TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE
Showing posts with label The Philosophy. Show all posts
Showing posts with label The Philosophy. Show all posts

PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM IBNU RUSYD


A.
      Pendahuluan


Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di Barat.

B.       Ibnu Rusyd

1.      Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan  Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[1]

Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”, huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d” dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.[2]

Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.[3]

Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.[4]

A.    Karya-Karyanya

Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :

a. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.[5]

b. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)

c. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi)

d. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).

B.  Pemikirannya

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[6]

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[7]

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

1.  Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.

Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.

Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:

a. Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)

b. Lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)

c.  Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]

Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)

Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.

Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)

Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.

Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.

Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.

Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.

2. Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud  Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.[9]

Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan kepercayaan mereka.[10]

Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:

a. Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.

b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah  (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7

أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا. وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

Artinya:  Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,. dan gunung-gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)

c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

Artinya:  Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)

d. Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.

e. Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.

3. Tanggapan Terhadap Al-Ghazali

Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah.  Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.

Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.

Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.

Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:

1.         Alam qadim (tidal bermula),


2.         Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak,



3.         Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan ini bersifat metaforis,



4.         Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam,



5.         Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud,



6.         Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,



7.         Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan,



8.         Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi



9.         Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),



10.     Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak   dapat   berubah),



11.     Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal,



12.     Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,



13.     Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum,



14.     Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,



15.     Tujuan yang menggerakkan,



16.     Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,



17.     Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa,



18.     Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh,



19.     Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.



20.     Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani. [11]

Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.

a.  Pedapat Filosuf tentang  Qadimnya Alam

Namun menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran.

Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.

Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuka pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48:

فَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ * يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

“Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Ibrahim: 47-48).

Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.

Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[12]

Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah.  Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim. [13]

Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.

Dalam perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran. Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya, sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.

Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik.  Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:

1. Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.

2. Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wjud yang qadim inilah yang disebut Allah.

3. Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.[14]

b.  Pedapat Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan

Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).

Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.

Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.

Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.

Pendapat kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;

Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran manusia “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. Dia (Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru dilahirkan.[15]

Jadi, dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam hal pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd tidak mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak permasalahan yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?

c. Pendapat Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani

Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.

Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:

“…adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[16]

Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai berikut:

“… perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun terang gambling dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.[17]

Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi

C. Gerakan  Averroisme di  Eropa

Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.[18]

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[19] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[20]

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[21]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.[22]

Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan).[23] atau Prima Causa menurut Aristoteles.

Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.[24] Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[25]

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa.[26] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.[27]

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.[28]

Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.

D. Kesimpulan

Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.

DAFTAR BACAAN

Athif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah al- “Aqliyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979.

Asari, Hasan. Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 1999.

Al-Nadwi, Abu al-Hasan. Islam and The World, Lucknow: Academy of Islamic Recearch and Publication, 1979.

Abduh, Muhammad. Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah. Bandung; Diponegoro, 1992.

Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang: 1975.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Mesir: Dar al-ma’arif, t. t.

Hossein Nasir, Seyyed. Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

Muhammad Amin, Miska. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.

Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nasution, Harun. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976

______________,Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

----------------------,”Al-Ghazali dan Filsafat”, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.

Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973.

______________, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi, Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967.

Rusyd, Ibnu, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari’ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972

----------------. Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Shiddiqi, Nauruzzaman. Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim: Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Qasim, Mahmud, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963) , hal. 197

[2] Nurcholis Madjid,  Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94-95

[3] M.M. Syarif, Para Filosof … , hal. 199

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973.) hlm. 47

[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 229

[6] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet. kedelapan (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997), h. 108

[7] Ibid, Hal. 110

[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 116

[9] Ibid, hal.. 117

[10] Ibid

[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 83-84

[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) , hal. 226

[13] Harun Nasution,”Al-Ghazali dan Filsafat”, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, (Jakarta: 26 Januari 1985), hlm. 5

[14] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari’ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), hal.40-42

[15] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat … , hlm.161

[16] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal ..., hlm. 76

[17] Ibid., hlm.147

[18] Harun Nasution, Islam Rasional,( Bandung: Mizan, 1995), hal. 116

[19] Mahmud Qasim, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi (Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967), hal. 12

[20] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 96

[21] Ibid, hal. 97

[22] Nauruzzaman Shiddiqi, Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 67

[23] Hasyimsyah, Filsafat…, hal. 119

[24] Abu al-Hasan al-Nadwi, Islam and The World (Lucknow: Academy of Islamic Recearch and Publication, 1979), hal. 114

[25] Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 53

[26] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd.., hal. 99.

[27] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Jakarta: Bulan Bintang: 1975), hal. 70

[28] Hasan Asari, Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, (Medan: Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 1999), hal. 35.

Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/05/pemikiran-filsafat-islam-ibnu-rusyd.html#ixzz35wrDieUZ

Teologi Transendental Mulla Sadra


Oleh: Mohammad Adlany

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak  yang tak terlihat (baca: Tuhan).
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.
Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.   
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

Perspektif Teologis Mulla Sadra

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.   
Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya.  
Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban makrifat Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan tiga unsur, yakni wahyu sebagai teks suci Tuhan, pemikiran filsafat, dan teologi (ilmu kalam).   
Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri   dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri.
Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis - setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.
Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud "awal" dan "esa" adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya.
Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, "hakikat adalah Tuhan", dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa "hakikat" itu adalah kesesuaian ilmu dengan " realitas sesuatu", maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarankannya sebagai seorang filosof, Tuhan  sebagai "Sebab Tertinggi" untuk semua realitas eksistensi, "Sebab" seperti itu sama dengan konsep "Tunggal"nya Plato atau "Akal Ilahi"nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan "alam ide" ('âlam mutsul)(1), dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai "Tujuan Akhir" alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari "alam ketiadaan". Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas.
Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: "Sesuatu yang mencipta alam ini", mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (baca: Tuhan) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain.
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa "keberwujudan" merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang "tercipta" tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas - yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki.
Oleh karena itu, tolok ukur "keberwujudan" mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena "berpijak" kepada wujud. Tanpa "keberpijakan" ini kuiditas mustahil tercipta.
Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi.  
Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada.
Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen (mumkinul wujud, makhluk). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah "Wajibul Wujud" atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai "pemberi wujud" ini harus berujung pada "Pemberi Wujud" yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan "kuiditas" dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari "alam ketiadaan" atau hadits(2) (lawan dari qadim, azali).
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak "memancarkan" wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen "sebelum" dan "sesudah" penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan "keabadian" wujudnya bergantung kepada Tuhan.
Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat(3). Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut.   
Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan.
Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam.
Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wajibul Wujud atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wajibul Wujud. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada "alam luar" niscaya Wajibul Wujud, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa "saksikan" secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada. 
Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, "Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (baca: burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wajibul Wujud dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, "Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk kaum tertentu". Dan setelah itu Tuhan berfirman, "Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya."
Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.  
Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan "kemestian rasionalitas"  menetapkan wujud Tuhan  dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud.  
Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (al-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya al-Syifa(4) dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa'âl (active intellect)(5).
Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh "sesuatu yang lain". Dia berkata, "Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial "meminta"  ketiadaan. Bukan Cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang "meminta" ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)". Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai "sumber" kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam.
Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin(6). Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (al-imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut.
Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wajibul Wujud (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari "Wajibul Wujud" adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah "wujud" hubungan atau bergantung dimana dalam "perwujudan" dan kesempurnaan "wujud"nya bergantung secara mutlak kepada Wajibul Wujud(7).  
Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wajibul Wujud) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wajibul Wujud sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wajibul Wujud tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wajibul Wujud. Jadi, "wujud" kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wajibul Wujud, tapi Dia meliputi "wujud" kontingen secara hakiki.   
Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wajibul Wujud dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wajibul Wujud adalah murni wujud dan suci dari kuiditas.   
Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran:

Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina;

Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.
Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wajibul Wujud dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wajibul Wujud.
Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis. Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi.
Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wajibul Wujud dan bukan milik "wujud" kontingen; karena kalau milik "wujud" kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya. Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wajibul Wujud yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud.
Mulla Sadra dalam kitab Masyâ'ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, "Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya"(8). Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wajibul Wujud senantiasa menjadi Wajibul Wujud dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan.
Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, "kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama"? tetapi berbunyi, "kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung"? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an.
Gagasan Tentang Tuhan
Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang "keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wajibul Wujud merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan  tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi(9) merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.
Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud dan prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak (Tuhan).
Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud Tuhan tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.
Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga zat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya.
Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat "mencakupi" dan "meliputi".
Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya zat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari kaum urafa dan para filosof muta'aliyah.
Kesatuan Wujud
Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam.  Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.
Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.
Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan "kuantitas terpisah" (kam al-munfashil) dari golongan aksiden, dan aksiden itu termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (nonmateri) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud  mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.
Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, "Para filosof Muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi" realitas wujud-Nya."(10)

Keazalian dan Keabadian Tuhan

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya.
Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi.
Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.
Di sini Al-Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak.
Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana).
Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada.
Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.

Nama dan Sifat Tuhan

Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan.
Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan "urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan".
Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan "yang sedikit" itu bukan hanya tak "dilarang" atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan "yang sedikit" tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.
Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, "Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik". Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna "keberadaan, eksistensi" dan "kesatuan" yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.
Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta'aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah yang hakiki bukan kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri (wujud murni) yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada zat Tuhan.
Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.
Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia.
Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan "keluasan wujudnya" masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada.
Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.
Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma'rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma'rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan.
Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy'ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu'tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.
Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, "Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek, dan ilmu.
Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.
Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti "menunggu".
Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan   
Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Pemberi Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat.
Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Al-Murid, Al-Karim dan Al-Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada "bahan baku" atau "materi awal" sebelumnya dimana Tuhan menggunakan "bahan baku" tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan "materi awal" tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya.
Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada "materi awal" tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu.
Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan.
Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Al-Hakim).
Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Al-Khaliq), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk.
Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, "keburukan" ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas.
Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas.      
Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain.
Awal Dan Akhir Penciptaan Alam
Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang nonmateri (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam "sezaman" dengan ke-qadim-an Tuhan?
Mulla Sadra berpegang pada konsep "manifestasi" dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filosof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan.
Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani(11) yakni wujudnya didahului oleh "ketiadaan" dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan.
Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak "persamaan dan keserupaan" dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya.   
Tuhan "bertajalli dan bermanifestasi" pertama kali di alam nonmateri tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal(12) lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi.
Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta'aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.

Catatan Kaki :

1. Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki "bentuk non materi"nya di alam Ilahi, "bentuk non materi" itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..
2. Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul "Tuhan dalam filsafat".
3. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.
4. Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.
5. Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa'âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi "mencipta" jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini.  
6. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.
7. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid  6, bab penegasan tauhid.
8. Mulla Sadra, al-Masyâ'ir, hal. 69.
9.Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki.
10. Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.
11. Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada - dalam waktu - dan sekarang baru tercipta dan hadir  - juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.  
12. Alam yang berada diantara alam akal dan alam materi.
Sumber: Islamalternatif.net

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate