperti berikut:
  • 1. Yad Kard
  • 2. Baz Gasht
  • 3. Nigah Dasyat
  • 4. Yad Dasyat
  • 5. Hosh Dar Dam
  • 6. Nazar Bar Qadam
  • 7. Safar Dar Watan
  • 8. Khalwat Dar Anjuman
Hadhrat Syeikh Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih yang merupakan sahabat, khalifah dan penulis riwayat Hadhrat Maulana Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di dalam kitabnya bahawa ajaran Tariqat Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih berkenaan zikir dan ajaran lapan prinsip asas seperti yang dinyatakan di atas turut dianuti dan diamalkan oleh 40 jenis Tariqat. Tariqat lain menjadikan asas ini sebagai panduan kepada jalan kebenaran yang mulia iaitu jalan kesedaran dalam menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan meninggalkan sebarang bentuk Bida’ah dan bermujahadah melawan hawa nafsu. Kerana itulah Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih mencapai ketinggian Ruhani dan menjadi seorang Mahaguru Tariqat dan penghulu pemimpin keruhanian pada zamannya.

1. YAD KARD

Yad berarti ingat yakni Zikir. Perkataan Kard pula bagi menyatakan kata kerja bagi ingat yakni pekerjaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ianya merupakan zat bagi zikir. Berkata Para Masyaikh, Yad Kard bermaksud melakukan zikir mengingati Tuhan dengan menghadirkan hati. Murid yang telah melakukan Bai‘ah dan telah ditalqinkan dengan zikir hendaklah senantiasa sibuk mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kalimah zikir yang telah ditalqinkan.
Zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh adalah zikir yang akan membawa seseorang murid itu mencapai ketinggian darjat Ruhani. Syeikh akan mentalqinkan zikir kepada muridnya sama ada Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat secara Lisani ataupun Qalbi. Seseorang murid hendaklah melakukan zikir yang sebanyak-banyaknya dan sentiasa menyibukkan dirinya dengan berzikir. Pada setiap hari, masa dan keadaan, sama ada dalam keadaaan berdiri atau duduk atau berbaring ataupun berjalan, hendaklah sentiasa berzikir.
Pada lazimnya seseorang yang baru menjalani Tariqat Naqshbandiyah ini, Syeikh akan mentalqinkan kalimah Ismu Zat iaitu lafaz Allah sebagai zikir yang perlu dilakukan pada Latifah Qalb tanpa menggerakkan lidah. Murid hendaklah berzikir Allah Allah pada latifah tersebut sebanyak 24 ribu kali sehari semalam setiap hari sehingga terhasilnya cahaya Warid.
Ada sebahagian Syeikh yang menetapkan jumlah permulaan sebanyak lima ribu kali sehari semalam dan ada juga yang menetapkannya sehingga tujuh puluh ribu kali sehari semalam.
Seterusnya murid hendaklah mengkhabarkan segala pengalaman Ruhaniahnya kepada Syeikh apabila menerima Warid tersebut. Begitulah pada setiap Latifah, murid hendaklah berzikir sebanyak-banyaknya pada kesemua Latifah seperti yang diarahkan oleh Syeikh sehingga tercapainya Warid. Mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara sempurna adalah dengan berzikir menghadirkan hati ke Hadhrat ZatNya.
Setelah Zikir Ismu Zat dilakukan pada setiap Latifah dengan sempurna, Syeikh akan mentalqinkan pula Zikir Nafi Itsbat iaitu kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH yang perlu dilakukan sama ada secara Lisani iaitu menerusi lidah atau secara Qalbi iaitu berzikir menerusi lidah hati.
Zikir Nafi Itsbat perlu dilakukan menurut kaifiyatnya. Syeikh akan menentukan dalam bentuk apa sesuatu zikir itu perlu dilakukan. Yang penting bagi Salik adalah menyibukkan diri dengan zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh sama ada ianya Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat. Salik hendaklah memelihara zikir dengan hati dan lidah dengan menyebut Allah Allah iaitu nama bagi Zat Tuhan yang merangkumi kesemua Nama-NamaNya dan Sifat-SifatNya yang mulia serta dengan menyebut Zikir Nafi Itsbat menerusi kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH dengan sebanyak-banyaknya. Salik hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sehingga dia mencapai kejernihan hati dan tenggelam di dalam Muraqabah. Murid hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sebanyak 5 ribu ke 10 ribu kali setiap hari bagi menanggalkan segala kekaratan hati. Zikir tersebut akan membersihkan hati dan membawa seseorang itu kepada Musyahadah.
Zikir Nafi Itsbat menurut Akabirin Naqshbandiyah, seseorang murid yang baru itu hendaklah menutup kedua matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, menongkatkan lidahnya ke langit-langit dan menahan napasnya. Dia hendaklah mengucapkan zikir ini dengan hatinya bermula dari kalimah Nafi dan seterusnya kalimah Itsbat. Bagaimanapun, bagi murid yang telah lama hendaklah membukakan kedua matanya dan tidak perlu menahan napasnya.
Bermula dari kalimah Nafi iaitu LA yang bererti Tiada, dia hendaklah menarik kalimah LA ini dari bawah pusatnya ke atas hingga ke otak. Apabila kalimah LA mencapai otak, ucapkan pula kalimah ILAHA di dalam hati yang bererti Tuhan. Kemudian hendaklah digerakkan dari otak ke bahu kanan sambil menyebut ILLA yang bererti Melainkan, lalu menghentakkan kalimah Itsbat iaitu ALLAH ke arah Latifah Qalb. Sewaktu menghentakkan kalimah ALLAH ke arah Qalb, hendaklah merasakan bahawa kesan hentakan itu mengenai kesemua Lataif di dalam tubuh badan.
Zikir yang sebanyak-banyaknya akan membawa seseorang Salik itu mencapai kepada kehadiran Zat Allah dalam kewujudan secara Zihni yakni di dalam pikiran. Salik hendaklah berzikir dalam setiap napas yang keluar dan masuk. Yad Kard merupakan amalan dipikiran yang bertujuan pikiran hendaklah sentiasa menggesa diri supaya sentiasa ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melakukan zikir bagi mengingati ZatNya. Pekerjaan berzikir mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu amalan yang tiada batas dan had. Ianya boleh dikerjakan pada sebarang keadaan, masa dan tempat. Hendaklah sentiasa memperhatikan napas supaya setiap napas yang keluar dan masuk itu disertai ingatan terhadap Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

2. BAZ GASHT

Baz Gasht berarti kembali. Menurut Para Masyaikh, maksudnya ialah seseorang yang melakukan zikir dengan menggunakan lidah hati menyebut Allah Allah dan LA ILAHA ILLA ALLAH, begitulah juga setelah itu hendaklah mengucapkan di dalam hati dengan penuh khusyuk dan merendahkan diri akan ucapan ini:
“Ilahi Anta Maqsudi, Wa Ridhoka Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka”
Yang bererti, “Wahai Tuhanku Engkaulah maksudku dan keredhaanMu tuntutanku, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Ianya merupakan ucapan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ucapan ini akan meningkatkan tahap kesedaran kepada kewujudan dan Keesaan Zat Tuhan, sehingga dia mencapai suatu tahap dimana segala kewujudan makhluk terhapus pada pandangan matanya. Apa yang dilihatnya walau ke mana jua dia memandang, yang dilihatnya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ucapan kata-kata ini juga memberikan kita pengertian bahawa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadi maksud dan tujuan kita dan tidak ada tujuan lain selain untuk mendapatkan keredhaanNya. Salik hendaklah mengucapkan kalimah ini bagi menghuraikan segala rahsia Keesaan Zat Tuhan dan supaya terbuka kepadanya keunikan hakikat Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sebagai murid, tidak boleh meninggalkan zikir kalimah ini meskipun tidak merasakan sebarang kesan pada hati. Dia hendaklah tetap meneruskan zikir kalimah tersebut sebagai menuruti anjuran Syeikhnya.
Makna Baz Gasht ialah kembali kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Mulia dengan menunjukkan penyerahan yang sempurna, mentaati segala kehendakNya dan merendahkan diri dengan sempurna dalam memuji ZatNya. Adapun lafaz Baz Gasht dalam bahasa Parsi seperti yang diamalkan oleh Para Akabirin Naqshabandiyah Mujaddidiyah adalah seperti berikut:
“Khudawandah, Maqsudi Man Tui Wa Ridhai Tu, Tarak Kardam Dunya Wa Akhirat Baraey Tu, Mahabbat Wa Ma’rifati Khud Badih.”
Yang bererti, “Tuhanku, maksudku hanyalah Engkau dan keredaanMu, telahku lepaskan Dunia dan Akhirat kerana Engkau, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Pada permulaan, jika Salik sendiri tidak memahami hakikat kebenaran ucapan kata-kata ini, hendaklah dia tetap juga menyebutnya kerana menyebut kata-kata itu dengan hati yang khusyuk dan merendahkan diri akan menambahkan lagi pemahamannya dan secara sedikit demi sedikit Salik itu akan merasai hakikat kebenaran perkataan tersebut dan Insya Allah akan merasai kesannya. Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyatakan dalam doanya, “Ma Zakarnaka Haqqa Zikrika Ya Mazkur.” Yang bererti, “Kami tidak mengingatiMu dengan hak mengingatiMu secara yang sepatutnya, Wahai Zat yang sepatutnya diingati.”
Seseorang Salik itu tidak akan dapat hadir ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya dan tidak akan dapat mencapai Musyahadah terhadap rahsia-rahsia dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya jika dia tidak berzikir dengan sokongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menerusi ingatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap dirinya.
Seorang Salik itu tidak akan dapat berzikir dengan kemampuan dirinya bahkan dia hendaklah sentiasa menyedari bahawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah yang sedang berzikir menerusi dirinya. Hadhrat Maulana Syeikh Abu Yazid Bistami Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Apabila daku mencapai ZatNya, daku melihat bahawa ingatanNya terhadap diriku mendahului ingatanku terhadap diriNya.”

3. NIGAH DASYAT

Nigah berarti menjaga, mengawasi, memelihara dan Dasyat pula berarti melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Maksudnya ialah seseorang Salik itu sewaktu melakukan zikir hendaklah sentiasa memelihara hati dari sebarang khatrah lintasan hati dan was-was Syaitan dengan bersungguh-sungguh. Jangan biarkan khayalan kedukaan memberi kesan kepada hati.
Setiap hari hendaklah melapangkan masa selama sejam ke dua jam ataupun lebih untuk memelihara hati dari segala ingatan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain DiriNya, jangan ada sebarang khayalan pada pikiran dan hati. Lakukan latihan ini sehingga segala sesuatu selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, segala-galanya menjadi lenyap.
Nigah Dasyat juga bermakna seseorang Salik itu mesti memperhatikan hatinya dan menjaganya dengan menghindarkan sebarang ingatan yang buruk masuk ke dalam hati. Ingatan dan keinginan yang buruk akan menjauhkan hati dari kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesufian yang sebenar adalah daya untuk memelihara hati dari ingatan yang buruk dan memeliharanya dari sebarang keinginan yang rendah. Seseorang yang benar-benar mengenali hatinya akan dapat mengenali Tuhannya. Di dalam Tariqat Naqshbandiyah ini, seseorang Salik yang dapat memelihara hatinya dari sebarang ingatan yang buruk selama 15 minit adalah merupakan suatu pencapaian yang besar dan menjadikannya layak sebagai seorang ahli Sufi yang benar.
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan di dalam kitabnya Idhahut Tariqah bahawa, “Nigah Dasyat adalah merupakan syarat ketika berzikir, bahawa ketika berzikir hendaklah menghentikan segala khayalan serta was-was dan apabila sebarang khayalan yang selain Allah terlintas di dalam hati maka pada waktu itu juga hendaklah dia menjauhkannya supaya khayalan Ghairullah tidak menduduki hati.”
Hadhrat Maulana Syeikh Abul Hassan Kharqani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Telah berlalu 40 tahun dimana Allah sentiasa melihat hatiku dan telah melihat tiada sesiapa pun kecuali DiriNya dan tiada ruang bilik di dalam hatiku untuk selain dari Allah.”
Hadhrat Syeikh Abu Bakar Al-Qittani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Aku menjadi penjaga di pintu hatiku selama 40 tahun dan aku tidak pernah membukanya kepada sesiapa pun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehinggakan hatiku tidak mengenali sesiapapun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Seorang Syeikh Sufi pernah berkata, “Oleh kerana aku telah menjaga hatiku selama sepuluh malam, hatiku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”

4. YAD DASYAT

Yad Dasyat berarti mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan bersungguh-sungguh dengan Zauq Wijdani sehingga mencapai Dawam Hudhur yakni kehadiran Zat Allah secara kekal berterusan dan berada dalam keadaan berjaga-jaga memperhatikan limpahan Faidhz dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesedaran ini diibaratkan sebagai Hudhur Bey Ghibat dan merupakan Nisbat Khassah Naqshbandiyah.
Yad Dasyat juga bermakna seseorang yang berzikir itu memelihara hatinya pada setiap penafian dan pengitsbatan di dalam setiap napas tanpa meninggalkan Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ianya menghendaki agar Salik memelihara hatinya di dalam Kehadiran Kesucian Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara berterusan. Ini untuk membolehkannya agar dapat merasai kesedaran dan melihat Tajalli Cahaya Zat Yang Esa atau disebut sebagai Anwaruz-Zatil-Ahadiyah.
Menurut Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, Yad Dasyat merupakan istilah Para Sufi bagi menerangkan keadaan maqam Syuhud atau Musyahadah yang juga dikenali sebagai ‘Ainul Yaqin atau Dawam Hudhur dan Dawam Agahi.
Di zaman para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in ianya disebut sebagai Ihsan. Ia merupakan suatu maksud di dalam Tariqah Naqshbandiyah Mujaddidiyah bagi menghasilkan Dawam Hudhur dan Dawam Agahi dengan Hadhrat Zat Ilahi Subhanahu Wa Ta’ala dan di samping itu berpegang dengan ‘Aqidah yang sahih menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan melazimkan diri beramal menuruti Sunnah Nabawiyah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Jika Salik tidak memiliki ketiga-tiga sifat ini iaitu tetap mengingati Zat Ilahi, beri’tiqad dengan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan menuruti Sunnah Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ataupun meninggalkan salah satu darinya maka dia adalah terkeluar dari jalan Tariqat Naqshbandiyah, Na’uzu Billahi Minha!

5. HOSH DAR DAM

Hosh berarti sadar, Dar berarti dalam dan Dam berarti napas, yakni sadar dalam napas. Seseorang Salik itu hendaklah berada dalam kesedaran bahawa setiap napasnya yang keluar masuk mestilah beserta kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Jangan sampai hati menjadi lalai dan leka dari kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Dalam setiap napas hendaklah menyedari kehadiran ZatNya.
Menurut Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih bahawa, “Seseorang Salik yang benar hendaklah menjaga dan memelihara napasnya dari kelalaian pada setiap kali masuk dan keluarnya napas serta menetapkan hatinya sentiasa berada dalam Kehadiran Kesucian ZatNya dan dia hendaklah memperbaharukan napasnya dengan ibadah dan khidmat serta membawa ibadah ini menuju kepada Tuhannya seluruh kehidupan, kerana setiap napas yang disedut dan dihembus beserta KehadiranNya adalah hidup dan berhubung dengan Kehadiran ZatNya Yang Suci. Setiap napas yang disedut dan dihembus dengan kelalaian adalah mati dan terputus hubungan dari Kehadiran ZatNya Yang Suci.”
Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih berkata, “Maksud utama seseorang Salik di dalam Tariqah ini adalah untuk menjaga napasnya dan seseorang yang tidak dapat menjaga napasnya dengan baik maka dikatakan kepadanya bahawa dia telah kehilangan dirinya.”
Hadhrat Syeikh Abul Janab Najmuddin Al-Kubra Rahmatullah ‘alaih berkta dalam kitabnya Fawatihul Jamal bahawa, “Zikir adalah sentiasa berjalan di dalam tubuh setiap satu ciptaan Allah sebagai memenuhi keperluan napas mereka biarpun tanpa kehendak sebagai tanda ketaatan yang merupakan sebahagian dari penciptaan mereka. Menerusi pernapasan mereka, bunyi huruf ‘Ha’ dari nama Allah Yang Maha Suci berada dalam setiap napas yang keluar masuk dan ianya merupakan tanda kewujudan Zat Yang Maha Ghaib sebagai menyatakan Keunikan dan Keesaan Zat Tuhan. Maka itu amatlah perlu berada dalam kesedaran dan hadir dalam setiap napas sebagai langkah untuk mengenali Zat Yang Maha Pencipta.”
Nama Allah yang mewakili kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Af’alNya adalah terdiri dari empat huruf iaitu Alif, Lam, Lam dan Ha.
Para Sufi berkata bahawa Zat Ghaib Mutlak adalah Allah Yang Maha Suci lagi Maha Mulia KetinggianNya dan DiriNya dinyatakan menerusi huruf yang terakhir dari Kalimah Allah iaitu huruf Ha. Huruf tersebut apabila ditemukan dengan huruf Alif akan menghasilkan sebutan Ha yang memberikan makna “Dia Yang Ghaib” sebagai kata ganti diri. Bunyi sebutan Ha itu sebagai menampilkan dan menyatakan bukti kewujudan Zat DiriNya Yang Ghaib Mutlak (Ghaibul Huwiyyatil Mutlaqa Lillahi ‘Azza Wa Jalla). Huruf Lam yang pertama adalah bermaksud Ta‘arif atau pengenalan dan huruf Lam yang kedua pula adalah bermaksud Muballaghah yakni pengkhususan. Menjaga dan memelihara hati dari kelalaian akan membawa seseorang itu kepada kesempurnaan Kehadiran Zat, dan kesempurnaan Kehadiran Zat akan membawanya kepada kesempurnaan Musyahadah dan kesempurnaan Musyahadah akan membawanya kepada kesempurnaan Tajalli Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Seterusnya Allah akan membawanya kepada penzahiran kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Sifat-SifatNya yang lain kerana adalah dikatakan bahawa Sifat Allah itu adalah sebanyak napas-napas manusia.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih menegaskan bahawa hendaklah mengingati Allah pada setiap kali keluar masuk napas dan di antara keduanya yakni masa di antara udara disedut masuk dan dihembus keluar dan masa di antara udara dihembus keluar dan disedut masuk. Terdapat empat ruang untuk diisikan dengan Zikrullah. Amalan ini disebut Hosh Dar Dam yakni bezikir secara sedar dalam napas. Zikir dalam pernapasan juga dikenali sebagai Paas Anfas di kalangan Ahli Tariqat Chistiyah.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqat ini dibina berasaskan napas, maka adalah wajib bagi setiap orang untuk menjaga napasnya pada waktu menghirup napas dan menghembuskan napas dan seterusnya menjaga napasnya pada waktu di antara menghirup dan menghembuskan napas.”
Udara Masuk - Allah Allah Antara - Allah Allah Udara Keluar - Allah Allah Antara - Allah Allah
Perlu diketahui bahawa menjaga napas dari kelalaian adalah amat sukar bagi seseorang Salik, lantaran itu mereka hendaklah menjaganya dengan memohon Istighfar yakni keampunan kerana memohon Istighfar akan menyucikan hatinya dan mensucikan napasnya dan menyediakan dirinya untuk menyaksikan Tajalli penzahiran manifestasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana-mana jua.

6. NAZAR BAR QADAM

Nazar berarti memandang, Bar berarti pada, dan Qadam pula berarti kaki. Seseorang Salik itu ketika berjalan hendaklah sentiasa memandang ke arah kakinya dan jangan melebihkan pandangannya ke tempat lain dan setiap kali ketika duduk hendaklah sentiasa memandang ke hadapan sambil merendahkan pandangan. Jangan menoleh ke kiri dan ke kanan karena ianya akan menimbulkan fasad yang besar dalam dirinya dan akan menghalangnya dari mencapai maksud.
Nazar Bar Qadam bermakna ketika seseorang Salik itu sedang berjalan, dia hendaklah tetap memperhatikan langkah kakinya. Di mana jua dia hendak meletakkan kakinya, matanya juga perlu memandang ke arah tersebut. Tidak dibolehkan baginya melemparkan pandangannya ke sana sini, memandang kiri dan kanan ataupun di hadapannya kerana pandangan yang tidak baik akan menghijabkan hatinya.
Kebanyakan hijab-hijab di hati itu terjadi kerana bayangan gambaran yang dipindahkan dari pandangan penglihatan mata ke otak sewaktu menjalani kehidupan seharian. Ini akan mengganggu hati dan menimbulkan keinginan memenuhi berbagai kehendak hawa nafsu seperti yang telah tergambar di ruangan otak. Gambaran-gambaran ini merupakan hijab-hijab bagi hati dan ianya menyekat Cahaya Kehadiran Zat Allah Yang Maha Suci.
Kerana itulah Para Masyaikh melarang murid mereka yang telah menyucikan hati mereka menerusi zikir yang berterusan dari memandang ke tempat yang selain dari kaki mereka. Hati mereka ibarat cermin yang menerima dan memantulkan setiap gambaran dengan mudah. Ini akan mengganggu mereka dan akan menyebabkan kekotoran hati.
Maka itu, Salik diarahkan agar merendahkan pandangan supaya mereka tidak terkena panahan dari panahan Syaitan. Merendahkan pandangan juga menjadi tanda kerendahan diri. Orang yang bongkak dan sombong tidak memandang ke arah kaki mereka ketika berjalan. Ia juga merupakan tanda bagi seseorang yang menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika berjalan tidak menoleh ke kiri dan ke kanan tetapi Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya melihat ke arah kakinya, bergerak dengan pantas menuju ke arah destinasinya. Pengertian batin yang dituntut dari prinsip ini ialah supaya Salik bergerak dengan laju dan pantas dalam melakukan perjalanan suluk, yang mana apa jua maqam yang terpandang olehnya maka dengan secepat yang mungkin kakinya juga segera sampai pada kedudukan maqam tersebut. Ia juga menjadi tanda ketinggian darjat seseorang yang mana dia tidak memandang kepada sesuatu pun kecuali Tuhannya. Sepertimana seseorang yang hendak lekas menuju kepada tujuannya, begitulah seorang Salik yang menuju Kehadhrat Tuhan hendaklah lekas-lekas bergerak, dengan cepat dan pantas, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak memandang kepada hawa nafsu duniawi sebaliknya hanya memandang ke arah mencapai Kehadiran Zat Tuhan Yang Suci.
Hadhrat Maulana Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih telah berkata dalam suratnya yang ke-259 di dalam Maktubat, “Pandangan mendahului langkah dan langkah menuruti pandangan. Mi’raj ke maqam yang tinggi didahului dengan pandangan Basirah kemudian diikuti dengan langkah. Apabila langkah telah mencapai Mi’raj tempat yang dipandang, maka kemudian pandangan akan diangkat ke suatu maqam yang lain yang mana langkah perlu menurutinya. Kemudian pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi dan langkah akan menurutinya. Begitulah seterusnya sehingga pandangan mencapai maqam kesempurnaan yang mana langkahnya akan diberhentikan. Kami katakan bahawa, apabila langkah menuruti pandangan, murid telah mencapai maqam kesediaan untuk menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah merupakan sumber asal bagi segala langkah.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Jika kita memandang kesalahan sahabat-sahabat, kita akan ditinggalkan tanpa sahabat kerana tiada seorang juapun yang sempurna.”

7. SAFAR DAR WATAN

Safar berarti menjelajah, berjalan atau bersiar, Dar berarti dalam dan Watan berarti kampung. Safar Dar Watan bermakna berjalan-jalan dalam kampung dirinya yakni kembali berjalan menuju Tuhan. Seseorang Salik itu hendaklah menjelajah dari dunia ciptaan kepada dunia Yang Maha Pencipta.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda yang mafhumnya, “Daku sedang menuju Tuhanku dari suatu hal keadaan ke suatu hal keadaan yang lebih baik dan dari suatu maqam ke suatu maqam yang lebih baik.”

Salik hendaklah berpindah dari kehendak hawa nafsu yang dilarang kepada kehendak untuk berada dalam Kehadiran ZatNya. Dia hendaklah berusaha meninggalkan segala sifat-sifat Basyariyah (Kemanusiawian) yang tidak baik dan meningkatkan dirinya dengan sifat-sifat Malakutiyah (Kemalaikatan) yang terdiri dari sepuluh maqam yaitu:


[1] Taubat
[2] Inabat
[3] Sabar
[4] Syukur
[5] Qana’ah
[6] Wara’
[7] Taqwa
[8] Taslim
[9] Tawakkal
[10] Redha.


Para Masyaikh membagikan perjalanan ini kepada dua kategori yaitu Sair Afaqi yakni Perjalanan Luar dan Sair Anfusi yakni Perjalanan Dalam. Perjalanan Luar adalah perjalanan dari suatu tempat ke suatu tempat mencari seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi dirinya dan akan menunjukkan jalan ke tempat yang dimaksudkannya. hal Ini sekaligus memperbolehkannya untuk melakukan Perjalanan Dalam.
Seseorang Salik apabila dia sudah menemui seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi dirinya adalah dilarang dari melakukan Perjalanan Luaran. Pada Perjalanan Luar ini terdapat berbagai kesukaran yang mana seseorang yang baru menuruti jalan ini tidak dapat tidak, pasti akan terjerumus ke dalam tindakan yang dilarang, kerana mereka adalah lemah dalam menunaikan ibadah mereka.
Perjalanan yang bersifat dalam pula menghendaki agar seseorang Salik itu meninggalkan segala tabiat yang buruk dan membawa adab tertib yang baik ke dalam dirinya serta mengeluarkan dari hatinya segala keinginan Duniawi. Dia akan diangkat dari suatu maqam yang kotor zulmat ke suatu maqam kesucian. Pada waktu itu dia tidak perlu lagi melakukan Perjalanan Luar. Hatinya telah dibersihkan dan menjadikannya suci  seperti air, jernih seperti kaca, bersih bagaikan cermin lalu menunjukkannya hakikat setiap segala suatu urusan yang penting dalam kehidupan sehariannya tanpa memerlukan sebarang tindakan yang bersifat luaran bagi pihak dirinya. Di dalam hatinya akan muncul segala apa yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka yang berada di sampingnya.
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Ketahuilah bahawa apabila hati tertakluk dengan sesuatu selain Allah dan khayalan yang buruk menjadi semakin kuat maka limpahan Faidhz Ilahi menjadi sukar untuk dicapai oleh Batin. Jesteru itu dengan kalimah LA ILAHA hendaklah menafikan segala akhlak yang buruk itu sebagai contohnya bagi penyakit hasad, sewaktu mengucapkan LA ILAHA hendaklah menafikan hasad itu dan sewaktu mengucapkan ILLA ALLAH hendaklah mengikrarkan cinta dan kasih sayang di dalam hati. Begitulah ketika melakukan zikir Nafi Itsbat dengan sebanyak-banyaknya lalu menghadap kepada Allah dengan rasa hina dan rendah diri bagi menghapuskan segala keburukan diri sehinggalah keburukan dirinya itu benar-benar terhapus. Begitulah juga terhadap segala rintangan Batin, ianya perlu disingkirkan supaya terhasilnya Tasfiyah dan Tazkiyah. Latihan ini merupakan salah satu dari maksud Safar Dar Watan.”

8. KHALWAT DAR ANJUMAN

Khalwat berarti bersendirian dan Anjuman berarti khalayak ramai, maka pengertiannya ialah bersendirian dalam keramaian. Maksudnya pada zahir, Salik bergaul dengan manusia dan pada batinnya dia kekal bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Terdapat dua jenis khalwat yaitu Khalwat Luar atau disebut sebagai Khalwat Saghir yakni khalwat kecil dan Khalwat Dalam atau disebut sebagai Khalwat Kabir yang bermaksud khalwat besar atau disebut sebagai Jalwat. Khalwat Luar menghendaki Salik agar mengasingkan dirinya di tempat yang sunyi dan jauh dari kesibukan manusia. Secara bersendirian Salik menumpukan kepada Zikirullah dan Muraqabah untuk mencapai penyaksian Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila sudah mencapai fana menerusi zikir pikir dan semua deria luaran difanakan, pada waktu itu deria dalaman bebas meneroka ke Alam Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini seterusnya akan membawa kepada Khalwat Dalam.
Khalwat Dalam bermaksud berkhalwat dalam kesibukan manusia. Hati Salik hendaklah sentiasa hadir ke Hadhrat Tuhan dan hilang dari makhluk sedang jasmaninya sedang hadir bersama mereka. Dikatakan bahawa seseorang Salik yang Haq sentiasa sibuk dengan zikir khafi di dalam hatinya sehinggakan jika dia masuk ke dalam majlis keramaian manusia, dia tidak mendengar suara mereka. Kerana itu ianya dinamakan Khalwat Kabir dan Jalwat yakni berzikir dalam kesibukan manusia. Keadaan berzikir itu mengatasi dirinya dan penzahiran Hadhrat Suci Tuhan sedang menariknya membuatkannya tidak menghiraukan segala sesuatu yang lain kecuali Tuhannya. Ini merupakan tingkat khalwat yang tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenar seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-Quran Surah An-Nur ayat 37:
Para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.
"Rijalun La Tulhihim Tijaratun Wala Bay’un ‘An Zikrillah," bermaksud para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah. Inilah merupakan jalan Tariqat Naqshbandiyah. Hadhrat Khwajah Shah Bahauddin Naqshband Qaddasallahu Sirrahu telah ditanyakan orang bahawa apakah yang menjadi asas bagi Tariqatnya?
Beliau menjawab, “Berdasarkan Khalwat Dar Anjuman, yakni zahir berada bersama Khalaq dan batin hidup bersama Haq serta menempuh kehidupan dengan menganggap bahawa Khalaq mempunyai hubungan dengan Tuhan. Sebagai Salik dia tidak boleh berhenti dari menuju kepada maksudnya yang hakiki.”
Sepertimana mafhum sabdaan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Padaku terdapat dua sisi. Satu sisiku menghadap ke arah Penciptaku dan satu sisi lagi menghadap ke arah makhluk ciptaan.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqatuna As-Suhbah Wal Khayru Fil Jam’iyyat.” Yang bererti, “Jalan Tariqah kami adalah dengan cara bersahabat dan kebaikan itu dalam jemaah Jam’iyat.”
Khalwat yang utama di sisi Para Masyaikh Naqshbandiyah adalah Khalwat Dalam karana mereka sentiasa berada bersama Tuhan mereka dan pada masa yang sama mereka berada bersama dengan manusia. Adalah dikatakan bahawa seseorang beriman yang dapat bercampur gaul dengan manusia dan menanggung berbagai masaalah dalam kehidupan adalah lebih baik dari orang beriman yang menghindarkan dirinya dari manusia.

Hadhrat Imam Rabbani Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Perlulah diketahui bahawa Salik pada permulaan jalannya mungkin menggunakan khalwat luaran untuk mengasingkan dirinya dari manusia, beribadat dan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga dia mencapai tingkat darjat yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia akan dinasihatkan oleh Syeikhnya seperti kata-kata Sayyid Al-Kharraz Rahmatullah ‘alaih iaitu kesempurnaan bukanlah dalam mempamerkan karamah yang hebat-hebat tetapi kesempurnaan yang sebenar ialah untuk duduk bersama manusia, berjual beli, bernikah kahwin dan mendapatkan zuriat dan dalam pada itu sekali-kali tidak meninggalkan Kehadiran Allah walaupun seketika.



Hadhrat Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih berkata, “Daripada masamu, jangan ada sebarang waktu pun yang engkau tidak berzikir dan bertawajjuh serta mengharapkan Kehadiran Allah Ta’ala dan bertemulah dengan manusia dan berzikirlah walaupun berada di dalam keramaian dan sentiasa berjaga-jaga memperhatikan limpahan Allah.”



Berkata Penyair, "Limpahan Faidhz Al-Haq datang tiba-tiba tetapi hatiku memperhatikan waridnya, Biarpun di waktu sekali kerdipan mata namun diriku sekali-kali tidak leka, Boleh jadi Dia sedang memperhatikanmu dan dikau tidak memperhatikannya."


Hal keadaan ini dinamakan Khalwat Dar Anjuman yaitu Kainun Haqiqat Wa Bainun Surat yakni hakikat dirinya berzama Zat Tuhan dan tubuh badan bersama makhluk ciptaan Tuhan. Masyaikh menggelarkannya sebagai Sufi Kain Bain. Kelapan-lapan asas Tariqat ini diperkenalkan oleh Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dan menjadi ikutan 40 Tariqat yang lain dan sehingga ke hari ini menjadi asas yang teguh untuk seseorang hamba Allah kembali menuju kepada Tuhannya.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaihi telah menerima kedelapan asas Tariqat ini dari Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani dan beliau telah menambahkan tiga asas Tariqat yaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani menjadikannya sebelas asas.
Hosh Dar Dam Khalwat Dar Anjuman; Yad Kard Yad Dasyat. Nazar Bar Qadam Safar Dar Watan; Baz Gasht Nigah Dasyat.
Sentiasalah sadar dalam napas ketika berkhalwat bersama khalayak; Kerjakanlah Zikir dan ingatlah ZatNya dengan bersungguh-sungguh. Perhatikan setiap langkah ketika bersafar di dalam kampung; Sekembalinya dari merayau, perhatikanlah limpahan Ilahi bersungguh-sungguh.
Wuquf Qalbi Wuquf ‘Adadi, Wuquf Zamani Bi Dawam Agahi.
Ingatlah Allah tetap pada hati, bilangan dan masa dengan sentiasa sadar berjaga-jaga.

TAMBAHAN SHAH NAQSHBAND


HADHRAT Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih merupakan Imam bagi Tariqat Naqshbandiyah dan seorang Mahaguru Tariqat yang terkemuka. Ia telah mengukuhkan lagi jalan ini dengan tiga prinsip penting dalam Zikir Khafi sebagai tambahan kepada lapan prinsip asas yang telah dikemukakan oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yaitu:


1. WUQUF QALBI

Mengarahkan penumpuan terhadap hati dan hati pula mengarahkan penumpuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap masa dan keadaan. Sama ada dalam keadaan berdiri, berbaring, berjalan maupun duduk. Hendaklah bertawajjuh kepada hati dan hati pula tetap bertawajjuh ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wuquf Qalbi merupakan syarat bagi zikir.
Kedudukan Qalbi ini adalah pada kedudukan dua jari di bawah tetek kiri dan kedudukan ini hendaklah sentiasa diberikan penumpuan dan Tawajjuh. Bayangan limpahan Nur dari Allah hendaklah sentiasa kelihatan melimpah pada Qalbi dalam pandangan batin.

Ini merupakan suatu kaedah Zikir Khafi yakni suatu bentuk zikir yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh Para Malaikat. Ia merupakan suatu kaedah zikir yang rahasia.


2. WUQUF ‘ADADI

Sentiasa memperhatikan bilangan ganjil ketika melakukan zikir Nafi Itsbat. Zikir Nafi Itsbat ialah lafaz LA ILAHA ILLA ALLAH dan dilakukan di dalam hati menurut kaifiyatnya. Dalam melakukan zikir Nafi Itsbat ini, Salik hendaklah sentiasa mengawasi bilangan zikir Nafi Itsbatnya itu dengan memastikannya dalam jumlah bilangan yang ganjil iaitu 7 atau 9 atau 19 atau 21 atau 23 atau sebarang bilangan yang ganjil.
Menurut Para Masyaikh, bilangan ganjil mempunyai rahsia yang tertentu kerana Allah adalah Ganjil dan menyukai bilangan yang ganjil dan ianya akan menghasilkan ilmu tentang Rahsia Allah Ta’ala. Menurut Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih, “Memelihara bilangan di dalam zikir adalah langkah pertama dalam menghasilkan Ilmu Laduni.”

Memelihara bilangan bukanlah untuk jumlahnya semata-mata bahkan ianya untuk memelihara hati dari ingatan selain Allah dan sebagai asbab untuk memberikan lebih penumpuan dalam usahanya untuk menyempurnakan zikir yang telah diberikan oleh Guru Murshidnya.


3. WUQUF ZAMANI

Setiap kali selepas menunaikan Solat, hendaklah bertawajjuh kepada hati dan sentiasa memastikan hati dalam keadaan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lakukan selama beberapa menit sebelum bangkit dari tempat Solat. Kemudian setelah selang beberapa jam hendaklah memperhatikan pula keadaan hati untuk memastikannya sentiasa dalam keadaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila seseorang Murid itu telah naik ke peringkat menengah dalam bidang Keruhanian maka dia hendaklah selalu memeriksa keadaan hatinya sekali pada tiap-tiap satu jam untuk mengetahui sama ada dia ingat ataupun lalai kepada Allah dalam masa-masa tersebut. Jika dia lalai maka hendaklah dia beristighfar dan berazam untuk menghapuskan kelalaian itu pada masa akan datang sehinggalah dia mencapai peringkat Dawam Hudhur atau Dawam Agahi iaitu peringkat hati yang sentiasa hadir dan sedar ke Hadhrat ZatNya.
Ketiga-tiga prinsip ini adalah tambahan dari Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih dalam membimbing sekelian para murid dan pengikutnya dan terus menjadi amalan yang tetap dalam Tariqat Naqshbandiyah.

Beberapa tokoh Tariqat Naqshbandiyah

Beberapa tokoh Tariqat Naqshbandiyah Indonesia

1. Hadrat Syech Ahmad Shohibulwafa Tajjul Ariefin (Abah Anom) Ibni Sayyidii Syech Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) Nulinggih di Patapan Kajembaran Rahmaniyah Suryalaya Pagerageung Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia 2. 'Yang di muliakan Allah Tuan Guru Dr Syekh Salman Daim' Mursyid Tareqat Naqsbandiyah Alkholidiyah Jalaliyah Bandr Tinggi Sumatera Utara Indonesia 3. Tn Guru SM Karimuddin, Mursyid Pondok Pesantren Darul Hikmah Bahjoga 4. KH Muhammad Arifin Syah MPd, Mursyid pondok pesantren Nurul Hidayah, Sibargot. 5. SM Andra Najmu Assyihab,Pimpinan pondok pesantren Darul Maimanah,Manuk dadali, Sibolga..

Sumber:
Wikipedia dan beberapa sumber lainnya








Tareqah Mu’tabarah di Indonesia

Muqaddimah

Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (sufinews.com).
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari penyucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan, dan kesadaran sosial. Penyucian batin melalui latihan rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat jelek, mengisi sifat terpuji, taat atas perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan muhasabah introspeksi terhadap semua amal pribadi. Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri dari syaih tarekat, syaikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan pengikut tarekat, serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, system dan metode zikir. Upacra keagamaan bisa berupa baiat, ijarah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan tarekat, talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syaikh tarekat kepada murid-muridnya (Abu Bakar dalam Sri Mulyati,2004: 9).
Menurut Sri Mulyati (2004:9), dari unsur-unsur tersebut, salah satunya yang sangat penting bagi sebuah tarekat adalah silsilah. Silsilah menjadi tolok ukur sebuah tarekat itu muktabarah (dianggap sah) atau tidak.
Dengan demikian aliran tarekat berikut ini adalah beberapa di antara tarekat yang telah jelas sebagai tarekat muktabarah yang telah lama berkembang di Indonesia. Langkah awal untuk mengenal lebih dekat mengenai tarekat-tarekat tersebut,mari kita simak bersama uraian berikut. Semoga umat Islam dapat membedakan mana tarekat yang tidak melenceng dari ajaran syariat dan mana yang merupakan aliran sesat yang berkedok tarekat. Selain itu,memperjelas kita betapa kaya khazanah ke-Islam-an di nusantara ini.
  1. Thoriqoh Syathariyah
  2. Thoriqoh Naqsyabandiyah
  3. Thoriqoh Sadziliyah
  4. Thoriqoh Qodiriyah
  5. Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah
  6. Thoriqoh Alawiyyah
  7. Thoriqoh Syattariyah
  8. Thoriqoh Tijaniyah
  9. Thoriqah Sammaniyah










Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate