Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia 
Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat
 ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap
 sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya 
Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari 
persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat 
tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam 
keyakinan dan praktik.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia 
adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan
 di salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan 
secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad 
Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah 
dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang
 dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah 
(itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat 
spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat 
pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar 
sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual 
tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki 
yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. 
Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan 
zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di 
tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan
 Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh 
gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke 
Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia 
memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang 
dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang 
ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah 
atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya
 (1428).
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan 
oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, sang Bengali, yang dikenal 
sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam 
mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang 
berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan 
keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang
 Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang 
penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di
 Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri 
madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah 
memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat 
Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke 
Indonesia.
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh 
seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah 
seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini 
tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat 
lainnya, sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini 
disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh 
murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang 
khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat 
tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), 
asal Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan 
penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan 
Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian 
berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum 
Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung 
jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat 
bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif
 pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah 
al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, 
Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih
 populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van 
Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik 
dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga 
kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan 
Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya 
yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga 
oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat 
tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai
 apakah Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama 
setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan 
orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam 
di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut 
ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia 
menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh 
agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia 
kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan 
cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang 
menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera 
Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren 
Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul 
Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan
 Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh 
Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari 
Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di 
Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. 
Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan 
berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” 
di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui 
Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi
 simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari
 kepercayaan populer orang Jawa.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu 
pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, 
tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah 
percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan 
tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang 
ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum 
sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai 
kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar 
(orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu 
ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini,
 yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla,
 dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah 
menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut 
di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk 
mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT.
 Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca 
al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri 
dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, 
latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu 
mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan 
langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum 
Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai 
pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang 
disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir 
ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah 
dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir 
itu sebagai berikut:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu
 kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan 
nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan 
illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira 
dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan
 lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, 
illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya
 Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang 
dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai
 adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah 
diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak,
 markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari 
oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil
 dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini 
dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi
 sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan 
dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada 
menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di 
dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah 
menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali 
tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah 
jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi 
tersebut, sebagai berikut:
- Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut: Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
 - Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
 - Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
 - Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
 - Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
 - Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
 - Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
 
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini
 membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut 
nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti 
al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama 
Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, 
al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT 
yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, 
al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan
 secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini 
dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi 
bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap
 seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang
 bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam 
tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai 
melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. 
Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan 
yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak 
membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang 
tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa 
diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum 
dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi 
Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya 
sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan 
memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun 
(mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan 
menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting 
untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai
 berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; 
selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; 
setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; 
selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di 
suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh 
kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari 
pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, 
mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari
 rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang 
terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias 
dan memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi 
Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal 
Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada 
Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi
 al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan 
al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh 
Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah 
asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj 
al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada
 Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah 
Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf 
Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai 
Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ 
(Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman 
(Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai
 Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi 
(Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), 
kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya 
(Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada 
Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo 
Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam 
Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari 
(Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk)
No comments:
Post a Comment